Kearifan Lokal Masyarakat Suku
Mandar
Di
selatan Provinsi Sulawesi terdapat Suku Mandar yang belum terlalu dikenal,
mungkin sebagian orang hanya mengetahui Toraja atau Bugis, di Provonsi Sulawesi
tepatnya Sulawesi Selatan ada satu suku yang masih mengikuti budaya nenek
moyang mereka dan memegang teguh warisan budaya yang ada. Suku ini disebut Suku
Mandar. Mandar sendiri adalah sebuah nama yang diistilahkan sebagai etnis,
karena Mandar merupakan salah satu kelompok etnis dari empat suku yang mendiami
kawasan provinsi Sulawesi Selatan yakni etnis Makassar (makasara’), etnis Bugis (ogi’), etnis Toraja (toraya). Pengelompokkan ini dimaksudkan dalam suatu kelompok pengkajian
yang disebut “lagaligologi”.
Mandar
sesuai dengan makna kuantitas yang dikandung dalam konteks geografis merupakan
wilayah dari batas paku (wilayah polmas) sampai surename (wilayah kabupaten
mamuju). Akan tetapi dalam makna kualitas serta simbol dapat kita batasi diri
dalam lingkup kerajaan Balanipa sebagai peletak dasar pembangunan kerajaan
(landasan idial dan landasan structural), dan sebagai bapak perserikatan
seluruh kerajaan dalam wilayah mandar Pitu ulunna Salu dan Pitu
Ba’pana Binanga. Suku mandar adalah satu-satunya suku bahari di nusantara
yang berhadapan langsung dengan laut dalam, tanpa ada pulau yang bergugus, maka
dari itu masyarakat Mandar dikenal sebagai pelaut handal dan penakluk ombak.
Teknologi kelautan mereka sudah demikian sistematis, yang merupakan warisan
dari nenek moyang mereka jaga secara turun temurun. Dan suku Mandar sebagai
salah satu suku di sulawesi selatan memiliki aneka ragam corak kebudayaan yang
khas. Setelah membahas sekilas tentang Suku Mandar kini saatnya kita mengenal lebih
dalam lagi mengenai Suku Mandar. Suku Mandar pada umumnya
mengikuti kedua garis keturunan ayah dan ibu yaitu bilateral. Suku Mandar biasanya terdiri dari ayah, ibu dan anak yang biasanya
bersekolah di daerah lain. Adapun keluarga luas di Mandar terkenal dengan
istilah Mesangana, keluarga luas yaitu famili-famili yang berdekat-dekatan
sudah jauh tetapi masih ada hubungan keluarga. Status dalam suku Mandar berbeda dengan
suku Bugis (suku terdekat dengan suku Mandar), karena didaerah Bugis pada
umunya wanita yang memegang peran dalam peraturan rumah tangga.
Suami sebagai kepala rumah tangga yang bertanggung jawab atas keluarganya
mempunyai tugas tertentu, yaitu mencari nafkah untuk menghidupi keluarganya.
Namun di Mandar sebaliknya, wanita tidak hnaya mengurus rumah tangga saja,
tetapi mereka aktif dalam mengurus pencarian nafkah juga, mereka mempunyai
prinsp hidup, yaitu Siwalippary’ yang artinya sama-sama menderita
(sependeriataan) seperti: kalau laki-lakinnya mengakap ikan, setelah samapi
didarat tugas suami sudah dianggap selesai, maka untuk penyelesaian selanjutnya
adalah tugas istri terserah apakah ikan tersebut akan dijual atau dimakan,
dikeringkan, semua itu adalah tugas seorang istri.
Ada
juga istilah hidup yang terkenal di Mandar, yaitu Sirindo-rondo, Siamasei, dan
Sianuang pa’mai. Sirondo-rondoi maksudnya bekerjasama Bantu membantu dalam
mengerjakan sesuatu pekerjaan baik yang ringan maupun yang berat. Jadi dalam rumah tangga kedua suami istri
begotong royong dalam membina keluarga. Siamamasei, sianuang pa’mai ( sayang
menyayangi, kasih mengasihi, gembira sama gembira susah sama susah).
Secara
keseluruhan dapat ditarik kesimpulan bahwa adanya kerjasama Bantu membantu baik
yang bersifat materil maupun non materil. Dari istilah yang dimaksud tadi pun
sudah jelas bahwa masyarakat Mandar saling bahu membahu membangun keluarga
yang harmonis agar tidak ada kesenjangan pada gender entah ada perlakuan
istimewa untuk seorang suami maupun seorang istri.
Hal lain
yang sangat menarik dan cukup unik di Mandar adalah melekatnya konsep nilai
siwaliparry’. Konsep ini dari suatu pemahaman, bahwa ada kebersamaan dan
kesetaraan antara perempuan dan lak-laki, dalam menafkahi kehidupan.
