Sistem
Pengetahuan Suku Gayo
Jika pengetahuan diartikan segala sesuatu yang diketahui dan dijadikan
milik diri sendiri dan dapat diteruskan kepada generasi berikutnya, maka
pengetahuan orang gayo cukup tinggi, hal ini terlihat dari fungsi
Kejurun dalam menentukan kapan waktu bersawah dimulai, melakukan
penyidikan terhadap calon menantu dengan istilah “ Beramal tidur mimpi
jege”, artinya mereka sudah memahami pengaruh genetik dalam kehidupan
manusia. Membuat ceritera terhadap gejala alam, ceritera tersebut
mengandung peringatan agar tidak melanggar hukum perkawinan adatnya,
seperti : Atu Belah, Inen Mayak pukes, Puteri Ijo, Puteri Bensu,
mereka juga mampu melakukan jual beli secara barter dengan daerah lain (
pesisir Aceh Timur, Utara, Barat ), mereka sudah dapat menangkap ikan
tanpa kail dan umpan, termasuk membuat rumah, keben (tempat menyimpan
beras), cara menumbuk padi ; ada jingki, roda, lesung & alu,
mengambil air dengan bahan dari tanah (gerabah), mengolah kulit kayu
untuk jangkat (tali rami yang dijalin), itu semua membuktikan tingginya
pengetahuan orang Gayo.
- Budi Daya Tanaman Padi
Hampir
semua di tanah Gayo orang sudah menanam padi di sawah untuk memenuhi kebutuhan
mereka. Sawah merupakan dasar pokok dalam penentuan kesejahteraan penduduk. Menanam
padi di seluruh tanah Gayo sudah sepenuhnya menggunakan irigasi yang bersumber
dari mata air atau sungai. Orang Gayo mempunyai perhitungan sendiri saat
bertani. Perhitungan yang mereka kenal adalah perhitungan bulan Hijriah. Namun
dengan perhitungan ini mereka masih belum mengetahui di bulan berapa sekarang
mereka berada. Untuk menyesuaikan dengan ilmu pertanian masyarakat suku Gayo
belum mengenalnya. Mereka mengetahui setiap bulan terdiri dari 30 hari.
Masyarakatnya pun hanya bekerja dari pengalaman-pengalaman di tiap tempat dalam
menentukan waktu sesudah panen dan menetapkan waktu turun ke sawah kembali.
Di
tanah Gayo ini segala pekerjaan di sawah, pantang dikerjakan pada hari jumat
dan hari rabu nas (rabu nahas), hari rabu yang jatuh pada tiap akhir dan awal
bulan. Orang-orang yang kurang mampu biasanya mengerjakan sawahnya dengan
cangkul. Dengan adanya perkembangan zaman, maka masyarakat Gayo mulai
mengerjakan sawahnya dengan bantuan kerbau, sapi, dan kuda yang biasa dinamakan
mengoro. Mereka menggunakan ternak tersbut dengan cara menghalaunya berkeliling
selama beberapa jam di sawah. Dalam hal ini mereka terdapat dua cara kombinasi
dalam membajak sawah yakni nengel (dengan bantuan hewan) dan pacul. Pacul hanya
dipakai pada tempat yang tidak bisa dikerjakan dengan nengel. Di suku Gayo pada
lazimnya mengerjakan tanah terbagi menjadi tiga tahap yakni pekerjaan pertama
yang disebut memelah (membongkar tanah), kedua yaitu mendue, dan ketiga melumet
(menghaluskan tanah).
Suatu
adat kebiasaan bagi suku Gayo sesudah hasil panen terkumpul. Padi yang telah
terkumpul dibiarkan selama empat hari dalam seladang
untuk di beri minum. Dengan cara satu kendi air yang telah berisi air
ditutup dengan daun kayu (sensung)
yang kemudian dibenamkan di tengah timbunan padi sebatas leher kendi. Kemudian
kendi tersebut diasapi dengan kemenyan. Kegiatan ini disebut nalu semangat ni rom (memanggil semangat
padi). Selama padi diberi minum disebut hari pantangan, artinya sebelum habis
hari-hari itu maka padi belum boleh dibersihkan.
Setelah kegiatan
tersebut selesai maka padi di simpan di dalam peberasan. Makna dari peberasan
sendiri adalah setiap benda yang disimpan di dalamnya akan awet dan bila
memakan padi tersebut dipercaya bisa segera kenyang. Selama hari penyimpanan
padi berlangsung, padi sangat pantang untuk dikeluarkan baik untuk dijual,
membayar hutang, dan sebagainya. Disini terdapat larangan untuk perempuan yang
sedang menstruasi untuk masuk ke keben (lumbung
padi). Pemberasan biasanya terbuat dari anyaman. Terdapat pantangan pula dalam
pengambilan padi. Yang mana padi tidak boleh terus-menerus diambil sampai
kosong.
