BAB II SISTEM RELIGI SUKU GAYO

Sistem Religi Suku Gayo
Dasar kepercayaan di seluruh tanah Gayo adalah satu. Yang mana setiap orang Gayo sudah memeluk agama islam. Kaidah islam sudah tertanam dalam kehidupan orang Gayo. Orang Gayo pengslamannya tidaklah sama dengan orang Bedawi yang langsung diislamkan oleh nabi. Selain itu suku bangsa ini sudah jauh tertinggal di bawah tntutan minimal yang dimaksud oleh islam itu sendiri akibat kesalahan penganjur agama yang menerapkan ajaran kepercayaan kepada penduduk. Islam mengutamakan keyakinan para penganutnya yang terdahulu sehngga pandangan mereka terhadap orang-orang luar hanya didasarkan pada kacamata keislamannya saja. Pola kepercayaan orang Gayo di luar agama islam sampai saat ini masih tersisa. Hal ini terlihat dari masyarakatnya yang masih mempercayai takhyul, dunia roh halus dan pemujaan suatu tempat.
Kehidupan beragama di tanah Gayo dapat dikatakan berbeda dengan suku lainnya. Dalam hal ini mereka yang memang suku Gayo memiliki keinginan untuk menunaikan ibadah haji. Namun anehnya setelah mereka kembali dari tanah mekah tersebut, tidak ada ilmu yang diterapkan di kampungnya. Sehingga tidak terlihat perubahan pada diri mereka. Mereka cenderung jarang menyebarkan atau mengajarkan ilmu yang telah diperoleh kepada orang lain. Kehidupan kekerabatan suku Gayo sama seperti penduduk yang menganut ajaran islam lainnya. Sedikit demi sedikit di tarik ke dalam kehidupan alam islami, namun masih ada saja yang bertahan pada kepercayaan sebelumnya. Dalam kehidupan beragamanya, suku Gayo tetap menggunakan aturan adat.
HARI RAYA DI SUKU GAYO
            Hari raya yang di rayakan di suku Gayo sama dengan hari raya yang dirayakan oleh penduduk Aceh. Berikut ini adalah hari raya yang dirayakan oleh suku Gayo:
Ø   Hari Maulud ( Mulut)
Hari peringatan lahir dan wafatnya Nabi Besar Muhammad SAW. Yang mana masing-masing kesatuan masyarakat di tanah Gayo dapat memilih salah satu hari di dalam tiga setengah bulan sesudah hari sebenarnya yang jatuh pada 12 rabiul awal. Kesatuan masyarakat tersebut berada di bawah pimpinan satu reje. Dalam peringatan ini, mereka mengundang tamu yang berasal dari kampung sebelah. Tamu undangannya pun diprioritaskan untuk orang tua ternama dan para juelen. Peringatan ini diawali dengan berzikir atau biasa disebut Zikir Mulut. Di pertengahan acara disajikan makanan dan minuman. Di daerah Gayo Lues peringatan ini masih disertai dengan membakar petasan, membunyikan canang, dan menggelar tari Guel yang disertai dengan meriah lainnya.
Ø   Kegiatan yang Berkaitan dengan Bulan Puasa
Untuk menentukan awal bulan puasa (pasa) biasanya diserahkan kepada orang-orang yang pandai pada setiap kampungnya. Dan penerapan dari perhitungan tersebut pun sering kali berbeda waktu satu dengan lainnya. Hari terakhir dari bulan sebelumnya (seben atau syakban) disebut lo megang. Pada hari itu hampir setiap kampung di suku Gayo memotong kerbau dan mengadakan kenduri.
Ø   Kelam Lamle Malam yang Keramat
Kelam lamle merupakan malam lailatul qadar yang tidak diabaikan oleh masyarakat Gayo. Pada malam ini akan terlihat obor di halaman serta pekarangan rumah. Dimalam ini pula para ibu melakukan kegiatan menumbuk tepung untuk persiapan membuat kue lepat menjelang datangnya hari raya.
