Latar Belakang Suku Tolaki


Latar Belakang Suku Tolaki




1.      Lokasi (Geografis, Astronomis dan Klimatologi)


Tolaki adalah salah satu suku yang ada di Sulawesi Tenggara. Orang Tolaki mendiami wilayah daerah Kabupaten Kendari dan Kabupaten Kolaka di Sulawesi Tenggara. Keduanya adalah masing-masing bekas wilayah Kerajaan Konawe dan Kerajaan Mekongga. Kota Kendari terletak di jazirah Tenggara Pulau Sulawesi. Secara geografis terletak di bagian selatan garis khatulistiwa, berada di antara 3º54’30” - 4º3’11” Lintang Selatan dan 122º23’ - 122º39’ Bujur Timur.


Permukaan bumi wilayah propinsi ini, khususnya wilayah Kabupaten Kendari dan Kabupaten Kolaka terdiri dan ditandai oleh gunung-gunung dan lembah daratan yang luas, yang ditutupi hutan lebat tetapi juga belukar dan alang-alang akibat perladangan liar oleh penduduk. Sedangkan wilayah Kabupaten Buton dan Kabupaten Muna terdiri dari pulau-pulau yang mengandung batu karang dan ditumbuhi hutan bakau. Pada hamper seluruh wilayah propinsi ini mengalir sungai-sungai yang bermuara pada pantai-pantai laut yang cukup indah untuk objek pariwisata. Topografi tanah tampak berbukit-bukit bersambung dengan pegunungan yang ditengahnya terdapat danau, ditumbuhi hutan lebat berwarna kelabu, tanahnya kemerahan yang merupakan kompleks tanah yang subur, permukaan tanah yang sedikit bertingkat-tingkat dan berombak-ombak, dan lembah daratan yang dikelilingi oleh gunung.


Sama halnya dengan lain-lain di daerah Indonesia, daerah ini mengalami musim hujan dalam waktu antara bulan Desember sampai bulan Mei, dan musim kemarau pada bulan Juni sampai November setiap tahunnya. Namun kadang-kadang dialami adanya musim kemarau panjang dan hujan lokal. Suhu rata-rata 25 º - 27 º C. curah hujan pada musim hujan antara 200 mm dan pada musim kemarau rata-rata 500 mm, sedangkan hari hujan rata-rata 13 hari pada musim hujan dan rata-rata 6 hari pada musim kemarau.

Dahulu, masyarakat Tolaki umumnya merupakan masyarakat nomaden yang handal, hidup dari hasil berburu dan meramu yang dilaksanakan secara gotong-royong. Hal ini ditandai dengan bukti sejarah dalam bentuk kebudayaan memakan sagu (sinonggi/papeda), yang hingga kini belum dibudidayakan atau dengan kata lain masih diperoleh asli dari alam. Raja Konawe yang terkenal adalah Haluoleo (delapan hari). Masyarakat Kendari percaya bahwa garis keturunan mereka berasal dari daerah Yunan Selatan yang sudah berasimilasi dengan penduduk setempat, walaupun sampai saat ini belum ada penelitian atau penelusuran ilmiah tentang hal tersebut. Kini masyarakat Tolaki umumnya hidup berladang dan bersawah, maka ketergantungan terhadap air sangat penting untuk kelangsungan pertanian mereka. untunglah mereka memiliki sungai terbesar dan terpanjang di provinsi ini. Sungai ini dinamai sungai Konawe. yang membelah daerah ini dari barat ke selatan menuju Selat Kendari.


Orang Tolaki pada umumnya suka memilih tempat pemukiman pada lokasi-lokasi tertentu di daratan yang tidak jauh dari gunung, dekat dengan sebuah sungai dan ada juga yang tinggal tidak jauh dari pantai. Daratan luas yang ditumbuhi hutan rimba, disana hidup sejumlah jenis hewan buruan juga hewan yang sewaktu-waktu menjadi musuh dan hama tanaman. Sewaktu-waktu sungai yang besar seperti Konawe ‘eha dan Lasolo dapat banjir dan meluap di musim hujan dan tidak jarang menghanyutkan kompleks pemukiman mereka. Areal alang-alang yang begitu luas sebagai perladangan liar oleh penduduk, menyebabkan sewaktu-waktu timbul erosi.


2.      Demografi


Luas wilayah propinsi Sulawesi Tenggara meliputi 38.140 Km2, suatu wilayah yang cukup luas untuk suatu jumlah penduduk yang sangat kurang yaitu 831.554 jiwa, dimana luas wilayah kabupaten Kendari dan kabupaten Kolaka meliputi 26.110 Km2 dengan penduduk 371.445 jiwa yang didalamnya termasuk orang Tolaki. Di Andolaki lah orang Tolaki kemudian terpencar ke Utara sampai Routa, ke barat sampai Konde ‘eha liwat Mowewe dan Lambo, kemudian ada yang sampai Mekongga, ke selatan sampai Olo-Oloho atau Konawe liwat Ambekaeri dan Asinua, dank e timur sampai di Latoma dan asera. Orang Tolaki yang bermukim pertama di Landono dan Besulutu kemudian menyebar ke wilayah sebelah timur meliputi wilayah muara sungai Lasolo ke wilayah sebelah selatan yang meliputi wilayah Kendari selatan di Pu’unggaluku, Tinanggea, Kolono, Moramo, dan ada juga yang menyeberang ke pulau Wawoni’i.