Menurut
pengetahuan orang Gayo tanah yang paling subur untuk di tanami padi berada di
daerah Gayo Lues, utamanya di bagian hilir. Sawah di daerah Deret sama suburnya
dengan tanah di Gayo Lues. Sistem jual tanah disini tersorot dari kesuburan
tanah dan letaknya. Semakin baik atau bagus kesuburan dan letaknya, maka
semakin mahal pula harga tanah tersebut.
Dalam hal lain,
terdapat pula cara masyarakat suku Gayo dalam menghadapi hama atau musuh yang
melanda sawahnya. Salah satu contohnya adalah burung pemakan padi. Mereka
menghalaunya dengan tetakut. Tetakut terbuat
dari tikar atau kain bekas yang dikaitkan dengan tali serta digantungkan pada
rotan.
Masyarakat suku
Gayo sangat anti dengan istilah menjual sawah. Karena menurut kepercayaannnya
hal tersebut merupakan perbuatan tercela. Namun kalau gadai-menggadai boleh
berlaku disini. Pengambil gadai lebih diutamakan kepada saudere terlebih
dahulu. Yang mana tidak akan terjadi gadai-menggadai bila saudere tidak
mengizinkan. Demikian pula dengan perubahan status hak milik. Bila saudere
tidak mampu baru boleh menawarkan ke pihak lain.
Di tanah Gayo
tidak ada tanaman yang di tanam sesudah panen. Namun hanya sedikit di Laut dan
daerah Deret orang menanam kacang, itu pun mereka tanam di atas pematang sawah.
Setelah panen sawah dibiarkan kosong sampai menunggu datangnya musim tanam
berikutnya. Dengan adanya pola seperti ini tidak membuat masyarakat suku Gayo
kelaparan. Mereka menanam sayuran, buah-buahan, dan sebagainya untuk lauk pauk,
di kebun-kebun kecil yang terdapat di halaman depan atau bisa juga di
ladang-ladang yang tempatnya tidak jauh dari rumah. Ada juga yang menanam daun
sirih (belo)di semak belukar.
Memang jarang
orang Gayo menanami ladangnya dengan tanaman lain, kecuali dengan tembakau
(bako). Hal ini dilakukan karena dapat digunakan untuk kebutuhan sehari-hari
dan dapat dijual. Setelah satu sampai dua kali ditanami tembakau, maka yang
ketiga tembakau tidak akan tumbuh. Dan sebagai gantinya, lahan tersebut di
tanami dengan tanaman tebu. Hal ini dikarenakan tanaman tebu dapat bertahan
kira-kira sepuluh tahun. Setelah panen, orang Gayo membuat penggilingan dari
kayu yang disebut wing. Penggilingan ini berfungsi menggilas tebu. Yang mana
air hasil perasan tersebut dijadikan manisan dan berakhir pada pembuatan gula
merah.
- Budi Daya Gambir
Budi daya gambir
hanya di terapkan di daerah serbejadi saja. Hal ini disebabkan pengaruh angin
yang berhembus sangat kencang di daerah tersebut. Cara penanamannya pun mudah.
Bibit ditanam di ladang, dan selanjutnya tidak perlu dipindah-pindahkan
kembali. Hal ini dikarenakan tanaman ini tidak menjadikan tanah kurus. Setelah
tumbuh, sang pemilik tinggal menata atau memberi jarak antara satu dengan
lainnya. Daun gambir dapat dijadikan obat sehingga masyarakat suku Gayo
menyimpannya.
- Kopi di Gayo
Di tanah gayo
sampai saat ini belum ada yang mengetahui sebab dari menjamurnya pohon kopi di
daerah tersebut. Mereka menganggap pohon kopi tersebut merupakan pohon liar.
Sehingga mereka hanya memanfaatkan batang atau cabangnya untuk membuat pagar
kebun. Dan buah kopi yang telah matang hanya dibiarkan saja di makan oleh
burung. Ada pendapat yang menyebutkan bahwa burung itulah yang menyebarkan kopi
di tanah Gayo. Orang Gayo pun tidak mengerti bahwa tanaman yang dianggapnya
liar tersebut dapat dijadikan minuman segar. Namun ada pula yang mereka tahu
dari tanaman tersebut yakni menjadikan tanaman tersebut sebagai teh dengan cara
membakar daunnya. Namun pada akhirnya mereka mengetahuibahwa buah kopi yang
telah dikupas dan dikeringkan dapat menghasilkan uang.
