Sistem
Bahasa Suku Gayo
Secara geografis, Aceh Tengah terletak di bagian 4̊ 10̋ - 4̊ 58̋ LU dan 96̊ 22̋ BT. Ibu kota Aceh
Tengah adalah Takengon, merupakan tempat asal bagi penutur Gayo. Daerah ini
berdekatan dengan Laut Tawar berada di dataran tinggi dan terletak sekitar
1000-1600 m di atas permukaan laut dengan suhu yang sejuk dan dikeliliingi
dengan hutan tropis dan gunung Bukit Barisan yang membentang sepanjang Pulau
Sumatra. Mayoritas penutur Gayo tersebar di beberapa kabupaten di Aceh Tengah,
antara lain: Kabupaten Aceh Tengah, sebagian Kabupaten Aceh Timur, beberapa
daerah dalam Kabupaten Aceh Barat, Kabupaten Aceh Selatan, dan Kabupaten Aceh
Utara. Sumber lain menyebutkan, suku-bangsa Gayo ini dibagi atas tiga kelompok,
yaitu Orang Gayo-Lut bersama Gayo-Deret di Kabupaten Aceh Tengah, dan dua
kelompok lainnya ialah orang Gayo Lues yang tinggal di empat kecamatan di
Kabupaten Aceh Tenggara; dan orang Gayo Serbejadi (Semamah) bersama orang Gayo
Kalul di Kabupaten Aceh Timur. Akan tetapi, menurut seorang penutur asli Gayo,
bahasa Gayo itu dituturkan di enam kabupaten, yakni: Aceh Tengah, Bener Meriah,
Gayo Luwes, Aceh Tamiang, Aceh Timur, dan Aceh Tenggara, tepatnya di Kota Cane
(Komunikasi pribadi, 2011). Dari enam kabupaten ini, mayoritas penutur asli
Gayo banyak ditemukan di beberapa desa, khususnya di Kabupaten Aceh Tengah dan Kabupaten
Bener Meriah.
Menurut Eades (2005:18), secara adat atau tradisi,
pembagian bahasa Gayo, terdiri atas lima wilayah, berdasarkan geografis, budaya
dan linguistik. Tiga wilayah terdapat di Aceh Tengah, yaitu: wilayah Bukit dan
Cik yang letaknya secara adat mengacu ke wilayah Danau atau disebut juga ‘Gayo
Lot’, di tengah sekitar Danau Tawar; dan wilayah Gayo Deret, di tengah
sekitar desa-desa Linge. Dua wilayah lagi ada di luar Aceh Tengah, yakni
wilayah Gayo Lues, ditengah sekitar desa Belangkejeren di Aceh bagian Selatan-Timur,
dan Gayo Serbejadi, ditengah sekitar desa Lukup di Aceh Timur. Kelima dialek
ini bisa saling mengerti, tetapi berbeda dalam penggunaan kata, dan pengucapan
dari beberapa bunyi vokal. Dialek yang dituturkan di Aceh Tengah (Bukit, Cik
dan Deret), umumnya diperlakukan oleh orang Gayo sebagai dialek yang
prestis.Sedangkan, dialek Gayo Serbejadi dan Gayo Lues diperlakukan sebagai dialek
yang kasar.
Menurut Abdul,120 tahun, penutur asli dan sesepuh
Gayo, berdasarkan asal muasal Gayo, bahasa Gayo berkerabat dengan tiga bahasa,
yakni bahasa Batak Toba, Batak Karo dan Aceh. Selain itu, berdasarkan informasi
dari masyarakat Gayo menyatakan beberapa orang Gayo percaya kalau bahasa Gayo
dekat dengan India dan Proto-Melayu.Sebutan untuk asal bahasa Gayo ini adalah Batak 27. Masyarakat Gayo
sangat mentaati dan menghormati nilai-nilai adat karena membantu dalam pembentukan
akhlak. Hal ini dapat dilihat, apabila seseorang tidak bisa mengerjakan
sesuatu, mereka tidak langsung mengatakan kata ‘bodoh’. Akan tetapi, mereka
akan lebih membantu atau langsung menawarkan bantuan ke orang tersebut.
Nilai-nilai ini tidak saja berlaku di antara mereka sendiri, tetapi juga dengan
suku-suku lain yang datang ke tanah Gayo, seperti Aceh, Tionghoa, Minangkabau,
Jawa, Batak dan Sunda. Masyarakat Gayo juga memegang teguh nilai-nilai
kebenaran. Pepatah yang biasa digunakan dalam masyarakat Gayo adalah “Hidup
Benar, Mati Suci,” artinya, mereka tidak takut untuk suatu kebenaran. Pekerjaan
utama masyarakat Gayo adalah berkebun kopi dan coklat, bertani, bertambak ikan,
dan beternak.
a)
Penggunaan Bahasa.
