UAS Kearifan lokal dalam motif Batik Kuningan


Kearifan Lokal dalam Motif Batik Kuningan

Jawa Barat sebagai salah satu penghasil ragam batik nusantara, kaya akan beberapa daerah penghasil batik, di antaranya Garut, Tasikmalaya, Ciamis, Cirebon, Kuningan, dan Indramayu. Di kawasan utara, selain Trusmi di Cirebon, tidak ada salahnya bila kita sejenak mengalihkan pandangan ke Kuningan. Di sana kita juga dapat menemukan beragam motif batik yang tidak kalah unik dan menarik.

Cigugur, salah satu kecamatan di Kabupaten Kuningan, Jawa Barat. Terletak di kaki Gunung Ciremai, berjarak sekitar 3 km dari Kota Kuningan, 35 km ke arah selatan Kota Cirebon, atau sekitar 170 km dari Kota Bandung. Di sanalah kita dapat menemui keunikan yang khas dari kearifan budaya lokal (Sunda) yang dituangkan dalam beragam motif batik Paseban Cigugur.
Usaha batik dan seni ukir Cigugur dikembangkan di Paseban Cigugur atas prakarsa Pangeran Djatikusumah. Tujuannya untuk mengangkat nilai-nilai kearifan lokal masyarakat Cigugur. Selain merupakan simbolisasi nilai-nilai budaya lokal (Sunda) yang sudah tertanam sejak lama, motif batik Paseban Cigugur juga terilhami atau diambil dari relief lama dan seni ukir klasik yang terdapat pada ornamen gedung Paseban Tri Panca Tunggal. Demikian penuturan Pak Kusnadi (seorang pensiunan Dinas Kepurbakalaan) yang bersama-sama dengan Pangeran Djatikusumah turut memelopori pengembangan dan menciptakan motif batik dan ukir di Cigugur sejak beberapa tahun lalu.
Tanggal 15 Oktober 2006 ditetapkan sebagai peresmian lahirnya batik Paseban Cigugur. Ciri khas batik Cigugur terletak pada tarikan garis yang kuat pada motifnya. Menurut penuturan Pak Kusnadi, sampai kini telah tercipta sekitar 250 macam motif batik yang akan diperkenalkan.
Beberapa motif batik yang telah diperkenalkan sesuai dengan uraian Ibu Tati (putri dari Pangeran Djatikusumah), di antaranya adalah "rereng pwahaci (pohaci)". Motif ini merupakan simbol atau gambaran sosok perempuan Sunda yang diyakini memiliki kedudukan penting dalam kehidupan pribadi, keluarga, ataupun sosial masyarakat Sunda (pada masa pra-Islam, Sri Pohaci dikenal sebagai dewi padi). Motif lain adalah "mayang segara" yang merupakan gambaran tentang indah dan agungnya samudra luas ciptaan Tuhan. Motif ini mengandung arti hendaknya manusia mempunyai hati yang tulus seluas dan sedalam samudra.
Motif "adu manis" merupakan lambang bersatunya dua manusia yang selaras dan harmonis dalam berumah tangga, biasanya batik ini digunakan oleh pasangan pengantin pada saat upacara pernikahan. Motif "oyod mingmang" merupakan gambar rangkaian akar yang saling berkaitan sehingga membentuk suatu kekuatan dalam persatuan. Motif ini mengandung arti bahwa perbedaan yang ada hendaknya menjadi kekuatan untuk bersatu karena walaupun berbeda-beda, tetapi manusia berasal dari akar budaya dan memiliki adikodrati yang sama.
Motif "sekar galuh", sekar berarti bunga, sedangkan galuh berarti inti kehidupan. Secara filosofis sekar galuh mengandung makna bahwa manusia hendaknya melestarikan nilai-nilai adikodrati secara berkesinambungan dari generasi ke generasi. Motif "geger sunten" dapat diartikan sebagai benteng pertahanan yang mampu menahan serangan dari luar. Secara filosofis, motif ini mengandung makna bahwa manusia hendaknya mampu membentengi diri dari pengaruh-pengaruh buruk yang berasal dari luar. Pada motif "rereng kujang", kujang mengandung arti kukuh/setia pada janji. Secara filosofis, motif ini mengingatkan kita kembali pada janji yang harus kita kukuhkan kembali pada kesadaran diri sebagai manusia dan kesadaran diri sebagai bagian dari suatu bangsa.
Besarnya pengaruh budaya pada motif batik Paseban Cigugur merupakan salah satu bentuk transformasi budaya yang terjadi dalam masyarakat Cigugur. Transformasi budaya pada dasarnya merupakan upaya menemukan kembali secara lengkap wujud suatu budaya, sebagaimana saat budaya itu dibentuk. Edi S. Ekadjati (2001) berpendapat bahwa kebudayaan itu lahir seiring dengan kelahiran kehidupan manusia secara sosial karena kebudayaan adalah ciptaan atau hasil kreasi manusia sebagai makhluk sosial.

