uas


Kearifan local masyarakat  pakpak di Sumatera.
Beberapa arti dari kearifan lokal
Kearifan atau kebijaksanaan adalah sesuatu yang didambakan umat manusia di dunia ini. Kearifan dimulai dari gagasan-gagasan dari individu yang kemudian bertemu dengan gagasan individu lainnya, seterusnya berupa gagasan kolektif. Kearifan lokal ini biasanya dicipta dan dipraktikkan untuk kebaikan komunitas yang menggunakannya. Ada kalanya kearifan lokal itu hanya diketahui dan diamalkan oleh beberapa orang dalam jumlah yang kecil, misalnya desa. Namun ada pula kearifan lokal yang digunakan oleh sekelompok besar masyarakat, misalnya kearifan lokal etnik. 

Kearifan lokal ini juga tidak dapat dilepaskan dari kebudayaan masyarakat yang mendukungnya. Kearifan lokal, biasanya mencakup semua unsur kebudayaan manusia, yang mencakup: sistem religi, bahasa, ekonomi, teknologi, pendidikan, organisasi sosial, dan kesenian. Kearifan lokal bermula dari ide atau gagasan, yang kemudian diaplikasikan dalam tahapan praktik, dan penciptaan material kebudayaan.  Ia akan terus berkembang sesuai dengan perkembangan zaman, intensitas pergaulan sosial, dan enkulturasi sosiobudaya.  Apalagi dalam dunia yang tidak mengenal batas seperti sekarang ini, kearifan lokal sangat diwarnai oleh wawasan manusia yang memikirkan dan menggunakannya.

Kearifan lokal di peringkat etnik juga bisa bermacam-macam bidang. Misalnya untuk merespons alam sekitar manusia membuat rumah sekalian dengan aspek-aspek spiritual untuk menjaganya. Begitu juga dengan sistem perkawinan, ada yang mendasarkan kepada perkawinan di luar klen (eksogamus), perkawinan untuk kepentingan politik kekuasaan, perkawinan perempuan melamar lelaki atau sebaliknya. Selain itu, kearifan lokal juga tercermina dalam filsafat atau pandangan hidup manusia yang memikirkan dan menggunakannya. Sebagai contoh dalam masyarakat Batak Toba dikenal dengan filsafat dalihan na tolu (DNT), dalam masyarakat Aceh dikenal adat bak petumeuruhom hukom bak syaiah kuala, dalam kebudayaan Minangkabau ada filsafat alam nan takambang menjadi guru, dalam kebudayaan Jawa terdapat filsafat alon-alon waton kelakon dan sederek, dalam masyarakat Sulawesi ada filsafat persaudaraan universal pelagandong, dan lain-lainnya.

Kearifan lokal juga dapat mendukung kepada keberadaan negara bangsa (nation state) tertentu. Bahkan dalam merumuskan sebuah negara bangsa, selalunya diwarnai oleh kearifan-kearifan lokal yang tumbuh dalam masyarakat yang membentuk dan mencita-citakan negara bangsa tersebut. Misalnya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang mempunyai dasar negara Pancasila, sebenarnya adalah proses pemikiran para pendiri bangsa ini untuk membuat dasar negara yang diambil dan digali dari nilai-nilai kearifan lokal Nusantara. Kearifan-kearifan lokal ini kemudian dirumuskan menjadi lima sila yang berdasar kepada bentuk “ikatan sosial budaya” biar berbeda-beda tetapi tetap satu (bhinneka tunggal ika).
kearifan lokal merupakan gagasan-gagasan atau nilai-nilai, pandangan-padangan setempat atau (lokal) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya.
Penguatan kearifan lokal dalam mengatasi pergeseran nilai-nilai budaya dan agama, bukanlah sesuatu hal yang baru dalam mengatasi problematika keseharian masyarakat. Indonesia sebagai salah satu negara terbesar yang memiliki warisan kebudayaan memiliki peran yang cukup penting dalam memindahkan unsur-unsur kebudayaan dari generasi ke generasi guna memelihara identitas dan melawan pengaruh westernisasi yang kian gencar menyelimuti segala aspek kehidupan masyarakat Indonesia.
Merujuk kembali pada periode awal abad ke-19, salah satu gejala intelektual yang paling menarik ialah besarnya minat untuk mempelajari agama, dan pada suatu ketika terdapat kesesuaian pendapat secara luas bahwa kepercayaan agama sebagaimana dipahami secara tradisional, secara mencolok merosot makna intrinsiknya bagi sebagian besar masyarakat modern. Hal ini dikarenakan semakin besarnya minat masyarakat mempelajari agama sejalan dengan usaha para penganut agama memodifikasi dan menyesuaikan kepercayaan dan pranata keagamaan dalam pancaran perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat modern.
Di dalam mengkaji dan menganalisa sebuah aliran, paham, dan kepercayaan, salah satu ilmu yang mampu untuk memasukinya lebih mendalam dan lebih spesifik yakni Antropologi, sebagai sebuah ilmu yang mempelajari manusia, menjadi sangat penting untuk memahami agama. Antropologi mempelajari tentang manusia dan segala perilaku mereka untuk dapat memahami perbedaan kebudayaan manusia. Dibekali dengan pendekatan yang holistik dan komitmen antropologi akan pemahaman tentang manusia, maka sesungguhnya antropologi merupakan ilmu yang penting untuk mempelajari agama dan interaksi sosialnya dengan berbagai budaya.
Agama dan kepercayaan merupakan dua hal yang melekat erat dalam diri manusia. Sifatnya sangat pribadi, terselubung dan kadang-kadang diliputi oleh hal-hal yang bernuansa mitologis. Kualitas etos seseorang amat ditentukan oleh nilai-nilai kepercayaan yang melekat pada dirinya, yang dalam bahasa agama, hal ini disebut sebagai aqidah. Orang bahkan rela mempertaruhkan hidupnya demi kepercayaan yang mereka yakini sebagai kebenaran.
Dalam kaitannya dengan kepercayaan, manusia tidak dapat hidup tanpa mitologi atau sistem penjelasan tentang alam dan kehidupan yang penjelasan dan kebenarannya tidak perlu dipertanyakan lagi. Sehingga, pada urutannya, utuhnya mitologi akan menghasilkan utuhnya sistem kepercayaan, utuhnya sistem kepercayaan akan menghasilkan utuhnya sistem nilai, dan kemudian, utuhnya sistem nilai itu sendiri akan memberi manusia kejelasan tentang apa yang baik dan buruk (etika), dan mendasari seluruh kegiatannya dalam menciptakan peradaban.
Keaneka ragaman ini menjadi lebih nyata akibat usaha manusia itu sendiri untuk membuat agamanya menjadi lebih berfungsi dalam kehidupan sehari-hari, dengan mengaitkannya dengan gejala-gejala yang nyata dan ada di sekitarnya. Maka tumbuhlah legenda-legenda dan mitos-mitos yang kesemuanya itu merupakan pranata penunjang kepercayaan alami manusia kepada Tuhan dan fungsionalisasi kepercayaan itu dalam masyarakat.


