BAB IV SISTEM SOSIAL SUKU GAYO


Sistem Sosial Suku Gayo
Masyarakat Gayo hidup dalam komuniti kecil yang disebut kampong. Setiap kampong dikepalai oleh seorang gecik. Kumpulan beberapa kampung disebut kemukiman, yang dipimpin oleh mukim. Sistem pemerintahan tradisional berupa unsur kepemimpinan yang disebut sarak empat. Empat adalah unsur bangunan yang berarti  empat segi. Sarak empat terdiri dari:
  • Reje merupakan pemegang adat dalam batas-batas daerah yang dikuasai.
  • Petue merupakan pendamping reje dalam melaksanakan tugasnya, namun petue melaksanakan hal-hal yang ringan sedangkan hal-hl yang besar ditangani oleh reje.
  • Imem merupakan seseorang yang ahli dalam agama islam. Imem berada di bawah aturan adat. Pelaksanaan upacara pernikahan dan upacara kematian sepenuhnya di tangani oleh imem.
  • Saudere
Sarak empat merupakan bentuk kesatuan masyarakat Gayo sekaligus bentuk pemerintahannya. Pada masa sekarang beberapa buah pemukiman merupakan bagian dari kecamatan, dengan unsur-unsur kepemimpinan terdiri atas: gecik, wakil gecik, imem, dan cerdik pandai yang mewakili rakyat. Dengan adanya kesatuan masyarakat ini, suku Gayo memiliki tingkat solidartas yang tinggi terhadap sauderenya. Sebagai contoh bila seorang saudere berhutang kepada orang lain dan tidak dapat membayar hutang tersebut. Maka,  hutang dari saudere satu belah tersebut menjadi pikulan saudere lainnya. Bila saudere tersebut menolak maka jalan satu-stunya mereka melakukan perang. Namun masih ada kelonggaran bila saudere tersebut tidak dapat membayarnya, yakni dengan memutuskan hubungan solidaritas antara saudere yang berhutang dengan saudere yang dimintai pertanggungjawabannya.
Sebuah kampong biasanya dihuni oleh beberapa kelompok klen (belah). Sebagai contoh nama lima buah klen utama di bebesan adalah: Linge, Munte, Cebero, Tebe, dan Melala. Dapat dikatakan bahwa mereka merupakan penduduk dari Bebesan atau mereka yang telah pindah dari tempat lainnya adalah keturunan batak. Menurut orang Gayo, belah terdapat dalam keompok batak karo. Menurut keterangan beberapa orang Gayo, di tanah Karo pun dikenal dengan nama marga Lingga, Munte, dan Cibero. Tempat kediaman orang batak karo karena bermigrasi ke tanah Gayo. Kekhasan adat batak tidak sama dengan yang dimiliki penduduk Bebesan namun memang terkecuali pada persamaan adat di seluruh tanah Gayo. Orang Menurut penuturan orang Gayo, bahwa orang-orang yang menjadi asal keturunan  orang Gayo adalah Batak Karo. Yang mana batak yang berasal dari sana adalah Batak Pakpak dan Tebe (Toba). Disini dipaparkan unsur batak tidak begitu mempengaruhi perkembangan rakyat Gayo. Pengaruh batak yang pernah ada di tanah Gayo sudah terhenti. Dan imigran yang berasal dari aceh berkembang di tanah Gayo. Hal ini karena kesatuan agama yang membuat hubungan antara suku Gayo dengan Aceh lebih rapat dibanding dengan batak. Anggota-anggota suatu belah merasa berasal dari satu nenek moyang, masih saling mengenal, dan mengembangkan hubungan tetap dalam berbagai upacara adatnya.
Garis keturunan ditarik berdasarkan prinsip patrilineal. Rumah yang normal terdiri atas 5-9 ruangan masing-masing ruang yang didiami oleh satu keluarga inti (bapak, ibu, anak) kadang-kadang oleh dua keluarga inti yang serupa. Keturunan yang mendiami satu rumah terdiri atas keturunan menurut prinsip patrilineal. Bila penghuni rumahnya bertambah, maka dibangunlah rumah baru yang berdekatan dan begitu seterusnya. Begitulah pemukiman yang berkembang menjadi sebuah kampung yang terdiri dari beberapa rumah yang didiami oleh anggota satu belah. Dalam sistem ini mereka memilih pimpinan yang disebut reje (raja). Pada orang Batak reje berarti kepala marga, namun pada orang Gayo kepala marga dinamakan suku (kuru).
Suku yang hanya terdiri dari satu belah akan memiliki nama yang sama pula. Namun untuk suku yang terpecah akan tumbuh dari beberapa belah dengan nama yang berbeda. Anggota satu belah mempunyai tempat tinggal yang sama bisa disebut dengan belah (segi atau sisi sebuah kampung). Intinya tempat tersebut merujuk pada kesatuan tempat tinggal secara geneologis.
