BAB I LATAR BELAKANG KEBUDAYAAN SUKU GAYO

Suku Gayo di Provinsi Aceh
A.      Latar belakang
Suku Gayo merupakan suku yang berdiam di kabupaten Aceh Tengah. Suku Gayo terbagi menjadi beberapa kelompok, yakni Gayo Lut, Gayo Deret, Gayo Lues, Gayo Belang, Gayo Serbejadi, dan Gayo Kalul. Mulanya, suku ini dikenal dengan sebutan suku perbukitan, karena letak geografis masyarakat penutur bahasa Gayo berada di daerah dataran tinggi Aceh Tengah dan Blang Kejeren. Sebagian lainnya tinggal di kabupaten Aceh Tenggara dan Aceh Timur, terutama di sekitar Danau Laut Tawar, di antara pegunungan Bukit Barisan, serta di sekitar Hulu Sungai Peureulak dan Jamboayee. 
Peta Aceh Tengah
 Kabupaten Aceh Tengah memiliki luas 4.318,39 km2 dan jumlah penduduknya mencapai 199.095 jiwa. Secara administratif  kabupaten Aceh Tengah  terdiri dari 14 kecamatan, 2 kelurahan dan 266 desa. Kabupaten ini terkenal dengan Danau Laut Tawar, sebagai salah satu tempat wisata. Keadaan alam tanah Gayo memiliki karakteristik tersendiri, disana terdapat padang rumput yang sangat luas sampai menutupi punggung-punggung bukit.  Padang rumput ini disebut belang yang ditumbuhi kerpe ni akang (rumput luas), jeh (ilalang), sange (rumput perdu ). Kabupaten Aceh Tengah merupakan daerah pegunungan dengan kondisi tanah yang subur, dan iklim tropika basah. Secara geografis, Kabupaten ini terletak pada posisi  4̊ 10̋ - 4̊ 58̋ LU dan 96̊ 22̋ BT dengan batas wilayah sebagai berikut :
1.      Sebelah Utara dengan Kabupaten Bener Meriah
2.      Sebelah Selatan dengan Kabupaten Gayo Lues
3.      Sebelah Timur dengan Kabupaten Aceh Timur
4.      Sebelah Barat dengan Kabupaten Nagan Raya dan Pidie
Pemberian nama suatu suku atau daerah biasanya dikaitkan dengan peristiwa-peristiwa yang memiliki latar belakang sejarah. Namun dengan adanya penghubungan peristiwa tersebut, menimbulkan beragam cerita dan arti yang ada. Seperti halnya dengan suku Gayo. Pertama kata “Gayo” dapat berarti kepiting dalam bahasa Batak Karo. Konon saat itu ada rombongan pendatang suku Batak Karo yang melintasi desa Porang. Tidak jauh dari desa tersebut dijumpai telaga yang dihuni seekor kepiting besar, seketika para pendatang ini melihat binatang tersebut merekapun berteriak Gayo…Gayo... sejak saat itulah daerah ini dinamai dengan Gayo. Kedua, kata “Gayo” berasal dari bahasa sangsekerta yang artinya gunung. Tersirat makna dari suku Gayo yakni suku yang tinggalnya di daerah pegunungan. Dan ketiga, Mulanya kata “Gayo” diucapkan kayo, dalam bahasa Aceh, ka artinya sudah dan yo artinya lari/takut. Bila digabungkan menjadi sudah takut/berlari. Oleh karena konsonan [k] sering kali menjadi konsonan [g] dalam bahasa Aceh, semisal “kuda” menjadi ‘guda’, sehingga lambat laun kata kayo terbiasa menjadi Gayo.

B.       Demografi
Masyarakat Gayo Lut dan Gayo Deret berjumah sekitar 108.000 jiwa dan mereka berdiam /menetap di Kabupaten Aceh Tengah. Gayo Lues (Gayo Belang) berjumlah sekitar 36.000 jiwa dan menetap di Kabupaten Aceh Tenggara. Gayo Serbejadi ( Gayo Semamah) dan Gayo Kalul berjumlah sekitar 6.000 jiwa serta menetap di Kabupaten Aceh Timur. Sehingga jumlah keseluruhan dari penduduk gayo adalah 120.000 jiwa
C.       Sejarah
Asal-usul penduduk Gayo tidak terlepas kaitannya dengan kedatangan nenek moyang ke kepulauan Indonesia, yang dimulai kurang lebih 2000 tahun sebelum masehi. Sisa-sisa penduduk kepulauan Indonesia yang mula-mula sekali ialah orang Kubu di Sumatera yang serupa dengan orang Semang di semenanjung Melayu, orang Wedda di Sailan, Negrita di Fhilipina. Kulitnya hitam dan badannya kecil berambut keriting.
