PENUTUP


PENUTUP

Kepercayaan Aluk Todolo pada hakikatnya sudah mendarah daging bagi Suku Toraja yang merupakan suatu kepercayaan animis berdasarkan mitos dan legenda leluhur orng Toraja, yang mengakui yang menyembah roh-roh yang disebut Puang Matua, Deata-deata, dan Tomembali Puang (Todolo). Kepercayaan ini melahirkan empat tingkatan (pelapisan) sosial dalam masyarakat tradisional Toraja, yaitu bangsawan tinggi (tana’bulaan), bangsawan menegah (tana’ bassi), rakyat biasa (tana’ karurung), dan hamba sahaya (tana’ kua-kua).
Dalam melaksanakan ritual upacara-upacara adat Aluk Todolo selalu diawali dengan melakukan penyembahan dan pemujaan kepada Todolo (leluhur). Hal ini merupakan penghormatan berlebihan yang melahirkan suatu sikap peng’kultus’an terhadap leluhur, yang selanjutnya mengakibatkan segala mitos dan legenda yang disampaikan oleh orang-orang tua menjadi suatu kebenaran yang mutlak dan diterima sebagai dogma yang dapat ditentang kebenarannya, seperti aturan-aturan adat, ataupun asal-usul nenek moyang mereka dan keberadaan Tongkonan dalam kaitannya dengan Aluk Todolo.
Bangunan Tongkonan merupakan representasi dari budaya kepercayaan Aluk Todolo dan dianggap sebagai mikrokosmos. Tongkonan adalah rumah yang hanya dimiliki oleh keluarga bangsawan Toraja, mempunyai fungsi adat dalam kaitannya dengan kepercayaan Aluk Todolo, selain sebagai tempat tinggal penguasa adat/ bangsawan (dahulu)juga berfungsi sebagai pusat pnyelenggaraan upacara adat yang religius yaitu pesta adat : Rambu Tuka dan Rambu Solo.
Badaya ‘perahu’ pernah dikenal oleh masyarakat Toraja yang dapat dibuktikan dengan : adanya bentuk erong (peti mati) yang mirip dengan bentuk perahu, yang menurut kepercayaan Aluk Todolo dianggap sebagai ‘kendaraan’ orang mati menuju alam puya (alam sesudah kematian; perbendaharaan kata puang lembang (puang = yang empunya; lembang = perahu) yang dulu dipakai untuk menyebut pimpinan kelompok orang berperahu yang datang ke Toraja. Istilah lembang itu masih dapat ditemukan dan tetap digunakan sampai sekarang di bagian utara dan selatan Toraja, meskipun arti kata itu sudah bermakna lain yaitu wilayah atau daerah kecamatan. Oleh karena itu, orang Toraja sendiri pada saat ini mengartikan bentuk atap Tongkonan sebagai abstraksi dari bentuk perahu; istilah tukak somba yang dipakai oleh orang-orang pesisir untuk menamakan ‘tiang utama’ perahu mereka, juga dipakai untuk memberikan predikat pada tiang penyangga Longa (atap rumah bagian depan dan belakang yang menjulang ke atas) pada bangunan Tongkonan; bentuk arsitektur Tongkonan  memperlihatkan kemiripan dengan bentuk ‘perahu upacara’ dengan penutup atap melengkung yang sedang disimpan seperti yang terdapat di pesisir pantai di Ceylon.
Bila ditinjau dari kondisi geografis Tana Toraja saat ini yang merupakan dataran tinggi dan bukit-bukit, dengan posisi terletak cukup jauh dari pesisir pantai yang relatif tidak dapat menunjang kegiatan ‘maritim’a dalam hal ini budaya perahu maka adanya bentuk dan istilah ‘perahu’ yang dikenal oleh masyarakat Toraja membuktikan bahwa nenek moyang mereka merupakan ‘pendatang’ yang kemudian menetap di dearah tersebut.
