Bila mendengar nama yogyakarta yang paling diingat adalah kota pelajar yang ramah penduduknya.Dahulu yogya disebut Zelfbestuurlandschappen/Daerah Swapraja, yaitu Kasultnan Ngayogyakarta Hadiningrat merupakan sebuah kerajaan yang dipimpin oleh seorang sultan.Yogya juga pernah menjadi ibu kota pada masa menuju kemerdekaan sekitar tahun 1948.Daerah ini disebut Daerah Istimewa karena sejarah yogya yang memiliki masa sejarah yang istimewa,diantaranya yaitu Yogyakarta sampai saat ini
masih berbentuk kesultanan, walaupun kekuasaan sultan kini terkooptasi dengan
lembaga kekuasaan modern lainnya dan juga pada saat kemerdekaan,sultan yang memimpin pada saat itu rela menyerahkan seluruh wilayah yogya demi kemerdekaan Indonesia,karena salah satu syarat negara yang merdeka yaitu memiliki wilayah.
Daerah Istimewa yang memiliki luas 3.185,80 km2 ini terdiri atas satu kota dan empat kabupaten, yang terbagi lagi menjadi 78 kecamatan dan 438 desa/kelurahan.Memiliki jumlah penduduk 3.452.390 jiwa dengan proporsi 1.705.404 laki-laki dan 1.746.986 perempuan, serta memiliki kepadatan penduduk sebesar 1.084 jiwa per km2.(data tahun 2010)
DIY terletak di bagian tengah-selatan Pulau Jawa, secara geografis terletak pada 7o3’-8o12’ Lintang Selatan dan 110o00’-110o50’ Bujur Timur. Berdasarkan bentang alam, wilayah DIY dapat dikelompokkan menjadi empat satuan fisiografi, yaitu satuan fisiografi Gunungapi Merapi, satuan fisiografi Pegunungan selatan atau Pegunungan Seribu, satuan fisiografi Pegunungan Kulon Progo, dan satuan fisiografi Dataran Rendah.
Penduduk Yogya mayoritas beragama islam namun juga didominasi dengan agama kristen dan katolik yang cukup signifikan.Masyarakat sampai saat ini masih tetap mempertahankan budaya "kejawen" yang sangat kental.Seperti budaya mencuci benda benda pusaka pada malam purnama,lalu menyerahkan sesajen unttuk para leluhur di pantai selatan,dan masih banyak lagi.Hal ini juga menambah nilai pariwisata yogya.Karena wisatawan asing maupun lokal banyak yang berkinjung untuk melihat upacara" adat yogya.Yogya memang unik,disaat modernisasi yang sudah mendunia,namun masyrakatnya tetap mempertahankan nilai budaya leluhur.
YOGYA ZAMAN DAHULU (ref : yogyawordpress.com)
Pada permulaan abad ke-18, Kerajaan Mataram diperintah oleh Sri Sunan Paku Buwono ke II. Setelah beliau wafat, terjadilah pertikaian keluarga, antara salah seorang putra beliau dengan salah seorang adik beliau, yang merupakan pula hasil hasutan dari penjajah Belanda yang berkuasa saat itu. Petikaian itu dapat diselesaikan dengan bik melalui Perjanjian Ginyanti, yang terjadi pada tahun 1755, yang isi pokoknya pembagian Kerajaan menjadi dua, yakni Kerajaan Surakata Hadiningrat dibawah pemerintah putera Sunan Paku Buwono ke-III, dan Kerajaan Ngayogyakarta Hadiningrat dibawah pemerintahan adik kandung Sri Sunan Paku Buwono ke-II yang kemudian bergelar Sultan Hamengku Buwono I. Kerajaan Ngayogyakarta Hadiningrat ini kemudian lazim disebut sebagai Yogyakarta dan sering disingkat menjadi Jogja.
Pada tahun 1813, Sri Sultan Hamengku Buwono I, menyerahkan sebagian dari wilayah Kerajaannya yang terletak di sebelah Barat sungai Progo, kepada salah seorang puteranya yang bernama Pangeran Notokusumo untuk memerintah di daerah itu secara bebas, dengan kedaulatan yang penuh. Pangeran Notokusumo selanjutnya bergelar sebagai Sri Paku Alam I, sedang daerah kekuasaan beliau disebut Adikarto. Setelah Proklamasi Kemerdekaan RI, beliau menyatakan sepenuhnya berdiri di belakang Negara Republik Indonesia, sebagai bagian dari negara persatuan Republik Indonesia, yang selanjutnya bersatatus Daerah Istimewa Yogyakarta (setingkat dengan Propinsi), sampai sekarang.
logo pariwisata yogya