Bagi masyarakat Gayo,
bahasa Gayo memiliki peran atau berkedudukan sebagai bahasa informal, sedangkan
bahasa Indonesia sebagai bahasa formal di lingkungan pendidikan dan pemerintah.
Ranah-ranah penggunaan bahasa Gayo, antara lain:
1)
ranah domestik, seperti di rumah, di lingkungan tetangga di ladang atau tempat
bekerja;
2) ranah tempat umum seperti upacara adat, mengumumkan
sesuatu; dan
3) ranah keagamaan, seperti di tempat ibadah,
mayoritas masyarakat Gayo menggunakan bahasa Gayo. Selain dari itu, di beberapa
ranah, seperti di pasar dan pengumuman di tempat ibadah, selain bahasa Gayo,
bahasa Indonesia juga digunakan.
b)
Dialek-Dialek.
Dialek-dialek yang
dituturkan dalam bahasa Gayo, antara lain: Dialek Toa, Uken, Deret, Lut/Lot,
Blang/Blang Kejeren, Lues/Luwes, dan Alas. Hasil lain yang diperoleh dari
penutur Gayo, juga menyebutkan dialek Uken dan Toa merupakan dialek yang paling
banyak dipakai orang. Sedangkan, dialek Blang/Blang Kejeren, Lues/Luwes, dan
Alas merupakan dialek yang sangat berbeda dibandingkan dengan dialek Toa, Uken,
Deret, dan Lut/Lot, sehingga sulit untuk dimengerti oleh mayoritas penutur Gayo
yang berasal dari dialek Toa, Uken, Deret, dan Lut/Lot ini.
c)
Perubahan Bahasa.
Bagi kaum muda, hampir
di seluruh desa, mereka selalu menggunakan bahasa Gayo. Selain itu, para orang
tua juga selalu menggunakan bahasa Gayo kepada anak-anak mereka. Dan sebaliknya,
ketika para orang tua menggunakan bahasa Gayo, anak-anak selalu menjawab dengan
menggunakan bahasa Gayo, termasuk ketika mereka sedang bermain-main di kampung
halaman, mereka sering menggunakan bahasa Gayo. Akan tetapi, ketika orang tua
menggunakan bahasa Gayo kepada anak muda sekarang ini, ada beberapa kata yang
sudah tidak dimengerti lagi, seperti: kata “tengkep” atau “jendela,”“kletek”
atau “sandal,” dan “mentarong” atau “memasak.”Contoh
kata-kata ini sudah sangat jarang, dan bahkan sudah tidak pernah digunakan lagi
oleh kaum muda sehingga kata-kata ini sudah tergantikan dengan kata-kata bahasa
Indonesia.Sebaliknya, kata-kata yang digunakan oleh anak muda kepada orang tua
mereka, hampir seluruh desa menjawab kalau orang tua mereka mengerti semua
katakata tersebut.
d)
Ketahanan Bahasa.
Ketahanan bahasa digunakan
untuk melihat seberapa lama suatu bahasa itu bisa bertahan yang digunakan
secara aktif oleh para penuturnya pada generasi-generasi yang akan datang.
Beberapa faktor yang mempengaruhi suatu bahasa itu dapat bertahan, antara lain:
ranah penggunaan bahasa, kontak bahasa, sikap terhadap bahasa,
pergeseran/peralihan bahasa, dan pemeliharaan atau pengembangan bahasa.
e)
Kontak Bahasa.
