ekonomi



Burjo Kuningan - Tradisi Merantau & Wirausaha
PDF
Print
E-mail


Written by Mang Kabayan   
Tuesday, 09 March 2010 04:19
Tradisi merantau dan berwirausaha ikut mengubah wajah pedesaan di Kabupaten Kuningan, Jawa Barat. Tradisi itu pula yang membawa pemuda Kuningan berhasil menaklukkan kehidupan.Para perantau asal Kuningan dikenal sebagai wiraswasta ulung dan tangguh. Mereka menyebar dan mendirikan usaha kecil-kecilan, tetapi menggurita. Salah satu usaha yang cukup dikenal luas adalah warung bubur kacang hijau alias burjo yang sudah menjadi bagian dari kehidupan warga kota.
Para perantau ini melanjutkan tradisi yang diawali Salim Saca Santana, mantan Lurah Kaliwon Desa Balong, Kecamatan Garawangi Utara, 60 tahun silam. Karena ekonomi desa sulit, Salim berjualan bubur untuk mencukupi kebutuhan hidup.




Dalam buku Mengawetkan Pengalaman: Dinamika Warung Bubur Kacang Hijau Kuningan yang ditulis Sukiman, disebutkan bahwa Salim menyebarluaskan resep membuat burjo kepada warga desanya. Pada 1950, lima pemuda membawa resep itu sebagai bekal merantau. Dari situlah cikal bakal para perantau burjo Kuningan berawal.
Kini, setelah 60 tahun berlalu, jumlah perantau dari daerah ini diperkirakan lebih dari 2.000 orang. Mereka berasal dari 20 desa di Kecamatan Sindangagung dan Garawangi, Kabupaten Kuningan. Mereka menyebar, memasuki nadi perekonomian warga di gang-gang sempit di kota-kota besar, seperti Jakarta, di pelosok desa di Kabupaten Bantul, Yogyakarta, bahkan hingga ke luar Jawa. Mengutip ungkapan E Supardja (65), juragan burjo dari Desa Mekarmulya, Kecamatan Sindangagung, ”Di mana ada denyut kehidupan manusia, di sanalah perantau burjo ada.”
Jangan dibayangkan mereka datang dan merintis bisnis dengan berbagai keahlian atau modal miliaran rupiah. Perantau ini hanya berbekal tekad dan keterampilan membuat bubur serta rasa persaudaraan.
Aci Sukarji (40) adalah juragan warung burjo dari Babakanreuma, Kecamatan Sindangagung, yang merantau hanya dengan modal dengkul. Ia ikut tetangganya yang lebih dulu punya warung di Jakarta, 15 tahun lalu. Selama merantau, Aci bekerja tiga tahun mengumpulkan modal dan pengalaman. Dari sekadar uang receh Rp 1.000-an yang terkumpul, ditambah hasil pinjam bank Rp 1,5 juta, Aci akhirnya bisa mendapatkan modal untuk mendirikan warung.
”Berbekal kacang hijau, mi instan, dan tetangga sebagai pekerja, akhirnya warung itu jalan,” kata Aci, akhir Februari lalu. Penjual burjo yang bertahun-tahun ”mengukur” jalanan Ibu Kota dengan jalan kaki itu kini sudah sedikit nyaman duduk di belakang Toyota Avanzanya.
Namun, tidak semua perantau yang mengandalkan bisnis burjo selalu berujung manis. Jatuh bangun dalam berusaha selalu ada. Mujahid, juragan burjo lain dari Kertayasa, Kecamatan Sindangagung, pernah gagal membangun bisnis burjo di Yogyakarta. Kini ia bangkit lagi dengan bisnis yang sama di desanya. Baginya, laku atau tidak adalah hal biasa dalam berdagang.
Burjo memang bisnis sederhana. Hasil penjualan dikurangi modal dan gaji karyawan, serta sewa tempat selama setahun, adalah pendapatan bersih para juragan. Di warung burjo Toha di Kota Cirebon, pendapatan karyawan yang bekerja 20 hari berkisar Rp 1,5 juta. Adapun sang juragan bisa mendapatkan Rp 2 juta-Rp 4 juta.
Bekal persaudaraan
Para juragan burjo dari Kuningan selalu memegang teguh persaudaraan. Meski sudah sukses dan kaya, mereka tidak lupa kepada tetangga dan sanak saudara di desa. Aci, misalnya, saat membuka warung baru di Jakarta, awal Januari lalu, mengajak tiga pemuda di desanya bergabung untuk bekerja dan belajar di perantauan.
”Daripada setamat SMA menganggur, lebih baik ikut saya. Gaji mungkin tak banyak, tetapi nantinya bisa belajar berwiraswasta,” ujar bos burjo yang punya tiga warung itu.
Meski sama-sama menjalankan bisnis burjo, bukan persaingan yang muncul di antara para perantau ini. Rasa senasib justru lebih mengemuka.
Ketika sakit, Ero (40), karyawan burjo Toha, dibantu teman seperantauannya. Saat krisis moneter melanda, Supardja, juragan burjo, tak pernah mem-PHK karyawan. Dalam kondisi sulit, ”anak didik”-nya rela bekerja meski gajinya tertunda.
Dari cara seperti itulah para perantau asal Kuningan membangun gurita bisnis yang kokoh dan tahan krisis. Selain mencari rezeki, mereka juga membantu kehidupan teman sekampung.
Hasil bisnis burjo tidak sedikit. Jika satu warung bisa menghasilkan Rp 4 juta per bulan, jumlah total pendapatan 1.000 warung dalam setahun mencapai Rp 48 miliar. Jumlah ini hampir setara pendapatan asli Kabupaten Kuningan.
Para perantau itu pun membawa perubahan besar bagi kampung halaman. Di Desa Kertayasa, jalan aspal sudah bukan lagi hal baru. Parabola atau mobil roda empat menghiasi rumah-rumah para juragan burjo yang kini bergelar haji. Jika 20 tahun lalu lulus SMA saja sudah luar biasa, kini—menurut Lurah Kertayasa Oteng Sutara—sudah biasa bila para pemuda kuliah di luar kota.
Bupati Kuningan Aang Hamid Suganda mengakui, para perantau telah menghidupkan bisnis transportasi dan mengurangi pengangguran. Mereka menggerakkan ekonomi rakyat Kuningan secara keseluruhan.
Tradisi merantau dan berwirausaha inilah yang mengubah wajah kehidupan masyarakat Kuningan. Seperti halnya para penjual jamu dan bakso dari Wonogiri, atau pengusaha warung Tegal dari Jawa Tengah, mereka memilih tidak berpangku tangan. Mereka berdiaspora membentuk kemandirian, mengubah wajah suram tanah asal menjadi sebuah harapan.




