Melayu
di RIAU pada saat kemerdekaan
Ketika
Jepang menyerah kepada Sekutu, keadaan di Kepulauan Riau dan Tanjungpinang
khasnya tiada menentu lagi, karena rakyat tiada tahu lagi siapa yang akan
memimpin Kepulauan Riau. Bersamaan dengan itu pula diikuti dengan pembubaran
perkumpulan-perkumpulan yang pernah dibuat oleh Jepang. Sedangkan tentara
Jepang banyak yang mengundurkan dirinya ke Singapura. Maka keadaan
Tanjungpinang dan persekitarannya kembali kacau, apalagi dengan kehadiran
perompak-lanun yang membuat rakyat ketakutan. Konon, pada saat itu yang paling
berkuasa adalah Kapitan Cina dan Letnan India. Kekacauan baru agak mereda
dengan kedatangan pasukan Sekutu yang kebanyakannya adalah tentara Australia,
yang segera mengambil kekuasaan di Tanjungpinang. Bersama dengan itu ikut pula
tentara Belanda dan pegawai sipil NICA. Sedangkan pasukan Sekutu begitu cepat
menguasai Kepulauan Riau yang kemudian membentuk pemerintahan sipil dalam lingkungan
Seekutu, yaitu AMACAB (Civil Administration of Allied Forces). Dengan
kepandaian Belanda, dan dengan adanya Residentie van Riouw, akhirnya menguasai
Kepulauan Riau dengan residennya Dr. J. van Waardenburg meskipun ianya masih
berkedudukan di Singapura. Cengkeraman kuku kekuasaan Belanda melalui tangan
Sekutu di Tanjungpinang menyebabkan para tokoh dan pejuang di Tanjungpinang dan
di daerah lainnya di Kepulauan Riau melakukan perlawanan bawah tanah. Dalam
masa tiga bulan setelah proklamasi dan penyerahan Jepang, tercatat ada dua
perkumpulan (organisasi) bawah tanah yang muncul di Tanjungpinang, yang satu
bernama JKPRR atau Jawatan Kuasa Pengurus Rakyat Riau sedangkan satunya lagi
adalah BKIR atau Badan Kebangsaan Indonesia Riau. JKPRR dengan ketuanya Raja H.
Abdullah Osman dengan Wakil Ketua Tengku Ahmad Atan, Sekretaris Jenderal
Djaafar Huda, mempertimbangkan akan keadaan daerah maka memperbuat pusat
kerjanya di Singapura. Tujuannya adalah supaya Kepulauan Riau dapat memperoleh
pemerintah sendiri dalam bentuk sebuah kerajaan, seperti Kerajaan Riau yang
dihapuskan oleh Belanda tahun 1913. Dalam memperjuangkan kehendak rakyat itu,
para pengurus JKPRR berusaha bertemu dengan pihak Sekutu dan Belanda, baik
dengan Residen van Waardenburg maupun dengan Letnan Gubernur Jendral Dr. JJ.
Van Mook. Mereka juga bertemu dengan Perdana Menteru Indonesia Sultan Syahrir
dan Menteri Luar Negeri H. Agus Salim. Sedangkan BKIR yang didirkan 10 Oktober
1945 diketuai oleh Dr. Ilyas Datuk Batuah, Wakil Ketua Raden Subarma, Sekretaris
Tuanku Muda Chaidir dan anggota-anggotanya antara lain Urip St. Indera, M.
Samin, Tangiran, Abd. Hamid, Abd. Wahid Encok, Osman, Raja Sagil, Raja Mohd.
Yunus, ZAMAHSYARI (ayahandaku, atoknda), Sunaryo, Jakob Hasibuan, Ismet
Mokhtar, Said Salim dan Syahbudin Nasir. BKIR yang berkedudukan di
Tanjungpinang bertujuan antara lain untuk mendapatkan pengakuan dari Pemerintah
Republik Indonesia bahwa Kepulauan Riau adalah bagian dari Republik Indonesia.
