Suku
Gayo di Provinsi Aceh
A. Latar
belakang
Suku Gayo
merupakan suku yang berdiam di kabupaten Aceh Tengah. Suku Gayo terbagi menjadi
beberapa kelompok, yakni Gayo Lut, Gayo Deret, Gayo Lues, Gayo Belang, Gayo
Serbejadi, dan Gayo Kalul. Mulanya, suku ini dikenal dengan sebutan suku
perbukitan, karena letak geografis masyarakat penutur bahasa Gayo berada di
daerah dataran tinggi Aceh Tengah dan Blang Kejeren. Sebagian lainnya tinggal
di kabupaten Aceh Tenggara dan Aceh Timur, terutama di sekitar Danau Laut Tawar,
di antara pegunungan Bukit Barisan, serta di sekitar Hulu Sungai Peureulak dan
Jamboayee.
Peta Aceh Tengah |
Kabupaten Aceh Tengah memiliki luas 4.318,39 km2 dan jumlah
penduduknya mencapai 199.095 jiwa. Secara administratif kabupaten Aceh Tengah terdiri dari 14 kecamatan, 2 kelurahan dan 266
desa. Kabupaten ini terkenal dengan Danau Laut Tawar, sebagai salah satu tempat
wisata. Keadaan alam tanah Gayo memiliki karakteristik tersendiri, disana
terdapat padang rumput yang sangat luas sampai menutupi punggung-punggung
bukit. Padang rumput ini disebut belang yang ditumbuhi kerpe ni akang (rumput luas), jeh (ilalang), sange (rumput perdu ). Kabupaten Aceh Tengah merupakan daerah
pegunungan dengan kondisi tanah yang subur, dan iklim tropika basah. Secara
geografis, Kabupaten ini terletak pada posisi 4̊ 10̋ - 4̊ 58̋ LU dan 96̊ 22̋ BT dengan batas wilayah sebagai berikut :
1. Sebelah Utara dengan Kabupaten Bener Meriah
2. Sebelah Selatan dengan Kabupaten Gayo Lues
3. Sebelah Timur dengan Kabupaten Aceh Timur
4. Sebelah Barat dengan Kabupaten Nagan Raya dan Pidie
Pemberian nama suatu suku atau daerah biasanya
dikaitkan dengan peristiwa-peristiwa yang memiliki latar belakang sejarah. Namun
dengan adanya penghubungan peristiwa tersebut, menimbulkan beragam cerita dan
arti yang ada. Seperti halnya dengan suku Gayo. Pertama
kata “Gayo” dapat berarti kepiting dalam bahasa Batak Karo. Konon saat itu ada
rombongan pendatang suku Batak Karo yang melintasi desa Porang. Tidak jauh dari
desa tersebut dijumpai telaga yang dihuni seekor kepiting besar, seketika para
pendatang ini melihat binatang tersebut merekapun berteriak Gayo…Gayo... sejak
saat itulah daerah ini dinamai dengan Gayo. Kedua, kata “Gayo” berasal dari
bahasa sangsekerta yang artinya gunung. Tersirat makna dari suku Gayo yakni
suku yang tinggalnya di daerah pegunungan. Dan ketiga, Mulanya kata
“Gayo” diucapkan kayo, dalam
bahasa Aceh, ka artinya sudah dan yo artinya lari/takut. Bila digabungkan
menjadi sudah takut/berlari. Oleh karena konsonan [k] sering kali
menjadi konsonan [g] dalam bahasa Aceh, semisal “kuda” menjadi ‘guda’, sehingga
lambat laun kata kayo terbiasa menjadi
Gayo.
B.
Demografi
Masyarakat
Gayo Lut dan Gayo Deret berjumah sekitar 108.000 jiwa dan mereka berdiam
/menetap di Kabupaten Aceh Tengah. Gayo Lues (Gayo Belang) berjumlah sekitar
36.000 jiwa dan menetap di Kabupaten Aceh Tenggara. Gayo Serbejadi ( Gayo
Semamah) dan Gayo Kalul berjumlah sekitar 6.000 jiwa serta menetap di Kabupaten
Aceh Timur. Sehingga jumlah keseluruhan dari penduduk gayo adalah 120.000 jiwa
C.
Sejarah
Asal-usul
penduduk Gayo tidak terlepas kaitannya dengan kedatangan nenek moyang ke
kepulauan Indonesia, yang dimulai kurang lebih 2000 tahun sebelum masehi.
Sisa-sisa penduduk kepulauan Indonesia yang mula-mula sekali ialah orang Kubu
di Sumatera yang serupa dengan orang Semang di semenanjung Melayu, orang Wedda
di Sailan, Negrita di Fhilipina. Kulitnya hitam dan badannya kecil berambut
keriting.
