kearifan suku sunda
EKSISTENSI peradaban sebuah bangsa, tentunya tidak terlepas dari
masa lalu. Sebab masa kini terbentuk karena peradaban masa lalu yang sudah
menjadi milik sejarah. Masa sekarangpun akan membentuk peradaban masa
datang. Artinya masa lalu merupkan sebuah pelajaran yang harus
dipelajari, masa sekarang harus kita jalani sebaik mungkin, dan masa
depan merupakan penerapan hasil pembelajaran dari masa lalu dan masa sekarang.
Tentunya masa lalu itu meninggalkan banyak kearifan lokal (local
genius). Salah satunya kearifan lokal yang
dimiliki suku Sunda. Kearifan lokal tersebut tersebar dalam adat istiadat,
tradisi lisan, seni tradisi, naskah-naskah tua, dan bentuk-bentuk kebudayaan
lain yang mencerminkan peradaban masa lalu. Karena suku Sunda terbentuk
bukan dalam waktu sebentar, tetapi terbentuk beratur-ratus tahun, sejak jaman
prasejarah hingga menjadi bagian masyarakat modern. Tentunya dari perjalanan
peradaban suku Sunda tersebut akan meninggalkan jejak yang berharga berupa
ayat-ayat kearifan budaya untuk dipelajari, untuk ditafsir ulang nilai-nilainya.
Nilai-nilai kearifan lokal kiranya dapat dimanfaatkan sebagai
sumbang nilai terhadap kehidupan masa sekarang dan masa yang akan datang.
Ayat-ayat kearifan hidup menjadi nilai untuk direvitalisasi. Sebab menurut
pendapat Ayatrohaendi (1986: 40) bahwa kearifan lokal (local genius)
atau wujud cerlang budaya mampu bertahan, mampu menghalau budaya luar,
memiliki kemampuan mengakomodasi budaya-budaya baru yang menyerbu, mampu
berintegrasi dengan kebudayaan baru atau budaya luar, mampu mengendalikan
budaya yang ada, serta menyumbangkan nilai untuk arah kebudayaan yang akan
datang.
Kearifan lokal yang terdapat dalam peninggalan peradaban masa lalu
seharusnya menjadi nilai revitalisasi untuk pembentukan karakter generasi
berikutnya. Sebab menurut pendapat Alwasilah (2006: 18), revitalisasi dari
sebuah kebudayaan dapat didefinisikan sebagai upaya yang terencana,
sinambung, dan diniati agar nilai-nilai budaya itu bukan hanya dipahami oleh
pemiliknya, melainkan juga membangkitikan segala wujud kreativitas dalam
kehidupan seharii-hari dan dalam menghadapi berbagai tantangan. Demi
revitalisasi, maka ayat-ayat kebudayaan tersebut harus dikaji ulang atau
ditafsir baru.
Revitalisasi memang perlu dilaksanakan.Transfer nilai harus
dilakukan, agar ada benang merah yang tetap terjalin antara masa lalu dan masa
sekarang. Terkait hal itu, saat ini pemerintah sedang merencanakan mata ajar
pendidikan karakter untuk di tingkat pendidikan dasar (PAUD, TK, dan SD),
pendidikan menengah (SMP dan SMA), serta pada tingkat perguruan tinggi.
Alangkah baiknya kegiatan mentransfer ulang nilai dari masa lalu ke masa
sekarang itu menggunakan pembelajaran pendidikan karakter. Pemerintah melalui Kementerian
Pendidikan Nasional sudah merencanakan bahwa tahun mendatang harus hadir mata
ajar pendidikan karekter di tengah-tengah kelas, dan bukan saja implisit,
tetapi harus eksplisit dengan melibatkan pusat kurikulum. Pusat kurikulum harus
mempersiapkan rambu-rambu pembelajaran pendidikan karakter di tingkat dasar dan
menengah, sebagaimana layaknya mata pelajaran lain. Padahal menurut
pendapat Khan (2010: 120-121) pendidikan karakter bisa dipadukan ke dalam mata
pelajaran; pendidikan agama, pendidikan moral pancasila, pendidikan
kewarganegaraan, pendidikan sejarah bangsa, pendidikan kesusastraan, pendidikan
budi pekerti, dan kepada pendidikan filsafat ilmu (bagi mahasiswa). Tetapi
pemerintah ingin jelas output, ingin melihat hasilnya dalam bentuk
evaluasi diri, sehingga pendidikan karakter harus menjadi mata pelajaran
tersediri dalam kurikulum.
