Sistem
Religi Suku Gayo
Dasar
kepercayaan di seluruh tanah Gayo adalah satu. Yang mana setiap orang Gayo
sudah memeluk agama islam. Kaidah islam sudah tertanam dalam kehidupan orang
Gayo. Orang Gayo pengslamannya tidaklah sama dengan orang Bedawi yang langsung
diislamkan oleh nabi. Selain itu suku bangsa ini sudah jauh tertinggal di bawah
tntutan minimal yang dimaksud oleh islam itu sendiri akibat kesalahan penganjur
agama yang menerapkan ajaran kepercayaan kepada penduduk. Islam mengutamakan
keyakinan para penganutnya yang terdahulu sehngga pandangan mereka terhadap
orang-orang luar hanya didasarkan pada kacamata keislamannya saja. Pola
kepercayaan orang Gayo di luar agama islam sampai saat ini masih tersisa. Hal
ini terlihat dari masyarakatnya yang masih mempercayai takhyul, dunia roh halus
dan pemujaan suatu tempat.
Kehidupan
beragama di tanah Gayo dapat dikatakan berbeda dengan suku lainnya. Dalam hal
ini mereka yang memang suku Gayo memiliki keinginan untuk menunaikan ibadah
haji. Namun anehnya setelah mereka kembali dari tanah mekah tersebut, tidak ada
ilmu yang diterapkan di kampungnya. Sehingga tidak terlihat perubahan pada diri
mereka. Mereka cenderung jarang menyebarkan atau mengajarkan ilmu yang telah
diperoleh kepada orang lain. Kehidupan kekerabatan suku Gayo sama seperti
penduduk yang menganut ajaran islam lainnya. Sedikit demi sedikit di tarik ke
dalam kehidupan alam islami, namun masih ada saja yang bertahan pada kepercayaan
sebelumnya. Dalam kehidupan beragamanya, suku Gayo tetap menggunakan aturan
adat.
HARI RAYA DI SUKU GAYO
Hari raya yang di rayakan di suku
Gayo sama dengan hari raya yang dirayakan oleh penduduk Aceh. Berikut ini
adalah hari raya yang dirayakan oleh suku Gayo:
Ø Hari Maulud ( Mulut)
Hari
peringatan lahir dan wafatnya Nabi Besar Muhammad SAW. Yang mana masing-masing
kesatuan masyarakat di tanah Gayo dapat memilih salah satu hari di dalam tiga
setengah bulan sesudah hari sebenarnya yang jatuh pada 12 rabiul awal. Kesatuan
masyarakat tersebut berada di bawah pimpinan satu reje. Dalam peringatan ini,
mereka mengundang tamu yang berasal dari kampung sebelah. Tamu undangannya pun
diprioritaskan untuk orang tua ternama dan para juelen. Peringatan ini diawali
dengan berzikir atau biasa disebut Zikir Mulut. Di pertengahan acara disajikan
makanan dan minuman. Di daerah Gayo Lues peringatan ini masih disertai dengan
membakar petasan, membunyikan canang, dan menggelar tari Guel yang disertai
dengan meriah lainnya.
Ø Kegiatan yang Berkaitan dengan
Bulan Puasa
Untuk
menentukan awal bulan puasa (pasa) biasanya diserahkan kepada orang-orang yang
pandai pada setiap kampungnya. Dan penerapan dari perhitungan tersebut pun
sering kali berbeda waktu satu dengan lainnya. Hari terakhir dari bulan
sebelumnya (seben atau syakban) disebut lo megang. Pada hari itu hampir setiap
kampung di suku Gayo memotong kerbau dan mengadakan kenduri.
Ø Kelam Lamle Malam yang Keramat
Kelam
lamle merupakan malam lailatul qadar yang tidak diabaikan oleh masyarakat Gayo.
Pada malam ini akan terlihat obor di halaman serta pekarangan rumah. Dimalam
ini pula para ibu melakukan kegiatan menumbuk tepung untuk persiapan membuat
kue lepat menjelang datangnya hari raya.
Ø Hari Raya Satu Syawal
Hari
raya ini disebut lo mugelih atau hari memotong. Uniknya masyarakat Gayo
melakukan pemotongan hewan kurban
(kerbau) tersebut satu hari sebelum hari raya ( 1 syawal). Dan pada keesokan
harinya semua orang terkemuka melakukan kunjungan ke tempat Reje dan Tue dengan
membawa sirih selengkapnya. Saat hari raya terdapat adat yang berlaku, yakni
pemandian Reje (pemimpin suku) hal ini bertujuan untuk mengatkan kedudukannya.