Perempuan-perempuan Mandar utamanya ibu-ibu rumah tangga, baik di wilayah
pedalaman maupun di pesisiran, ikut membantu suaminya, dalam mengerjakan
kegiatan yang bernilai ekonomi. Untuk medukung roda kehidupan perekonomian
rumah tangga mereka. Lihatlah perempuan-perempuan penambang
pasir, penjemur gabah, pengambil makanan ternak dan pemikul air enau. Juga
perempuan-perempuan pembuat gula aren, pembuat kasur kapuk, pemecah kemiri, dan
perempuan pemintal tali. Mereka menjalani konsep siwaliparri’ sebagai sebuah
nilai budaya leluhur orang Mandar. Dan akhirnya, pemandangan
perempuan-perempuan Mandar yang bekerja, menajadi sesuatu yang sangat akrab,
dalam keseharian.
Suku
Mandar selain memiliki kebudayaan yang sangat kuat, solidaritas dan
kebersamaan, mereka juga mengetahui beberapa pengetahuan atau kebudayaan yang
berbeda. Mereka mempunyai suatu adat atau mitos yang diketahui secara turun
temurun. Seperti, seorang laki-laki atau wanita suku Mandar sebelum ia menikah
pada umumnya sering diberi bekal berupa pengetahuan tentang hidup berkeluarga,
ciri-ciri wanita atau laki-laki yang membawa sial atau keuntungan-keuntungan,
orang yang disinggung; membawa sial yang disebut patula-tula yakni selalu
meninggal suami atau istrinya.
Dan
pada umumnya adalah penganut agama Islam yang setia tetapi dalam kehidupan
sehari-hari tidak dapat lepas dari kepercayaan-kepercayaan seperti pemali,
larangan-larangan dan perbuatan magis seperti pemakaian jimat atau benda-benda
keramat dan sesaji. Didaerah pedalaman seperti di pegunungan Pitu
Ulunna Salu sebelum Islam masuk, religi budaya yang
dikenal ketika itu adalah adat Mappurondo yang diterjemahkan sebagai bepeganng pada falsafah Pemali
Appa Randanna.
Sedangkan
untuk wilayah persekutuan Pitu
Ba’bana Binanga sendiri, religi budayanya dapat ditemui pada
peningglannya yang berupa ritual dan upacara-upacara adat yang tampaknya bisa
dijadikan patokan bahwa ia besumber dari religi budaya dan kepercayaan masa lalunya.
Seperti ritual Mappasoro (menghanyutkan sesaji di
sungai) atau Mattula bala’ (menyiapkan sesaji untuk
menolak musibah) dan lain sebagainya yang diyakini akan membawa manfaat kepada
masyarakat yang melakukannya. Dari sini jelas tampak betapa simbol-simbol
budaya itu berangkat dari religi budaya, yang untuk itu tidak dikenal dalam
Islam.
Pada
zaman globalisasi seperti sekarang ini suku Mandar termasuk suku yang masih
kuat dan tidak terlalu terpengaruh pada kemajuan zaman yang semakin mengikis
budaya asli, namun masyarakat Mandar sangat menjaga keaslian dan keasrian
budaya yang mereka terima dari nenek moyang mereka secara turun temurun. Dalam
pandangan menuju masa depan suku Mandar bisa dikatakan dapat menjaga kestabilan
budaya yang mereka miliki hingga saat ini, karena unsur kekuatan dari
masyarakatnya sendiri sangat kuat mereka sangat menghargai satu sama lain dan
menghargai budaya leluhur yang ada. Di era kemajuan zaman yang semakin cepat
dan terus berkembang ini, mengalami kemunduran pada kebudayaan atau terkikisnya
adat istiadat asli yang sudah semakin memprihatinkan. Menurut saya suku Mandar
akan menjadi suku yang sangat menghargai budaya jika mereka tetap menjaga
kearifan lokal yang ada dan dapat menjadi destinasi wisata budaya yang sangat
menarik di kemudian hari.
Suku yang menarik yang sangat menggambarkan bahwa kita adalah bangsa Maritim yang besar namun sayangnya kurang terekspos.. tugas pemerintah dan kita sebagai satu kesatuan rakyat indonesia memperkenalkan kepada dunia kalau kita memiliki berbagai macam budaya dan tempat wisata yang menarik
semakin banyak suku, semakin jelas kalo indonesia mempunyai banyak etnis dan semakin kaya dengan suku2nya....
Suku ini mempunyai kebudayaan yg sangat berbeda dengan suku yg lain'a .. mereka mempunyai ritual khusus yg mereka anggap sebuah bantuan dari alam yg menurut saya sudah ga masuk akal di jaman revormasi ini namun suku ini tetap menjalankan adat kebudayaan walaupun zaman yg semakin modern, semoga bisa bertahan dan tidak terkikis oleh zaman