Nenek moyang bangsa Indonesia datang ke-kepulauan ini secara bertahap dalam 2 (dua) gelombang besar dari India Belakang (Birma, Siam, dan Indo Cina). Mereka yang datang dalam gelombang pertama dinamakan denagn Proto Melayu, sedangkan gelombang kedua dinamakan dengan Deutre Melayu.
Nenek moyang gemar berlayar sehingga perjalanan menuju pulau Indonesia tidaklah sukar, mereka pun sudah pandai bercocok tanam dan memelihara ternak. Selain itu mereka sangat ahli dalam ilmu bintang yang bertalian dengan pelayaran dan musim. Kepercayaan mereka adalah menyembah roh-roh yang sudah meninggal dunia, dan yang paling dihormati adalah roh pembangun suku atau negeri. Roh-roh tersebut dapat memasuki tubuh atau jasad-jasad dukun dan guru-guru yang biasanya perempuan. Setelah membakar kemenyan mereka menari dengan diiringi oleh bunyi-bunyian. Hal ini masih terlihat pada suku-suku yang dipengaruhi oleh kebudayaan Hindia, Islam, dan Batak. Mereka memilih tempat tinggal di pinggir-pinggir sungai dan tanah subur di sekeliling/sekitar gunung berapi.
Keberadaan mereka di kepulauan Indonesia terpisah-pisah dan jarang berhubungan komunikasi satu dengan lainnya, lama-kelamaan terjadi perbedaan dalam adat-istiadat dan bahasa, namun tetap tampak persamaan-persamaan yang mendasar.
Karena terdesak oleh pendatang-pendatang dalam gelombang kedua (Deutre Melayu) yang lebih cerdas dan tinggi kebudayaannya, suku-suku yang tergolong Proto Melayu ini seperti orang Batak Karo, Gayo, Toba, Toraja, Dayak, dan lain-lain masuk ke pedalaman di sepanjang pinggir sungai-sungai.
Sebagai suku bangsa yang digolongkan kepada Proto Melayu, suku Gayo yang konon berasal dari India Belakang ini mula-mula mendiami pantai timur dan utara Aceh, di tempat Kerajaan Samudera Pasai dan Peurlak. Dalam usaha mencari tanah baru sebagai areal pertanian, sebagian pindah ke pedalaman sepanjang sungai Peusangan, Jambo Aer, Penarun, Simpang Kiri, Simpang Kanan terus ke daerah yang sekarang bernama Gayo Kalul dan Gayo Lues. Akibat dari terjadinya peperangan/serangan dari Kerajaan Sriwijaya dalam tahun 1271 atas Kerajaan Peurlak dan serangan Kerajaan Majapahit dalam tahun 1350 atas Kerajaan Samudera Pasai. Maka semakin bertambah banyaklah mereka yang mengungsi ke pedalaman, yang kelak tidak mau kembali lagi kendati musuh telah menyerah. Orang Gayo yang telah mendiami daerah pedalaman lalu membentuk Kerajaan Lingga (Linge).
Bila dilihat dari silsilah Kerajaan Linge, maka dapat dikemukakan
Raja Linge yang pertama adalah Tengku Kawe Tepat, yang mempunyai 4 (empat) orang anak :
1.      Anak pertama perempuan bernama Empu Beru yang tinggal sama ayahnya di Linge.
2.      Anak kedua laki-laki bernama Si Bayak Linge. Anak ini setelah dewasa bersama-sama rekannya berangkat ke daerah Karo dan bermukim dekat pegunungan Si Bayak.
3.      Anak yang ketiga laki-laki bernama Merah Johan, juga setelah dewasa berangkat ke daerah Aceh yang bermukim di Lamuri.
4.      Anak yang bungsu laki-laki bernama Merah Linge. Anak inilah yang menetap bersama ayahnya, serta sebagai pengganti ayahnya sebagai Raja Linge kedua.

Penduduk Linge lama kelamaan bertambah banyak, kemudian mereka berpindah-pindah mencari tempat pemukiman baru, sebagian mereka ada ke dataran tinggi Gayo, selanjutnya menjadi penduduk asli Gayo.
