Sebagian
besar dari orang Bali menganut agama Hindu-Bali. Walaupun demikian, ada pula
suatu golongan kecil orang-orang Bali yang menganut agama Islam, Kristen, dan
Katolik. Penganut-penganut agama Islam terutama terdapat di daerah pinggiran
pantai di beberapa desa pedalaman, di beberapa kota seperti Karangasem,
Klungkung, dan Denpasar, sedang penganut-penganut agama Kristen dan Katolik
terutama terdapat di daerah Denpasar, Jembrana, Singaraja.
Agama Hindu mengandung banyak
unsur-unsur lokal yang telah terjalin ke dalam sejak dahulu kala. Di berbagai
daerah di Bali, ttentu terdapat juga berbagai variasi lokal dari agama
Hindu-Bali itu, walaupun dalam masa yang akan datang, variasi itu akan
berkurang karena adanya proses modernisasi ynag dialami oleh agama Hindu-Bali
itu, dan karena ada pengaturan dari atas yang dilaksanakan oleh Jawatan Agama
Bagian Hindu, serta oleh majelis agama yang disebut Parisada Hindu Dharma.
Di dalam kehidupan keagamaanya, orang
yang beragama Hindu percaya akan ada satu Tuhan, dalam bentuk konsep Trimurti, Yang Esa, Trimurti ini
mempunyai tiga wujud atau manifestasi, ialah wujud Brahmana, yang menciptakan,
wujud Wisnu, yang melindungi serta memelihara, dan wujud Siwa, yang melebur
segala yang ada. Di samping itu orang Bali juga percaya kepada berbagai dewa
dan ruh yang lebih rendah dari Trimurti dan yang mereka hormati dalam berbagai
upacara bersaji. Agama Hindu juga menganggap penting konsepsi mengenai ruh
abadi ( atman ), adanya buah dari
setiap perbuatan ( karma-pala ), kelahiran kembali dari jiwa ( punarbawa ) dan kebebasan jiwa dari
lingkaran kelahiran kembali ( moksa
). Semua ajaran itu termasuk dalam sekumpulan kitab-kitab suci yang bernama Weda.
Di samping itu terdapat pula buku-buku
dalam bentuk lontar ( dibuat dari daun lontar berhuruf Bali ) yang banyak
mengandung tuntunan mengenai pelaksanaan agama, berbagai kumpulan
mantra-mantra, keterangan mengenai berbagai undang-undang, bentuk prosa dan
puisi yang diambil dari epos Hindu Mahabarata dan Ramayana, bahasa Jawa-Kuno,
tetapi ada pula yang tercampur dengan bahasa Sansekerta.
Tempat
melakukan ibadat agama di Bali pada umumnya disebut pura. Tempat ibadat ini berupa sekompleks bangunan-banguan suci
yang bersifat berbeda-beda. Ada yang bersifat umum, artinya untuk semua
golongan seperti pura Besakih, yang ada berhubungan dengan kelompok sosial
setempat seperti pura desa ( kayangan
tiga ), ada yang berhubungan dengan organisasi dan kumpulan-kumpulan khusus
seperti subak dan seka, kumpulan tari-tarian, dan ada yang
merupakan tempat pemujaan terakhir leluhur dari klen-klen besar. Adapun
tempat-tempat pemujaan leluhur dan klen kecil serta keluarga-luas, adalah
tempat-tempat sajian rumah yang disebut sanggah.
Demikian di Bali itu ada beribu-ribu pura
dan sanggah, masing-msing dengan
hari-hari perayaan sendiri-sendiri, yang telah di tentukan oleh system
tanggalannya sendiri-sendiri. Di Bali dipakai dua macam tanggalan, yaitu
tanggalan Hindu-Bali dan tanggalan Jawa-Bali.
Sistem tanggalan Hindu-Bali terdiri dari
12 bulan yang lamanya 355 hari, tetapi juga kadang-kadang 354 atau 356. Orang
menghitung dengan kedua bagian dari bulan, ialah bagian bulan terbit yang
disebut tanggal dan bagian bulan
mengecil yang disebut panglong .
Sistem perhitungan ini sesuai dengan sistem Hindu yaitu perhitungan syuklapksa
( parohterang ) dan kersnapaksa ( parohgelap ). Tiap-tiap bulan penuh ( purnama
) dan bulan mati ( tilem ) ada pula upacara kecil di tiap-tiap keluarga orang Bali.