Suku pakpak mendiami Pulau Sumatera Indonesia dan tersebar di beberapa kabupaten/kota di Sumatera Utara dan Aceh, yakni di Kabupaten Dairi, Kabupaten Pakpak Bharat, Kabupaten Humbang Hasundutan( Sumatera Utara), Kabupaten Aceh Singkil dan Kota Sabulusalam (Provinsi Aceh)
Saya memilih suku pakpak karena masyarakat Pakpak memiliki sejumlah nilai budaya, pengetahuan, aturan, kepercayaan, tabu, sanksi, upacara dan perilaku budaya yang arif dalam pengelolaan lingkunan. Masyarakat Pakpak sangat menghargai alam dengan adanya peraturan-peraturan yang selalu dipatuhi. Orang Pakpak memiliki aturan-aturan dalam menjaga konservasi alam. Kearifan dalam konservasi alam tersebut terjadi dalam berhubungan dengan alam. Ada yang disadari dan ada pula yang tidak disadari oleh masyarakat Pakpak yang terkandung dalam sejumlah nilai, aturan, tabu dan upacara terutama kegiatan yang berhubungan langsung dengan alamseperti dalam sistem ladang berpindah, mencari damar, berburu, dan meramu dan pengelolaan hutan kemenyaan.
Pandangan hidup masyarakat Batak Pakpak Dairi yang menjadi pegangan menjalani hidup ini bersumber dari Sangkp Ngglluh yang artinya Pelindung Hidup. Pelindung hidup bagi masyarakat batak dairi adalah Nilai Budaya yang menjadi sumber sikap perilaku dalam kehidupan mereka bersosial budaya. Batak Pakpak Dairi meyakini bahwa dengan melaksanakan peri kehidupan berdasarkan Sangkp Ngglluh mereka akan selalu aman dan sejahtera.

Sangkp Ngglluh dalam tiga bentuk yaitu : Kula – kula atau Puang, Dengan Siboltok dan Berru. Dengan Siboltok adalah kawan semarga. Kula – kula adalah keluarga asal istri dan Berru adalah keluarga pengambil istri. Sistem kekerabatan batak pakpak dairi masih satu prisip dengan Dalihan Na Tolu.

Realisasi sikap prilaku berdasarkan Sangkp Ngglluh tadi di sebut Sangkp Adat atau Pelindung Adat, atau sering disebut Sulang Silima. Disebut sulang silima karena sikap prilaku pradatan di tuangkan dalam 5 bentuk persulangan atau perolehan seperti parjambaran pada Batak Toba. Kelima bentuk persulangan tersebut adalah : Prrisang – isang adalah kepala hewan adat dalam keadaan utuh untuk sukut atau tuan rumah yang menjadi kegiatan kerja adat. Prtulan Tngngah seperti Soit pada batak toba bagian kiri adalah perolehan untuk anak sulung dari yang berpesta Prtulan Tngngah seperti Soit nabolon pada Batak Toba, bagian kanan adalah perolehan untuk Kula-kula dari yang berpesta. Prrekurekur seperti ihur – ihur pada Batak Toba adalah perolehan untuk anak bungsu dari semua marga dari yang berpesta. Prtakal pggu adalah perolehan untuk Brru.

Perolehan persulangan ini adalah gambaran penghormatan terhadap pribadi atau kelompok kekerabatan. Sejajar dengan pemberian persulangan, demikian pulalah sikap penghormatan dari masyarakat yang turut terlibat dalam pesta, termasuk di dalamnya akan hak dan kewajiban sesuai dengan kedudukan dalam kelompok keluarga.
Dalam perolehan mahar kawin pun atau yang di sebut tokor Brru adalah merupakan gambaran pula dari sistem kemasyarakatan Batak Pakpak Dairi.
Tokor brru ini pun terbagi atas 5 pula yaitu:
a.  Kssukuton seperti hasuhutan di Toba
b. Upah Turah seperti pamarai pada Batak Toba adalah perolehan untuk bapa tua atau bapa uda
c.  Mndedeh adalah perolehan kepada bibi atau namboru seperti di Toba
d. Upah puhun adalah perolehan untuk tulang
e. Upah mpung adalah perolehan untuk mpung sukut atau seperti ompung suhut pada masyarakat Batak Toba.

Demikianlah sepintas sistem kemasyarakatan Batak Pakpak Dairi. Adat yang diadatkan, dalam berbagai sebutan pertuturan sesuai dengan hukum adat di daerah suku pakpak.
Pada tulisan terdahulu, pada garis besarnya ialah mengenai sebagian kecil tentang sebutan pertuturan di antara 2 ( dua) orang yang terlibat di dalam suatu percakapan mengenai marga yang akhirnya tercetuslah suatu bentuk pertuturan, demikian sekilas tentang dalihan sitolu (tungku nan tiga) kemudian dilanjutkan dengan prdllikan (tungku nan lima)
Selain itu berhubungan dengan kepercayaan tradisional di setiap lebih dan kuta ditemukan atau dikenal adanya area-area yang pantang untuk di ganggu unsur biotik dan abiotik yang ada di dalamnya karena dianggap mempunyai kekuatan gaib antara lain: rabag, gua, daerah pinggiran sungai dan jenis-jenis pohon dan binatang tertentu yang dianggap memiliki mana. Jenis tumbuhan tersebut misalnya pohon ara, Simbernaik (sejenis pohon penyubur tanah). Jenis binatang yang jarang diganggu isalnya monyet, kera dan harimau.
Pada awalnya tempat-tempat tersebut dijadikan sebagai tempat persembahan terhadap kekuatan gaib namun saat ini walaupun umumnya mereka telah menganut agama-agama besar seperti Islam danKristen, tetap dianggap keramat danmempunyai kekuatan sehingga kalau diganggu dapat berakibat terhadap keselaman baik secaralangsung maupun tidak langsung.
Suku bangsa batak, lebih khusus terdiri dari sub – suku – suku bangsa :
1.    Karo yang mendiami suatu daerah induk yang meliputi dataran tinggi karo, langkat hulu, deli hulu, serdang hulu, dan sebagian dari dairi
2.    Simalungun yang mendiami daerah induk simalungun
3.    Pakpak yang mendiami  daerah induk dairi
4.    Toba yang mendiami suatu daerah induk yang meliputi  daerah tepian danau toba, pulau samosir, dataran tinggi toba, daerah asahan, silindunng, daerah antara barus dengan sibolga dan daerah pegunungan pahae dan habinsaran
5.    Angkola mendiami daerah induk angkola dan sipirok sebagian dari sibolga dan batang toru dan bagian utara dari padang lawas
6.    Mandailing yang mendiami daerah induk mandailing, ulu, pakatan, dan bagian selatan dari padang lawas.

Pada masa sekarang, banyak orang batak dari berbagai sub – suku bangsa tersebut diatas menyebar ke lain – lain daerah, tidak hanya ke sumatra timur dan kota medan, tetapi juga ke lain tempat di indonesia terutama jawa khususnya jakarta.
Meski sebenarnya kebanyakan orang Pakpak tidak mau disebut sebagai Batak. Bukan karena terlihat karena tidak ingin sama, melainkan lebih kepada ingin menunjukkan bahwa suku Pakpak itu ada dan terlepas dari bayang - bayang suku Batak yang selama ini lebih dikenal oleh dunia.
Ada pun yang menyatakan (umumnya mereka suku Pakpak) sebagai etnik Pakpak lebih tua dari Toba yang selama ini mengkleim sebagai leluhur segenap puak Batak. Diskleim senada tadinya cuma dari Mandailing. Belakangan orang Karo dan Simalungun pun  kian banyak menyangkal diri Batak. Lama-lama bisa Toba belaka yang menyebut diri Batak. Tentu para etnologlah yang  punya otoritas untuk menimbang kebenaran kleim atau diskleim ini.

Mereka yang menyatakan Pakpak lebih tua dari Toba merujuk pada folklor lokal dan benda-benda budaya dari zaman Hindu (di antaranya mejan patung orang menunggang gajah atau harimau, terbuat dari batu) yang sampai kini bisa ditemukan di tanah Pakpak untuk menguatkan argumennya.