Toge Goreng Bogor
PDF
Print
E-mail

Written by Mang Kabayan   
Thursday, 19 November 2009 10:29
Sepiring toge goreng tersaji bersama mi kuning, ketupat potong, plus tahu berbentuk dadu. Lengkap dengan bumbu siramnya. Bau tauco yang khas dari kuah biasanya langsung membersit indra penciuman begitu hidangan datang. Toge, yang hanya direndam dalam air panas sebentar, membuat sayuran ini tidak layu. Rasa manis dan gurihnya pun tak hilang. Begitu digigit, rasa manis dari toge langsung keluar menyelimuti lidah, mengalir hingga ke rongga mulut dan berpadu pas dengan kuah kental toge goreng yang gurih pedas. Enaknya nendang. Agar lebih nikmat, biasanya toge goreng dimakan bersama kerupuk kuning besar yang tersedia di kedai itu.

Bahan:
▪1 bks mie kuning
 
▪2 ons toge
▪1 ptg oncom
 
▪4 bh tahu kuning
▪sejumput kucai
 

Kuah:
▪2 bh tomat potong kecil
▪3 sdk mkn tauco kuning
▪150 gr oncom
▪3 bh daun bawang iris memanjang
▪kecap manis
▪minyak untuk menumis
▪jeruk limo

Bumbu halus:
▪3 bh cabai merah
▪8 btr bwg merah
▪garam - gula secukupnya

Cara membuat kuah:
■panaskan minyak lalu tumis bumbu halus hingga harum.
■masukkan tomat - oncom dan daun bawang aduk hingga tercampur rata.
■tuangi air tambahkan kecap manis dan taoco
■masak hingga matang
 




