Mata Pencaharian
Dalam mata pencaharian mereka telah lama mengenal pertanian ladang berpindah (huma), berburu, mencari hasil hutan, dan menangkap ikan. Pertanian lading berpindah itu dilakukan dengan system tebang bakar dan dalam pekerjaan itu mereka saling gotong royong, pele’rau yaitu kelompok gotong royong yang mengerjakan ladang secara bergantian/bergiliran. Dalam rangka pekerjaan di ladang itu mereka pernah mengenal macam-macam kepercayaan, yang mungkin masih ada yang mengamalkannya sampai masa terakhir ini. Mereka juga percaya bahwa padi mempunyai jiwa atau roh (beluan parai). Padi yang akan dijadikan benih itu harus diperlakukan istimewa dengan mengadakan upacara yang disebut nebiing. Upacara ini bertuuan untuk menguatkan roh padi itu, memberi sajian kepada roh baik agar menjaga padi itu. Setelah penanaman padi dilakukan pula upacara lalii ugaal, yaitu memohon kepada dewa padi agar diberikan hasil yang melimpah. Permulaan masa panen disambut dengan upacara yang disebut ngebal sebagai pertanda panen dapat dimulai.
Binatang buruan adalah babi hutan, rusa, rusa, ular, kura-kura, kera, beruang, dan macan. Mereka berburu dengan bantuan anjing, alat yang mereka gunakan adalah tombak, parang, mandau, dan sumpitan. Dalam berburu mereka mengenal berbagai tantangan, misalnya tidak boleh bersiul, tidak bicara yang kurang senonoh, tidak membuang sisa makanan di sembarang tempat, tidak meneruskan perjalanan jika kalau ada burung yang terbang melintas.
Mata pencaharian yang cukup penting adalah meramu hasil hutan, seperti rotan, dammar, kayu, buah-buahan (durian, cempedak, langsat rambutan, dan lain-lani). Dalam kegiatan meramu hasil hutan itu dikenal juga beberapa macam pantangan, misalnya tidak membakar terasi, bawang dan lombok. Bau terasi itu di yakini akan mengundang kehadiran binatang buas. Selain itu juga tidak diperbolehkan berbicara tentang wanita, karena itu akan mengundang kehadiran kuntilanak yang akan menghisap darah manusia yang ada di hutan itu.
Dalam mata pencaharian mereka telah lama mengenal pertanian ladang berpindah (huma), berburu, mencari hasil hutan, dan menangkap ikan. Pertanian lading berpindah itu dilakukan dengan system tebang bakar dan dalam pekerjaan itu mereka saling gotong royong, pele’rau yaitu kelompok gotong royong yang mengerjakan ladang secara bergantian/bergiliran. Dalam rangka pekerjaan di ladang itu mereka pernah mengenal macam-macam kepercayaan, yang mungkin masih ada yang mengamalkannya sampai masa terakhir ini. Mereka juga percaya bahwa padi mempunyai jiwa atau roh (beluan parai). Padi yang akan dijadikan benih itu harus diperlakukan istimewa dengan mengadakan upacara yang disebut nebiing. Upacara ini bertuuan untuk menguatkan roh padi itu, memberi sajian kepada roh baik agar menjaga padi itu. Setelah penanaman padi dilakukan pula upacara lalii ugaal, yaitu memohon kepada dewa padi agar diberikan hasil yang melimpah. Permulaan masa panen disambut dengan upacara yang disebut ngebal sebagai pertanda panen dapat dimulai.
Binatang buruan adalah babi hutan, rusa, rusa, ular, kura-kura, kera, beruang, dan macan. Mereka berburu dengan bantuan anjing, alat yang mereka gunakan adalah tombak, parang, mandau, dan sumpitan. Dalam berburu mereka mengenal berbagai tantangan, misalnya tidak boleh bersiul, tidak bicara yang kurang senonoh, tidak membuang sisa makanan di sembarang tempat, tidak meneruskan perjalanan jika kalau ada burung yang terbang melintas.
Mata pencaharian yang cukup penting adalah meramu hasil hutan, seperti rotan, dammar, kayu, buah-buahan (durian, cempedak, langsat rambutan, dan lain-lani). Dalam kegiatan meramu hasil hutan itu dikenal juga beberapa macam pantangan, misalnya tidak membakar terasi, bawang dan lombok. Bau terasi itu di yakini akan mengundang kehadiran binatang buas. Selain itu juga tidak diperbolehkan berbicara tentang wanita, karena itu akan mengundang kehadiran kuntilanak yang akan menghisap darah manusia yang ada di hutan itu.