Dan keesokan harinya setiap warga baik itu anak-anak,remaja maupun orang tua membawa
obor dan turun bersama-sama ke kali untuk mandi di hari raya. Suku Gayo juga
memiliki kebiasaan seperti halnya masyarakat sekarang. Pada hari Raya tersebut
suku Gayo juga menggunakan pakaian yang serba baru serta melakukan kunjungan ke
sanak keluarga.
Ø Fitrah
Imem,
merupakan sebutan suku Gayo untuk orang yang bertanggung jawab atas keagamaan. Cara
pembayaran fitrah dalam suku Gayo sama halnya dengan yang ada sekarang ini. Hanya
saja penerimanya bukanlah orang-orang yang tidak mampu melainkan penguasa yang
lebih tinggi (kejuran atau cik).
Ø Hari Raya Haji
Hari
raya haji merupakan hari raya akbar bagi orang islam yang jatuh pada hari ke
sepuluh, bulan ke duabelas. Dalam suku Gayo, hari raya ini tidak dianggap
berarti (kecil). Sehingga di tanah Gayo hari raya ini hanya berlalu begitu
saja. Dan orang-oang hanya sekedar mengetahui namanya saja tanpa adanya perlakuan
kegiatan seperti yang ada pada hari raya lainnya.
KEPERCAYAAN SUKU GAYO
« Ilmu
Gaib
Dengan bergabungnya
kepercayaan lama dengan ajaran islam membuat karakteristik yang brbeda pada
suku Gayo.Orang Gayo memilii ilmu gaib yang bertujuan tersembunyi untuk
memenuhi kebutuhan pribadi tertentu. Seperti membuat tubuhnya kebal dari
benda-benda tajam,pelaris barang dagangan, keselamatan dalam perjalanan serta
ilmu lainnya. Alat yang digunakannya pun sama dengan yang ada di seluruh
Indonesia. Dengan menaruh kepercayaan kepada jin-jin (hantu,sane) arwah yang
sudah meninggal dll.
« Pantangan
makanan
Pada orang Gayo
terdapat pantangan memakan binatang atau rempah-rempah tertentu. Semua ini
berasal dari persumpahan leluhur mereka dahulu. Seperti contoh kukur dan burung
balam yang terkenal dikalangan masyarakat Gayo Lues menjadi pantangan.Hingga
saat ini tidak diketahui asal-usul pantangan makanan tersebut. Namun masyarakat
suku Gayo tetap mematuhi dan mempercayai fenomena itu. Sebab mereka juga takut terjadi
suatu hal yang fatal dan dapat menimbulkan kerugian yang besar bila melanggar persumpahan itu.
« Pemujaan
manusia dan kekuatan lain
Sebagai orang
islam,orang Gayo merupakan pemuja seseorang yang hanya didasari atas ketakutan
pada kesaktian, kekuatan ilmu, dan kekeramatan seseorang. Pemujaan ini mudah
berkembang sebab daerahnya sendiri tergolong tertutup. Kebanyakan pemujaan
tersebut dilakukan di makam keramat dan tempat persemiangan.
« Sembahyang
Di suku Gayo sangat
sedikit seseorang melakukan sembahyang. Hal ini dikarenakan sedikitnya bangunan
mesjid yang berdiri di tanah Gayo. Kalau pun ada, peruntukan dari mesjid
tersebut tidak digunakan dengan semestinya. Bahkan banyak mesjid yang tidak
terawat lagi dan menunggu runtuh.
« Penganut
islam fanatik
Orang-orang Gayo
merupakan pemeluk agama islam yang fanatik dan taat. Dalam
pengertiannya identitas suku dan agama tidak dipisahkan.
Kebanyakan dari masyarakatnya hanya mengakui satu agama saja yakni islam. Hal
ini terlihat jelas dari prinsipnya yakni seseorang dapat dikatakan orang Gayo
jikalau dirinya beragama islam. Orang Gayo yang keluar dari islam tidak
dianggap lagi sebagai orang Gayo. Konsekuensinya mereka tidak diterima lagi di
lingkungan masyarakat Gayo. Pada intinya islam yang diterapkan di Suku Gayo hanya
berbeda pada kesalehan, ilmu pengetahuannya serta kesuciannya. Rata-rata dari
mereka sangat ingin menambah ilmu pengetahuan dalam hal agama. Karena disana
jarang orang yang berkeinginan untuk menambah ilmu-ilmu lain di luar ilmu agama
seperti ilmu dunia, pengetahuan politik dan lain-lain. Namun terdapat
pengecualian yakni jika menambah ilmu lain maka yang diambil hanya sebatas
keislamannya saja.