Namun dalam perkembangan selanjutnya, untuk menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungan alam demi kelangsungan hidup mereka, dapat dikatakan bahwa budaya ‘agraris’ lebih dominan dalam kehidupan masyarakat Toraja, dengan pemikiran bahwa masyarakat agraris tradisional di Indonesia pada umumnya menanam tanaman padi, dimana dalam melakukan kegiatan bercocok tanam yang diawali dengan membajak sawah selalu mempergunakan atau memanfaatkan kerbau sebagai hewan pembajak. Artinya, kerbau merupakan hewan yang telah ‘akrab’ dengan kehidupan kesehariannya, sehingga ‘bentuk kerbau’ menjadi sangat lekat dalam benak mereka.
Dalam konteks kepercayaan Aluk Todolo, kerbau dianggap sebagai hewan yang paling utama karena merupakan hewan kurbau untuk ‘sajian persembahan’ yang tertinggi nilainya pada pelaksanaan upacara-upacara adat. Selain itu, kerbau dalam kehidupan sosial orang Toraja dijadikan sebagai hewan ternak yang diharapkan dapat berkembang-biak dan memberikan keuntungan bagi keluarga, yang selanjutnya dipergunakan sebagai standar nilai tukar tertinggi ( pada masa lalu perniagaan yang dilakukan angota-angota masyarakat masih mempergunakan ‘sistem barter’ barang karena belum mengenal ‘alat tukar’ berupa uang seperti sekarang).
Dari uraian di atas dapat dipahami bila posisi kerbau ( tedong) dalam kehidupan masyarakat Toraja dianggap sebagai pokok harta benda yang kemudian diistilahkan tedonggaronto’eanan, dengan kata lain kerbau dikonotasikan sebagai modal utama bagi keluarga orang Toraja. oleh karena itu, visualisasi bentuk kerbau berulang-ulang ditampilkan (paling sering tampil dalam bentuk kepala kerbau) merupakan suatu upaya untuk menekankan ‘penting’nya kerbau dalam kehidupan sosial-budaya masyarakat.
Budaya ‘kerbau’ sangat mempengaruhi kehidupan dan alam pikiran masyarakat sehingga bentuk kerbau hampir selalu  menjadi acuan dalam menciptakan bentuk-bentuk tertentu sebagai simbol yang mempunyai makna tersendiri dan merupakan unsur-unsur visual Tongkonan yang terpadu dalam satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan bangunan, baik dalam bentuk dua dimensi maupun tiga dimensi, seperti ukiran ragam hias Pa’tedong pada Tongkonan dan Alang yang merupakan simbol kekayaan dan kemakmuran, atau kabongo’ yang berbentuk ikon ‘patung’ kerbau yang dipasang pada bagian depan Tongkonan sebagai simbol kebangsawanan atau untuk menunjukkan peranan/kedudukan sosial yang tinggi dari pemiliknya, dalam sistem kemasyarakatan orang Toraja. Bahkan lebih daripada itu, bangunan  tongkonan pun diasosiasikan dengan bentuk kepala kerbau.
Dengan tidak adanya tulisan dalm bentuk huruf abjad konvensional seperti yang dikenal saat ini, dalam tradisi masyarakat Toraja selain penuturan lisan untuk mengkomunikasikan dan mendokumentasikan gagasan-gagasan, ajaran-ajaran, dan pesan-pesan, maka merek menciptakan bentuk artikulasi simbolik yaitu Passura’ ( ukiran) pada bangunan sebagai sistem komunikasi transverbal melalui simbol-simbol.
Oleh karena itu Passura’ sebagai karya seni ukir masyarakat Toraja semula tidak dimaksudkan sebagai hiasan tetapi merupakan ‘tanda’ yang menyampaikan hal-hal yang penting, seperti tata kehidupan sosial orang Toraja, pesan-pesanyang bersifat moralis, dan peristiwa-peristiwa penting yang pernah terjadi, dan dalam penerapannya, Passura’mendukung tujuan pelaksanaan dua macam kegiatan pesta yang berbeda ( pesta Rambu Tuka’ dan Rambu Solo’).
