Penutup


Sebagai Aset Pariwiwsata  
suku terasing Baduy yang
tinggal di kaki Pegunungan Kendeng, sekitar 40 kilometer arah selatan
Kota Rangkasbitung, Kabupaten Lebak.

Masyarakat Baduy yang hingga kini masih kukuh mempertahankan tradisi
warisan leluhurnya merupakan aset wisata yang sangat besar. Karena
itu, Dinas Pariwisata Provinsi Banten menetapkan kawasan seluas
5.101,85 hektare ini sebagi objek wisata unggulan.

Kawasan permukiman Baduy dengan potensi budaya yang besar itu
terletak di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar. Kawasan ini berudara
sejuk dengan suhu antara 20 - 30 derajat Celsius. Ketinggian dari
permukaan laut antara 400 - 500 meter. Kondisi geografis kawasan ini
berbukit-bukit dengan hamparan tanah menyerupai lembah yang ditumbuhi
beraneka jenis pohon yang usianya sudah ratusan tahun.

Kawasan ini sesungguhnya dibagi dalam dua wilayah penting, yakni
tangtu (Tangtu Cibeo, Cikertawana, dan Cikeusik) serta panamping.
Masyarakat di tiga tangtu inilah dikenal dengan sebutan Baduy Dalam
(Kajeroan) dan penamping disebut dengan Baduy Luar.

Karena memiliki berbagai keunikan, nama suku Baduy kesohor sampai ke
mancanegara. "Setiap bulan selalu ada saja wisatwan yang berkunjung
ke kawasan itu," kata Kepala Dinas Pariwisata Provinsi Banten Soleman
Efendi. Jangan ditanya lagi wisatawan dari dalam negeri, baik yang
datang untuk melakukan penelitian maupun yang secara sengaja
menyaksikan kehidupan masyarakat suku terasing tersebut.

Pemerintah Daerah Lebak sejak 1990 menetapkan kawasan ini sebagai
cagar budaya. Dalam Peraturan Daerah (Perda) Nomor 13/1990 ditegaskan
kekukuhan masyarakat Baduy mempertahankan warisan leluhurnya
merupakan aset nasional yang harus dijaga.

Pola hidup masyarakat Baduy yang memegang teguh adat-istiadat
merupakan daya tarik tersendiri bagi wisatawan. Seperti, mereka tabu
membangun rumah dengan bahan-bahan bangunan industri. Atap rumahnya
terbuat dari ijuk dan dinding-dindingnya terbuat dari anyaman bambu.
Seluruh tiang penyangga menggunakan balok kayu. Bahan-bahan lokal
tersebut berusaha dipenuhi sendiri tanpa harus merusak hutan. Rumah-
rumah mereka tidak mengenal listrik dan mereka memasak dengan
menggunakan kayu bakar.

Tidak hanya itu, orang Baduy pun tabu memakai aksesoris seperti
kemeja, sepatu, kacamata, atau jam tangan, kecuali perhiasan yang
terbuat dari kulit kayu teureup, gelang dari akar-akaran, serta
golok. Orang Baduy juga tabu membunuh, meminum minuman yang dapat
memabukkan, kawin dua kali, menyenangkan hati dengan tarian,
tetabuhan, nyanyian, memakai emas atau perak yang dapat membuat orang
lain iri hati.

Pengadilan adat

Bagi siapa yang melanggar larangan diseret ke pengadilan adat. Dan,
jika pelanggaran dilakukan berulang kali, si pelanggar diusir dari
komunitas Baduy Dalam dan menjadi warga Baduy Luar. Meski begitu,
mereka masih tetap merasa satu komunitas, dan diwajibkan menjunjung
tinggi pedoman utama sebagai dasar hidup, kecuali telah meninggalkan
agama warisan leluhurnya, Sunda Wiwitan.

Kedatangan wisatawan ke kawasan itu mengakibatkan sebagian dari
mereka tergoda untuk melakukan pelanggaran. Akibat melakukan
pelanggaran, tidak sedikit warga Baduy terusir dari kampung
halamannya dan menjadi warga Baduy Luar.

Larangan tidak hanya berlaku untuk orang Baduy, tetapi juga orang
dari luar yang mengunjungi kawasan permukiman mereka. Walanda
(sebutan untuk orang luar) tak diperkenankan masuk ke kawasan Baduy
Dalam pada bulan Kasa, Karo, Katiga (sistem kalender Baduy, Red) atau
Januari - Maret dalam sistem kalender Masehi. Selama tiga bulan itu,
siapa pun yang datang dengan alasan apa pun, tidak diperkenankan
masuk ke kawasan Baduy Dalam, karena saat itu mereka sedang
menjalankan ibadah puasa yang disebut dengan kawalu.