Pendidikan Karakter Orang Sunda
Jauh sebelum pendidikan karakter menjadi wacana akan dimasukan ke
dalam kelas, menjadi pembelajaran kurikuler di sekolah dan di kampus, orang
Sunda sudah memiliki landasan hidup yang berorientasi kepada pembentukan
karakter. Orang Sunda memiliki filosofi hidup silih asah, silih asih, silih asuh.
filosofi ini, kalau ditafsirkan kepada teori Benjamin S. Bloom dalam bukunyaTaxonomy of
Education of Objectives, Cognitive Domain (1959), dapat
disejajarkan dengan ranah kognitif, afektif, dan psikomotor. Sebab silih asah
itu orientasi nilainya kepada peningkatan kualitas berpikir, mengasah kemampuan
untuk mempertajam pikiran dengan tempaan ilmu dan pengalaman. Seperti tercermin
dalam ungkapan “peso mintul
mun terus diasah tangtu bakal seukeut” artinya pisau tumpul kalau
terus diasah akan tajam juga; atau “cikarakac ninggang batu laun-laun jadi legok”
artinya air tempias menimpa batu lama-lama batunya akan berlubang. Dengan kata
lain, sebodoh-bodohnya orang kalau terus ditempa, suatu saat akan ada bekasnya
dari hasil pembelajaran itu.
Makna silih asih, orientasi nilainya kepada makna tingkah laku atau
sikap individu yang memiliki empati, rasa belas kasihan, tenggang rasa, simpati
terhadap kehidupan sekelilingnya atau memiliki rasa sosial yang tinggi.
Tercermin dalam ungkapan “ka cai kudu saleuwi ka darat kudu selebak” arti
utamanya adalah kebersamaan. “Ulah pagiri-giri calik, ulah pagirang-girang tampian”
artinya jangan ada permusuhan di antara manusia. Sebab manusia itu harus
“sareundeuk saigel, sabobot sapihanean, sabata sarimbagan artinya harus
memiliki jiwa kebersamaan, gotong royong atau saling menolong.
Makna silih asuh, orientasi nilainya adalah kasih sayang dalam
tindakan yang nyata, sikap pragmatik seseorang di masyarakat, eksistensi diri,
menerapkan potensi diri di masyarakat. Kepada yang lebih tua harus lebih
hormat, kepada sesama harus saling menjaga, kepada yang lebih muda harus mampu
mengayomi dan memberi contoh yang baik. Seperti tercermin dalam ungkapan “kudu
landung kandungan kedah laer aisan” artinya hidup harus mengayomi orang lain
selain mengoyomi diri sendiri. “Hirup ulah manggih tungtung, paeh ulah manggih beja”
artinya selamanya dikenang dalam kebaikan dan kalau meninggal tidak
meninggalkan sifat buruk.
Dalam pendidikan karakter menurut pendapat Khan (2010: 14) bahwa
pendidikan karakter merupakan pendidikan yang tidak saja membimbing, dan
membina setiap anak didik untuk memiliki kompetensi intelektual, kompetensi
keterampilan mekanik, tetapi juga harus terfokus kepada pencapaian pembangunan
dan perkembangan karakter. Jadi, manusia terdidik harus memiliki kompetensi
intelektual atau silih asah, harus memiliki kompetensi keterampilan mekanik
atau silih asuh, dan mampu mencapai pembangunan dan perkembangan karakter atau
silih asih.
Karakter Pragmatis Orang Sunda
Kalau saja nilai-nilai lama direvitalisasi ke dalam kehidupan orang
Sunda, tentunya wujud cemerlang kehidupan orang Sunda tidak perlu diragukan
lagi. Tapi menurut Alwasilah (2006: 18) ayat-ayat kebudayaan lama yang
tercermin dari kehidupan masa lalu sering dihujat sebagai pelestari feodalisme
dan kemunafikan, dan inilah yang menghambat kompetisi global yang meniscayakan
demokrasi dan transparansi. Mestinya lanjut Alwasilah (2006: 19) terbentuk
dalam diri orang Sunda tentang perspektif budaya, yakni sudut pandang terhadap
budayanya sendiri. Inilah revitalisasi kultur dalam tataran kognitif dan
afektif sebagai pencerahan hidup.
