Sistem Kemasyarakatan



1. Banjar. 
Di samping kelompok-kelompok kerabat patrilineal yang mengikat orang Bali berdasarkan atas prinsip keturunan, ada pula bentuk kesatuan-kesatuan sosial yang berdasarkan atas kesatuan wilayah, ialah desa. Kesatuan-kesatuan sosial serupa itu kesatuan yang diperkuat oleh kesatuan adat dan upacara-upacara keagamaan yang keramat. Pada umumnya tampak beberapa perbedaan antara desa-desa adat di pegunungan dan desa di adat dt tanah datar. Desa-desa adat di pegunungan biasanya bersifat lebih kecil dan keanggotaannya terbatas pada orang asli yang lahir di desa itu juga. Sesudah kawin, orang itu langsung menjadi warga desa adat ( karma desa ) dan mendapat tempat duduk yang khas dib alai desa yang di sebut bale agung, dan berhak mengikuti rapat-rapat desa yang diadakan  secara teratur pada hari-hari yang di tetapkan. Desa-desa adat di tanah datar biasanya bersifat besar dan meliputi daerah yang tersebar luas. Demikian sering terdapat differensiasi ke dalam kesatuan-kesatuan adat yang khusus di dalamnya yang disebut banjar. Sifat keanggotaan banjar tidak tertutup dan terbatas kepada orang-orang asli yang lahir di dalam banjar itu juga. Demikian kalau ada orang-orang dari wilayah-wilayah lain, atau yang lahir di banjar lain, yang kebetulan tinggal di sekitar wilayah banjar yang bersangkutan, mau menjadi warga, hal itu bias saja. Pusat dari banjar adalah bale banjar di mana para warga banjar saling bertemu dan berapat pada hari-hari yang di tetapkan.
        Banjar di kepalai oleh seorang kepala yang disebut klain banjar ( kilang ). Ia di pilih untuk suatu masa jabatan yang tertentu oleh warga banjar. Tugasnya tidak hanya menyangkut segala urusan dalam lapangan kehidupan social dari banjar sebagai suatu komuniti, tetapi juga memecahkan soal-soal yang menyangkut hokum adat tanah dan dianggap ahli dalam adat banjar pada umumnya. Adapun soal-soal yang bersangkutan dengan irigasi dan pertanian, biasanya berada di luar wewenangnya. Hal itu adalah wewenang organisasi irigasi subak, yang telah tersebut di atas. Walaupun demikian, di dalam rangka tugas administrative, di mana ia bertanggung jawab kepada pemerintah atasanya, ia toh tak dapat melepaskan diri sama sekali dari soal-soal irigasi dan pertanian di banjarnya. Disamping mengurus persoalan ibadat, baik mengenai banjar serndiri, maupun warga banjar, klian banjar juga mengurus hal-hal yang sifatnya administrasi pemerintahan.
Banjar.
Adalah pembagian wilayah administratif di Provinsi Bali, Indonesia di bawah Kelurahan atau Desa, setingkat dengan Rukun Warga.
Banjar merupakan kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
                        
2. Subak. 
Mengapakah subak itu berdiri seolah-olah lepas dari banjar dan mempunyai seorang kepala sendiri, ialah klian banjar yang bertanggung jawab kepada seorang kepala adat yang ada diatasnya, ialah sedahan agung. Hal itu disebabkan karena orang-orang yang menjadi warga suatu subak itu tidak semuanya sama dengan orang-orang yang orang-orang yang menjadi warga suatu banjar. Warga subak adalah para pemilik atau penggarap sawah-sawah yang menerima air irigasinya dari bendungan-bendungan yang diurus oleh suatu subak. Sudah tentu tidak semua pemilik atau penggarap tadi hidup dalam satu banjar, tetapi di dalam beberapa banjar. Sebaliknya, ada pula warga suatu banjar yang mempunyai banyak sawah yang terpencar dan yang mendapat airnya dari bendungan-bendungan yang diurus oleh beberapa subak. Dengan demikian warga banjar tadi itu akan menggabungkan diri dengan semua subak di mana ia mempunyai sebidang sawah. Seperti apa yang telah tersebut di atas, suatu rangkaian upacara-upacara dan suatu tempat pemujaan yang mengintensifkan rasa kesatuan antara warganya.