Kendati tak tak memiliki mitologi lengkap yang mencakup ihwal penciptaan dunia dan manusia pertama, orang Pakpak  mempunyai folklor tentang lintasan peradabannya. Menurut folklor ini Pakpak mengenal lima zaman yakni Similangilang, Sintuara, Sihaji, Hindu, dan Pemimpin. Keterangannya berikut ini.

Zaman Similangilang. Pada masa ini orang belum tinggal menetap atau masih nomaden. Berburu binatang merupakan pekerjaan utama mereka.

Zaman Sintuara. Mereka sudah mulai bermukim tapi kerap berpindah. Kalau ada anggota kelompok yang meninggal mereka akan berpindah sebab kematian dianggap kesialan yang harus dihindari.

Zaman Sihaji. Seperti masa sekarang, di masa ini kelompok sudah menetap secara permanen di satu tempat. Mereka sudah mulai berdagang tapi  belum menggunakan mata uang. Jadi masih berbarter. Mitra dagang mereka termasuk orang asing (Portugis, Mesir, dan India). Berbagai barang dari luar negeri sudah masuk di antaranya koden loyang (periuk), kalakati (alat pengupas pinang), sulapah (tempat sirih), pinggan pasu (piring pinggan), gabus (ikat pinggang), dan borgot

Zaman Hindu. Ini sezaman dengan kerajaan Sriwijaya. Berarti abad ke-6 sampai ke-12.

Zaman Pemimpin. Bermula sejak Islam merebak di tanah Pakpak.
Kalau folklor ini  mengandung kebenaran faktual  memang benar orang Pakpak lebih tua dari orang Toba. Jalan pikirannya, bandingkanlah folklor kedua puak. Menurut tambo (tarombo) orang Toba, manusia Batak pertama adalah Si Raja Batak. Segenap orang Batak sekarang adalah keturunannya. Dari Si Raja Batak hingga angkatan kanak-kanak Toba sekarang paling ada belasan generasi. Satu generasi katakanlah 70 tahun.  Jadi  masa sejak Si Raja Batak hingga masa sekarang baru paling 1.500 tahun (asumsinya orang Toba telah 20 generasi lebih). Berarti baru setara era Hindu menurut folklor Pakpak tadi.  Masih jauh dari zaman Similangilang. Begitulah kalau kita membandingkan folklor. Masalahnya, folklor tidak bisa dijadikan penakar tahun. Namanya juga cerita rakyat atau sahibul hikayat: berbiaknya dari mulut ke mulut.
Jejak kebudayaan Hindu sampai sekarang masih tampak jelas di tanah Pakpak. Mejan salah satunya. Lainnya adalah benda yang tadi disebut dari zaman Sihaji:   koden loyang, kalakati, sulapah, pinggan pasu, gabus, dan borgot.  Jejak ini menjadi pertanda bahwa sebagai etnik Pakpak memang sudah tua.

Tanah Pakpak memang sejak lama berada dalam medan pengaruh pelbagai kebudayaan besar. Kedekatannya dengan Aceh dan Barus menjadi penyebabnya. Setelah Hindu, kebudayaan Islam dan Kristen merembes deras ke kawasan ini.

Islam sudah lama hadir di tanah Pakpak. Kemungkin besar imbas dari  kebertetanggaannya dengan Aceh di utara dan Barus di selatan. Orang Pakpak yang pertama mendalami Islam secara intens adalah  Sjech Abdurrauf al-Singkili. Dia pernah belajar agama di Pasai (Aceh) dan tanah Arab. Namun pengislaman secara serius dan sistematis barulah oleh Tengku Telaga Mekar dari Gayo.  Pengikutnya menjadi unsur pasukan Slimin yang berjuang melawan Belanda kelak. Gelombang pengislaman berikutnya mengalun di masa Guru Gindo.  Sekitar tahun 1926 sang guru bertolak dari kampungnya di Sumatera Barat untuk mengembangkan siar Islam. Lewat Singkil dan Runding akhirnya ia tiba Sidikalang. Di ibukota ini sejumlah  pertaki berhasil ia Islam-kan termasuk dari marga Bintang dan Ujung. Dengan begitu Guru Gindo berlomba dengan zending yang juga berhasil mengkristenkan beberapa pertaki.

Sifat gotong royong masih terpelihara di dalam masyarakat Pakpak. Hal ini tercermin dalam kehidupan bersama sehari-hari. Hal ini diwujudkan dalam bentuk sebagai berikut:
a. Rimpah-rimpah yaitu suatu bentuk kerja sama dalam bertanam padi dan lainnya, pelaksanaannya diawali dengan cara “merkua” yaitu dengan terlebih dahulu memberitahukan secara satu persatu keluarga masyarakat agar dapat bersama-sama untuk menyelesaikan suatu pekerjaan, misalnya “mardang” (menanam padi).
b. Urup-urupen yaitu suatu kerja sama untuk menyelesaikan suatu pekerjaan dengan beberapa keluarga sehingga pekerjaan selesai. Misalnya suatu keluarga mengajak satu keluarga lainnya untuk bersama-sama mengerjakan ladangnya.



Kata ‘pakpak’ dalam bahasa Pakpak bermakna tinggi. Bisa jadi karena berdiam di dataran tinggi atau pegunungan maka masyarakatnya dinamakan  sebagai orang Pakpak. Sejauh ini selain hasil telusuran berdasar asal-usul kata (etimologi) ada juga tafsir ‘pakpak’  versi lain.  Ada yang mengatakan kata ini berasal dari ‘wakwak’, sebutan untuk kawasan ini oleh warga negeri Abunawas (Irak sekarang) di zaman dulu.

Ada pula yang menyebut ‘pakpak’ berasal dari nama orang. Alkisah, tiga  pemuda bersahabat karib bertolak dari Singkil. Nama mereka adalah si Gayo, si Karo, dan si Pakpak. Pemuda Gayo melangkah mengikuti sungai Kali Alas. Ia tiba di tanah Gayo. Melanjut ke Kutacane dia dan mentap selamanya. Pemuda Karo mengikuti Lae Ulun dan tiba di tanah Karo. Di sana ia tinggal permanen. Adapun pemuda Pakpak, ia mengikuti Lae Renun dan sampai di Pegagan Hilir. Di sana ia bergabung dengan penduduk asli dan membentuk perkampungan. Seperti kedua sobatnya ia pun menjadi migran yang berdiam menetap. Namanya kemudian diabadikan untuk seluruh kawasan.

Sudah ada tiga tafsir tentang muasal kata ‘pakpak’. Seperti halnya asal-usul seluruh etnik atau sub-etnik lain di Republik ini, yang satu ini pun belum jelas betul. Aneka macam versinya. Secara umum, sejak zaman Belanda, oleh para etnolog orang Pakpak digolongkan ke dalam etnik Batak. Jadi sama seperti  orang Toba, Karo, Simalungun, Mandailing, dan Angkola. Adanya sejumlah unsur kedekatan atau kesamaan misalnya dalam struktur sosial, sistem budaya, dan bahasa puak ini satu sama lain menjadi dasar penggolongan.  Uli Kozok, misalnya, menyatakan keenam puak ini memiliki bahasa yang satu sama lain banyak kesamaannya. Merujuk para ahli bahasa ia menyebut bahasa Angkola, Mandailing, dan Toba membentuk rumpun selatan; sedangkan bahasa Karo dan Pakpak-Dairi termasuk rumpun utara. Ihwal Bahasa Simalungun ada dua pendapat. Berdiri di antara rumpun utara dan selatan, begitu satu pendapat. Merupakan cabang dari rumpun selatan yang kemudian terpisah sebelum bahasa Toba dan bahasa Angkola-Mandailing terbentuk, kata pendapat lain.