Kesadaran akan nilai-nilai lama untuk menjadi pegangan hidup yang
akan datang sebenarnya bagian dari pembentukan karakter manusia. Sebab menurut
pendapat Aziz (2011: 128) yang membentuk manusia menjadi paripurna atauinsan kamil adalah agama dan lingkungan hidup yang
mempengaruhi hidupnya. Agama tentunya hubungan manusia dengan penciptanya
atau hubungan vertikal. Lingkungan adalah hubungan horizontal, hubungan manusia
dengan manusia atau ada interaksi sosial. Manusia Sunda tentu saja mengenal hal
itu, dalam satu sisi harus memiliki keterikatan kepada Yang Di Atas, dan satu
sisi harus menjadi pelaku di buana panca tengah (dunia) untuk mengemban
azas tri tangtu di
buana (resi, rama, dan ratu), dan hubungannya harus
harmonis. Kehamonisan tersebut tercermin dari pragmatisme hidup orang Sunda,
yaitu karakter religius, karakter personal, etos kerja, ketertiban hukum,
kepemimpinan, dan bidang pendidikan atau pengasuhan.
a. Sistem Religi
Manusia Sunda tercipta dari budaya ladang atau masyarakat huma
dengan sistem religi bermula dari tidak mengenal Tuhan, berlanjut mengenal
Tuhan dengan ditandai masuknya Hindu-Budha, dan terakhir datangnya agama Islam.
Tetapi jauh sebelum Islam masuk, pada saat Sunda ada dalam dinasti Pajajaran,
orang Sunda sudah memiliki agama Sunda Wiwitan, sebuah agama hasil akulturasi
dari nilai-nilai masa lalu dengan agama Hindu-Budha sebagai agama baru. Orang Sunda
sangat percaya akan adanya Sanghyang Taya (Tuhan yang tidak terlihat)
atau disebut juga Sanghyang Tunggal (Tuhan Maha Esa).
Munculnya analogi bahwa Tuhan itu tidak terlihat, tidak ada dalam wujud
kehidupan tetapi ada di atas sana dan hanya satu atau esa, mungkin pengaruh
dari kepercayaan orang tua dahulu terhadap dunia kahiangan (kayangan)
yang gaib. Sistem religius tersebut tercermin dari dua pantun Sunda yang
fenomenal, yaitu pantun Mundinglaya Dikusumah dengan Lutung
Kasarung. Kedua pantun tersebut isinya bercerita tentang dunia atas
yang gaib, dunia atas sebagai penolong, dunia atas sebagai tempatnya roh-roh
suci. Tapi dunia atas dalam pantun ini tidak digambarkan berupa nama-nama dewa
seperti halnya dalam kepercayaan Hindu-Budha, dunia atas dalam kepercayaan
Sunda sudah beradaptasi dengan kepercayaan orang Sunda terdahulu. Dunia atas
dalam versi pantun ini adalah berisi tokoh gaib versi kepercayaan orang Sunda,
serpetiSunan Ambu,
Sanghyang Tunggal, atau Sanghyang Taya.
Cerita Mundinglaya Dikusumah menceritakan seorang tokoh Mundinglaya
Dikusumah yang meminta pertolongan pada penghuni dunia atas. Mundinglaya sosok
teraniaya yang mendapat hukuman dari Raja Pajajaran yang sebenarnya ayahnya
sendiri. Mundinglaya dihukum karena difitnah telah berlaku tercela, yaitu
dituduh menggoda istri orang. Mundinglaya Dikusumah dihukum, salah satu syarat
menebus hukuman tersebut Mundinglaya Dikusumah harus mengambil pusaka Lalayang
Salaka Domas di jabaninglangit atau buana nyuncung.
Lalayang Salaka Domas tersebut dibutuhkan untuk menyembuhkan rakyat dan Negara
Pajajaran yang terkena musibah. Artinya Mundinglaya harus terbang ke jabaninglangit (dunia
atas) untuk mengambil pusaka, dan harus mengalahkan Jongrang Kalapetong dan
Guriang Tujuh sebagai faktor penghalang. Tafsir ayat kearifan pantun ini,
manusia buana panca
tengah(bumi) memerlukan buana nyungcung (dunia atas) sebagai
sarana tempat meminta, mengadu, atau berharap, sebab di sajabaninglangit itulah
Sanghyang Tunggal berada.
Cerita Lutung Kasarung terbalik dengan cerita Mundinglaya Dikusumah.