Sistem perkawinan yang berlaku berdasarkan tradisi adalah eksogami belah, dengan adat menetap sesudah nikah yang patrilokal (juelen) atau matrilokal (angkap). Kelompok kekerabatan terkecil disebut saraine (keluarga inti). Kesatuan beberapa keluarga inti disebut sara dapur. Pada masa lalu beberapa sara dapur tinggal bersama dalam sebuah rumah panjang, sehingga disebut sara umah. Beberapa buah rumah panjang bergabung ke dalam satu belah (klen). Pada masa sekarang banyak keluarga inti yang mendiami rumah sendiri.
  •    Pewaris jabatan penguasa di Tanah Gayo
Semua jabatan atau pangkat yang ada di tanah Gayo cenderung diwariskan kepada kerabatnya sendiri, meski kerabatnya tersebut tidak memiliki kemampuan dan pengetahuan yang merupakan syarat mutlak menjadi seorang pemimpin. Jabatan reje akan digantikan oleh anaknya. Anak yang menggantikannya tidak mesti anak tertua, melainkan anak yang memiliki tanda-tanda bertuah. Tanda-tanda tersebut akan dilihat oleh guru (ahli nujum)  atas kesepakatan saudere bersama-sama. Pada pembagian harta pusaka biasanya anggota keluarga memberikan perhatian pada anak bungsunya, namun untuk anak dibawah umur tidak boleh memegang jabatan sehingga anak tertualah yang mendapat kehormatan terlebih dahulu untuk bertindak sebagai bedel (wakil).
Bila seorang reje tidak memiliki seorang putra, maka ia akan mengambil dari seorang sepupu, keponakan, atau putra saudara yang telah meninggal dunia dan mampu menyandang jabatan ini. Jika seorang reje meninggal dan sebelum penguburan berlangsung diangkatlah seorang penggantinya. Maka pengganti tersebut harus ikut bersama-sama di arak kekuburan oleh semua anggota keluarga jenazah. Acara penggantian ini disebut mawen yang artinya di rangkaikan yaitu meneruskan pangkat dan jabatan reje tanpa adanya peresmian lagi.
Mengenai pengangkatan kejurun tidak perlu ada istilah mawen ‘nahma’ itu sendiri tidak ikut mati walaupun pengalihan tersebut belum jadi dilaksanakan. Tanpa melakukan upacara pengangkatan para keluarga harus sepakat dengan reje untuk menunjuk seorang pengganti dari kejurun. Dari penggantian seorang kejurun yang meninggal dunia edet menuntut enam belas potong kain putih untuk baju din, yang dibagikan kepada dua belas orang pengulu.
  • Adat dan sanksi hukum
Edet merupakan hukum yang tidak tertulis yang berkembang di kehidupan masyarakat dan di jalankan oleh reje. Sedangkan hukum adalah kaidah islam yang merupakan ketentuan yang datang dari tuhan. Dalam keseharian di Tanah Gayo, edet dijalankan oleh seorang reje sedangkan hukum dijalankan oleh imem.
Pelanggaran terhadap adat akan dikenakan hukuman jika adanya satu bukti nyata, sebab ini merupakan syarat mutlak pemecahan suatu masalah. Seperti halnya hukum mengenai pembunuhan, bila sudah ditemukan satu bukti  nyata dari si pembunuh maka akan berlaku suatu ketentuan adat. Yakni satu pembunuhan tanpa alasan hukuman pertamanya adalah cekik yaitu dengan melilitkan sepotong kain di leher pelaku dan di tarik oleh dua orang algojo sampai mati. Cara kedua yakni hukum dedok dengan membenamkan si pelaku kedalam air menggunakan kayu berbentuk garpu pada lehernya. Dalam setiap kasus hukum pasti seorang pelaku berhak membela dirinya, namun pada pembunuhan yang dilakukan dua orang atau lebih tidak ada hak pembelaan kecuali dapat dibuktikan hanya satu orang yang bersalah. Maka dialah yang dihukum dan yang lainnya bebas. Namun tidak akan etis bila hukum tersebut hanya diberlakukan pada satu orang saja. Sehingga bela dapat digantikan dengan membeli darah. Dalam adat Gayo istilah mengganti darah sebenarnya tidak ada yang mampu membayarnya. Tetapi dalam praktiknya, ganti darah hanya disesuaikan dengan kemampuan saja.
Menurut kabar yang beredar orang Gayo pandai sekal meracuni (menube). Dengan adanya kabar seperti ini, membuat banyak orang aceh yang berada di Gayo takut akan tube. Menurut hukum adat para pelakunya harus dikenai hukuman mati dan penerapan hukum ini harus menunjukkan suatu bukti yang akurat. Dalam hal ini penerapan hukum tersebut pada kenyataannya tidak mudah dilaksanakan. Sumpah merupakan salah satu alat pembuktian. Seseorang yang dituduh melakukan suatu pencurian dapat membersihkan diri dengan sumpah. Suku Gayo mempercayai sumpah tersebut, sebab bila sumpah yang diucapkan oleh pelaku kejahatan itu palsu maka, si pelaku akan mengalami sakit atau kerugian yang sangat besar bahkan kecelakaan lainnya.
  •   Perkawinan