Perekonomian Jawa Barat pada triwulan I-2012 tumbuh sebesar 6,2% (yoy), melambat dibandingkan dengan periode sebelumnya yang tumbuh 6,60%. Dari sisi permintaan, perlambatan perekonomian terjadi karena perlambatan pertumbuhan semua komponen-komponennya, terutama investasi dan konsumsi rumah tangga. Net ekspor serta pengeluaran pemerintah juga mengalami perlambatan. Namun demikian, ekspor Jawa Barat kembali menunjukkan adanya perbaikan kinerja meski pertumbuhannya masih lebih kecil daripada pertumbuhan impor. Dari sisi penawaran, melambatnya kinerja sektor industri pengolahan menjadi penyebab utama perlambatan ekonomi. Perlambatan konsumsi dalam negeri menyebabkan permintaan terhadap produk manufaktur menjadi berkurang. Di lain pihak, mulai membaiknya kondisi perekonomian negara mitra dagang utama dapat meningkatkan penjualan ekspor produk industri pengolahan sehingga dapat menahan perlambatan. Sementara itu kinerja sektor Perdagangan, Hotel, dan Restoran (PHR) dan sektor pertanian yang merupakan sektor utama Jawa Barat tetap menunjukkan pertumbuhan yang lebih tinggi dari triwulan sebelumnya.
Dari sisi harga, inflasi Jawa Barat pada triwulan I-2012 tercatat sebesar 3,33% (yoy) meningkat dari triwulan sebelumnya yang mencapai 3,10%. Kenaikan laju inflasi tersebut terutama disumbangkan oleh peningkatan laju inflasi bahan makanan (volatile foods), khususnya beras dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Dari sisi fundamental, inflasi relatif terkendali karena respon sisi penawaran yang masih baik. Namun demikian, ekspektasi inflasi konsumen yang memburuk, serta tekanan eksternal menahan penurunan laju inflasi inti. Dari sisi kebijakan (administered price), penetapan HPP (Harga Pembelian Pemerintah) beras dan kebijakan cukai rokok turut mendorong laju inflasi.
Kinerja perbankan Jawa Barat pada periode laporan meningkat dibandingkan periode sebelumnya, sebagaimana tercermin dari rasio Loan-to-Deposit ratio (LDR) yang naik dari 76,91% menjadi 78,29%. Hal ini terutama disebabkan oleh tingginya pertumbuhan penyaluran kredit, yakni 22,06% sehingga menjadi Rp165,91 triliun. Kinerja kredit yang membaik disertai dengan risiko kredit yang terjaga sebagaimana tercermin dalam indikator Non Performing Loans (NPL) yang sebesar 2,67%. Sementara itu, bank umum syariah dan BPR juga menunjukkan kinerja yang membaik dibandingkan triwulan sebelumnya.
Pada triwulan II-2012 perekonomian Jawa Barat diperkirakan akan tumbuh lebih tinggi dibandingkan triwulan ini, yakni pada kisaran 6,2% - 6,6%. Dari sisi permintaan, perekonomian akan ditopang oleh peningkatan konsumsi rumah tangga, ditambah dengan perbaikan kinerja ekspor dan investasi. Sementara di sisi penawaran, kinerja sektor industri pengolahan menjadi pendorong utama peningkatan perekonomian Jawa Barat. Selain itu kinerja sektor pertanian dan sektor PHR diperkirakan mengalami sedikit peningkatan.
Laju inflasi pada triwulan II-2012 diperkirakan akan mengalami peningkatan, dengan kisaran batas atas sasaran inflasi nasional, yakni sebesar 4,5% - 5,5%. Tekanan inflasi bersumber dari meningkatnya inflasi inti serta volatile foods, sementara itu inflasi administered price diperkirakan relatif stabil. Meski demikian, angka perkiraan tersebut dapat mengalami koreksi jika perkembangan harga komoditas strategis di pasar internasional menurun serta ekspektasi masyarakat terhadap kebijakan energi pemerintah mengalami perbaikan.

0 Responses