Para ilmuwan sosial mengakui bahwa budaya dan komunikasi mempunyai hubungan timbal balik, layaknya dua sisi mata uang. Sebagaimana dinyatakan Edward T. Hall (1959), yakni culture is communication dan communication is culture. Budaya merupakan bagian dari perilaku komunikasi dan pada gilirannya komunikasi pun turut menentukan, memelihara, mengembangkan, atau mewariskan budaya.
 Sejalan dengan itu, Geertz (1971) mengemukakan bahwa kebudayaan adalah suatu bentuk konseptual yang objektif yang merupakan perhubungan antara pemikiran dan kenyataan yang ada di luar diri manusia. Hal ini dapat diartikan bahwa terdapat hubungan yang saling terkait di antara keduanya secara dinamis dan dialektis, yang sifatnya sebagai suatu gerak tindakan yang dihidupkan oleh proses dorongan, kesadaran, persepsi, dan kognisi para pelaku dalam situasi yang saling berhubungan. Levy-Strauss (1970) memandang kebudayaan sebagai suatu sistem simbol yang merupakan kreasi akal kumulatif dan disalurkan melalui mitos, seni, hubungan kekeluargaan, dan bahasa.
Berkaitan dengan konsep kebudayaan inilah, melalui berbagai ragam motif batik yang mulai diperkenalkan kepada khalayak luas, masyarakat Cigugur mencoba untuk mengomunikasikan eksistensinya. Berbagai simbol yang terdapat pada motif batik Paseban Cigugur merupakan visualisasi atau wujud dari sistem nilai dan kepercayaan yang berlaku dalam masyarakat Cigugur.
Seperti halnya komunikasi pada umumnya, seorang desainer atau pembuat batik sesungguhnya telah melakukan proses komunikasi yang ditujukan kepada target sasaran melalui karya cipta yang dihasilkannya. Segala sesuatu yang dapat dilihat dan dapat dipakai untuk menyampaikan arti, makna, atau pesan merupakan kekuatan utama dalam menyampaikan komunikasi visual.
Batik, dalam hal ini, menjadi media istimewa tempat suatu makna diproduksi. Setiap motif batik beroperasi sebagai simbol yang mengartikan atau merefleksikan makna yang ingin dikomunikasikan oleh pembuatnya.

Batik Paseban, Cigugur, baru hadir sejak enam tahun terakhir. Jauh sebelumnya tidak pernah ada sejarah batik di Cigugur. Motif batik ini diambil dari relief lama dan seni ukir klasik pada ornamen Gedung Paseban Tri Panca Tunggal, Kuningan, yang saat ini berfungsi sebagai pusat pengembangan budaya daerah dan Cagar Budaya Nasional.

Desain batik tersebut lahir dari prakarsa Pangeran Djatikusuma sejak delapan tahun lalu. Ia lalu memberikan konsep batik Paseban Cigugur pada seniman-seniman yang ada di sekitar Paseban yang berasal dari sekitar daerah di Jawa Barat. Selama enam tahun terkumpul lebih dari 200 motif batik paseban. Baru pada Oktober 2006 batik Paseban Cigugur diresmikan lahir.

Batik ini memiliki sembilan motif, yakni Sekar Galuh, Oyod Mingmang, Gagang Senggang, Rereng Pwah Acih, Rereng Kujang, Mayang Segara, Geger Sunten, Sekar Kedaton, dan Adu Manis. Motif batik yang banyak diangkat adalah motif flora atau akar-akaran. Batik ini biasanya digunakan sebagai kain panjang atau pakaian adat Cigugur

Makna Motif Batik Paseban Cigugur
Sekar Galuh
Sekar memiliki arti kembang. Galuh dari kata galeuh yang memiliki arti inti kehidupan. Secara filosofis sekar galuh mengandung makna bahwa manusia hendaknya melestarikan nilai-nilai adikodrati yang telah ada sejak awal secara berkesinambungan antar generasi.

Oyod Mingmang
Oyod Mingmang merupakan gambaran rangkaian akar yang saling berkaitan sehingga membentuk satu kekuatan yang utuh yaitu kekuatan persatuan dan kesatuan yang memiliki dasar adikodrati. Manusia memiliki akar kepribadian, akar budaya dan akar bangsanya masing-masing. Perbedaan yang ada hendaknya menjadi kekuatan untuk tidak saling merusak antara satu akar budaya dengan akar budaya yang lain.