Ø   Hari Raya Satu Syawal
Hari raya ini disebut lo mugelih atau hari memotong. Uniknya masyarakat Gayo melakukan pemotongan  hewan kurban (kerbau) tersebut satu hari sebelum hari raya ( 1 syawal). Dan pada keesokan harinya semua orang terkemuka melakukan kunjungan ke tempat Reje dan Tue dengan membawa sirih selengkapnya. Saat hari raya terdapat adat yang berlaku, yakni pemandian Reje (pemimpin suku) hal ini bertujuan untuk mengatkan kedudukannya. Dan keesokan harinya setiap warga baik itu anak-anak,remaja maupun orang tua membawa obor dan turun bersama-sama ke kali untuk mandi di hari raya. Suku Gayo juga memiliki kebiasaan seperti halnya masyarakat sekarang. Pada hari Raya tersebut suku Gayo juga menggunakan pakaian yang serba baru serta melakukan kunjungan ke sanak keluarga.
Ø   Fitrah
Imem, merupakan sebutan suku Gayo untuk orang yang bertanggung jawab atas keagamaan. Cara pembayaran fitrah dalam suku Gayo sama halnya dengan yang ada sekarang ini. Hanya saja penerimanya bukanlah orang-orang yang tidak mampu melainkan penguasa yang lebih tinggi (kejuran atau cik).
Ø   Hari Raya Haji
Hari raya haji merupakan hari raya akbar bagi orang islam yang jatuh pada hari ke sepuluh, bulan ke duabelas. Dalam suku Gayo, hari raya ini tidak dianggap berarti (kecil). Sehingga di tanah Gayo hari raya ini hanya berlalu begitu saja. Dan orang-oang hanya sekedar mengetahui namanya saja tanpa adanya perlakuan kegiatan seperti yang ada pada hari raya lainnya.
KEPERCAYAAN SUKU GAYO
«   Ilmu Gaib
Dengan bergabungnya kepercayaan lama dengan ajaran islam membuat karakteristik yang brbeda pada suku Gayo.Orang Gayo memilii ilmu gaib yang bertujuan tersembunyi untuk memenuhi kebutuhan pribadi tertentu. Seperti membuat tubuhnya kebal dari benda-benda tajam,pelaris barang dagangan, keselamatan dalam perjalanan serta ilmu lainnya. Alat yang digunakannya pun sama dengan yang ada di seluruh Indonesia. Dengan menaruh kepercayaan kepada jin-jin (hantu,sane) arwah yang sudah meninggal dll.
«   Pantangan makanan
Pada orang Gayo terdapat pantangan memakan binatang atau rempah-rempah tertentu. Semua ini berasal dari persumpahan leluhur mereka dahulu. Seperti contoh kukur dan burung balam yang terkenal dikalangan masyarakat Gayo Lues menjadi pantangan.Hingga saat ini tidak diketahui asal-usul pantangan makanan tersebut. Namun masyarakat suku Gayo tetap mematuhi dan mempercayai fenomena itu. Sebab mereka juga takut terjadi suatu hal yang fatal dan dapat menimbulkan kerugian yang besar  bila melanggar persumpahan itu.
«   Pemujaan manusia dan kekuatan lain
Sebagai orang islam,orang Gayo merupakan pemuja seseorang yang hanya didasari atas ketakutan pada kesaktian, kekuatan ilmu, dan kekeramatan seseorang. Pemujaan ini mudah berkembang sebab daerahnya sendiri tergolong tertutup. Kebanyakan pemujaan tersebut dilakukan di makam keramat dan tempat persemiangan.
«   Sembahyang
Di suku Gayo sangat sedikit seseorang melakukan sembahyang. Hal ini dikarenakan sedikitnya bangunan mesjid yang berdiri di tanah Gayo. Kalau pun ada, peruntukan dari mesjid tersebut tidak digunakan dengan semestinya. Bahkan banyak mesjid yang tidak terawat lagi dan menunggu runtuh.
«   Penganut islam fanatik
Orang-orang Gayo merupakan pemeluk agama islam yang fanatik dan taat. Dalam pengertiannya identitas suku dan agama tidak dipisahkan. Kebanyakan dari masyarakatnya hanya mengakui satu agama saja yakni islam. Hal ini terlihat jelas dari prinsipnya yakni seseorang dapat dikatakan orang Gayo jikalau dirinya beragama islam. Orang Gayo yang keluar dari islam tidak dianggap lagi sebagai orang Gayo. Konsekuensinya mereka tidak diterima lagi di lingkungan masyarakat Gayo. Pada intinya islam yang diterapkan di Suku Gayo hanya berbeda pada kesalehan, ilmu pengetahuannya serta kesuciannya. Rata-rata dari mereka sangat ingin menambah ilmu pengetahuan dalam hal agama. Karena disana jarang orang yang berkeinginan untuk menambah ilmu-ilmu lain di luar ilmu agama seperti ilmu dunia, pengetahuan politik dan lain-lain. Namun terdapat pengecualian yakni jika menambah ilmu lain maka yang diambil hanya sebatas keislamannya saja.
