SISTEM RELIGI SUKU TORAJA
Mayoritas suku Toraja memeluk agama Kristen,
sementara sebagian menganut Islam dan kepercayaan animisme
yang dikenal sebagai Aluk To Dolo. Pemerintah Indonesia telah mengakui
kepercayaan ini sebagai bagian dari Agama Hindu Dharma karena
mereka masih percaya dengan para leluhur yang hidup dan mempercayai
tradisi-tradisi nenek moyang kepercayaan yang dianut mengandung keyakinan
manusia tentang Tuhan dan sifat-sifatnya, tentang keberadaan wujud alam gaib,
tentang hakikat hidup manusia, tentang maut, tentang wujud makhluk-makhluk
halus yang mendiami alam gaib. Dua prosesi inilah yang merangkaikan
upacara-upacara adat yang masih dilakukan dan cukup terkenal. Upacara adat itu
meliputi persiapan penguburan jenazah yang biasanya diikuti dengan adu ayam,
adu kerbau, penyembelihan kerbau dan penyembelihan babi dengan jumlah besar. Upacara ini termasuk dalam Rambu Solok, dimana
jenazah yang mau dikubur sudah di simpan lama dan nantinya akan dikuburkan di
gunung batu. Akan hal tempat kuburan ini, suku Toraja mempunyai tempat yang
khusus dan Kebiasaan
mengubur mayat di batu sampai kini tetap dilakukan meskipun sudah banyak yang
beragama Katholik, Kristen. Hanya yang sudah beragama Islam mengubur mayatnya
dalam tanah sebagaimana lazimnya. Seluruh
upacara dalam rangkaian penguburan mayat ini memerlukan biaya yang besar. Itu
ditanggung oleh yang bersangkutan disamping sumbangan-sumbangan berapa besar kecilnya upacara mencerminkan tingkat
kekayaan suatu keluarga dan kriterianya diukur dari jumlah babi dan
kerbau yang dipotong disamping lamanya upacara. Untuk kaum bangsawan upacara itu
sampai sebulan dan hewan yang dipotong mencapai ratusan belum lagi biaya (lainnya) yang banyak,
sekalipun dirasakan berat tetapi lambat laun dari masalah adat telah berubah
menjadi masalah martabat dan
mempertahankan status kasta sebagai seorang bangsawan yang harus dipertahankan
untuk keturunan-keturunannya serta untuk keluarga yang sudah meninggal.
Menurut pendapat Soren
Kierkegaard menyatakan bahwa kehidupan manusia mengalami tiga stadia atau
tingkat hidup, yaitu stadia estetis, etis dan religius. Pada tingkatan estetis
manusia menangkap bentuk-bentuk yang indah dan mengagumkan yang ada di
sekitarnya memilki sebuah keindahan itu di tuangkan kedalam lukisan, tarian,
cerita, pahatan, ukiran dan tenun. Kemudian dalam tingkatan etis, manusia
meningkatkan kehidupan estetisnya itu dengan tindakan manusiawi yang
keputusan-keputusan dapat dipertanggungjawabkan kepada sesamanya. Akhirnya
manusia menyadari bahwa hidup harus mempunyai tujuan yang mulia dan segala
tindakannya harus dipertanggungjawabkan kepada yang lebih tinggi yaitu, Tuhan,
maka mnusia mencapai stadia religius. Kepercayaan erat hubunagannya dengan
upacara-upacara religius dan menentukan tata ukur daripada unsur-unsur acara
serta rangkaian alat-alat yang di pakai upacara itu. Orang Toraja percaya
segala sesuatu daam dunia ini mempunyai nyawa. Nyawa manusia hidup da nyawa
manusia hidup terus walaupun manusia itu sudah meninggal tetap di berikan
keistimewaan.
Sejak dari
dahulu, suku Toraja telah memeluk kepercayaan yang disebut Aluk Todolo. Aluk dapat diartikan aturan atau upacara. Todolo artinya leluhur atau nenek
moyang. Jadi maksudnya kepercayaan leluhur yang masih tetap terus dipertahankan
oleh suku Toraja sekitar abad ke-9 Masehi yang dahulunya dikenal dengan Aluk Pitung Sa’bu Pitu Ratu’ Pitung Pulo
Pitu atau Aluk Sanda Pitunna, yaitu
suatu ajaran yang berdasarkan Tujuh Asas Hidup dan Kehidupan dan Aluk
Todolo adalah kepercayaan yang berkembang dari ajaran Sukaran Aluk, yang menurut mitos setempat diturunkan bersama dengan
Pong Mula Tau melaksanakannya untuk
memuja dan memuliakan Puang Matua.
Ajaran Aluk Todolo mengemukakan bahwa
diluar diri manusia terdapat tiga unsur kekuatan yang wajib dipercayai akan
kebenaran, kebesaran, dan kekuasaan. Puang Matua adalah merupakan unsur
kekuatan yang paling tinggi sebagai pencipta segala isi bumi, dalam mitos
ajaran Aluk Todolo yang dibawa oleh Datu La Ukku’ merupakan suatu aturan
atau ketentuan yang harus dipatuhi oleh manusia, dengan menjalankan
kewajibannya mengadakan persembahan dan pemujaan, manusia diwajibkan oleh Puang Matua untuk memuja dan menyembah
kepada dirinya bersama para Deata
(Dewa) dan Tomembali Puang, dengan persembahan sesajen berupa
penyembelihan kurban hewan kerbau, babi, anjing, ayam dan untuk pelaksanaan
upacara persembahan tersebut diklasifikasikan menurut ketentuan-ketentuan
mengenai jenis hewan kurban yang dapat dipotong.
·
Pertama: kerbau, babi, dan ayam dikurbankan sebagai
persembahan kepada Puang Matua pada
saat upacara pemujaan yang tidak boleh dilupakan karena ini paling tinggi dan
harus dilaksanakan oleh masyarakat Toraja.
·
Kedua: babi dan ayam dikurbankan untuk persembahankepada Deata-deata di upacara-upacara tertentu,
dilaksanakan mengarah ke ‘timur’
Tongkanan.
·
Ketiga: babi dan ayam dikurbankan untuk persembahan kepada
Tomembali Puang dalam pemujaan yang
lebih rendah, dan dilaksanakan mengarah ke ‘barat’ Tongkanan.
Dari ketiga unsur ini memilki
kekuatan (oknum) yang disembah dan wajib dipercaya kebenaran, kebesaran dan
kekuasaannya memiliki masing-masing, mempunyai posisi dalam alam raya dan jagat
raya memiliki peranannya. Masyarakat Toraja mempercayai semua itu karena mereka
berpikir seandainya tidak dilakukan akan terjadi yang tidak diinginkan oleh
masyarakat Toraja, karena kepercayaan yang mereka percaya jangan sampai hilang
dan punah begitu saja dan harus dipertahankan untuk generasi-generasi yang
masih mempercayai agama yang mereka yakini sejak dahulu sampai sekarang.