persebaran


LOKASI TEMPAT BERDIAMNYA SUKU ANAK DALAM
               Sebagian besar Suku anak dalam tinggal di pinggiran pedalaman hutan di provinsi Jambi, sementara itu sebagian kecil lainnya tinggal di wilayah Provinsi Sumatra Selatan. Provinsi Jambi terletak pada kordinat 0°45¹  sampai 2° 45¹ Lintang Selatan dan 101° 10¹ sampai 104° 55¹ Bujur Timur. Luas wilayah seluruhnya 53.435 Km² meliputi wilayah daratan seluas 51.000435 Km² (99,44%) dan wilayah perairan seluas 2.435,72 435 Km² (4,56%). Secara administrative, Provinsi Jambi terdiri dari ( Kabupaten dan satu kotamadya dengan luas wilayah.
               Distribusi Suku Anak Dalam di Provinsi Jambi saat ini terdapat dibeberapa Kabupaten tertentu, yakni : Kabupaten Sarolangun, Merangin, Bungo, Batanghari, Tanjung Jabung Barat dan Tanjung Jabun Timur. Dikabupaten sarolangun dan Merangin mereka tinggal di daerah Air Hitam, Ulu Air Hitam, Mengkal, Kejasung Besar, Kesaung Kecil, Sungai Jernang dan Terap yang berada  di sekitar Lubuk Keloyang. Selain itu mereka juga ditemukan didaerah Kubang Beringin  dan Pemusiran Deket Rantau Panjang. Di Kabupaten Bungo dan Tebo, komunitas mereka terutama ditemukan disepanjang Sungai Tabir yang terdiri dari Puak-Puak batu Sawar, Tanah Garo, Kesung dan Lumahan Manis. Sementara itu diKabupaten Batanghari, Suku Anak Dalam dapat dijumpai disepanjang perairan Sungai Olek, Air Tantan, dan Air Arai.
               Desa semangus merupakan salah satu desa di Kecamatan Musi Rawas Lakitan, Kabupaten Muri Lawas atau Mura. diDesa ini bermukim dua kelompok suku anak dalam, yaitu dikawasan hutan sekitar Sungai Hitam dan dihutan sekitar Sungai Palero. Masyarakat desa ini menyebutkan tempat itu “ Hutan Sungai Hitam dan Hutan Sungai Palero”. Kelompok suku anak dalam yang tinggal dihutan Sungai Hitam sudah relative menetap karena sudah cukup lama, kurang lebih 20-an tahun ditempat yang sama. Sementara itu, yang berbeda di hutan Palero masih sering berpindah-pindah.
               Perjalanan ke pemukiman suku anak dalam dihutan pinggir Sungai Hitam, termasuk sulit dan cukup melelahkan. Dari Ibukota Kabupaten Musi Rawas, yaitu LubukLinggau, jaraka Desa Semangus ini kurang lebih 78km, sedang dari Muara Lakitan (kota kecamatan) jaraknya sekitar 18km. jalan yang menghubungkan desa ini, baik dari Lubuklinggau maupun dari Muaralakitan tidak seluruhnya berupa aspal yang mulus. Sebagian jalan memang sudah beraspal, tetepi masih ada yang berupa jalan tanah. Jalan aspal yang ada sudah tidak mulus lagi karena banak terkelupas dan berlubang-lubang. Sementara itu, jalan yang masih berupa tangah kondisinya lebih memprihatinkan. Apalagi bila musim penghijau. Pada musim penghujan, jalan tanaah yang biasanya menjadi berlumpur seperti kubangan kerbau. Mobil atau kendaraan bermotor yang melintasi jalan itu sangatlah sulit . padahal, sarana transportasi itu merupakan penghubung terpenting bagi daerah ini.
               Dengan kondisi jalan yang demikian, waktu tempuh antara Desa Semanggus dengan kota-kota penting lainnya menjadi cukup lama dan berat dilihat dari medannya. Dalam keadaan normal (tidak musim penghujan) biasanya waktu yang diperlukan untuk melakukan perjalanan dari Lubuklinggau ke Semangus kurang lebih 3 jam dengan kendaraan umum, sedangkan dari Muara Lakitan sekitar 1 jam perjalanan. Akan tetapi, bila sedang datang musim penghujan, waktu yang dibutuhkan untuk menempuh berjalanan bisa menjadi berlipat akibatnya berat medan yang ada.