Tanah Pakpak terdiri dari lima suak atau kelompok berdasarkan kedekatan wilayah, sosial dan ekonomi. Suak tersebut artinya adalah  Simsim, di kawasan Salak, Kerajaan, Sitellu Tali Urang Julu, Sitellu Tali Urang Jehe,  Keppas, di kitaran Sitellu Nempu, Siempat Nempu, Silima Pungga-pungga, Lae Luhung (Lae Mbereng) dan  Perbuluhen;  Pegagan dan Karo Kampung, di sekitar Pegagan Jehe, Silalahi, Paropo, Tongging (Sitolu Huta) dan Tanah Pinem;  Boang, di lingkup Simpang Kanan, Simpang Kiri, Lipat Kajang, dan Singkil; dan  Kelasan, meliputi wilayah Sienem Koden, Manduamas, dan Barus.
Lima suak di suku Pak-pak yaitu:
  1. Suak Boang
  2. Suak Klassan
  3. Suak Simsim
  4. Suak Keppas.
  5. Pegagan
Suak Boang  adalah suku Pakpak yang memiliki hak ulayat di Boang, Singkil dan Subulussalam, daerah Aceh dan sekitarnya.
Suak Klassan adalah suku Pakpak yang memiliki hak ulayat di daerah Parlilitan, Pakkat dan sekitarnya.
Suak Simsim adalah suku Pakpak yang memiliki hak ulayat di daerah kecamatan Kerajaan dan Salak.
Suak Keppas adalah suku Pakpak yang memiliki hak ulayat di daerah Sidikalang.
Pakpak Pegagan adalah suku Pakpak yang memiliki hak ulayat di daerah Pegagan.

Orang Pakpak  juga mempunyai marga seperti di suku-suku lainnya di Sumatera seperti suku Karo, mendailing dan suku lainnya di Sumatera.  Di lingkup Suak  Simsim terdapat sejumlah marga antara lain Banurea, Beringin, Berutu, Boangmanalu, Cibero, Kebeaken, Lembeng, Manik, Padang, Sinamo, Sitakar, Sitendang, dan Solin. Di  Suak Keppas: Angkat, Bako, Berampu, Bintang, Capah, Gajah Manik, Kudadiri, Maha, Pasi, Sambo, Saraan, dan Ujung. Di Suak Pegagan: Cupak atau Kecupak, Kaloko, Lingga, Manik, Matanari, dan Simaibang. Di  Suak Boang: Bancin, Berutu, Lembeng, dan Pohan. Sedangkan di Suak Kelasan: Anakampun, Berasa, Gajah, Kesogihen, Maharaja, Meka, Mungkur, Sikettang, Tinambunen, Tumangger, dan Turuten.
Marga suku Pakpak suak klassan di daerah Sionem Koden Urang Julu adalah Simbuyak-mbuyak, Turuten, Pinayungen, Maharaja, Tinambunen, Tumangger dan Anak Ampun. Marga suak Klassan di Pakkat adalah Meka. Marga suak Simsim adalah Kabeaken, Berutu, Padang, Padang Batanghari, Sitakar dan Tinendung. Marga suak Keppas keturunan si Naga Jambe yang pindah ke Sidikalang dari Sicikeh-cikeh adalah Raja Ujung, Raja Capah, Raja Gajah Manik, Raja Kudadiri, Raja Angkat, Raja Bintang dan Raja Sinamo. Marga Pakpak Pegagan adalah Raja Matanari, Raja Manik dan Raja Lingga. Pegagan adalah daerah Balna Sibabeng-kabeng, Lae Rias, Lae Pondom, Sumbul, Juma Rambah, Kuta Manik dan Kuta Usang.


Rumah Adat Pakpak, Bentuk, Bahan, Arti dan Fungsi
Rumah adat Pakpak memiliki bentuk yang khas yang dibuat dari bahan kayu dengan atap dari bahan ijuk. Bentuk desain rumah adat Pakpak selain sebagai wujud seni budaya Pakpak, setiap bentuk desain dari bagian-bagian Rumah Adat Pakpak tersebut memiliki arti tersendiri. Jika diteliti dengan cermat dan diketahui maknanya, maka cukup dengan melihat rumah adat Pakpak akan bisa mendeskripsikan bagaimana Suku Pakpak berbudaya.



Bentuk dan Arti Rumah Adat Pakpak
Bubungan atap : Bentuk melengkung, dalam bahasa Daerah Pakpak-Dairi disebut: “Petarik-tarik Mparas ingenken ndengel”, artinya: “Berani memikul resiko yang berat dalam mempertahankan adat istiadat”.
Tampuk bubungan yang bersimbolkan “Caban”, artinya : “Simbol kepercayaan Puak Pakpak“
Tanduk kerbau yang melekat dibubungan atap, artinya: “Semangat kepahlawanan Puak Pakpak”.

Bentuk segitiga pada rumah adat pakpak, artinya menggambarkan susunan adat istiadat Puak Pakpak dalam kekeluargaan yang terbagi atas tiga bahagian atau unsur besar sebagai berikut:

(a). SENINA, adalah saudara kandung laki laki,
 (b). BERRU, adalah saudara kandung perempuan,
 (c). PUANG”, adalah kemanakan.

Dua buah tiang besar disebelah muka rumah “Binangun”, artinya “Kerukunan rumah tangga antara suami istri”.

Satu buah balok besar yang dinamai “Melmellon” yang melekat disamping muka rumah, menggambarkan “Kesatuan dan Persatuan dalam segala bidang pekerjaan melalui musyawarah, atau lebih tepat disebut “Gotong royong”.

Ukiran-ukiran yang terdapat pada segitiga muka rumah yang bentuknya bermacam macam corak, dalam bahasa daerah Pakpak  disebut: (a). Perbunga Kupkup, (b). Perbunga kembang,(c). Perbunga Pancur, dan sebagainya yang menggambarkan bahwa puak Pakpak pun berdarah dan berjiwa seni.

Tangga rumah yang biasanya terdiri dari bilangan ganjil, 3 (tiga), 5 (lima) dan 7 (tujuh), menggambarkan bahwa penghuni rumah itu adalah keturunan raja (marga tanah), sebaliknya yang memakai tangga rumah genap, menandakan bahwa penghuni rumah tersebut bukan keturunan marga tanah (genengen).
Pintu masuk dari bawah kolong rumah menunjukkan kerendahan hati dan kesiapsiagaan.

Fungsi Rumah Adat Pakpak :

1.  Penggunaaan rumah adat : Rumah adat adalah tempat permusyawaratan mengenai masalah yang menyangkut kepentingan umum dan tempat mengadakan upacara upacara adat istiadat.

2.       Isi rumah adat adalah :

(a). Genderang,
(b). Garantung,
(c). Serunai,
(d). Sordan, labat, taratoa, seruling, semuanya alat alat kesenian daerah.
(e). Patung panglima atau pahlawan pahlawan, dan
(f). Mejan, ditempatkan dihalaman rumah.

3.       Pilo-pilo yang digantung dalam segitiga dipermukaan rumah adat menggambarkan adanya hubungan yang harmonis antara masyarakat dan pemimpinnya dan sebagai lambang kebijaksanaan pimpinan dalam mengayomi masyarakatnya.
4.    Gambar lidah payung menggambarkan kepercayaan masyarakat kepada pemimpinnya yang senantiasa memberikan bantuan dalammemelihara kesentosaan dan kesejahteraan masyarakat.



