BAB VII SISTEM BAHASA SUKU GAYO

Sistem Bahasa Suku Gayo
Secara geografis, Aceh Tengah terletak di bagian 4̊ 10̋ - 4̊ 58̋ LU dan 96̊ 22̋ BT. Ibu kota Aceh Tengah adalah Takengon, merupakan tempat asal bagi penutur Gayo. Daerah ini berdekatan dengan Laut Tawar berada di dataran tinggi dan terletak sekitar 1000-1600 m di atas permukaan laut dengan suhu yang sejuk dan dikeliliingi dengan hutan tropis dan gunung Bukit Barisan yang membentang sepanjang Pulau Sumatra. Mayoritas penutur Gayo tersebar di beberapa kabupaten di Aceh Tengah, antara lain: Kabupaten Aceh Tengah, sebagian Kabupaten Aceh Timur, beberapa daerah dalam Kabupaten Aceh Barat, Kabupaten Aceh Selatan, dan Kabupaten Aceh Utara. Sumber lain menyebutkan, suku-bangsa Gayo ini dibagi atas tiga kelompok, yaitu Orang Gayo-Lut bersama Gayo-Deret di Kabupaten Aceh Tengah, dan dua kelompok lainnya ialah orang Gayo Lues yang tinggal di empat kecamatan di Kabupaten Aceh Tenggara; dan orang Gayo Serbejadi (Semamah) bersama orang Gayo Kalul di Kabupaten Aceh Timur. Akan tetapi, menurut seorang penutur asli Gayo, bahasa Gayo itu dituturkan di enam kabupaten, yakni: Aceh Tengah, Bener Meriah, Gayo Luwes, Aceh Tamiang, Aceh Timur, dan Aceh Tenggara, tepatnya di Kota Cane (Komunikasi pribadi, 2011). Dari enam kabupaten ini, mayoritas penutur asli Gayo banyak ditemukan di beberapa desa, khususnya di Kabupaten Aceh Tengah dan Kabupaten Bener Meriah.
Menurut Eades (2005:18), secara adat atau tradisi, pembagian bahasa Gayo, terdiri atas lima wilayah, berdasarkan geografis, budaya dan linguistik. Tiga wilayah terdapat di Aceh Tengah, yaitu: wilayah Bukit dan Cik yang letaknya secara adat mengacu ke wilayah Danau atau disebut juga ‘Gayo Lot’, di tengah sekitar Danau Tawar; dan wilayah Gayo Deret, di tengah sekitar desa-desa Linge. Dua wilayah lagi ada di luar Aceh Tengah, yakni wilayah Gayo Lues, ditengah sekitar desa Belangkejeren di Aceh bagian Selatan-Timur, dan Gayo Serbejadi, ditengah sekitar desa Lukup di Aceh Timur. Kelima dialek ini bisa saling mengerti, tetapi berbeda dalam penggunaan kata, dan pengucapan dari beberapa bunyi vokal. Dialek yang dituturkan di Aceh Tengah (Bukit, Cik dan Deret), umumnya diperlakukan oleh orang Gayo sebagai dialek yang prestis.Sedangkan, dialek Gayo Serbejadi dan Gayo Lues diperlakukan sebagai dialek yang kasar.
Menurut Abdul,120 tahun, penutur asli dan sesepuh Gayo, berdasarkan asal muasal Gayo, bahasa Gayo berkerabat dengan tiga bahasa, yakni bahasa Batak Toba, Batak Karo dan Aceh. Selain itu, berdasarkan informasi dari masyarakat Gayo menyatakan beberapa orang Gayo percaya kalau bahasa Gayo dekat dengan India dan Proto-Melayu.Sebutan untuk asal bahasa  Gayo ini adalah Batak 27. Masyarakat Gayo sangat mentaati dan menghormati nilai-nilai adat karena membantu dalam pembentukan akhlak. Hal ini dapat dilihat, apabila seseorang tidak bisa mengerjakan sesuatu, mereka tidak langsung mengatakan kata ‘bodoh’. Akan tetapi, mereka akan lebih membantu atau langsung menawarkan bantuan ke orang tersebut. Nilai-nilai ini tidak saja berlaku di antara mereka sendiri, tetapi juga dengan suku-suku lain yang datang ke tanah Gayo, seperti Aceh, Tionghoa, Minangkabau, Jawa, Batak dan Sunda. Masyarakat Gayo juga memegang teguh nilai-nilai kebenaran. Pepatah yang biasa digunakan dalam masyarakat Gayo adalah “Hidup Benar, Mati Suci,” artinya, mereka tidak takut untuk suatu kebenaran. Pekerjaan utama masyarakat Gayo adalah berkebun kopi dan coklat, bertani, bertambak ikan, dan beternak.