Dalam cerita Lutung Kasarung dunia atas memberi pertolongan ke dunia bawah.
Dunia atas menjalankan tugas dan fungsinya untuk memberi pertolongan pada dunia
bawah. Tokoh Guru Minda diutus ke bumi untuk memberi pertolongan terhadap Purba
Sari yang dianiaya oleh kakaknya bernama Purba Larang. Guru Minda menjelma
menjadi lutung harus memenangkan kebaikan dan mengalahkan kejahatan yang
dilakukan oleh Purba Larang dan Indra Jaya kekasihnya. Purba Larang dan Indra
Jaya menganiaya Purba Sari karena menyingkirkan Purba Sari agar tidak naik
tahta jadi ratu di kerajaan Pasir Batang Anu Girang. Dalam cerita ini
Guru Minda sebagai simbol dunia atas harus mampu membuktikan bahwa kejahatan
bisa kalah oleh kebaikan, dan kemenangan itu atas perbuatan baik. Artinya dunia
atas itu penolong kepada orang yang berusaha di jalan kebaikan, dan akan selalu
berpihak kepada hal-hal yang dilakukan orang dalam kebaikan.
b. Karakter Personal
Karakter manusia Sunda yang diharapkan sebagai manusia yang memiliki
kepribadian, memiliki sikap, memiliki karisma, dan memiliki jiwa kepedulian
sosial, yaitu (1) kudu hade gogog hade tagog, yaitu memiliki
penampilan yang meyakinkan, optimistik, dan karismatik; (2) nyaur kudu
diukur, nyabda kudu diungang, yaitu harus menjaga ucapan, tindakan
atau perbuatan agar tidak menyakiti orang; (3) batok bulu eusi madu, yaitu harus
memiliki otak atau kecerdasan yang baik; (4) ulah bengkung bekas nyalahan, yaitu
jangan salah berbuat karena hasilnya akan sia-sia atau hasilnya tidak akan
baik; (5) ulah elmu
ajug, yaitu jangan menasehati orang tetapi diri sendirinya
butuh nasihat orang lain atau jangan mengajak orang lain berbuat baik
sendirinya saja tidak baik; (6)sacangreud pageuh sagolek pangkek, yaitu hidup harus memiliki prinsip; (7)ulah gindi
pikir belang bayah, yaitu jangan berbuat jahat, memiliki pikiran
jelek pada orang, atau dengki kepada orang; (8) kudu leuleus
jeujeur liat tali, yaitu hidup itu
harus kuat, menanggung beban sebarat apapun jangan menyerah.
c. Etos Kerja
Manusia Sunda pun dituntut memiliki katakter menjadi manusia
pekerja, manusia mandiri, manusia yang memiliki etos kerja. Filosofis manusia
Sunda sebagai manusia pekerja di antaranya: (1) mun teu
ngoprek moal nyapek, mun teu ngakal moal ngakeul, mun teu ngarah moal ngarih,
yaitu kalau mau makan atau mau mempertahankan hidup maka bekerjalah; (2) tungkul ka
jukut tanggah ka sadapan, yaitu kerjakan apa yang mesti dikerjakan,
jangan terganggu oleh hal-hal lain yang mengganggu perkerjaan utama dan harus
rendah hati jika telah mendapatkan kesuksesan; (3) ulah kumeok
memeh dipacok, yaitu jangan pernah menyerah sebelum melakukan
pekerjaan, harus tetap optimis; (4) ulah kurung batokkeun, yaitu manusia harus
banyak bergaul agar banyak teman dan menambah pengalaman; (5) kudu bisa ka
bala ka bale, yaitu manusia itu harus berusaha untuk memiliki
banyak pengetahuan dan keterampilan, mau bekerja apa saja asal halal, jangan
memilih-milih pekerjaan yang akhirnya malah menganggur; (6) ulah
muragkeun duwegan ti luhur, yaitu jangan mengerjakan sesuatu yang
hasilnya malah gagal atau sia-sia; (7) ulah cacag nangkaeun, yaitu jangan mengerjakan
sesuatu setangah-setengah sebab hasilnya tidak akan memuaskan, malah menjadi
berantakan; (8) ulah puraga tanpa kateda, yaitu jangan
mengerjakan sesuatu asal jadi saja, pada akhirnya bos atau orang yang
mengerjakan kitu merasa kecewa akan hasil kerja kita; (9) ulah ngarawu
ku siku, jangan menerima pekerjaan jangan serakah, semua tawaran
diambil, sebab pada akhirnya akan sia-sia bahkan tidak akan berbuah; (10) hejo tihang,
yaitu jangan pindah-pindah tempat kerja; (11) muru julang ngaleupaskeun peusing,
jangan tergiur dengan iming-iming yang belum tentu menghasilkan, lebih baik
tekuni yang sedang digarap tetapi hasilnya sudah menjanjikan.