Kebudayaan, lama atau baru, pada hakikatnya bersifat dinamis, bukanlah sesuatu yang abadi. Kebudayaan Toraja sekarang merupakan hasil interaksi dan perbauran berbagai kebudayaan daerah dan etnis, ditambah pengaruh-pengaruh dari luar sejak dahulu hingga kini.
Kepercayaan Aluk Todolo selama beberapa abad yang dianut dengan ketat oleh masyarakat tradisional Toraja yang bertahan di wilayah-wilayah pedalaman terpencil, dan tidak dapat berkembang karena kurang terpengaruh oleh budaya suku-suku lain disekitarnya, namun dengan terbukanya jalur-jalur transportasi dari dan ke daerah Toraja sejak akhir abad yang lalu, maka persentuhan antara budaya asli dengan budaya luar tak dapat terhindarkan, yang selanjutnya membawa pengaruh pada sendi-sendi kehidupan budaya mereka. Pengaruh dari luar itu cukup besar, dan itu memungkinkan anggota dari suku dan bangsa lain masuk ke Toraja dan lambat laun mempengaruhi kehidupan masyarakat.

a.  Kebuayaan menghadapi masa depan
Sebuah kebudayaan tidak akan pernah punah atau hilang apabila di suatu dan daerah masyarakat tetap mempertahankan serta melestarikan kebudayaan ini agar tidak tereksploitasi oleh kebudayaan asing atau luar yang bisa menggerus dan menghilangkan kebudayaan asli yang dimiliki oleh sebuah suku atau daerah seperti, Suku Toraja yang masih tetap melestarikan kebudayaan dari sejak nenek moyang sampai sekarang. Oleh karena itu sebagai generasi muda harus memilki kepedulian untuk memlestarikan kebudayaan agar tidak punah dan hilang walaupun kita tidak tinggal di tempat tersebut merasakan apabila kebudayaan yang dimiliki oleh Suku Toraja ini hilang berarti sudah hilang satu asset kebudayaan yang dimiliki bangsa dan bagaimana dengan suku-suku yang lain. Ini menjadi pembelajaran bagaimana untuk tetap mempertahankan kebudayaan yang sudah ada. Dan tanpa ada bantuan dari generasi muda maka akan sia-sia saja untuk tetap bisa mempertahankan dan melestarikan kebudayaan agar anak cucu kita nanti tetap bisa merasakan dan melihat betapa banyak kebudayaan yang dimiliki oleh bangsa Indonesia serta bisa membanggakan kebudayaan bangsanya sendiri.

b.  Kebudayaan sebagai asset Pariwisata
Kebudayaan sebagai asset Pariwisata adalah yang paling utama yang harus dimiliki karena apabila kemajuan Pariwisata suatu bangsa dan negara sudah bisa menaikan dan menambahkan devisa negara untuk kemajuan suatu bangsa dan negara. Sebetulnya apa yang membuat kebudayaan kita kurang dikenal oleh negara lain serta kurangnya kunjungan wisatawan ke Indonesia. Dan bagaimana cara kita untuk menghadapi hal seperti ini? Mungkin dengan cara melihatkan dan memperkenalkan kebudayaan yang ada di Indonesia bahwa Idonesia memiliki banyak kebudayaan yang masih sangat asli dan belum terjama dengan dunia luar. Oeh karena itu peran Pemerintah daerah dan pusat serta para pelaku yang berperan Pariwisata yang memiliki tanggungjawab bersama saling melestarikan sebuah kebudayaan yang menjadi asset sebuah bangsa. Seperti kebanyakan suku, bahasa, kebudayaan, dan kesenian suatu bangsa akan punah dan hilang.
0 Responses