Orang Tolaki yang berdiam di wilayah Kerajaan Mekongga di kabupaten Kolaka sekarang menamakan dirinya orang Mekongga, dan mereka yang berdiam di wilayah Kerajaan Konawe, yakni bagian wilayah Kabupaten Kendari sekarang, menamakan dirinya orang Konawe, dan mereka berdiam di pesisir hulu Sungai Konawe’eha bagian utara Kerajaan Konawe dan bagian Kerajaan Mekongga menamakan dirinya orang To Laiwui.


3.      Sejarah


Awal mula datangnya Belanda di Sulawesi Tenggara, khususnya di tanah suku Tolaki ini dan kerja sama dengan Raja Komawe bersama dengan rakyatnya diawali dengan suatu kontrak pada hari Senin, 21 Desember 1885, suatu kontrak yang ditandatangani oleh masing-masing pihak. Oleh Belanda ialah Bensbach dan Faber van Straten, dan suku Tolaki, ialah Raja Laiwui, Sapati, dan Kapitan.

Menurut kisah orang-orang tua di kalangan Suku Tolaki kontrak ini diadakan dalam rangka menenangkan hati rakyat yang tidak menerima kedatangan Belanda di daerahnya.

20 tahun kemudian pada 1905 orang Tolaki melanjutkan perlawanan terhadap Belanda yang berakhir pada 1916 dengan diadakannya perjanjian 1917. Perjanjian ini ditandatangani oleh masing-masing pihak. Pihak Belanda oleh G.G. van Reil dan T.B. Houdhar dan pihak Tolaki oleh Sao-Sao, La Tombili, dan Rakawula. Sao-Sao diangkat menjadi Raja Laiwui (1917-1928) yang kemudian digantikan oleh putranya Tekaka (1928-1955).

Ketika Belanda datang di daerah ini, kedua kerajaan tersebut telah lama mengalami kekalutan. Tidak dilantiknya mokole baru, pengganti Mokole Lakidende gelar Sangia Ngginoburu setelah mangkat dan pemerintahan kerajaan dijalankan oleh Sulemandara, menyebabkan dua wilayah kerajaan, yakni wilayah sebelah timur di Ranome'eto dan wilayah sebelah barat di Latoma memisahkan diri lepas dari pusat Kerajaan di Una'aha. Mereka tidak mau tunduk terhadap kepemimpinan Sulemandara. Demikian halnya pada Kerajaan Mekongga setelah tidak adanya pengganti Bokeo Laduma gelar Sangia Nibandera, wilayah Kerajaan Mekongga bagian sebelah utara juga berontak. Kondisi negatif demikian dimanfaatkan oleh Belanda untuk menguasai. Berhasil lah Belanda membujuk Sao-Sao, Sapati di Ranome'eto untuk bersatu dengan Belanda memadamkan perlawanan orang Tolaki terhadap Belanda. Sebagai jasanya ia menjadi Raja Laiwui, suatu kerajaan baru untuk menenggelamkan Kerajaan Konawe.


Jepang mendarat di Kendari 24 Januari 1942. Terjadi pertempuran antara tentara Jepang dengan sisa-sisa Belanda yang masih tinggal di Kendari. Berkuasalah Jepang di daerah ini sampai 14 Agustus 1945. Setelah Jepang kalah pada Sekutu pada 1945, NICA masuk di kendari. Kembalinya Belanda di daerah ini sebagai NICA ditentang oleh penduduk. Dengan senjata rampasan dan dengan semangat heiho dari Jepang, penduduk mengadakan perlawanan terhadap NICA dalam rangkaian perjuangan Republik Indonesia mempertahankan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945.

Pada masa pendudukan Jepang di daerah ini hampir tidak ada perubahan, kecuali berupa penggantian beberapa istilah wilayah kekuasaan dan jabatan penguasa ke dalam istilah bahasa Jepang.

Dalam zaman kekuasaan Belanda dan Jepang, baik Kerajaan Konawe maupun Kerajaan Mekongga menjadi hancur. Kerajaan 'onawe tenggelam dan muncul kerajaan baru yang diberi nama Kerajaan Laiwui, yang kemudian merupakan. bagian dari Afdeeling Buton en Laiwui di Bau-Bau. Kerajaan Laiwui sendiri beribukota di Kendari. Kerajaan Mekongga dimasukkan ke dalam Afdeeling Luwu en Mekonggal di Palopo. Dan Kerajaan Mekongga sendiri beribukota di Kolaka.
0 Responses