Nenek moyang bangsa Indonesia datang ke-kepulauan ini secara bertahap dalam 2 (dua) gelombang besar dari India Belakang (Birma, Siam, dan Indo Cina). Mereka yang datang dalam gelombang pertama dinamakan denagn Proto Melayu, sedangkan gelombang kedua dinamakan dengan Deutre Melayu.
Nenek moyang bangsa Indonesia datang ke-kepulauan ini secara bertahap dalam 2 (dua) gelombang besar dari India Belakang (Birma, Siam, dan Indo Cina). Mereka yang datang dalam gelombang pertama dinamakan denagn Proto Melayu, sedangkan gelombang kedua dinamakan dengan Deutre Melayu.
Nenek moyang gemar berlayar sehingga
perjalanan menuju pulau Indonesia tidaklah sukar, mereka pun sudah pandai
bercocok tanam dan memelihara ternak. Selain itu mereka sangat ahli dalam ilmu
bintang yang bertalian dengan pelayaran dan musim. Kepercayaan mereka adalah
menyembah roh-roh yang sudah meninggal dunia, dan yang paling dihormati adalah
roh pembangun suku atau negeri. Roh-roh tersebut dapat memasuki tubuh atau
jasad-jasad dukun dan guru-guru yang biasanya perempuan. Setelah membakar
kemenyan mereka menari dengan diiringi oleh bunyi-bunyian. Hal ini masih
terlihat pada suku-suku yang dipengaruhi oleh kebudayaan Hindia, Islam, dan
Batak. Mereka memilih tempat tinggal di pinggir-pinggir sungai dan tanah subur
di sekeliling/sekitar gunung berapi.
Keberadaan mereka di kepulauan Indonesia
terpisah-pisah dan jarang berhubungan komunikasi satu dengan lainnya,
lama-kelamaan terjadi perbedaan dalam adat-istiadat dan bahasa, namun tetap
tampak persamaan-persamaan yang mendasar.
Karena terdesak oleh pendatang-pendatang dalam gelombang kedua (Deutre Melayu) yang lebih cerdas dan tinggi kebudayaannya, suku-suku yang tergolong Proto Melayu ini seperti orang Batak Karo, Gayo, Toba, Toraja, Dayak, dan lain-lain masuk ke pedalaman di sepanjang pinggir sungai-sungai.
Karena terdesak oleh pendatang-pendatang dalam gelombang kedua (Deutre Melayu) yang lebih cerdas dan tinggi kebudayaannya, suku-suku yang tergolong Proto Melayu ini seperti orang Batak Karo, Gayo, Toba, Toraja, Dayak, dan lain-lain masuk ke pedalaman di sepanjang pinggir sungai-sungai.
Sebagai suku bangsa yang digolongkan
kepada Proto Melayu, suku Gayo yang konon berasal dari India Belakang ini
mula-mula mendiami pantai timur dan utara Aceh, di tempat Kerajaan Samudera
Pasai dan Peurlak. Dalam usaha mencari tanah baru sebagai areal pertanian,
sebagian pindah ke pedalaman sepanjang sungai Peusangan, Jambo Aer, Penarun,
Simpang Kiri, Simpang Kanan terus ke daerah yang sekarang bernama Gayo Kalul
dan Gayo Lues. Akibat dari terjadinya peperangan/serangan dari Kerajaan
Sriwijaya dalam tahun 1271 atas Kerajaan Peurlak dan serangan Kerajaan
Majapahit dalam tahun 1350 atas Kerajaan Samudera Pasai. Maka semakin bertambah
banyaklah mereka yang mengungsi ke pedalaman, yang kelak tidak mau kembali lagi
kendati musuh telah menyerah. Orang Gayo yang telah mendiami daerah pedalaman
lalu membentuk Kerajaan Lingga (Linge).
Bila dilihat dari silsilah Kerajaan
Linge, maka dapat dikemukakan
Raja Linge yang pertama adalah Tengku Kawe Tepat, yang mempunyai 4 (empat) orang anak :
Raja Linge yang pertama adalah Tengku Kawe Tepat, yang mempunyai 4 (empat) orang anak :
1. Anak
pertama perempuan bernama Empu Beru yang tinggal sama ayahnya di Linge.
2. Anak
kedua laki-laki bernama Si Bayak Linge. Anak ini setelah dewasa bersama-sama
rekannya berangkat ke daerah Karo dan bermukim dekat pegunungan Si Bayak.
3. Anak
yang ketiga laki-laki bernama Merah Johan, juga setelah dewasa berangkat ke
daerah Aceh yang bermukim di Lamuri.