d. Ketertiban
dalam Hukum dan Keadilan
Masalah keadilan harus tertanam juga dalam manusia Sunda. Leluhur
Sunda sudah memberikan filosofis tentang keadilan, tujuannya agar manusia Sunda
memiliki jiwa adil dan beradab, seperti yang tercermin dalam: (1) ulah cueut ka
nu hideung ulah ponteng koneng, yaitu katakan salah bila salah,
katakan benar kalau memang benar, jangan berpihak kepada yang salah; (2) kudu
nyanghulu ka hukum, nunjang ka nagara, mupakat ka balarea, yaitu
aturan harus bersumber kepada hukum, harus berbakti benar ke Negara, dan
kebenaran itu harus menurut orang banyak (rakyat); (3) kudu puguh
bule hideungna, yaitu perkara itu harus jelas aturannya bila ingin
mengambil tindakan; (4) bobot pangayon timbang taraju, yaitu menimbang
kesalah harus dengan aturan yang jelas seusuai dengan kesalahan yang
diperbuatnya; (5) nu lain kudu dilainkeun,nu enya kudu dienyakeun, nu ulah
kudu diulahkeun; yaitu harus berkata jujur jangan
melarang-larang sesuatu yang tidak sesuai dengan kebenaran.
e. Kepemimpinan
Karakter pemimpin yang diinginkan oleh leluhur Sunda adalah jujur,
adil dan menjadi pengayom yang dipimpinnya. Pempinan pada masyarakat Sunda
yaitu dimulai dari RT, RW, kokolot, lebe, kuwu, camat, wadana, bupati, dan
seterusnya. Mereka itu dalam kepemimpinannya sudah dibekali filosofis sebagai
pembentukan karakter. Konsep kepempinan menurut ayat kearifan Sunda; (1) lain palid ku
cikiih, lain datang ku cileuncang, yaitu bahwa pemimpin itu tidak
sekonyong-konyong ada di tengah masyarakat, tetapi keberadaanya itu melalui
proses dan atas kepercayaan rakyat; (2) landung kandungan laer aisan, yaitu pemimpin
harus memiliki jiwa kasih sayang, sebab pemimpin itu harus jadi ibu sekaligus
bapak bagi rakyatnya; (3) kudu handap asor; yaitu pemimpin jangan sombong,
jangan semena-mena; (4) bentik curuk balas nunjuk capetang balas miwarang,
yaitu jadi pemimpin jangan otoriter, jangan main perintah, sebaiknya sama-sama
bekerja dengan bawahan; (5) ulah getas harupateun, yaitu jangan emosional
jangan cepat mengambil tindakan; (6) kudu dibeuweung diutahkeun, yaitu sebagai
pemimpin harus mempertimbangkan masalah atau “kudu asak-asak ngejo bisi tutung
tambagana, kudu asak-asak nempo bisi kaduhung jagana” (harus penuh pertimbangan
dalam memutuskan perkara atau mengambil keputusan); (7) ngeuyeuk
dayeuh ngolah nagara, yaitu pemimpin harus mampu mengelola
daerahnya dengan mempotensikan rakyat, dan mampu menjadi abdi Negara yang baik;
(8) ulah lali
ka purwadaksi, yaitu jadi pemimpin jangan lupa kepada asal-usul,
jangan (9) unggah
pileumpangan, yaitu berubah sikap jadi sombong setelah jadi priayi.
f. Arah Pendidikan Manusia
Sunda
Manusia Sunda dibesarkan hidupnya di alam pegunungan, sebab nenek
moyangnya adalah manusia ladang. Berbeda dengan manusia Jawa, mereka dibesarkan
di lahan pesawahan. Ciri manusia ladang mengandalkan pepohonan yang hidup di
ladang sebagai alat untuk bertahan hidupnya. Tidaklah heran manusia Sunda
memanfaatkan pepohonan sebagai makanannya, maka pendidikan pun mengarah kepada
bagaimana memanfaatkan potensi yang ada di pegunungan. Tercermin dari pembuatan
rumah, alat rumah tangga, bahkan alat berburu pun menggunakan potensi yang ada
di ladang.