Upacara tradisioanal yang sering dilaksanakan oleh masyarakat Gayo selalu berkaitan dengan mata pencaharian hidup masyarakatnya, adat istiadat dan agama/kepercayaan suku Gayo. Dalam bidang pertanian upacara biasanya dilakukan selalu dikaitkan dengan kepercayaan-kepercayaan tertentu. Ketika hendak turun ke sawah, diadakan kenduri yang disebut dengan ku ulu noih, yaitu upacara yang dilakukan pada sumber mata air yang dipergunakan untuk pertanian. Upacara tersebut dipimpin oleh Kejurun Blang.
Biasanya disertai dengan kegiatan membersihkan tali air secara bergotong royong. Pada waktu itu oleh Kejurun Blang, akan diumumkan saat mulai akan menyemai bibit. Penanaman bibit padi untuk setiap musim tanam selalu di mulai pada petak sawah milik Kejurun Blang dan kemudian baru akan diikuti oleh masyarakat lainnya. Selesai panen baru akan di mulai lagi dengan kenduri Lues Blang, dan pada saat inilah biasanya terdapat hiburan tari saman dilakukan di tengah-tengah masyarakat sebagai hiburan rakyat. Acara tersebut dimaksudkan untuk menyatakan rasa syukur mereka kepada Tuhan Yanag Maha Esa, atas karunia yang telah diberikan Allah kepada masyarakat suku Gayo.Kenduri ini biasanya mereka lakukan bersamaan dengan kenduri tulak bele, karena menurut anggapan kebanyakan penduduk setelah panen, biasanya akan banyak berjangkit demam panas pada masyarakat suku Gayo. Dan pada saat ini kenduri Lues Blang dan tulek bele sudah jarang dilakukan oleh masyarakat Gayo (Abdullah, 1994 : 32).
Dalam bidang kepercayaan masyrakat etnik Gayo juga mempercayai adanya kekuatan gaib dan kekuatan sakti. Mengenai wujud dari kekuatan-kekuatan gaib tersebut dapat dilihat dalam bentuk kegiatan talak bele (menolak bahaya). Jika ada wabah penyakit yang melanda daerah mereka, maka masyarakat setempat akan bersama-sama untuk melakukan upacara tolak bele, agar mereka terhindar dari penyakit tersebut. Upacara ini dilakukan pada tempat-tempat yang dianggap angker atau keramat, misalnya dibawah pohon besar atau di tepi Danau Laut Tawar. Upacara ini dilakukan dengan cara menyediakan sesaji berupa makanan agar balum bidi dan telege (sumur) Reje Linge tidak mengambil atau menelan orang yang mandi di sungai atau di danau Laut Tawar tersebut.
Upacara keagamaan pada hari-hari besar Islam juga dirayakan, seperti upacara Maulid Nabi sebagai upacara bersejarah bagi umat Islam yang dilakukan pada setiap tahunnya pada bulan Rabiulawal. Dahulu setiap mersah melakukan upacara ini dengan mengundang tamu-tamu dari mersah lainnya. Bagi mereka yang cukup mampu, selalu membawa hidangan makanan untuk dimakan pada acara tersebut, dan bagi mereka yang kurang mampu akan melakukan kerjasama dengan rumah-rumah lain untuk sama-sama membuat sebuah hidangan untuk disajikan pada acara itu juga. Pelaksanaan upacara selalu dipimpin oleh Imam mersah masing-masing. Setelah upacara selesai, maka akan disertai dengan zikir sampai selesai, dan pada akhir acara tersebut, tibalah saatnya untuk makan bersama-sama. Sekarang proses upacara yang besar seperti ini sudah sangat jarang sekali dilakukan pada masyarakat suku Gayo. Saat ini, mereka hanya melakukan upacara Maulid Nabi SAW dengan acara sederhana tanpa ada acara hiburan rakyat lagi, mereka memperingati acara tersebut dengan sangat sederhana, Begitu juga dengan upacara-upacara lainnya. (Rusdi dkk., 1998:91-92).

Sumber :Hurgronje, C. Snouck.1996.Gayo Masyarakat dan Kebudayaannya awal abad ke-20.Jakarta:Balai Pustaka
http://sosbud.kompasiana.com
 
0 Responses