Kepercayaan Sunda Wiwitan merupakan pedoman hidup sehari-hari
masyarakat Baduy. Kepercayaan ini merupakan perpaduan antara
pengakuan terhadap keesaan Tuhan dan roh-roh leluhur. Sebutan Batara
Tunggal merupakan perwujudan dari pengakuan mereka tentang kekuasaan
Tuhan, yang menciptakan dan memelihara alam semesta. Sedangkan roh-
roh leluhur yang disebut Guriang diyakini menjaga mereka selama
berada di dunia fana.

Pandangan hidup masyarakat Baduy terhadap lingkungan sekitarnya
tercermin dalam kehati-hatian mereka dalam mengolah ladang (huma).
Sistem ladang berpindah tidak dipraktikkan secara membabi buta. Tidak
semua kawasan boleh dijadikan ladang, terutama hutan larangan yang
mereka sebut leuweung kolot, leuweung ngora, leuweung reuma (hutan
belukar bekas huma dan jami).

Yang membedakan kawasan hutan di daerah itu dengan daerah lainnya di
luar masyarakat Baduy adalah keadaan tumbuhan hutan larangan tetap
terjaga utuh. Kawasan ini tampak hijau dengan berbagai jenis tumbuhan
yang sengaja dibiarkan tumbuh secara alami. Kawasan ini ditumbuhi
tanaman keras yang sudah ratusan tahun umurnya.

Kawasan hutan ini dikeramatkan, karena mereka percaya di sanalah
tempat tinggal roh-roh leluhur, sehingga tidak boleh sembarang
dikunjungi, kecuali melakukan upacara ritual keagamaan. Apalagi,
menebang pohon atau memetik daun di atas kawasan itu. Teu wasa atau
(tabu, Red) kata orang Baduy memberi alasan.

Ketentuan tidak tertulis itu merupakan dogma yang harus dipatuhi
tanpa dijelaskan lagi alasan-alasannya, apalagi sampai diperdebatkan.
Sesuatu yang dikatakan tabu merupakan ketentuan dari leluhurnya yang
harus dipatuhi.

Setiap warga Baduy dituntut untuk melestarikan lingkungannya karena,
menurut pandangan mereka, alam semesta dan isinya adalah milik Batara
Tunggal. Mereka hanya diberi hak dan kewenangan untuk mengawasi.
Seperti tersirat dalam salah satu dari sepuluh pikukuh (pedoman
hidup, Red) yakni mewajibkan setiap orang Baduy untuk memelihara
sasaka pusaka bumi (alam semesta). Sikap masyarakat Baduy yang kukuh
melestarikan lingkungannya berpijak pada pedoman hidup. Mereka
percaya, hutan di kawasan itu merupakan anugerah Batara Tunggal yang
harus dilestarikan untuk kepentingan masa depan anak-cucu mereka.

Dalam kehidupan sosial, masyarakat Baduy yang menurut hasil sensus
penduduk Juni 2000, 717 jiwa dipimpin oleh tiga orang pemangku adat
yang disebut puun masing-masing Puun Cibeo, Puun Cikertawana, dan
Puun Cikeusik. Jabatan puun diwariskan secara turun-temurun. Puun
bertugas mengatur roda pemerintahan maupun memberikan hukuman kepada
warga Baduy yang melanggar adat.

Dalam menjalankan tugasnya puun dibantu oleh beberapa tokoh adat,
yakni girang seurat (bidang kesejahteraan, sosial budaya, dan
penyelenggaraan upacara adat), tangkesan atau dukun putih (penasihat
adat dan spiritual), baresan salapan (dewan penasihat untuk
memutuskan perkara), jaro tanggungan duawelas (bidang keagamaan,
mengawasi lingkungan hidup), jaro tangtu (perantara warga dalam
menyampaikan aspirasi dan memberi pertimbangan hukum dalam perkara
adat).

Selain itu terdapat beberapa tokoh adat seperti jaro tujuh yang
membantu tugas girang seurat, jaro dangka yang bertugas mengurus
bidang spiritual serta mengawasi masuknya budaya luar serta jaro
pamerintah (Kepala Desa Kanekes). Pengangkatan jaro pamerintah
berdasarkan persetujuan para puun dan Pemerintah Kabupaten Lebak.
Untuk menjalankan tugas sehari-hari jaro pamerintah dibantu
sekretaris desa yang disebut carik.

referensi : 
www.wikipedia.com
http://groups.yahoo.com
0 Responses