Mayang Segara
Mayang segara merupakan gambaran keagungan, keindahan samudera yang luas dan dalam sebagai simbol refleksi dari adanya alam raya dan alam raga. Mayang Segara menyiratkan bahwa manusia hendaknya memiliki keluasan hati bagaikan luas dan dalamnya samudera

Adu Manis
Batik bermotif adu manis biasanya digunakan pada saat upacara perkawinan. Adu manis merupakan lambang menyatunya dua insan yang selaras dan harmonis dalam mengarungi biduk rumah tangga.

Rereng Pwah Aci
Rereng Pwah aci merupakan gambaran sosok perempuan sunda yang memiliki peran penting dalam keberlangsungan kehidupan pribadi, keluarga dan sosial. Perempuan sunda adalah sosok yang kuat, teguh, memiliki peranan penting dan mampu berkarya sepanjang hidupnya.

Geger Suten
Secara filosofis Geger Sunten mengandung makna suatu tempat yang dijadikan sebagai tempat untuk berintrospeksi, berperang melawan ego diri (perang mandalerang) Geger Sunten dapat pula diartikan sebagai benteng pertahanan yang mampu menahan serangan dari luar. Manusia hendaknya mampu membentengi diri dari pengaruh-pengaruh yang berasal dari luar.

Rereng Kujang
Secara filosofis kujang berarti kukuh kana jangji (kukuh pada janji), janji yang harus kita kukuhkan kembali pada kesadaran diri sebagai manusia dan kesadaran.

Sejarah Batik Paseban Cigugur

               Menggali nilai budaya tradisional merupakan komitmen yang ditumbuhkembangkan di tataran masyarakat Cigugur- Kabupaten Kuningan - Jawa Barat. Hal inilah yang membuat masyarakat Cigugur tetap eksis dalam budaya lokalnya ditengah arus budaya lain yang hadir dalam era global. Hadirnya Batik Paseban Cigugur merupakan satu fenomena menarik untuk dikaji. Batik Paseban Cigugur telah dirancang dalam enam tahun terakhir ini di sebuah pusat pengembangan budaya Cagar Budaya Nasional Gedung Paseban Tri Panca Tunggal Cigugur.
               Konsep Batik Paseban Cigugur diambil dari sebagian relief dan seni ukir khas yang terdapat di Paseban Tri Panca Tunggal yang juga merupakan seni relief dan ukir klasik yang sarat dengan nilai filosofi. Mengingat Gedung Paseban sendiri merupakan monument sejarah yang telah berdiri sejak tahun 1840, didirikan oleh Pangeran Madrais Sadewa Alibassa Kusumah Wijaya Ningrat seorang putra mahkota Pangeran Gebang yang mengungsi ke desa Cigugur dikarenakan dihancurkannya Kepangeranan Gebang oleh Belanda yang dianggap sebagai pemberontak dalam misi-misi penjajah, karena mereka memegang teguh nilai-nilai nasionalisme, kemanusiaan dan budaya tradisi bangsa.
               Lahirnya Batik Paseban Cigugur di prakarsai oleh Pangeran Djatikusumah sebagai cucu atau keturunan ke III dari Pangeran Madrais. Beliau memberikan konsep batik Paseban Cigugur kepada seniman-seniman yang ada di sekitar Paseban. Selama enam tahun terkumpul lebih dari 200 motif, maka sejak bulan Juni 2006 dimulai pelatihan-pelatihan membatik pada masyarakat sekitar. Pada tanggal 15 Oktober 2006 Batik Paseban Cigugur diresmikan lahir dan menyemarakan seni adiluhung batik tulis bangsa ini. Hal ini bertujuan pula untuk memperkenalkan lebih jauh kepada masyarakat mengenai nilai-nilai filosofi dalam penerapan yang berbeda yang dapat dilihat dalam seni batik tulis dan mudah-mudahan akan dapat memberikan arti baru yang lebih bermakna dan bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat dan bangsa. Jauh sebelumnya tidak pernah ada sejarah seni batik di Cigugur. Kiranya kini kami hendak mengukir sejarah untuk bangsa dan dunia. Karya ini kami persembahkan untuk eksistensi bangsa dan peradaban manusia pada titik kesadaran Titis Tulis Kodrat Illahi. Sehingga kita dapat kembali pada kesadaran diri sebagai manusia yang cinta dan bangga akan budaya bangsa sendiri..
1 Response
  1. artikel nya sangat menarik, mau tanya kaka melakukan penelitian tahun berapa?