                Hutan Sungai Hitam tempat Suku Anak Dalam masih cukup jauh dari pusat Desa Samangus itu. Jalan darat yang menghubungkan Desa dengan tempat itu belum ada. Yang lazim digunakan adalahh melalui aliran sungai dengan menggunakan “kapal motor sungai”, yaitu perahu yang dilengkapi dengan mesin temple. Kalau dari pusat Desa Semangus, perjalanan diawali dengan menyusuri Sungai Musi selama kuranng lebih 15 menit. Kemudian masuk ke sungai Semangus (anak Sungai Musi) selama 20 menit dan dari Sungai Semangus baru belok kiri ke Sungai Hitam. Dengan kecepatan sekitar 40km/jam, perjalanan dengan “kapal motor” ini membutuhkan waktu 2,5jam. Tempat pendaratan perahu dipinggir Sungai Hitam bukan merupakan pemukiman Suku Anak Dalam, akan tetapi, etmpat itu dianggap cukup dekat. Pemukiman Suku Kubu masih jauh ke arah darat. Untuk mencapainya, perjalanan dilanjutkan dengan jalan kaki melalui “jalan tikus”. Jalan itu kadang-kadang tampak cukup jelas,tetpai kadang-kadang tidak, tetapi kadang-kadang tidak ketara karena berupa semak belukar dan hutan belantara yang tidak dihuni penduduk. Selama kurang lebih 2 jam berjalan melalui lembah dan perbukitan dengan beberapa kali menyebrangi aliran sungai kecil ditengah hutan barulah sampe dikawasan pemukiman Suku Anak Dalam yang dimaksud. Menurut keterangan warga Desa Semangus, jarak pemukiman Suku Anak Dalam dihutan Sungai Hitam ke pusat desa itu kurang lebih 30km jauhnya.
               Bagian hutan tempat tinggal Suku Anak Dalam ini masih termasuk wilayah Desa Semangus. Akan tetepi, warga yang tinggal ditempat ini lebih senang menyebutnya “Dusun Kubuan”. Sebagai mana pusat Ddesa Semangus, “Dusun Kubuan” termasuk daratan rendah yang ketinggian wilayahnya berkisar antara 0-100meter diatas peermukaaan laut. Medan eilayahnya bergelombang. Bagian yang relative tinggi berupa hutan belukar dengan berbagai jenis pepohonan. Sementara itu, bagian-bagian yag rendah berupa lembah dengan beerbagai aliran sungai dan sebagian berupa rawa. Menurut keterangan dikantor Kecamatan Lakitan, suhu udara didaerah ini berkisar antara 27-34derajat celcius. Sementara itu, curah hujan dalam setahun mencapai 2008 milimeter. Musim kemarau terjadi bulan-bulan April- Oktober, sedangkan musim penghujan anatar bulan Oktober-April ( Kantor KEcamatan Muaralakitan, Nopember 1993).
               Hutan dipinggir Sungai Hitam tempat Suku Anak Dalam bermukim termasuk hutan yang masih asli. Berbagai jenis binatang dan tumbuhan asli masih dapat ditemukan dikawasan hutan ini, bintang Liar yang masih dapat ditemukan dikawasan hutan ini, antara lain, kamper, berlian, mambang,ulin, dan meranti. Selain itu masih ada juga “brangsang dan “ klungklung” yang kulit kayunya banyak digunakan sebagai dinding rumah masyarakat SUku Anak Dalam, serta rotan dan jenis sulur-suluran.
               Secara fisik, “Dusun Kubuan” belum menggambarkan sebagai sebuah perkampungan dalam arti sebenarnya. Bangunan tempat tinggal warganya tersebar dengan jarak yang relative jauh, yaitu berkisaran antara 300-500meter. Antara satu dengan lain tempat tinggalnya cukup jauh tidak dilengkapi dengan jalan penghubung yang memadai. “jalan” penghubungnya berupa “jalan tikus” yang kadang-kadang tidak jelas kalau itu adalah jalan yang sering dilewati warga setempat. Fasilitas lainnya, seperti sanitasi dan MCK juga tidak dapat ditemukan. Dengan kondisi demikian itu adalah sebuah “dusun”. Suasana perkampungan ini tampak terasa sangat sepia tau lenggang jauh dari keramain penduduk. Kegiatan penduduk hamper tidak kelihatan. Tidak tampak orang yang mengjinjing cangkul atau alat pertanian lainnya. Semua serba diam dan sepi. Hanya desir angin dan suara burung atau binatang yang khas dari hutan yang terdengar dikawasan hutan ini.