a)             Penggunaan Bahasa.
Bagi masyarakat Gayo, bahasa Gayo memiliki peran atau berkedudukan sebagai bahasa informal, sedangkan bahasa Indonesia sebagai bahasa formal di lingkungan pendidikan dan pemerintah. Ranah-ranah penggunaan bahasa Gayo, antara lain:
1) ranah domestik, seperti di rumah, di lingkungan tetangga di ladang atau tempat bekerja;
2) ranah tempat umum seperti upacara adat, mengumumkan sesuatu; dan
3)  ranah keagamaan, seperti di tempat ibadah, mayoritas masyarakat Gayo menggunakan bahasa Gayo. Selain dari itu, di beberapa ranah, seperti di pasar dan pengumuman di tempat ibadah, selain bahasa Gayo, bahasa Indonesia juga digunakan.
b)            Dialek-Dialek.
Dialek-dialek yang dituturkan dalam bahasa Gayo, antara lain: Dialek Toa, Uken, Deret, Lut/Lot, Blang/Blang Kejeren, Lues/Luwes, dan Alas. Hasil lain yang diperoleh dari penutur Gayo, juga menyebutkan dialek Uken dan Toa merupakan dialek yang paling banyak dipakai orang. Sedangkan, dialek Blang/Blang Kejeren, Lues/Luwes, dan Alas merupakan dialek yang sangat berbeda dibandingkan dengan dialek Toa, Uken, Deret, dan Lut/Lot, sehingga sulit untuk dimengerti oleh mayoritas penutur Gayo yang berasal dari dialek Toa, Uken, Deret, dan Lut/Lot ini.
c)             Perubahan Bahasa.
Bagi kaum muda, hampir di seluruh desa, mereka selalu menggunakan bahasa Gayo. Selain itu, para orang tua juga selalu menggunakan bahasa Gayo kepada anak-anak mereka. Dan sebaliknya, ketika para orang tua menggunakan bahasa Gayo, anak-anak selalu menjawab dengan menggunakan bahasa Gayo, termasuk ketika mereka sedang bermain-main di kampung halaman, mereka sering menggunakan bahasa Gayo. Akan tetapi, ketika orang tua menggunakan bahasa Gayo kepada anak muda sekarang ini, ada beberapa kata yang sudah tidak dimengerti lagi, seperti: kata “tengkep” atau “jendela,”“kletek” atau “sandal,” dan “mentarong” atau “memasak.”Contoh kata-kata ini sudah sangat jarang, dan bahkan sudah tidak pernah digunakan lagi oleh kaum muda sehingga kata-kata ini sudah tergantikan dengan kata-kata bahasa Indonesia.Sebaliknya, kata-kata yang digunakan oleh anak muda kepada orang tua mereka, hampir seluruh desa menjawab kalau orang tua mereka mengerti semua katakata tersebut.
d)            Ketahanan Bahasa.
Ketahanan bahasa digunakan untuk melihat seberapa lama suatu bahasa itu bisa bertahan yang digunakan secara aktif oleh para penuturnya pada generasi-generasi yang akan datang. Beberapa faktor yang mempengaruhi suatu bahasa itu dapat bertahan, antara lain: ranah penggunaan bahasa, kontak bahasa, sikap terhadap bahasa, pergeseran/peralihan bahasa, dan pemeliharaan atau pengembangan bahasa.
e)             Kontak Bahasa.