Kalau upacara tadi jatuh bersamaan dengan perayaan kuil atau hari raya
tertentu, maka diadakan upacara yang agak besar. Sistem kalender Hindu-Bali
yang berdasarkan atas purnama-tilem ini, dipakai pada perayaan pura-pura di
berbagai derah di Bali, tetapi di seluruh Bali dirayakan tahun baru Saka yang
jatuh pada tanggal 1 dari bulan kesepuluh ( kedasa
) dan perayaan itu disebut nyepi.
Sehari sebelum hari tahun lama berakhir, pada bulan kesembilan ( tilem kesanga ), diadakanlah upacara korban ( pecaruan
yang bersifat buta yaajna ). Pada
hari tahun barunya orang pantang melakukan segala kegiatan ( nyepi ) dan malamnya pantang menyalakan
api. Hari berikutnya, hari tahun baru kedua, disebut ngebak geni. Orang boleh menyalakan api tetapi masih pantang
bekerja.
Sistem tanggalan
Jawa-Bali terdiri dari 30 suku,
masing-masing tujuh hari lamanya, sehingga seluruh jumlahnya adalah 210 hari.
Banyak perayaan kuil-kuil atas berdasarkan perhitungan ini, terutama di daerah
tanah datar yang mendapat lebih banyak pengaruh Majapahit daripada
daerah-daerah lainnya. Perayaan umum terpenting yang berdasarkan atas
perhitungan ini adalah hari raya Galungan
dan Kuningan,yang jatuh pada hari rabu dan sabtu dari uku galungan dan uku kuningan. Nerdasarkan atas dasar sistem tanggalan ini, ada
banyak lagi upacara-upacara yang bersifat lebih kecil.
Dilihat dari
segi keseluruhannya di Bali terdapat lima macam upacara (panca yadnya ) yang
masing-masing berdasarkan atas salah satu dari dua sistem tanggalan tersebut di
atas :
1. Manusia yadnya, yang terutama meliputi upacara-upacara siklus hidup dari
masa kanak-kanak sampai dewasa.
2. Pitra yadnya, yang merupakan upacara-upacara yang di tunjukkan kepada
ruh-ruh leluhur dan yang meliputi upacara-upacara kematian sampai pada upacara
penyucian ruh leluhur ( nyekah,memukur
).
3. Dewa yadnya, yang terutama berkenaan pada upacara-upacara pada kuil-kuil
umum dan keluarga.
4. Resi yadnya, yang merupakan upacara-upacara yang berkenaan pada
pentahbisan pendeta ( mediksa ).
5. Buta yadbya, yang merupakan upacara-upacara yang di tunjukkan
kepada kala dan buta yaitu ruh-ruh yang dapat mengganggu
Pada umumnya apabila orang-orang menyelenggarakan upacara
ibadat dan keagamaan terutama yang besar-besar, maka penuntut dan penyelesaian
upacara itu, dilakukan oleh seorang pemimpin agama tertentu. Orang-orang yang
bertugas melaksanakan upacara itu adalah orang-orang yang telah dilantik
menjadi pendeta dan yang pada umumnya disebut sulinggih. Mereka juga disebut dengan istilah-istilah khusus yang
tergantung dari klen atau kasta mereka. Misalnya
istilah pedanda adalah untuk pendeta
dari kasta Brahmana, baik yang
beraliran Siwa maupun Buda, istilah resi adalah untuk pendeta kasta
Ksatria dan sebagainya. Walaupun semua pelaku upacara agama tadi sebagai sulinggih menjadi anggota Majelis
Parisada Hindu Darma, namun diantara banyak orang Bali masih ada
pandangan-pandangan tradisionel yang membeda-bedakan mereka itu berdasarkan
klen atau kasta.
Tiap orang Bali bisa minta pertolongan
dari berbagai macam pelaku upacara agama tersebut di atas untuk keperluan
pelaksaan suatu upacara tertentu bagi dirinya sendiri serta kelurganya dalm
rumah. Dalam hal itu dikatakan bahwa ia bresiwa
kepada seorang pendeta, misalnya kepada seorang pedanda Siwa atau pedanda
Buda, atau kepada seorang Resi
dan sebagainya. Hubungan antara dia dengan pendeta tadi dikatakan hubungan
sisia-siwa. Dalam hal itu seorang serimg di beri air suci ( tirta ) oleh
pendeta yang bersangkutan. Tetangga atau lain orang diluar kelurga yang
bersangkutan dapat juga minta air tirta dari upacara-upacara dalam rumah tadi.