Pola Pencarian Pengobatan Masyarakat Suku Pakpak
Kebiasaan masyarakat setempat dalam hal pengobatan penyakit merupakan hal yang unik. Pengobatan tradisional dan pengobatan medis bahkan pengobatan sendiri berkembang dengan baik. Pola pencarian pengobatan pada masyarakat suku pak-pak di kelurahan Sidiangkat kecamatan Sidikalang kabupaten Dairi Sumatera Utara tahun. Ada empat pola pencarian pengobatan yang berkembang pada masyarakat suku Pak-pak setempat. Melakukan pengobatan sendiri terhadap penyakit yang diderita, dengan menggunakan pengobatan tradisional, memanfaatkan pengobatan medis modern, dan pada penyakit tertentu menggabungkan jenis pengobatan tradisional dengan pengobatan medis modern dalam rangka mengobati penyakit yang diderita. Secara umum pola pencarian pengobatan yang paling dominan digunakan masyarakat adalah dengan melakukan pengobatan sendiri. Pola pengobatan sendiri menjadi dominan dikarenakan umumnya masyarakat memiliki pengetahuan dan tekhnik khusus dalam meramu obat yang sesuai terhadap penyakitnya dengan memanfaatkan bahan-bahan yang ada dilingkungan sekitar. Melihat potensi besar dan manfaat yang luar biasa ini, melalui dinas Kesehatan maupun dinas Pendidikan dan Kebudayaan dengan bantuan masyarakat setempat diharapkan dapat melestarikan tekhnik tersebut dengan merangkumnya dalam bentuk buku, sehingga dapat menambah pustaka bangsa dan dapat dikembangkan maupun diwariskan pada masyakat yang lain.
Kepercayaan Suku Pak-Pak
Dalam sistem kekerabatan, orang Pakpak menganut prinsip patrilineal dalam memperhitungkan garis keturunan dan pembentukan klen (kelompok kerabatnya) yang disebut marga. Dengan demikian berimplikasi terhadap sistem pewarisan dominan diperuntukkan untuk anak laki-laki saja. Bentuk perkawinannya adalah exogami marga, artinya seseorang harus kawin diluar marganya dan kalau kawin dengan orang semarga dianggap melanggar adat karena dikategorikan sumbang (incest).

Bahasa yang dipergunakan dalam masyarakat Pakpak adalah bahasa Pakpak (di Kelasen disebut Bahasa Dairi). Adapun salam sapaan khas Pakpak yaitu “Njuah-Njuah” yang artinya semoga sehat selalu. Bahasa Pakpak banyak kemiripan kosakata dengan Bahasa Karo. Namun, saat ini bahasa Pakpak banyak menyerap kosakata baik dari Bahasa Batak Toba maupun dari bahasa Indonesia bahkan dari bahasa asing. Hal ini diakibatkan penggunaan bahasa Pakpak semakin berkurang terutama di daerah Sidikalang dan Kelasen karena komunitas Pakpak itu sendiri yang enggan memakainya dalam pergaulan sehari-hari, perkawinan dengan suku di luar Pakpak, pengaruh lingkungan terutama yang lahir di luar komunitas Pakpak, selain itu akibat bahasa Pakpak sedikit yang menguasai sehingga cenderung orang Pakpak memakai bahasa lain sebagai bahasa pergaulan sehari-hari. Adapula orang Pakpak yang tidak berniat mempelajari bahasa Pakpak itu sendiri dengan alasan lahir dan tinggal di daerah yang bukan komunitas Pakpak. Menurut Penulis sendiri, apapun alasan dan penyebabnya, kita terutama generasi muda harus berjuang membuat budaya Pakpak lebih maju sehingga tidak dilindas globalisasi.

Adat Istiadat dan Budaya Pakpak

Masyarakat Pakpak mengenal hubungan Peradatan “Sulang Silima” yang agak mirip dengan “Dalihan Natolu” di masyarakat Toba dan “Sangkep Enggeloh/Rakut Sitellu” di masyarakat Karo. Adapun unsur sulang silima itu adalah:
  1. Sukut;
  2. Dengan sebeltek Si kaka-en (Saudara sekandung yang lebih tua)
  3. Dengan sebeltek Si kedek-en (Saudara sekandung yang lebih muda)
  4. Kula-kula/ puang (Kelompok pihak pengantin perempuan)
  5. Berru (Kelompok pihak pengantin laki-laki).
Ada beberapa jenis Upacara Adat masyarakat Pakpak dalam kehidupan sehari-hari, yaitu:

1. Kerja Njahat (Upacara Dukacita) 
Misalnya Upacara Kematian (males bulung simbernaik, males bulung buluh, males bulung sampula), Upacara Mengankat Tulang Belulang (mengokal tulan) dan Upacara Membakar Tulang Belulang (menutung tulan).
Mantra-mantra sebagai salah satu wujud budaya yang tidak nyata atau biasa disebut gaib dalam kebudayaan Pakpak biasanya dihadirkan saat upacara-upacara adat. Masyarakat Pakpak pada umumnya mengenal dua bentuk kerja (horja dalam bahasa Batak Toba atau upacara/ritus dalam bahasa Indonesia) yakni, kerja baik dan kerjatidak baik. Kerja baik adalah segala jenis upacara yang berkaitan dengan rasa sukacita atau gembira seperti, keberhasilan panen, pernikahan, dan kelahiran anak. Sebaliknya Kerja Njahat adalah segala jenis upacara yang berkaitan dengan rasa dukacita atau sedih seperti kematian.
Hal-hal yang berhubungan dengan duka cita, kematian, mangokal tulan (membongkar tulang-belulang dari kuburan dan menempatkannya di kubur sekunder), dikategorikan sebagai kerja njahat. Upacara kematian dapat dibagi menjadi 4 yakni :
  1. Anak yang baru lahir yang belum bergigi jika meninggal dikebumikan dekat rumah tanpa diketahui oleh orang lain, karena takut diambil orang lain, dijadikan guna-gunaan. Itu dinamakan Mati Bayi
2.      Orang yang meninggal dalam usia muda (dewasa) dikuburkan dimana saja dan termasuk mate ntalpok (mati belum berketurunan). Di namakan Mati Dewasa

3.      Seorang yang meninggal dan telah berkeluarga dikebumikan di kuburan umum. Dinamakan dengan Mati Ntua
4.      Bagi orang yang meninggal tapi sudah mempunyai cucu, biasanya diadakan kerja
njahat, sewaktu mayatnya masih di rumah. Pembiayaan umumnya ditanggung oleh keluarga/ahli waris yang meninggal itu sendiri karena almarhum enggo
mencari (hasil pencarian/kerja mendiang selama hidupnya). Jadi biaya diambil dari harta yang ditinggalkan oleh mendiang. Dinamakan dengan Mati Cayur Tua

Salah satu bagian penting dalam ritus mati cayur tua adalah Menuntung Tulan (upacara pembakaran tulang jenazah). Upacara ini disebut juga Penahangken (meringankan), sebab tujuan dilaksanakannya adalah untuk meringankan beban roh mendiang.
Upacara ini dilaksanakan bila keluarga mendiang mendapat mimpi (nipi) yang seolah menggambarkan mendiang di alam kuburnya merasakan beban yang berat, sesak, atau sempit. Upacara ini harus dilaksanakan, bila tidak maka jiwa/roh mendiang akan mengakibatkan sakit kepala pada keturunannya.
Peralatan yang dibutuhkan dalam upacara ini antara lain kayu bakar, batang pohon pisang (sitabar) yang dibentuk menyerupai manusia serta diberi pakaian (persilihi), kain putih pembungkus tulang-tulang mendiang, sumpit/kembal wadah bagi tulang yang telah dibungkus, dan sejumlah hewan kurban. Setelah segala persiapan selesai, maka pihak kerabat (Kula-kula, Berru, dan Sinina) berangkat ke pekuburan. Biasanya dilakukan pada waktu pagi hari, agar roh/jiwa bangkit sebagaimana matahari terbit, juga agar sanak kerabatnya nasibnya menjadi lebih baik di kemudian hari.
Setelah api padam, secara hati-hati keluarga mengambil abu dan sisa-sisa tulang yang telah dibakar. Abu dan sisa-sia tulang itu kemudian dibungkus dengan kain putih lalu dibawa ke tempat pertulanen (lesung batu). Namun, ada kalanya abu dan sisa-sisa tulang tersebut dibawa dan digantung di rumah sukut.
Upacara sejenis juga dilakukan oleh masyarakat Karo setidaknya hingga awal abad ke-20 yang lalu. Jenis upacara ini hingga kini masih dilakukan oleh masyarakat Bali, yang disebut sebagai ngaben. Beberapa unsur yang mirip dengan upacara pembakaran jenazah di Bali (Ngaben) dengan upacara pembakaran tulang-tulang jenazah di Pakpak (Menuntung Tulan) selain proses pembakarannya sendiri adalah pembuatan boneka manusia dari batang pisang yang disebut sebagai persilihi. Di Bali boneka/patung yang melambangkan sosok mendiang yang diaben disebut sebagai pratima.