BKIR akan menjadi pemegang komando kepada tentara republik dan rakyat lainnya
yang masuk ke Kepulauan Riau, juga akan menyiapkan kepada tempat Komite
Nasional Indonesia untuk Kepulauan Riau, juga menjadi koordinator Kementerian
Dalam Negeri dan Kementerian Penerangan di Kepulauan Riau, serta BKIR akan membuka
perwakilannya di Singapura. Perjuangan JKPRR untuk mendpatkan hak pemerintahan
sendiri dalam bentuk sebuah kerajaan, tidak berhasil. Belanda hanya memberikan
hak otonomi terbatas dimana kekuasaan tertinggi tetap pada Belanda. Kepulauan
Riau diminta untuk membentuk sebuah dewan sementara yang akan menyiapkan
pemilihan umum bertingkat, bagi membentuk satu dewan perwakilan. Akhirnya
setelah mendapat nasehat dari Perdana Menetri RI Sutan Syahrir dan Menlu H.
Agus Salim, tawaran Belanda itu diterima. Akhir tahun 1946 di Tanjungpinang
dibentuk Dewan Riau Sementara yang tugas utamanya menyusun undang-undang dan
peraturan bagi dilakukan pemilihan umum. Pertengahan tahun 1947 tugas tersebut
selesai. Maka pada tanggal 4 Agustus 1947 anggota Dewan Riau hasil pemilihan
umum itu dilantik. Dipilih sebagai Ketua adalah Mohammad Apan dan Wakil Ketua
Mukhtar Husin. Tanggal 27 Desember 1949 berdasarkan hasil Konperensi Meja
Bundar (KMB) terjadi penyerahan kedaulatan dari Belanda kepada Indonesia.
Penyerahan kedaulatan itu terjadi di mana-mana, selain acara puncak di Negeri
Belanda dan pusat Republik Indonesia di Yogyakarta. Di Tanjungpinang,
penyerahan kedaulatan itu terjadi antara Komandan Tritorial Belanda untuk Riau
Kolonel Trebels kepada Mayor M. Akil Prawiradireja. Walaupun sudah dilakukan
penyerahan kedaulatan, di Tanjungpinang sebagai pusat pemerintahan Kepulauan
Riau, belum serta merta beralih kekuasaan kepada Pemerintah RI, karena
Kepulauan Riau termasuk dalam daerah BFO (Bijzonder Federal Overleg) yang dalam
RIS (Republik Indonesia Serikat) disebut Daerah Bagian Kepulauan Riau. Sampai
saat itu peranan pemerintahan masih dipegang oleh Dewan Riau, dengan Mukhtar
Husin sebagai ketuanya. Mukhtar Husin dalam kedudukan sebagai Ketua Dewan Riau
kemudian diangkat sebagai Residen Riau menggantikan Residen Belanda yang segera
meninggalkan Tanjungpinang. Dewan Riau berjalan sampai 18 Maret 1950 dan
kemudian dibubarkan setelah mendapat desakan dari para pemuda pejuang yang
tergabung dalam Panitia 17 yang dipimpin oleh Zamahsyari dan Said Hamzah. Sejak
tanggal tersebut, Kepulauan Riau menyatakan diri bergabung dalam Republik
Indonesia, dan keputusan itu kemudian dikukuhkan dengan Surat Keputusan
Delegasi Republik Indonesia Propinsi Sumatera Tengah, tanggal 8 Mei 1950.
Dengan demikian cukuplah selintas perjalanan orang Melayu khasnya kemudian yang
berada di Kepulauan Riau, sejak zaman kerajaan sehinggalah menggabungkan diri
kepada Negara Kesatuan Republiki Indonesia. Sampai sejauh itu dapatlah
ditela’ah bagaimana rupanya keadaan orang Melayu dalam perjalanan sejarahnya.
Jika diibaratkan se-cebis kain, maka telah tercabik-cabik dek perlakuan
perjalanan masa itu sendiri, baik ketika masa kerajaan sampai pada masa
penjajahan yang menggerunkan. Tetapi kemudiannya, justru yang menambal sulam
akan cabikan kain itu adalah daripada seni dan budaya Melayu itu sendiri yang
bersandar kepada aqidah agama Islam. Ianya justru menjadi sekalung rampai
bunga-bunga yang indah serta mengharum dalam kehidupan masyarakat Melayu
Kepulauan Riau, hari ini!