Biasanya air suci dapat diminta dari kuil-kuil dan dengan air itu orang dapat
melakukan upacara kecil dikalangan rumah tangganya tanpa bantuan seorang
pendeta.
Kuil-kuil atau tempat-tempat pemujaan
umum seperti kuil desa, kuil banjar,kuil subak dan sebagainya biasanya dipelihara
oleh pajabat-pajabat agama yang disebut pemangku.
Untuk dapat menjadi pemangku orang
juga harus telah mengalami pengukuhan melalui beberapa upaca-upacara tertentu,
dan seringkali pemangku juga mempunyai kepandaian yang dimiliki oleh para
pelaku upacara agama pada umumnya. Demikian seorang pemangku seringkali juga bisa dimintai pertolongan untuk
melaksanakan upacara-upacara keagamaan.
Dalam kehidupan religi sungguhpun
mereka mempercayai Trimurti akan tetapi mereka lebih banyak memuja roh para
leluhur dan roh-roh alam serta menjalankan upacara-upacara adat dan religi
sendiri.
Keyakinan dalam Hindu
Hindu seringkali dianggap sebagai agama
yang beraliran politeisme karena memuja banyak Dewa,
namun tidaklah sepenuhnya demikian. Dalam agama Hindu, Dewa
bukanlah Tuhan
tersendiri. Menurut umat Hindu, Tuhan itu Maha Esa tiada duanya. Dalam salah
satu ajaran filsafat Hindu, Adwaita
Wedanta menegaskan bahwa hanya ada satu kekuatan dan menjadi
sumber dari segala yang ada (Brahman),
yang memanifestasikan diri-Nya kepada manusia dalam beragam bentuk.
Dalam Agama Hindu ada lima keyakinan dan kepercayaan
yang disebut dengan Pancasradha.
Pancasradha merupakan keyakinan dasar umat Hindu. Kelima keyakinan tersebut,
yakni:
1. Widhi
Tattwa - percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa dan segala
aspeknya
2. Atma
Tattwa - percaya dengan adanya jiwa dalam setiap makhluk
3. Karmaphala
Tattwa - percaya dengan adanya hukum sebab-akibat dalam setiap
perbuatan
4. Punarbhava
Tattwa - percaya dengan adanya proses kelahiran kembali
(reinkarnasi)
5. Moksa
Tattwa - percaya bahwa kebahagiaan tertinggi merupakan tujuan
akhir manusia
Weda
ayat-ayat
tersebut dikumpulkan ke dalam sebuah kitab yang kemudian disebut Weda. Sesuai
dengan isinya, Weda terbagi menjadi empat, yaitu:
1. Regweda
Samhita
2. Ayurweda
Samhita
3. Samaweda
Samhita
4. Atharwaweda
Samhita
Kitab
Regweda dalam aksara Dewanagari dari abad ke-19.
Keempat
kitab tersebut disebut "Caturweda Samhita". Selain keempat Weda
tersebut, Bhagawadgita yang merupakan intisari ajaran Weda disebut sebagai
"Weda yang kelima".
Catur Warna
Di
Bali berlaku sistem Catur Varna (Warna), yang mana kata Catur Warna berasal
dari bahasa Sanskerta yang terdiri dari kata Catur berarti empat dan
kata warna yang berasal dari urat kata Wr (baca: wri) artinya memilih.
Warna
Brahmana: Disimbolkan dengan warna putih, adalah
golongan fungsional di dalam masyarakat swadharmanya di bidang kerohanian
keagamaan.
Warna
Ksatrya: Disimbolkan dengan warna merah adalah
golongan fungsional di dalam masyarakat swadharmanya di bidang kepemimpinan,
keperwiraan dan pertahanan keamanan negara.
Warna
Waisya: Disimbolkan dengan warna kuning adalah golongan
fungsional di dalam masyarakat di bidang kesejahteraan masyarakat
(perekonomian, perindustrian, dan lain- lain).