3. Seka. 
Dalam kehidupan kemasyarakatan desa di Bali ada organisasi-organisasi yang bergerak dalam lapangan hidup yang khusus, ialah organisasi seka. Organisasi yang demikian itu bias didirikan untuk waktu yang lama, bahkan untuk waktu yang meliputi angkatan-angkatan yang turun temurun, tetapi ada pula yang hanya bersifat sementara. Ada seka-seka yang fungsinya adalah menyelenggarakan hal-hal atau upacara-upacara yang berkenaan dengan desa, misalnya seka baris ( perkumpulan tari baris ), seka truna ( perkumpulan para pemuda ), seka daha ( perkumpulan gadis-gadis ). Seka dalam arti ini tentu sifatnya permanen, tetapi ada juga seka-seka yang bersifat sementara, ialah seka-seka yang didirikan berdasarkan atas suatu kebutuhan tertentu, seperti misalnya seka memula ( perkumpulan menanam ), seka manyi ( perkumpulan menuai ), seka gong ( perkumpulan gamelan ) dan lain-lain. Seka-seka seperti ini biasanya juga merupakan perkumpulan-perkumpulan yang terlepas dari organisasi desa dan banjar.

4. Gotong-royong. 
Dalam kehidupan komuniti dalam manyarakat desa di Bali, ada beberapa macam cara dan sistem gotong royong, ialah antara individu dengan individu, atau antara keluarga dan keluarga.gotong royong serupa itu di sebut nguopin dan meliputi lapangan-lapangan aktivitet di sawah ( seperti menanam, menyiangi, panen dan sebagainya ), sekitar rumah tangga ( memperbaiki atap rumah, dinding rumah, menggali sumur dan sebagainya), dalam perayaan-perayaan atau upacara-upacara yang diadakan oleh suatu keluarga, atau dalam peristiwa kecelakaan dan kematian. Di dalam hal itu ada seorang atau suatu keluarga minta bantuan dari tetangganya, atau keluarga lain, dengan suatu sopan santun yang telah di gariskan oleh adat dan dengan pengertian bahwa ia wajib untuk membalas bantuan tenaga yang disumbangkan kepadanya itu dengan bantuan tenaga juga. Nguopin dalam aktivitet sekitar rumah tangga di kota, tetapi juga di banyak desa sudah hilang atau mulai diganti dengan sistem menyewa tenaga upahan, karena system itu sekarang dianggap lebih praktis dan seringkali malahan lebih murah ( tak usah menyediakan jamuan dan sebagainya ). Hanya dalam perayaan dan upacara, atau dalam peristiwa kecelakaan dan kematian, cara bantu membantu nguopin masih banyak diterapkan.
Kecuali nguopin masih ada pula cara gotong royong antara seka dengan seka. Cara serupa ini disebut ngedeng ( menarik ). Dalam hal ini suatu perkumpulan tertentu, misalnya perkumpulan gamelan “ ditarik “ untuk ikut serta dengan suatu seka lain dalam hal menyelenggarakan suatu tarian dalam rangka suatu upacara odalan.
Akhirnya ada suatu sistem gotong royong yang lebih menyerupai sifat kerja bakti untuk keperluan masyarkat atau pemerintah. Hanya di dalam hal ini khusus kerja bakti untuk keperluan agama, seperti misalnya untuk membantu membangun kuil atau memperbaiki suatu kuil yang sudah ada. Sistem kerja bakti serupa ini di sebut ngayah atau ngayang, bisa merupakan suatu aktivitet yang ramai dan penuh kemeriahan.