               Rumah tempat tinggal warga suku Anak Dalam sebenarnya lebih tepat disebut gubug dalam arti sebenarnya. Ukuran bangunannya kurang lebih 4x5 meter atau lebih kecil dan berupa rumah panggung. Ketinggian lantainya berkisar antara 2,5 sampai 3 meter diatas tanah. Hamper semua bahan rumah terdiri dari kayu . tiang, kerangka dan lantai rumah seluruhnyaa terbuat dari kayu yang umumnya masih berupaa batang kayu utuh. Kayu-kayu itu dirangkai dengan tali yang terbuat dari rotan, dan tidak menggunakan paku. Dinding rumah terbuat dari kulit kayu. Yang biasanya , dinding rumah ini terbuat dari kulit kayu “brangsang” atau kayu “ klungklung” menurut keterangan, kulit kedua jenis kayu ini mudah dikelupas dan tidak bergetah. Sementara itu, atap rumah terbuat dari rumbia yang mudah dan banyak ditemukan disekitarnya. Ruangan rumah hanya ada dua, satu besar dan lainnya dibagian belakang agak kecil. Ruangan yang besar adalah ruangan multifungsi . berbagai kegiatan dilakukan diruang ini, seperti untuk istirahat, menerima tamu, dan juga untuk makan. Selanjutnya satu ruangan yang agak kecil tadi digunakan untuk memasak dan menyimpan beberapa peralatan yang bersifat pribadi.
               Menurut keterangan, sampai tahun 1980-an, ruang rumah itu hanya satu. Warga Suku Anak Dalam jarang memasak. Bila hal itu harus dilakukan, mereka memasak makanan diluar rumah, bahkan langsung didekat mereka mendapatkan bahan makanan. Mereka membuat tempat atau ruangan kecil sebagai tempat memasak ini setelah mendapatkan pengetahuan dari sapari., yaitu orang dusun yang tinggal dilingkungan dan telah banyak memberikan berbagai pengetahuan baru yang dianggap sangat bermanfaat.
               Pada tahun 1992, jumlah penduduk Desa Semangus adalah sebanyak 3.616 jiwa yang terdiri dari 703 KK (kepala keluarga) . dengan memiliki rata-rata setiap keluarga 5 orang anggota keluarga termasuk kepala keluarganya. Ementara itu, suku anak dalam yang bermukim di kawasan hutan Sungai Hitam sebanyak 45 jiwa, terdiri dari 17 KK atau rata-rata 3-4 setiap keluarga. Sebagian penduduk yang bemukim atau tinggal di pusat desa, yaitu disekat jalan antara Lubuklinggau-Muara LAkitan disekitar Sungai Musi. Dipusat pemukiman inilah penduduk Desa Semangus tinggal. Pertumbuhan penduduk di Desa Semanggus relative kecil, bahkan antara 1990-1991 terjadi penurunan jumlah penduduk sebanyak 4 orang. Menurut keterangan, selain tingkat kelahirab yang rendah, penduduk desa ini senang dan sering merantau sehingga pertumbuhan penduduk relative kecil.
               Hal itu hampir sama terjadi pada sekelompok Suku Anak Dalam yang tinggal dikawasan hutan Sungai Hitam. Menurut Sapari yang bertanggung jawab atas pencatatan jiwa warga kelompok ini, pada awalnya (1977) kelomok Suku Anak Dalam yang tinggal dikawasan ini terdiri atas 6 kepala keluarga, jumlah anggotanya sebanyak 18 orang. Kemudian, sekitar tahun 1976 datang bergabung 3 kelompok keluarga yang berjumlah 7 jiwa. Pada tahaun 1979 datang 1 keluarga lagi yang terdiri dari suami dan istri atau 2 orang. Pada tahun 1980 bergabung 2 keluarga sebanyak 5 juwa dan terakhir tahun 1982 datang lagi keluarga yang terdiri atas 3 jiwa.

