Penutup


PENUTUP


Pembicaraan mengenai Tionghoa di Indonesia biasanya meliputi percaturan orang-orang Tionghoa dalam politik, sosial dan budaya di Indonesia. Kebudayaan Tionghoa merupakan salah satu pembentuk dan bagian integral yang tak terpisahkan dari kebudayaan nasional Indonesia sekarang ini. Kebudayaan Tionghoa di Indonesia walau berakar dari budaya leluhur, namun telah sangat bersifat lokal dan mengalami proses asimilasi dengan kebudayaan lokal lainnya.
Akibat tekanan rezim Orde Baru, banyak dari antara orang Tionghoa telah menanggalkan nama aslinya dan menggunakan nama-nama lokal, meskipun secara diam-diam masih memakainya untuk kegiatan di kalangan mereka. Namun seiring dengan terjadinya Reformasi, tanpa rasa takut mereka kembali menggunakan nama Tionghoa mereka, meskipun masih banyak yang enggan memakainya kembali. Yang membuat mengiasi suku-suku yang ada di Indonesia membuat kita bertambah banyak suku yang dimiliki oleh Indonesia.

a.    Kebudayaan menghadapi masa depan

Suku bangsa Tionghoa  di Indonesia adalah salah satu etnis di Indonesia. Biasanya mereka menyebut dirinya dengan istilah Tenglang , Tengnang, atau Thongnyin . Dalam bahasa Mandarin mereka disebut. Hal ini sesuai dengan kenyataan bahwa orang Tionghoa-Indonesia mayoritas berasal dari Cina selatan yang menyebut diri mereka sebagai orang Tang, sementara orang Cina utara menyebut diri mereka sebagai orang Han.
Leluhur orang Tionghoa-Indonesia berimigrasi secara bergelombang sejak ribuan tahun yang lalu melalui kegiatan perniagaan. Peran mereka beberapa kali muncul dalam sejarah Indonesia, bahkan sebelum Republik Indonesia dideklarasikan dan terbentuk. Catatan-catatan dari Cina menyatakan bahwa kerajaan-kerajaan kuno di Nusantara telah berhubungan erat dengan dinasti-dinasti yang berkuasa di Cina. Faktor inilah yang kemudian menyuburkan perdagangan dan lalu lintas barang maupun manusia dari Cina ke Nusantara dan sebaliknya. Beberapa catatan tertua ditulis oleh para agamawan, seperti Fa Hien pada abad ke-4 dan I Ching pada abad ke-7. Fa Hien melaporkan suatu kerajaan di Jawa dan I Ching ingin datang ke India untuk mempelajari agama Buddha dan singgah dulu di Nusantara untuk belajar bahasa Sanskerta. Dengan berkembangnya kerajaan-kerajaan di Nusantara, para imigran Tiongkok pun mulai berdatangan, terutama untuk kepentingan perdagangan. Pada prasasti-prasasti dari Jawa orang Cina disebut-sebut sebagai warga asing yang menetap di samping nama-nama sukubangsa dari Nusantara, daratan Asia Tenggara dan anak benua India. Dalam suatu prasasti perunggu bertahun 860 dari Jawa Timur disebut suatu istilah, Juru Cina, yang berkait dengan jabatan pengurus orang-orang Tionghoa yang tinggal di sana. Beberapa motif relief di Candi Sewu diduga juga mendapat pengaruh dari motif-motif kain sutera Tiongkok.

b.    Kebudayaan sebagai  asset  Pariwisata

Sebagai asset Pariwisata bisa menjadi ajang mengenal sebuah kebudayaan yang masih belum dikenal kebanyakan masyarakat karena ini bisa Tradisi Budaya masyarakat Tionghoa (Cina) ini juga dirayakan bersamaan dengan perayaan hari besar “Tahun Baru Imlek” yang merupakan hari besar menurut penanggalan Cina. Terdapat beberapa atraksi budaya yang unik dan bisa dinikmati setiap tahunnya pada perayaan Imlek seperti : Festival Permainan Naga - Barongsai, Atraksi “Tatung” pada perayaan “Cap Go Meh”,  Pawai Lampion, Wayang Gantung bercerita tentang kehidupan dengan latar belakang masa lalu maupun masa sekarang dan Musik 8 dewa. Masih dalam rangkaian tahun baru Imlek dilaksanakan pada malam hari Lampion dengan berbagai ukuran, seni budaya masyarakat Tionghoa ikut memeriahkan parade ini seperti Naga, Barongsai, serta miniatur vihara yang menerangi kota Singkawang. Dan ini menjadi bagus untuk memajukan pariwisata yang ada di Indonesia. Oleh karena itu apabila kebudayaan ini ada di Idonesia berarti menguntungkan untuk kemajuan Pariwisata di Indonesia.
0 Responses