4. Anak
yang bungsu laki-laki bernama Merah Linge. Anak inilah yang menetap bersama
ayahnya, serta sebagai pengganti ayahnya sebagai Raja Linge kedua.
Penduduk Linge lama kelamaan bertambah banyak, kemudian mereka berpindah-pindah mencari tempat pemukiman baru, sebagian mereka ada ke dataran tinggi Gayo, selanjutnya menjadi penduduk asli Gayo.
Kerajaan
Lingga atau Linge (dalam bahasa gayo) di tanah Gayo, menurut M. Junus Djamil dalam
bukunya "Gajah Putih" yang diterbitkan oleh Lembaga Kebudayaan Atjeh
pada tahun 1959, Kutaraja, mengatakan bahwa sekitar pada abad ke-11 (Penahunan
ini mungkin sangat relatif karena kerajaan Lamuri telah eksis sebelum abad ini,
penahunan yang lebih tepat adalah antara abad ke 2-9 M), Kerajaan Lingga
didirikan oleh orang-orang Gayo pada era pemerintahan Sultan Machudum Johan
Berdaulat Mahmud Syah dari Kerajaan Perlak. Informasi ini diketahui dari
keterangan Raja Uyem dan anaknya Raja Ranta yaitu Raja Cik Bebesan dan dari
Zainuddin yaitu dari raja-raja Kejurun Bukit yang kedua-duanya pernah berkuasa
sebagai raja di era kolonial Belanda. Raja Lingga I, disebutkan mempunyai 4
orang anak. Yang tertua seorang wanita bernama Empu Beru atau Datu Beru, yang
lain Sebayak Lingga (Ali Syah), Meurah Johan (Djohan Syah) dan Meurah
Lingga(Malamsyah). Sebayak Lingga kemudian merantau ke tanah Karo dan membuka negeri di
sana dia dikenal dengan Raja Lingga Sibayak. Meurah Johan mengembara ke Aceh
Besar dan mendirikan kerajaannya yang bernama Lamkrak atau Lam Oeii atau yang
dikenal dengan Lamoeri dan Lamuri atau Kesultanan Lamuri atau Lambri. Ini berarti
kesultanan Lamuri di atas didirikan oleh Meurah Johan sedangkan Meurah Lingga tinggal di Linge, Gayo, yang selanjutnya
menjadi raja Linge turun termurun. Meurah Silu bermigrasi ke daerah Pasai dan
menjadi pegawai Kesultanan Daya di Pasai. Kesultanan Daya merupakan kesultanan
syiah yang dipimpin orang-orang Persia dan Arab. Meurah Mege sendiri dikuburkan
di Wihni Rayang di Lereng Keramil Paluh di daerah Linge, Aceh Tengah.
Sampai sekarang masih terpelihara dan dihormati oleh penduduk. Penyebab migrasi
tidak diketahui. Akan tetapi menurut riwayat dikisahkan bahwa Raja Lingga lebih
menyayangi bungsunya Meurah Mege. Sehingga membuat anak-anaknya yang lain lebih
memilih untuk mengembara.
Dinasti
Lingga
1. Adi Genali Raja Lingga I
di Gayo
- Raja Sebayak Lingga di Tanah Karo. Menjadi Raja Karo
- Raja Meurah Johan (pendiri Kesultanan Lamuri)
- Meurah Silu anak dari Meurah Sinabung (pendiri Kesultanan Samudera Pasai), dan
2. Raja Lingga II alias Marah Lingga di Gayo 3.
Raja Lingga III-XII di Gayo 4. Raja Lingga XIII menjadi Amir al-Harb Kesultanan
Aceh, pada tahun 1533 terbentuklah Kerajaan Johor baru di Malaysia yang
dipimpin oleh Sultan Alauddin Mansyur Syah. Raja Lingga XIII diangkat menjadi
kabinet di kerajaan baru tersebut. Keturunannya mendirikan Kesultanan Lingga di
kepulauan Riau, pulau Lingga, yang kedaulatannya mencakup Riau (Indonesia),
Temasek (Singapura) dan sedikit wilayah Malaysia.Raja-raja di Sebayak Lingga
Karo tidak terdokumentasi. Pada era Belanda kembali diangkat raja-rajanya tapi
hanya dua era yang pertama adalah Raja Sendi Sibayak Lingga. Dan
yang kedua. Raja Kalilong
Sibayak Lingga
Sumber :Hurgronje,
C. Snouck.1996.Gayo Masyarakat dan Kebudayaannya awal abad ke-20.Jakarta:Balai
Pustaka
Hidayah,Zulyani.1996.Ensiklopedi
Suku bangsa di Indonesia.Jakarta:LP3ES
http://kejaritakengon.blogspot.com
http://www.depdagri.go.id
http://acehpedia.org/Suku_Gayo
http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Gayo