Kebanyakan para
pendatang yang datang ke desa-desa ini berasal dari suku Jawa, Aceh, Padang,
Batak, dan suku Gayo sendiri yang bahasa atau dialeknya berbeda dan berasal
dari daerah lain. Biasanya, kaum muda di desa-desa ini, menikah dengan suku
Gayo sendiri, meskipun bagi masyarakat Gayo tidak ada larangan untuk menikah
dengan orang yang berbeda suku, bahasa dan adat. Selain itu, para kaum muda,
ketika mereka selesai menamatkan pendidikan, sebagian dari mereka senang berpindah
ke daerah lain dan sebagian lagi senang menetap di desa, tempat mereka
dilahirkan dan dibesarkan. Alasan mereka berpindah ke daerah lain adalah ingin
mencari pekerjaan yang lebih baik. Sedangkan, bagi mereka yang tidak ingin
berpindah ke daerah lain, yaitu mereka lebih senang membuka ladang pekerjaan
sendiri, seperti berkebun, beternak dan membuka usaha kecil-kecil.Alasan kaum
muda untuk berpindah atau menetap di desa, selain keinginan mereka sendiri,
juga adanya faktor dorongan dari para orang tua. Menurut mereka, selain fungsi
bahasa Indonesia sebagai pemersatu bangsa, juga bisa dipakai untuk melanjutkan
pendidikan yang lebih tinggi dan/atau mencari pekerjaan. Bahasa Gayo, bagi mereka
juga penting untuk tetap dipelihara dan dipertahankan karena bahasa Gayo
merupakan identitas atau jati diri mereka.
f)
Sikap terhadap Bahasa.
Masyarakat Gayo sangat
bangga apabila mereka menggunakan bahasa Gayo. Mereka tetap menggunakan bahasa
Gayo apabila mereka bertemu dengan sesama orang Gayo, dan bahkan dengan
suku-suku lain. Mereka tidak pernah malu menggunakan bahasa Gayo baik yang ada
di desa maupun yang di kota. Hal ini menunjukan kalau mereka memiliki sikap
yang positif terhadap bahasa ibu mereka.
g)
Pergesaran atau Peralihan Bahasa.
Bahasa Gayo merupakan
bahasa pertama yang diperoleh dan diajarkan oleh orang tua kepada anak-anak
mereka. Sejak dini, anak-anak sudah bisa berbicara dengan bahasa Gayo, sampai
mereka dewasa. Selain itu, juga disebutkan kalau anak-anak juga bisa berbicara dengan
bahasa Indonesia, dan mereka akan lancar berbahasa Indonesia apabila mereka
sudah dewasa. Berdasarkan hasil kuesioner di sepuluh desa, kecenderungan kaum
muda sekarang menggunakan bahasa Gayo kasar. Sedangkan, orang tua yang berusia
di atas 60 tahun, mereka juga sudah jarang menggunakan bahasa Gayo halus karena
kebanyakan anak muda tidak mengerti. Selain itu, juga ada banyak kata dalam bahasa
Gayo sudah tergantikan dengan kata-kata dalam bahasa Indonesia. Di beberapa
desa yang jaraknya jauh dari perkotaan, anak-anak, kaum muda dan orang tua
masih menggunakan bahasa Gayo. Akan tetapi, desa-desa yang jaraknya dekat
dengan perkotaan, mereka sehari-hari cenderung menggunakan bahasa Indonesia
karena di daerah perkotaan telah banyak pendatang dan adanya dukungan dari
orang tua dengan menguasai bahasa Indonesia anak-anak mereka bisa melanjutkan
pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi dan kaum muda bisa mendapatkan
pekerjaan yang lebih baik. Sebagian orang tua juga menganjurkan anak-anak
mereka belajar bahasa asing yang lain, seperti bahasa Inggris.
h)
Pengembangan Bahasa.
Masyarakat Gayo
memiliki keinginan yang besar untuk tetap mengembangkan, dan atau memelihara
bahasa Gayo. Usaha masyarakat Gayo untuk mengembangkan atau memelihara bahasa
Gayo ini pertama-tama dapat dilihat dari adanya materi muatan lokal yang
diajarkan di beberapa sekolah. Meskipun mulok ini belum ada dalam kurikulum,
para guru telah mulai mengajarkannya kepada murid-murid dimulai dari kelas 1
SD. Usaha lain untuk mempertahankan bahasa Gayo adanya rekaman dalam bentuk VCD
dan tayangan di TV dan Radio tentang drama dan lawak, seperti didong dan
atu belah.
Berikut ini adalah catatan tentang tuturkata bahasa
Gayo :
- 1 Ine : panggilan untuk ibu
- Ama : panggilan untuk ayah
- Ibi : saudara perempuan dari ayah
- Ume : besan pada orang melayu
- Mpurah : bapak dan ibu mertua dari pasangan suami istri.
- Kile : menantu laki-laki
- Pemen : menantu perempuan
Sumber
:Hurgronje, C. Snouck.1996.Gayo Masyarakat dan Kebudayaannya awal abad
ke-20.Jakarta:Balai Pustaka
http://repository.upi.edu
Bhs gayo yg sbenarny ada brp dialek.? Mhn penjelasanya trmakasih