Karakteristik orang Sunda ibarat “ayam”, karena ayam merupakan
simbol hewan manusia ladang. Berbeda dengan manusia Jawa, bebek sebagai simbol
hewan peliharaannya karena orang Jawa adalah manusia sawah. Tercermin dari
ungkapannya; (1) ulah ngepek jawer, maksudnya jangan menjadi
manusia penakut; (2) ulah ipis burih, sama artinya yaitu jangan
menjadi manusia penakut dann peragu; (3) bengkung ngariung bongkok ngaronyok,
maksudnya selalu berkumpul ibarat untuk menjalin kebersamaan. Dari
ungkapan babasan danparibasa di
atas terdapat istilah jawer, burih, dan ngaronyok, itu adalah simbol ayam.
Dalam mendidik anak untuk tidak menjadi sombong, manusia Sunda
menggunakan simbol alam sebagai perumpamaanya; (1) alak-alak
cunampaka; (2) piit ngeundeuk-ngeundeuk pasir; (3) pacikrak
ngawan merak; (4) cecendet mande kiara; (5) jogjog
neureuy buah loa; maksud dari ungkapan di atas artinya sama,
manusia jangan sombong, jangan menyepelekan hidup.
Adapun ungkapan yang menyuruh manusia Sunda untuk belajar; (1) elmu tungtut
dunya siar, maksudnya tuntutlah ilmu sambil mencari
penghidupan; (2)ngundeur
luang mah ka daluang jeung papada urang, artinya mencari ilmu itu
dari buku (daluang) dan dari sesama manusia (guru, orang tua, atau masyarakat);
(3) manuk hiber
ku jangjangna jalma hirup ku akalna, pergunakan akal sebagai alat
kehidupan; (4) mending bodo alewoh, artinya lebih baik bodoh
tetapi mau bertanya dari pada pintar tapi tidak mau bertanya kepada orang;
(5) mending waleh
manan leweh, lebih baik bertanya pada orang dari pada tidak bisa
apa-apa; (6) nete taraje nincak hambalan, belajar itu
sebuah proses alami; (7) moal nukang ka burang, moal nonggong ka rombongan,
nyanghareup mah ka kolot ka lalakon, artinya segala sesuatu
segala sesuatu belajar dulu dari pengalaman. ***
Daftar Pustaka
Alwasilah, A. C. 2006. Pokoknya Sunda, Interpretasi untuk Aksi.
Bandung: Kiblat.
Azis, H.A. 2011. Pendidikan Karakter Berpusat Pada Hati, Akhlak Mulia Pondasi
Membangun Karakter Bangsa. Jakarta: Al-Mawardi.
Danandjaja, J. 1998. Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng, dan lain-lain.
Jakarta:Grafiti.
Dienaputra, R. D. 2006. Sejarah Lisan: Konsep dan Metode. Bandung:
Balatin Pratama.
Ekadjati, E. S. 1988. Naskah Sunda. Bandung: Universitas Padjadjaran.
Endraswara, Suwardi. 2006. Metode, Teori, Teknik Penelirian Kebudayaan: Ideologi,
Epistemologi, dan Aplikasi. Yogyakarta: Pustaka Widyatama.
Hidayat, R. T, dkk. 2005. Peperenian Urang Sunda. Bandung: Kiblat.
Khan, D. Y. 2010. Pendidikan Karakter Berbasis Potensi Diri: Mendongkrak
Kualitas Pendidikan. Semarang: Pelangi Publishing.
LBSS. 1995. Kamus Umum Basa Sunda. Bandung: Tarate.
Rohaedi, A. 1986. Kepribadian Budaya Bangsa: Local Genius.
Jakarta: Pustaka Jaya.
Rosidi, A. 2004. Sastera dan Kebudayaan: Kedaerahan dalam Keindonesiaan.
Jakarta: Pustaka Jaya.
Sumardjo, J. 2003. Simbol-simbol Artefak Budaya Sunda: Tafsir-tafsir Pantun
Sunda. Bandung: Kelir.
Sumardjo, J. 2004. Hermeneutika Sunda. Bandung: Kelir.
Warnaen, S., dkk. 1987. Pandangan Hidup Orang Sunda, Seperti Tercermin dalam Tradisi
Lisan dan Sastra Sunda. Bandung: Sundanologi.