2. Kerja Baik (Upacara Sukacita) 
Misalnya Upacara Kehamilan (memerre nakan pagit), Upacara Kelahiran (mangan balbal dan mengakeni), Upacara Masa Anak-Anak (mengebat, mergosting), Upacara Masa Remaja (mertakil/sunat, pendidien/baptis, meluah/naik sidi), Upacara Masa Dewasa, Upacara Perkawinan (merbayo) dan Upacara Memberi Makan Orang Tua (menerbeb).

3. Upacara-Upacara Lain
Misalnya Upacara Mendegger Uruk, Upacara Merintis Lahan (menoto), Upacara Memepuh Babah/Merkottas, Upacara Pembakaran Lahan (menghabani), Upacara Menjelang Penanaman Padi (menanda tahun), Upacara Mengusir Hama (mengkuda-kudai), Upacara Syukuran Panen (memerre kembaen).

Perkawinan dalam masyarakat Pakpak termasuk dalam siklus kehidupan seseorang yang telah diatur tersendiri. Hakekat perkawinan adalah membentuk keluarga untuk mengembang-biakkan keturunan dari kelompok marga, sehingga menjadi penerus kelompoknya. Oleh karena itu bila terjadi perkawinan, maka perkawinan itu melibatkan seluruh keluarga baik dekat maupun jauh. Jadi hakekatnya merupakan ikatan yang tidak ada putusputusnya.

Masyarakat Pakpak mengenal beberapa bentuk perkawinan, yaitu:
  1. Sitari-tari (Merbayo atau Sinima-nima), merupakan bentuk yang dianggap paling baik atau ideal karena hak dan kewajiban pengantin laki-laki dan perempuan telah terpenuhi.
  2. Sohom-sohom, upacaranya sederhana dan dihadiri keluarga terdekat saja, semua unsur adat terpenuhi tetapi secara ekonomi lebih kecil.
  3. Menama, disini pihak keluarga perempuan tidak setuju, sehingga dicari jalan lain dengan kawin lari, sehingga sebagai tanda rasa bersalah pengantin cukup membawa makanan (nakan sada mbari) sebagai tanda minta maaf dan pada suatu saat nanti mereka akan mengadati.
  4. Mengrampas, artinya mengambil paksa isteri orang lain, sanksi untuk laki-laki adalah membayar mas kawin yang tidak mempunyai batasan.
  5. Mencukung, hampir sama dengan mengrampas.
  6. Mengeke, mengawini janda dari abang atau adik laki-laki.
  7. Mengalih, seorang laki-laki mengawini janda baik bekas istri abang atau adiknya maupun istri orang lain.
Dalam merbayo (Upacara Perkawinan) dikenal beberapa tahapan, yaitu:
  1. Mengirit/ Mengindangi (Meminang)
  2. Mersiberen Tanda Burju (Tukar Cincin)
  3. Mengkata Utang (Menentukan Mas Kawin)
  4. Merbayo (Pesta Peresmian)
  5. Balik Ulbas
Pada umumnya pekerjaan masyarakat sehari hari adalah kebanyakan bertani, berbagai macam tanaman yang mereka tanam seperti kopi, sayuran, padi sawah dan darat, jagung, cacao, Jeruk, nilam dan lain sebagainya, diantara semua tanaman ini yang paling terkenal adalah tanaman  kopi, yang biasa disebut kopi Sidikalang. Areal produksi kopi robusta dan arabica terbesar di 13 Kecamatan di Kabupaten Dairi. Luas perkebunan kopi robusta adalah 14.117 Ha dengan produksi 6.7 ribu ton per tahun sedangkan perkebunan kopi arabica seluas berproduksi produksi 2.6 ribu tahun, menurut Dinas Komunikasi dan Informatika, Sumatera Utara.
                Pola pertanian yang dilakukan masyarakat secara umum masih secara tradisional walau ada beberapa daerah yang sudah memakai teknologi modern, dan menggunakan pupuk kimia. Seiring bertambahnya penduduk maka kebutuhan akan lahan pertanian juga meningkat, sehingga ada pembukaan kawasan hutan untuk lahan pertanian, hal ini disebabkan kurangnya pemahaman masyarakat tentang fungsi hutan serta ketidakjelasan antara batas hutan dan lahan pertanian, serta lemahnya pengawasan dari pemerintah. Sama halnya dengan perkebunan kopi oleh para petani yang dari tahun ketahun terus bertambah, dimana beberapa areal perkebunan berada dalam kawasan hutan, sistem budidaya kopi di daerah ini juga belum begitu maksimal karena kurangnya pengetahuan mengenai budi daya kopi, seperti pemangkasan cabang, penggunaan tanaman pelindung, pemupukan dan pengomposan, serta pengetahuan mengenai hama dan penyakit tanaman.   Selain itu para petani dan pedagang, jarang sekali mendapat arahan atau pembelajaran tata cara pemeliharaan mutu kopi paska panen serta pengolahan kopi yang baik, dari berbagai faktor inilah nama kopi Sidikalang kian memudar. 

Kondisi ini sangat penting dan mendesak untuk segera diperbaiki oleh berbagai pihak antara lain, pemerintah daerah, masyarakat petani kopi, pihak swasta dan lembaga swadaya masyarakat. Sehingga lingkungan terutama kawasan hutan tetap terjaga dan masyarakat mendapat maanfaat dari usaha perkebunan kopinya, sehingga citra kopi Sidikalang bisa semakin terkenal di dalam maupun luar negeri, karena kebanyakan pembeli dari luar negri mengutamakan kopi yang berwawasan lingkungan.

D. Kesenian, Kuliner dan Kerajinan Tangan Suku Pakpak

Seni Tari

Tari dalam Bahasa Pakpak disebut “Tatak” yang dalam Bahasa Toba disebut “Tortor” dan “Bahasa Karo” disebut “ La ‘ndek”. Tarian tradisional Pakpak sangat erat kaitannya dengan kehidupan sehari-hari, misalnya Tatak Memupu/ Menapu Kopi, Tatak Mendedah, Tatak Renggisa, Tatak Balang Cikua, Tatak Garo-Garo, Tatak Tirismo Lae Bangkuang, Tatak Mersulangat, Tatak Menerser Page, Tatak Muat Page, Tatak Adat, Tatak Mendedohi Takal-Takal, dan lain-lain. Selain itu, dikenal juga seni bela diri misalnya moccak dan tabbus.