Upacara
tradisioanal yang sering dilaksanakan oleh masyarakat Gayo selalu berkaitan
dengan mata pencaharian hidup masyarakatnya, adat istiadat dan
agama/kepercayaan suku Gayo. Dalam bidang pertanian upacara biasanya dilakukan
selalu dikaitkan dengan kepercayaan-kepercayaan tertentu. Ketika hendak turun
ke sawah, diadakan kenduri yang disebut dengan ku ulu noih, yaitu
upacara yang dilakukan pada sumber mata air yang dipergunakan untuk pertanian.
Upacara tersebut dipimpin oleh Kejurun Blang.
Biasanya
disertai dengan kegiatan membersihkan tali air secara bergotong royong. Pada
waktu itu oleh Kejurun Blang, akan diumumkan saat mulai akan menyemai bibit.
Penanaman bibit padi untuk setiap musim tanam selalu di mulai pada petak sawah
milik Kejurun Blang dan kemudian baru akan diikuti oleh masyarakat
lainnya. Selesai panen baru akan di mulai lagi dengan kenduri Lues Blang,
dan
pada saat inilah biasanya terdapat hiburan tari saman dilakukan di
tengah-tengah masyarakat sebagai hiburan rakyat. Acara tersebut dimaksudkan
untuk menyatakan rasa syukur mereka kepada Tuhan Yanag Maha Esa, atas karunia
yang telah diberikan Allah kepada masyarakat suku Gayo.Kenduri ini biasanya
mereka lakukan bersamaan dengan kenduri tulak bele, karena menurut
anggapan kebanyakan penduduk setelah panen, biasanya akan banyak berjangkit
demam panas pada masyarakat suku Gayo. Dan pada saat ini kenduri Lues Blang dan
tulek bele sudah jarang dilakukan oleh masyarakat Gayo (Abdullah, 1994 : 32).
Dalam
bidang kepercayaan masyrakat etnik Gayo juga mempercayai adanya kekuatan gaib
dan kekuatan sakti. Mengenai wujud dari kekuatan-kekuatan gaib tersebut dapat
dilihat dalam bentuk kegiatan talak bele (menolak bahaya). Jika ada
wabah penyakit yang melanda daerah mereka, maka masyarakat setempat akan
bersama-sama untuk melakukan upacara tolak bele, agar mereka terhindar
dari penyakit tersebut. Upacara ini dilakukan pada tempat-tempat yang dianggap
angker atau keramat, misalnya dibawah pohon besar atau di tepi Danau Laut
Tawar. Upacara ini dilakukan dengan cara menyediakan sesaji berupa makanan agar
balum bidi dan telege (sumur) Reje Linge tidak mengambil
atau menelan orang yang mandi di sungai atau di danau Laut Tawar tersebut.
Upacara
keagamaan pada hari-hari besar Islam juga dirayakan, seperti upacara Maulid
Nabi sebagai upacara bersejarah bagi umat Islam yang dilakukan pada setiap
tahunnya pada bulan Rabiulawal. Dahulu setiap mersah melakukan
upacara ini dengan mengundang tamu-tamu dari mersah lainnya. Bagi mereka
yang cukup mampu, selalu membawa hidangan makanan untuk dimakan pada acara
tersebut, dan bagi mereka yang kurang mampu akan melakukan kerjasama dengan
rumah-rumah lain untuk sama-sama membuat sebuah hidangan untuk disajikan pada
acara itu juga. Pelaksanaan upacara selalu dipimpin oleh Imam mersah masing-masing.
Setelah upacara selesai, maka akan disertai dengan zikir sampai selesai,
dan pada akhir acara tersebut, tibalah saatnya untuk makan bersama-sama.
Sekarang proses upacara yang besar seperti ini sudah sangat jarang sekali
dilakukan pada masyarakat suku Gayo. Saat ini, mereka hanya melakukan upacara
Maulid Nabi SAW dengan acara sederhana tanpa ada acara hiburan rakyat lagi,
mereka memperingati acara tersebut dengan sangat sederhana, Begitu juga dengan
upacara-upacara lainnya. (Rusdi dkk., 1998:91-92).
Sumber
:Hurgronje, C. Snouck.1996.Gayo Masyarakat dan Kebudayaannya awal abad ke-20.Jakarta:Balai
Pustaka
http://sosbud.kompasiana.com