               Sebenernya, bergabungnya beberapa keluarga baru dikelompok ini jumlah kepala keluarga dan anggotanya lebih baik dari 17  keluarga seperti sekarang ini. Akan tetapi, ada beberapa keluarga yang tidak bisa mengikuti “cara hidup” kelompok imi sehingga mereka lebih memilih pindah dan kembali hiadup terpisah. Hal ini terjadi pada tahun 1998 sebanyak 3 kepala keluarga yang terdiri atas 8 orang telah meninggalkan kelompok ini. Mereka hidup tidak jauh dari kawasan ini. Kini, jumlah kepala keluarga yang tinggal di kawasan ini ada 17 dan seluruhnya ada 45 jiwa.


Nama-nama daerah tempat mereka bermukim mengacu pada anak-anak sungai yang  ada di dekat permukiman mereka.
Kawasan Cagar Biosfer Bukit Duabelas adalah kawasan hidup Orang Rimba yang dilindungi dan ditetapkan melalui Surat Usulan Gubernur Jambi No. 522/51/1973/1984 seluas 26.800 Ha.                   Ditetapkannya kawasan Bukit Dua Belas sebagai Cagar Biosfir, adalah karena kawasan ini memenuhi ciri-ciri atau kriteria yang sifatnya kualitatif yang mengacu pada kriteria umum Man and Biosphere Reserve Program, UNESCO seperti berikut:
1.Merupakan kawasan yang mempunyai keperwakilan ekosistem yang masih alami dan kawasan yang sudah mengalami degradasi, modifikasi dan atau binaan.
2.Mempunyai komunitas alam yang unik, langka dan indah.
3.Merupakan landscape atau bentang alam yang cukup luas yang mencerminkan interaksi antara komunitas alami dengan manusia beserta kegiatannya secara harmonis.
4.Merupakan tempat bagi penyelenggaraan pemantauan perubahan perubahan ekologi melalui kegiatan penelitian dan pendidikan (Dirjen PHPA, 1993).
            Secara administratif kawasan Cagar Biosfer Bukit Duabelas terletak di antara lima kabupaten yaitu kabupaten Sarolangun, Merangin, Bungo, Tebo dan Batang Hari. Kelima kabupaten tersebut saling berbatasan di punggungan Bukit Duabelas. Kawasan yang didiami oleh Orang Rimba ini secara geografis adalah kawasan yang dibatasi oleh Batang Tabir di sebelah barat, Batang Tembesi di sebelah timur, Batang Hari di sebelah utara dan Batang Merangin di sebelah selatan. Selain itu, kawasan inipun terletak di antara beberapa jalur perhubungan yaitu lintas tengah Sumatera, lintas tengah penghubung antara kota Bangko-Muara Bungo-Jambi, dan lintas timur Sumatera. Dengan letak yang demikian, maka dapat dikatakan kawasan ini berada di tengah tengah propinsi Jambi.
            Di kawasan Cagar Biosfir Bukit Duabelas yang merupakan wilayah tempat tinggal atau habitat Orang Rimba ini , terdapat tiga kelompok Orang Rimba yaitu kelompok Air Hitam di bagian selatan kawasan, Kejasung di bagian utara dan timur serta Makekal di bagian barat kawasan. Penamaan kelompok-kelompok tersebut disesuaikan dengan nama sungai tempat mereka tinggal. Seperti halnya masyarakat umum, Orang Rimba juga merupakan masyarakat yang sangat tergantung dengan keberadaan sungai sebagai sumber air minum, transportasi dan penopang aktifitas kehidupan lainnya. Orang Rimba hidup dalam kelompok kelompok kecil yang selalu menempati wilayah bantaran sungai baik di badan sungai besar ataupun di anak sungai dari hilir sampai ke hulu.
            Walaupun mereka jarang menggunakan sungai sebagai tempat membersihkan dirinya, tetapi keberadaan sungai sebagai sarana kehidupan mereka terutama untuk kebutuhan air minum, sehingga pemukiman mereka selalu diarahkan tidak jauh dari anak anak sungai.
Wilayah Taman Nasional Bukit XII memiliki beberapa tempat tinggal lain di kaki bukitnya, dengan Bukit Dua Belas sebagai titik sentralnya. Dinamakan Bukit Dua Belas karena menurut Suku Anak Dalam, bukit ini memliki 12 undakan untuk sampai dipuncaknya. Di tempat inilah menurut mereka banyak terdapat roh nenek moyang mereka, dewa-dewa dan hantu-hantu yang bisa memberikan kekuatan.


0 Responses