5. Sistem Pelapisan
Sistem pelapisan masyarkat di Bali didasarkan atas keturunan, karena itu tidak dapat dilepaskan diri pembicaraan mengenai kelompok-kelompok kerabat yang bersifat patrilineal. Ada berbagai klen yang mempunyai sejarah keturunan ( babad, pamancangah, prestati ) sendiri-sendiri yang masing-masing kembali sampai pada sejarah penaklukan oleh Majapahit pada abad ke-14. Orang-orang bangga apabila dapat menyusur keturunan mereka sampai pada raja-raja atau bangsawan-bangsawan dari zaman Majapahit itu. Berbagai keturunan inilah yang memberian susunan yang lebih komplex kepada klen-klen patrilineal yang terdapat di Bali daratan. Karena proses sejarah yang kembali ke zaman Majapahit, maka klen-klen di Bali daerah dataran, tersusun ke dalam suatu susunan berlapis tinggi rendah berdasarkan jarak hubungan kekerabatandari nenek moyang-nenek moyang dari kle-klen itu dengan seorang tokoh raja atau bangsawan dari Majapahit. Di Bali daerha pegunungan, susunan klen berlapis tinggi rendah serupa itu tidak ada, bahan batas-batas antara klen-klen dalam kehidupan masyarakat tidak tampak begitu nyata.
Susunan tinggi rendah dari klen-klen di daerah dataran tampak pada gelar-gelar yang dipakai oleh warganya di depan nama mereka. Gelar-gelar itu dapat digolongkan menjadi tiga golongan berdasarkan atas sistem pelapisan wangsa. Sistem ini terpengaruh oleh sistem kasta yang termaktub pada kitab-kitab suci agama Hindu Kuno, ialah sistem keempat kasta : Brahmana, Ksatrya, Vaisya dan Sudra. Di Bali wangs-wangsa dalam sistem pelapisan mempunyai sebutan yang sama, ialah Brahmana, Satria, Wesia dn Sudra, sedangkan ketiga lapisan yang pertama sebagai kesatuan disebut Triwangsa, dan lapisan keempat biasanya disebut Jaba. Hanya sebagian kecil dari rakyat Bali, kurang dari 15%,termasuk Triwangsa, lagipula warga klen-klen besar yang termasuk Triwangsa biasanya tersebar luas di seluruh Bali. Sebaliknya, lebih dari 85% dari rakyat Bali termasuk warga Jaba, dan warga klen-klen yang termasuk Jaba tinggalnya lebih terpusat pada daerah-daerah terbatas.
Gelar-gelar bagi warga klen-klen Brahmana adalah Ida Bagus untuk laki-laki, dan Ida Ayu untuk wanita, gelar bagi warga klen-klen Satria adalah Cokorda, dan bagi warga klen-klen Wesia adalah Gusti. Kecuali itu banyak gelar-gelar lain yang diturunkan oleh klen-klen tertentu tetapi yang kurang terang mengenai kedudukannya dalam wangsa. Pemegang gelar-gelar serupa itu tentu akan mengakunya sebagai gelar wangsa tinggi, lainnya berpendapat pada gelar-gelar serupa itu termasuk wangsa- wangsa yang rendah dan demikian selalu memang ada perselisihan mengenai kedudukan dari orang-orang yang mempunyai gelar-gelar tadi, dalam upacara adat dan dlam sopan santun pergaulan orang Bali.
Zaman modern dengan pendidikannya telah banyak membawa perubahan dalam sistem pelapisan wangsa ini. Misalnya undang-undang yang menghuum adanya perkawinan antara gadis yang lebih tinggi dengan laki-laki yang wangsanya lebih rendah telah dihapuskan. Pendeta-pendeta tidak usah lagi asal dari wangsa Brahmana, dan akhir-akhir ini mereka malahan sudah dianggap sederajat dengan pendeta-pendeta dari wangsa  Brahmana.
Kesatuan sosial terurai di atas, ialah desa, banjar, subak, maupun seka biasa mempunyai pemimpin dan mempunyai kitab-kitab peraturan tertulis yang disebut awig-awig  atau sima. Pemimpin dari kesatuan-kesatuan sosial seperti itu biasanya dipilih oleh warganya, sungguhpun di beberapa tempat di Bali kedudukan kepala banjar ( klain ), berdasaran atas keturunan.
Klen-klen juga mempunyai seorang tokoh penghubung yang bertugas memelihara hubungan antara warga-warga klen, menjadi penasehat bagi para warga mengenai seluk beluk adat dan peristiwa-peristiwa yang bersnagkut paut dengn klen, mengurus pemeliharaan kuil-kuil klen, serta mengurus upacara-upacara klen di tempat-tempat pemujan tersebut. Tokoh klen serupa itu, di sebut moncol. Klen biasanya tidak mempunyai peraturn-peraturn tertulis, tetapi seperti apa yang telah tersebut di atas, sering mempunyai silsilah-silsilah tertulis ( babad ).
Di tingkat desa ada jug kestuan-kesatun administrtif yang disebut perbekalan. Suatu perbekalan yang sebenarnya merupakan kreasi kestun-kesatuan adat yang asli di Bali, seperti desa adat dan banjar. Maka dari itu terdapatlah gabungan-gabungan desa dan banjar ke dalam suatu perbekelan di bawah seorang pejabat administratif yang disebut perbekel atau bendesa. Seorang perbekel secara adminiftratif bertnggung jawab kepada atasanya, ialah camat dan sebaliknya, camat bertanggung jawab kepada bupati. Di Bali ada delapan kabupten.

Sumber :  
1. Pengantar Ilmu Antropologi, Prof. Dr. Koentjaraningrat
2. MANUSIA DAN KEBUDAYAAN DI INDONESIA, Prof.Dr.Koentjaraningrat
3. ENSIKLOPEDI SUKU BANGSA DI INDONESIA, Zulyani Hidayah
4. Wikipedia.com
              

0 Responses