- Peternakan
Pengetahuan
orang Gayo dalam hal peternakan tidaklah tinggi. Meski mereka memanfaatkan
hewan ini sebagai pembantu utama dalam mengerjakan tanah pertanian, dan
dagingnya dijadikan barang dagangan yang membawa keuntungan besar untuk mereka.
Ternak yang biasa dipelihara masyarakat suku Gayo adalah kerbau (koro). Dalam pemeliharaannya, pada malam
hari kerbau harus dinyalakan api. Hal ini merupakan cara untuk mengumpulkan
kerbau-kerbau dan dengan sendirinya kerbau tersebut tidur mengelilingi api yang
telah dinyalakan. Namun tidak hanya dengan cara tersebut, ada pula
ternak-ternak yang dimasukkan ke dalam kandang. Selama musim sawah,
ternak-ternak d jaga jangan sampai memasuki area persawahan. Dan barulah setelah
selesai panen, ternak tersebut dibiarkan merumput. Masyarakat Gayo mengharapkan
dengan merumputnya kerbau tersebut memberikan sisi lain yang menguntungkan dari
kotorannya. Kotoran dari kerbau tersebut
dapat dijadikan sebagai pupuk.
Dari masyarakat
Gayo sendiri, tidak ada usaha sama sekali untuk mengembangbiakkan ternaknya dan
upaya perbaikan mutu keturunan. Pengebirian hanya dilakukan pada kambing agar
menjadi gemuk. Di tanah Gayo ini sapi tidak banyak diternakkan sebab sapi tidak
begitu suka makan rumput di daerah pegunungan. Selain itu susunya pun jarang
diperah dan dagingnya pun kurang diminati masyarakat Gayo.
Selain kerbau,
kuda juga merupakan salah satu hewan yang di ternakkan oleh masyarakat suku
Gayo. Kuda tersebut banyak digunakan untuk mengunjungi tempat-tempat yang jauh,
digunakan untuk membawa padi dari sawah bila sawah tersebut letaknya jauh dari
rumah, dan kebanyakan dari mereka bertenak kuda hanya untuk di jual.
- Berburu
Berburu masih
tetap berlaku di tanah Gayo. Hewan buruannya meliputi rusa, kijang, kambing
hitam, babi. Ada hal yang berbeda dalam sistem berburu orang gayo. Orang Gayo
setiap melakukan berburu pasti membawa pawang, seorang ahli berburu. Pawang ini
memiliki banyak anjing pemburu yang bla berburu ia bawa untuk mengendus hewan
buruan. Dalam perburuan ini pun ada aturannya. Uuntuk seeorang yang pertama
menancapkan senjatanya pada hewan buruan maka ia mendapat bagian belakang dari
buruannya. Sedang pawang mendapatkan bagian tulang punggung dan daging yang
melekat. Selebihnya daging itu dibagikan kepada anggota perburuan. Selain itu,
masyarakat Gayo juga berburu burung. Mereka menggunakan alat sumpitan (letep)
dengan perekat (getah), jaring, memasang penjara (pejere tama). Menangkap
burung dengan jaring , puket, dan ontang, yaitu jenis alat yang sifatnya
lentur. Biasanya alat ini terbuat dari ranting bambu yang ditancapkan di tanah,
dan ujungnya dilengkungkan menggunakan sepotong tali sampai ke tanah. Jika
terinjak burung maka dengan tepat burung terjerat lalu melentur ke atas.
- Pengobatan
Dalam pengobatan
penyakit gondok, orang Gayo biasa minum air renggayung yang dicampur dengan air
terong peret, sebangsa terong yang bila terkena bijinya akan mengalami
gatal-gatal. Selain diminum, campuran kedua air tersebut dioleskan atau digosokkan
pada permukaan yang terkena gondok. Air renggayung merupakan air saringan yang
telah di masak terlebih dahulu. Yang mana air tersebut bersumber dari sumur
yang mengandung garam. Menurut pengalaman orang Gayo, seseorang yang terkena
gondok akan sembuh, bila ikut bekerja selama beberapa bulan dalam memasak garam
lane. Penyakit gondok ini berjangkit karena mereka suka minum air yang
ditampung dalam satu jenis tanaman hutan.
Sumber
: Hurgronje, C. Snouck.1996.Gayo Masyarakat dan Kebudayaannya awal abad ke-20.Jakarta:Balai
Pustaka
http://www.lintasgayo.com
http://www.lintasgayo.com
maaf saya ada tugas wawancara tentang suku gayo. apa bole saya melakukan wawancara dengan anda?
Terimakasih atas jawabannya ? :v