Ada beberapa model perkawinan adat Gayo, seperti: Angkap, Kuso-kini dan Juelen. Perkawinan Angkap terjadi, jika satu keluarga tidak punyai keturunan anak lelaki yang berminat mendapat seorang menantu lelaki, maka keluarga tersebut meminang sang pemuda [umumnya lelaki berbudi baik dan ’alim]. Inilah yang dinamakan: “Angkap berperah, juelen berango” (Angkap dicari/diseleksi, Juelen diminta”. Menantu lelaki ini, disyaratkan supaya selamanya tinggal dalam lingkungan keluarga pengantin wanita dan dipandang sebagai pagar pelindung keluarga. Sang menantu mendapat harta waris dari keluarga isteri. Dalam konteks ini dikatakan: “Anak angkap penyapuni kubur kubah. Si muruang iosah Umah, siberukah iosah Ume” (Menantu lelaki penyapu kubah kuburan). Yang ada tempat tinggal beri rumah, yang ada lahan beri Sawah.

”Perkawinan “Kuso-kini” termasuk perkawinan adat yang modern, yang meletakkan syarat bahwa, kedua mempelai bebas menentukan pilihan, dimana mereka akan tinggal menetap dan tidak membedakan kedudukan kedua orang tua masing-masing. Perkawinan model ini dipandang tolerance dan humanism, karena mengakui hak menentukan pilihan dan menempatkan derajat lelaki dan wanita sejajar dalam ukuran hukum Adat, hukum positif dan ketentuan syari‘ah. Itu sebabnya, model perkawinan “Kuso-kini” ini menjadi pilihan dari kebanyakan orang Gayo berbanding dengan model perkawinan lainnya, terutama bagi masyarakat yang menetap di kota-kota atau di perantauan.

            Perkawinan “Juelen” merupakan model perkawinan yang agak unik dalam masyarakat Gayo, sebab mempelai wanita dianggap sudah dibeli dan disyaratkan mesti tinggal selamanya dalam lingkungan keluarga mempelai lelaki. Kata “juelen” secara harfiah berarti: “barang jual”. Artinya: dengan sudah ijab qabul, maka keluarga pengantin wanita secara hukum telah menjual anak perempuannya dan suami berkuasa dan bertanggung jawab penuh terhadap wanita yang sudah dibelinya. Inilah yang disebut: “Sinte berluwah” (“pengantin wanita dilepas”). Secara ekstrem digambarkan; “juelen bertanas mupinah urang” (“pengantin wanita dilepas: bertukar kampung, marga, suku dan belah.” Hubungan kekeluargaan antara pengantin wanita dengan keluarga asal menjadi renggang, walau tidak terputus sama sekali. Status wanita dalam perkawinan ini seperti budak yang sudah dibeli dan sebagai “koro jamu” (“Kerbau tamu”) dalam lingkungan masyarakat suaminya. Tidak ada hak sosial yang melekat dalam dirinya, selain mengabdi kepada suami/keluarga, membesarkan dan mendidik anak-anaknya. Hak mengunjungi orang tua asal tidak lagi bebas, karena segalanya sudah bertukar kepada keluarga mempelai lelaki: kampung, marga, suku dan belah), kecuali: dalam hal-hal tertentu: keluarga meninggal dunia atau berkunjung di Hari Raya.
Konsekuensi logis dari perkawinan “juelen”, banyak kesalahan terjadi dalam menelusuri silsilah keluarga. Anak, keponakan dan cucu, banyak tidak tahu: dimana, berapa dan siapa nama saudara lelaki/perempuan Ayahnya atau Ibunya, nenek-kakek dan datunya. Lebih parah lagi ialah: dalam masyarakat Gayo didapati suatu kebiasaan yang negatif, yakni: sangat tabu menyoal siapa nama Ayah/Ibu, Kakek/nenek dan datu. Nama mereka pada umumnya baru bocor setelah meninggal, yang terpaksa menyebut nama asli. Aneh! Salah satu faktor penyebabnya ialah: jika pasangan suami/isteri mempunyai anak pertama bernama “Nikite”, maka otomatis Ayah dipanggil “Aman Nikite” dan Ibunya dipanggil “Inen Nikite”. Nama asli mereka hilang. Faktor lainnya mesti dilakukan penelitian.
Typelogi perkawinan “juelen” mirip dengan Adat perkawinan etnis Batak, dimana pengantin wanita yang menetap dalam lingkungan keluarga lelaki, selain marganya tidak lagi popular, marganya tidak berhak disandang oleh anak yang dilahirkannya. Maka perkawinan “juelen” mesti diadakan “Tanas” (pelepasan), yang sarat haru.
  • Permainan
Didong
Didong
Permainan yang berupa perpaduan antara musik dengan irama gerakan badan, tarian serempak dengan nyanyian yang hampir tiap acara khitanan atau acara pernikahan tidak pernah ketinggalan. Apalagi pada acara niken umah, niken reje, dan acara resmi lainnya, permainan didong ini tetap di gelar.
Sumber :Hurgronje, C. Snouck.1996.Gayo Masyarakat dan Kebudayaannya awal abad ke-20.Jakarta:Balai Pustaka
                 http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Gayo
                 http://zipoer7.wordpress.com


0 Responses