Kebanyakan para pendatang yang datang ke desa-desa ini berasal dari suku Jawa, Aceh, Padang, Batak, dan suku Gayo sendiri yang bahasa atau dialeknya berbeda dan berasal dari daerah lain. Biasanya, kaum muda di desa-desa ini, menikah dengan suku Gayo sendiri, meskipun bagi masyarakat Gayo tidak ada larangan untuk menikah dengan orang yang berbeda suku, bahasa dan adat. Selain itu, para kaum muda, ketika mereka selesai menamatkan pendidikan, sebagian dari mereka senang berpindah ke daerah lain dan sebagian lagi senang menetap di desa, tempat mereka dilahirkan dan dibesarkan. Alasan mereka berpindah ke daerah lain adalah ingin mencari pekerjaan yang lebih baik. Sedangkan, bagi mereka yang tidak ingin berpindah ke daerah lain, yaitu mereka lebih senang membuka ladang pekerjaan sendiri, seperti berkebun, beternak dan membuka usaha kecil-kecil.Alasan kaum muda untuk berpindah atau menetap di desa, selain keinginan mereka sendiri, juga adanya faktor dorongan dari para orang tua. Menurut mereka, selain fungsi bahasa Indonesia sebagai pemersatu bangsa, juga bisa dipakai untuk melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi dan/atau mencari pekerjaan. Bahasa Gayo, bagi mereka juga penting untuk tetap dipelihara dan dipertahankan karena bahasa Gayo merupakan identitas atau jati diri mereka.
f)              Sikap terhadap Bahasa.
Masyarakat Gayo sangat bangga apabila mereka menggunakan bahasa Gayo. Mereka tetap menggunakan bahasa Gayo apabila mereka bertemu dengan sesama orang Gayo, dan bahkan dengan suku-suku lain. Mereka tidak pernah malu menggunakan bahasa Gayo baik yang ada di desa maupun yang di kota. Hal ini menunjukan kalau mereka memiliki sikap yang positif terhadap bahasa ibu mereka.
g)             Pergesaran atau Peralihan Bahasa.
Bahasa Gayo merupakan bahasa pertama yang diperoleh dan diajarkan oleh orang tua kepada anak-anak mereka. Sejak dini, anak-anak sudah bisa berbicara dengan bahasa Gayo, sampai mereka dewasa. Selain itu, juga disebutkan kalau anak-anak juga bisa berbicara dengan bahasa Indonesia, dan mereka akan lancar berbahasa Indonesia apabila mereka sudah dewasa. Berdasarkan hasil kuesioner di sepuluh desa, kecenderungan kaum muda sekarang menggunakan bahasa Gayo kasar. Sedangkan, orang tua yang berusia di atas 60 tahun, mereka juga sudah jarang menggunakan bahasa Gayo halus karena kebanyakan anak muda tidak mengerti. Selain itu, juga ada banyak kata dalam bahasa Gayo sudah tergantikan dengan kata-kata dalam bahasa Indonesia. Di beberapa desa yang jaraknya jauh dari perkotaan, anak-anak, kaum muda dan orang tua masih menggunakan bahasa Gayo. Akan tetapi, desa-desa yang jaraknya dekat dengan perkotaan, mereka sehari-hari cenderung menggunakan bahasa Indonesia karena di daerah perkotaan telah banyak pendatang dan adanya dukungan dari orang tua dengan menguasai bahasa Indonesia anak-anak mereka bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi dan kaum muda bisa mendapatkan pekerjaan yang lebih baik. Sebagian orang tua juga menganjurkan anak-anak mereka belajar bahasa asing yang lain, seperti bahasa Inggris.
h)            Pengembangan Bahasa.
Masyarakat Gayo memiliki keinginan yang besar untuk tetap mengembangkan, dan atau memelihara bahasa Gayo. Usaha masyarakat Gayo untuk mengembangkan atau memelihara bahasa Gayo ini pertama-tama dapat dilihat dari adanya materi muatan lokal yang diajarkan di beberapa sekolah. Meskipun mulok ini belum ada dalam kurikulum, para guru telah mulai mengajarkannya kepada murid-murid dimulai dari kelas 1 SD. Usaha lain untuk mempertahankan bahasa Gayo adanya rekaman dalam bentuk VCD dan tayangan di TV dan Radio tentang drama dan lawak, seperti didong dan atu belah.
Berikut ini adalah catatan tentang tuturkata bahasa Gayo :
  • 1  Ine : panggilan untuk ibu
  • Ama : panggilan untuk ayah 
  •   Ibi : saudara perempuan dari ayah 
  •   Ume : besan pada orang melayu 
  •    Mpurah : bapak dan ibu mertua dari pasangan suami istri. 
  •   Kile : menantu laki-laki
  • Pemen :  menantu perempuan
Sumber :Hurgronje, C. Snouck.1996.Gayo Masyarakat dan Kebudayaannya awal abad ke-20.Jakarta:Balai Pustaka
                 http://repository.upi.edu
 

1 Response
  1. Unknown Says:

    Bhs gayo yg sbenarny ada brp dialek.? Mhn penjelasanya trmakasih