Seni Musik
Kalondang - Alat Musik Tradisional Pakpak
Seni musik yaitu seni alat musik dan seni vokal. Seni alat musik misalnya Kalondang, Genderang, Gung Sada Rabaan, Kucapi, Sordam, Lobat, Kettuk, Gerantung, dan lain-lain. Seni vokal diantaranya odong-odong dan nangen. Selain itu, seni vokal juga sudah semakin dikembangkan sekarang ini, diantaranya lagu paling dikenal yaitu Cikala le Pong Pong, Delleng Sitinjo, Lae Une, Nan Tampuk Mas, dan lain-lain.


Sastra
Kesusastraan juga dikenal dalam adat Pakpak, terutama peribahasa dan pantun. Biasanya peribahasa berisi anjuran dan nasihat sedangkan pantun juga berisi anjuran dan nasihat meskipun ada pantun jenaka. Misalnya peribahsa yaitu "ipalkoh sangkalen mengena penggel" artinya dipukul talenan telinga terasa, maknanya yaitu untuk kita selalu menuruti, was-was dan tanggap terhadap nasihat yang berguna yang diberikan oleh orang yang lebih berpengalaman. Contoh pantun yaitu "sada lubang ni sige, sada ma ngo mahan gerrit-gerriten, tah soh mi ladang dike pe, ulang ma ngo mbernit-mberniten" artinya kemanapun kita merantau semoga tetap sehat selalu. Prosa juga lumayan berkembang ditandai dengan banyaknya cerita-cerita legenda yang diturunkan secara lisan dari generasi ke generasi seterusnya. Contoh cerita rakyat Pakpak yaitu Cerita Simbuyak-buyak yang dikenal luas dalam masyarakat Kelasen, Cerita Nan Tampuk Mas yang dikenal masyarakat Keppas.


Kuliner

Pelleng - Makanan Khas Pakpak
Jenis-jenis makanan tradisional misalnya Pelleng (ada perbedaan dalam resep dan bentuk serta penyajian dari pelleng Pegagan dan Simsim) nasi yang dilumat dengan sendok dan berwarna kuning, Ginaru Ncor, Nditak (Tepung beras dicampur kelapa parut dan gula putih lalu dikepal dengan tangan), Pinahpah (padi muda yang dipipihkan), Ginustung, Sagun-Sagun (Tepung beras yang digongseng dengan gula pasir dan kelapa parut), Sambal Jeruk (durian yang diasamkan), Ikan Bingkis, dan lain-lain.

Kerajinan Tangan
Kerajinan tangan suku Pakpak sudah dikenal sejak jaman dahulu yaitu dengan adanya Mejan Batu (sejenis patung yang terbuat dari batu) yang terdapat hampir disetiap kuta. Selain itu ada juga “membayu” yaitu menganyam tikar, bakul, kirang (keranjang) dan lain sebagainya yang terbuat dari sejenis rumput yang tumbuh di sawah. Selain itu kerajina rotan dan bambu juga banyak dikembangkan misalnya kursi, sangkar burung, bubu, tampi, juga keranjang. Kerajinan lainnya yaitu terutama di daerah Kelasen yaitu “meneppa” yaitu pandai besi terutama meneppa golok (pisau dan parang), pedang, kujur (tombak), cangkul, cuncun dan lain-lain.

Pakaian Adat Pakpak
Pakaian adat masyarakat Pakpak cenderung berwarna hitam. Untuk laki-laki (daholi) adalah baju lengan panjang dengan kerah mirip kerah Mandarin kemudian ada garis warna merah pada ujung tangan, pada daerah kancing baju, dan pada daerah lain sebagai tambahan. Untuk penutup kepala dipakai oles (kain adat) yang mempunyai rambu (rumbai) berwarna merah atau kuning yang dibentuk seperti peci dengan rambu kearah samping depan. Celana warna hitam dengan ukuran ¾ dipakai dengan mandar (sarung) sebagai penutup celana. Biasanya laki-laki menempatkan golok (parang) di pinggang sebagai aksesoris tambahan.
Untuk perempuan (perempun) memakai saong (penutup kepala) dengan bentuk “cudur” atau mengerecut ke bagian belakang. Posisi rambu olesnya berada di depan, bajunya juga berwarna hitam lengan panjang dengan hiasan payet berwarna kuning di depan, dibelakang dan dibagian ujung lengan. Untuk rok dipakai oles yang berwarna hitam dan ikat pinggang. Sebagai aksesoris tambahan pada tangan disematkan ucang-ucang (tas kecil) dan pada dada disematkan hiasan berwrna kuning keemasan.
Istilah Kekerabatan Pakpak

Istilah Kekerabatan Ego dengan Saudara Inti dan Keluarga Sekandung (Sinina)
Istilah-istilah kekerabatan yang dikenal yaitu Bapa (Ayah), Inang (Ibu), Kaka/Abang (Kakak lk. Abang), Dedahen/Anggi (Adik laki-laki/adik pr.), Turang (Kakak/Adik pr. ), Mpung/Poli (Kakek), Mpung Daberru (Nenek), Patua (Sdr lk. tertua Ayah), Nantua (Istri Sdr lk. tertua Ayah), Tonga (Sdr lk. tengah Ayah), Nan Tonga (Istri Sdr lk. tengah Ayah), Papun (Sdr lk. termuda Ayah). Nangampun (Istri Sdr lk. termuda Ayah), Inanguda (Sdr pr. Ibu yg lebih muda), Panguda (Suami Sdr pr. Ibu yg lebih muda), Nan Tua (Sdr pr. Ibu yg lebih tua), Patua (Suami Sdr pr. Ibu yg lebih tua).

Istilah Kekerabatan Ego dengan Kelompok Berrunya
Istilah-istilah kekerabatan yang dikenal yaitu Turang (Sdr Pr), Silih (Suami Sdr Pr), Beberre (Anak Sdr Pr), Berru (Anak Pr. Ego), Kela (Menantu Lk), Namberru (Sdri Ayah), Mamberru (Suami Sdri Ayah), Impal (Anak lk Sdri Ayah), Turang (Anak Pr .Sdri Ayah), Mamberru (Mertua lk. Sdri Ego), Namberru (Mertua Pr. Sdri Ego).

Istilah Kekerabatan Ego dengan Kelompok Puangnya
Istilah-istilah kekerabatan yang dikenal yaitu Puhun (Sdr Lk Ibu), Nampuhun (Istri Sdr Lk Ibu), Impal (Anak Lk/Pr Sdr Lk. Ibu), Sinisapo (Istri Ego), Silih (Sdr Lk Istri), Bayongku (Istri Sdr Lk Istri Ego), Puhun (Mertua Lk), Nampuhun (Mertua Pr), Kalak Purmaen (Menantu Pr), Purmaen (Anak Sdr Lk Istri Ego).


Perkumpulan suku Pakpak
Etnis Pakpak berada di Kabupaten Dairi, Kabupaten Pakpak Barat dan sebagian bertempat tinggal di Aceh Singkil (Boang) dan Tapanuli Utara/Tengah (Kelasen). Asal etnis Pakpak diperkirakan datang dari India melalui Barus atau Singkil dan menurut penelitian, tempat pertama orang Pakpak adalah Kuta Pinagar (Kecamatan Salak) keturunan dari si KADA dengan isterinya Lona. Kemudian lahir anaknya bernama si Hiang dengan turunannya 7 (tujuh) orang yaitu si Haji (Banua Harhar) si Raja Pako  (Sicike-cike, Pubada (Aceh Singkil), Ranggarjodi (Buku Tinambunan), Mbelo (Silaan Rumerah), Sanggir (Kelasen/Taput) dan Bata (tidak diketahui kemana perginya).