Kerajaan Lingga atau Linge (dalam bahasa gayo) di tanah Gayo, menurut M. Junus Djamil dalam bukunya "Gajah Putih" yang diterbitkan oleh Lembaga Kebudayaan Atjeh pada tahun 1959, Kutaraja, mengatakan bahwa sekitar pada abad ke-11 (Penahunan ini mungkin sangat relatif karena kerajaan Lamuri telah eksis sebelum abad ini, penahunan yang lebih tepat adalah antara abad ke 2-9 M), Kerajaan Lingga didirikan oleh orang-orang Gayo pada era pemerintahan Sultan Machudum Johan Berdaulat Mahmud Syah dari Kerajaan Perlak. Informasi ini diketahui dari keterangan Raja Uyem dan anaknya Raja Ranta yaitu Raja Cik Bebesan dan dari Zainuddin yaitu dari raja-raja Kejurun Bukit yang kedua-duanya pernah berkuasa sebagai raja di era kolonial Belanda. Raja Lingga I, disebutkan mempunyai 4 orang anak. Yang tertua seorang wanita bernama Empu Beru atau Datu Beru, yang lain Sebayak Lingga (Ali Syah), Meurah Johan (Djohan Syah) dan Meurah Lingga(Malamsyah). Sebayak Lingga kemudian merantau ke tanah Karo dan membuka negeri di sana dia dikenal dengan Raja Lingga Sibayak. Meurah Johan mengembara ke Aceh Besar dan mendirikan kerajaannya yang bernama Lamkrak atau Lam Oeii atau yang dikenal dengan Lamoeri dan Lamuri atau Kesultanan Lamuri atau Lambri. Ini berarti kesultanan Lamuri di atas didirikan oleh Meurah Johan sedangkan Meurah Lingga tinggal di Linge, Gayo, yang selanjutnya menjadi raja Linge turun termurun. Meurah Silu bermigrasi ke daerah Pasai dan menjadi pegawai Kesultanan Daya di Pasai. Kesultanan Daya merupakan kesultanan syiah yang dipimpin orang-orang Persia dan Arab. Meurah Mege sendiri dikuburkan di Wihni Rayang di Lereng Keramil Paluh di daerah Linge, Aceh Tengah. Sampai sekarang masih terpelihara dan dihormati oleh penduduk. Penyebab migrasi tidak diketahui. Akan tetapi menurut riwayat dikisahkan bahwa Raja Lingga lebih menyayangi bungsunya Meurah Mege. Sehingga membuat anak-anaknya yang lain lebih memilih untuk mengembara.
Dinasti Lingga
1. Adi Genali Raja Lingga I di Gayo
  • Raja Sebayak Lingga di Tanah Karo. Menjadi Raja Karo
  • Raja Meurah Johan (pendiri Kesultanan Lamuri)
  • Meurah Silu anak dari Meurah Sinabung (pendiri Kesultanan Samudera Pasai), dan
2. Raja Lingga II alias Marah Lingga di Gayo 3. Raja Lingga III-XII di Gayo 4. Raja Lingga XIII menjadi Amir al-Harb Kesultanan Aceh, pada tahun 1533 terbentuklah Kerajaan Johor baru di Malaysia yang dipimpin oleh Sultan Alauddin Mansyur Syah. Raja Lingga XIII diangkat menjadi kabinet di kerajaan baru tersebut. Keturunannya mendirikan Kesultanan Lingga di kepulauan Riau, pulau Lingga, yang kedaulatannya mencakup Riau (Indonesia), Temasek (Singapura) dan sedikit wilayah Malaysia.Raja-raja di Sebayak Lingga Karo tidak terdokumentasi. Pada era Belanda kembali diangkat raja-rajanya tapi hanya dua era yang pertama adalah Raja Sendi Sibayak Lingga. Dan yang kedua. Raja Kalilong Sibayak Lingga
Sumber :Hurgronje, C. Snouck.1996.Gayo Masyarakat dan Kebudayaannya awal abad ke-20.Jakarta:Balai Pustaka
              Hidayah,Zulyani.1996.Ensiklopedi Suku bangsa di Indonesia.Jakarta:LP3ES
http://kejaritakengon.blogspot.com
            http://www.depdagri.go.id
http://acehpedia.org/Suku_Gayo
http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Gayo

0 Responses