Warna
Sudra: Disimbolkan dengan warna hitam adalah golongan fungsional
di dalam masyarakat di bidang ketenagakerjaan.
Hari
Raya Agama
Hari
raya keagamaan bagi pemeluk agama Hindu Dharma, umumnya di hitung berdasarkan wewaran
dan pawukon.
Kombinasi antara Panca Wara, Sapta Wara dan Wuku. Namun adapula Hari raya yang
menggunakan penanggalan Saka.
Kalender
Saka
adalah sebuah kalender yang berasal dari India.
Kalender ini merupakan sebuah penanggalan syamsiah-kamariah
(candra-surya) atau kalender luni-solar. Era Saka dimulai pada tahun 78
Masehi.
Hari Raya Berdasarkan Wewaran
Galungan — Jatuh pada : Buda, Kliwon, Dungulan
Kuningan — Jatuh pada : Saniscara, Kliwon, Kuningan
Saraswati — Jatuh pada : Saniscara, Umanis, Watugunung. Hari Ilmu Pengetahuan, pemujaan pada Sang Hyang Aji Saraswati.
- Banyupinaruh — Jatuh pada : Redite, Pahing, Shinta
- Pagerwesi
Hari Raya Berdasarkan Kalender Saka
§ Siwaratri
§ Nyepi
Upacara Keagamaan
Upacara
keagamaan yang dilakukan dalam Agama Hindu Dharma, berkolaborasi dengan budaya
lokal. Ini menjadi kekayaan dan keunikan yang hanya ditemukan di Bali.
Manusa Yadnya
v Otonan / Wetonan,
adalah upacara yang dilakukan pada hari lahir, seperti perayaan hari ulang
tahun, dilakukan 210 hari.
v Upacara
Potong
Gigi,
adalah upacara keagamaan yang wajib dilaksanakan bagi pemeluknya. Upacara ini
dilakukan pada pemeluk yang telah beranjak remaja atau dewasa. Bagi wanita yang
telah mengalami menstruasi, dan bagi pria yang telah memasuki akil balik.
Pitra Yadnya
Ø Upacara
Ngaben,
adalah prosesi upacara pembakaran jenazah, Sebagaimana dalam konsep Hindu
mengenai pembakaran jenazah, upacara ini sebagai upaya untuk mempercepat
pengembalian unsur-unsur/zat pembentuk dari raga/wadag/badan kasar manusia.Ada
empat lontar utama yang memberi petunjuk tentang adanya upacara Pitra yadnya,
yaitu Yama Purwa Tatwa (mengenai sesajen yang digunakan), Yama Purana Tatwa
(mengenai filsafat pembebasan atau pencarian atma dan hari baik-buruk
melaksanakan upacara), Yama Purwana Tatwa (mengenai susunan acara dan bentuk
rerajahan kajang), dan Yama Tatwa (mengenai bentuk-bentuk bangunan atau sarana
upacara).
Upacara
Agama Hindu Dharma di Pura Goa Lawah, Kabupaten
Klungkung, Bali.
upacara
Ngaben di Ubud
Unsur-unsur Khusus dalam Sistem Religi
Tiga unsur-unsur, yaitu sistem keyakinan, sistem upacara
keagamaan, suatu umat yang menganut religi itu.
Adapun sistem kepercayaaan dan gagasan, pelajaran,
aturan agama, dongeng suci tentang riwayat dewa-dewa ( mitologi ), biasanya
tercantum dalam suatu himpunan buku-buku yang biasanya juga dianggap sebagai
kesusasteraan suci.
Sistem upacara keagamaan secara khusus mengandung empat
aspek yang menjadi perhatian khusus dari para ahli antropolgi ialah tempat
upacara keagamaan dilakukan, saat-saat upacara keagamaan dijalankan, benda-benda
dan alat upacara, orang-orang yang melakukan dan memimpin upacara.
Sumber
:
1.
Pengantar Ilmu Antropologi, Prof. Dr. Koentjaraningrat
2.
MANUSIA DAN KEBUDAYAAN DI INDONESIA, Prof.Dr.Koentjaraningrat
3.
ENSIKLOPEDI SUKU BANGSA DI INDONESIA, Zulyani Hidayah
4. Wikipedia.com