Jumlah etnis Pakpak sekarang ini baik yang bertempat tinggal di Pakpak maupun di luar Pakpak lebih kurang 500.000 orang. Adapun dari masing-masing tersebut diatas adalah sbb:



Dalam scope besar, komunitas Pakpak di Kota Bandung menghimpun diri dalam Ikatan Keluarga Pakpak Dairi Silima Suak (IKEPDASIS) Bandung Sekitarnya yang telah berdiri tanggal 20 Mei 2008 ditandai dengan malam budaya dan pelantikan pengurus IKEPDASIS tersebut. Namun, dalam scope lebih kecil komunitas mahasiswa Pakpak membentuk Keluarga Mahasiswa Pakpak Bandung (KEMPABA) Sekitarnya yang merupakan kelanjutan dari Persadaen Simatah Daging Bandung Sekitarnya (PERTAKI) yang sudah tidak beraktifitas lagi sejak awal tahun 2006. KEMPABA didirikan tanggal 29 April 2007, penetapan AD/ART tanggal 27 Mei 2007 dan dilantik pengurusnya pada 05 Agustus 2007. Secara aklamasi pada tanggal 27 Juli 2008, KEMPABA menjadi bagian dari IKEPDASIS yang menangani Seksi Kepemudaan dan Kemahasiswaan. Hingga saaat ini, administrasi di KEMPABA belumlah rapi karena kurangnya sumber daya manusia dan modal untuk mengelolanya.

Hingga saat ini baik IKEPDASIS maupun KEMPABA belum dapat berbuat banyak buat kemajuan Pakpak di Kota Bandung, boleh dikatakan hanya sebagai wadah berkumpulnya masyarakat Pakpak Bandung saja. Namun hal ini tidaklah menyurutkan para pengurus untuk mempertahankan kondisi organisasi yang terseok-seok berjalannya. Hal ini merupakan bentuk kecintaan para founding father organisasi untuk mempertahankan eksistensi Suku Pakpak di Indonesia umumnya dan di Kota Bandung khususnya. Saat ini, di berbagai belahan Indonesia juga, komunitas Pakpak saling menghimpun diri dan mendirikan organisasi karena menyadari akan tertinggal Suku Pakpak di berbagai bidang terutama bidang pendidikan dan teknologi. Hanya saja, kebanyakan organisasi ini belum bisa berbuat banyak karena disebabkan beberapa faktor:
1. Kurangnya rasa cinta masyarakat Pakpak itu sendiri terhadap kebudayaan dan identitasnya sebagai masyarakat Pakpak, baik yang di daerah maupun yang di perantauan.
2. Kurangnya perhatian Pemerintah Daerah terkait (Pemda Dairi, Pemda Pakpak Bharat, Pemda Aceh Singkil, Wali Kota Subulussalam, Pemda Humbang Hasundutan, dan Pemda Tapanuli Tengah) dan orang-orang Pakpak yang sudah sukses di perantauan terhadap pelestarian dan inventarisasi kekayaan budaya Pakpak serta membantu perkembangan LSM dan NGO yang bergerak di kebudayaan Pakpak, serta masyarakat Pakpak yang memiliki kemampuan akademik tetapi termasuk golongan ekonomi lemah.
3. Kurangnya perhatian terhadap masyarakat Pakpak itu sendiri terutama yang masih tinggal di daerah dengan komunitas mayoritas Pakpak terhadap eksistensi kebudayaan Pakpak serta pengembangannya untuk mengimbangi kemajuan zaman.

hingga saat ini Pemerintah Daerah terutama Kabupaten Dairi dan Kabupaten Pakpak Bharat belumlah dapat dikatakan berbuat banyak terhadap kemajuan dan kesejahteraan masyrakat Pakpak. Hal ini dapat kita lihat dari banyaknya kebijakan Pemda yang tidak mlindungi hak rakyat Pakpak serta lebih menguntungkan pendatang. Saya terkesan dengan beberapa daerah dimana Pemdanya komitmen untuk melestarikan kebudayaan di daerahnya misalnya Pemda Karo, Pemda Bali, Pemda Bantul, dan lain-lain yang benar-benar menjamin kelestarian budaya daerah tersebut. Hal tersebut kiranya sudah dapat menjadi bahan acuan bagi Pemda Dairi dan Pemda Pakpak Bharat. Karena pihak yang pertama kali bertanggung jawab dan paling besar tanggung jawabnya terhadap hilangnya segala potensi baik sumber daya manusia (SDM), sumber daya alam (SDA), maupun sumber daya budaya (SDB) di Tanoh Pakpak adalah para pemimpin di daerah tersebut.

Masalah lainnya adalah ada banyak pihak yang komitmen untuk berbuat banyak terhadap kemajuan budaya serta SDM masyarakat Pakpak akan tetapi mereka adalah orang yang tidak punya dana dan kesempatan untuk itu. Sedangkan bagi orang-orang Pakpak yang sudah sukses, memiliki dana dan kesempatan untuk itu tetapi tidak berbuat apa-apa terhadap kampung halamannya atau bahkan tanah kelahirannya. Untuk itulah, orang-orang Pakpak sekarang ini harus maju baik di segi modal keuangan maupun dari sumber daya manusia. Dan untuk mewujudkannya tidaklah dapat dilakukan secara sendiri-sendiri atau kelompok demi kelompok, tetapi harus saling bergandengan tangan terutama para stake holder’s yaitu Pemerintah Daerah, LSM/ Non Government Organization (NGO), Cendikiawan Pakpak serta orang-orang Pakpak yang sukses dan memiliki modal (capital) yang bisa dipergunakan untuk membangun Pakpak menjadi lebih baik lagi.
SEMANGAT KEBANGSAAN DAN PATRIOTISME
Kalau kita telusuri lebih jauh maka etnis Pakpak menunjukkan tebalnya semangat kebangsaan dan kepatriotan. Etnis ini mempunyai sifat suka menerima hal-hal yang baru tanpa merusak nilai-nilai yang ada dan cepat mengantisipasi nilai-nilai luhur.

Di samping itu orang Pakpak mempunyai sifat terlalu cepat menyesuaikan diri, sehingga banyak yang terjadi sampai menukar marganya. Menguasai bahasa daerah lainnya sangat cepat sehingga rata-rata bisa menguasai bahasa-bahasa daerah di Indonesia ini, sehingga bahasanya sendiri ditinggalkan. Hal ini dipengaruhi oleh rasa nasionalisme yang tinggi dalam rangka Negara Kesatuan Republik Indonesia, tetapi hal ini banyak dimanfaatkan oleh kelompok lain, sehingga padamnya jati diri orang Pakpak. Catatan-catatan buku-buku orientalis Barat juga menyebut orang Pakpak sebagai pemakan orang, namun pada hakekatnya yang dimakan adalah musuh-musuh dalam peperangan (mergraha) jadi bukan kaannibal seperti yang dituduhkan orang Barat tersebut.

Sifat kepatriotannya pun tetap terlihat pada waktu Perang Batak melawan Belanda. Daerah Pakpaklah tempat titik darah penghabisan perjuangan perlawanan Sisingamangaraja XII terhadap Belanda. Banyak panglima orang Pakpak, untuk melindunginya dalam melawan Belanda. Bahwa setelah Sisingamangaraja XII meninggal dunia, perjuangan melawan Belanda terus berlanjut dengan membentuk satuan-satuan gerilya yang disebut “Slimin” sampai tercapainya Kemerdekaan Republik Indonesia.

referansi:

sosbud.kompasiana.com
pariwisata-sumut.tripod.com/suku_pakpak.
pakpakbharatkab.go.id



2 Responses
  1. nice one.. tapi kurang rapi.. kalo buat ujian harus di rapiin lagi :D


  2. Padang Says:

    Wow mantap etnis pakpak, maju trus