Sistem teknologi


Bab 6 Sistem teknologi




Mesjid cheng-hoo

Mesjid ini berada di kota Surabaya, Nama Cheng-Hoo diambil untuk menghormati seorang admiral yang memimpin 1450 armada kapal, dengan misi menyebarkan ajaran agama Islam di Asia Tenggara pada abad ke-15. Muhammad sendiri merupakan keturunan Tionghoa. Karena beliau merupakan keturunan Tionghoa yang memiliki jasa besar di nusantara kita, maka nama ini juga digunakan untuk kuil keturunan Tionghoa di Semarang.
Begitu melihat bangunan ini, melalui bentuk atapnya dan warna yang mendominasi bangunannya, kita akan berfikir bahwa bangunan ini adalah sebuah kuil. Namun, begitu kita lihat dengan seksama, di puncak mahkota bangunan dapat kita lihat tulisan kaligrafi ALLAH )layaknya mesjid-mesjid kebanyakan), kemudian ukiran kaligrafi pada lubang penghawaan yang berbentuk bundar, serta keberadaan bedug dan mihrab pada bangunan ini, barulah kita mengerti bahwa bangunan ini adalah sebuah mesjid.
Mesjid kecil ini memiliki konsep yang sarat dengan makna. Bentuk bangunan yang bergaya Tiongkok dan dipadukan dengan budaya jawa, menggambarkan sikap hidup admiral Cheng Hoo yang bergaya hidup masyarakat kosmopolitan, penuh toleransi dan harmoni. Perpaduan ini dapat kita lihat melalui bentuk atap utama yang berbentuk pagoda (budaya India kuno) segi 8 (dalam perhitungan Tionghoa angka 8 berarti keberuntungan) dan berlapis tiga (budaya Hindu Jawa. Nuansa Tiongkok pada atapnya semakin terasa dengan coraknya dan warna yang didominasi oleh warna hijau, merah, dan kuning. Bentuk atap ini juga merupakan hasil adaptasi dari masjid Niu Jie di Beijing.
Komposisi bangunan dan lahannya juga memiliki makna tertentu. Ukuran mesjid yang tidak besar ini terlihat sangat mencolok karena berada di tengah lahan yang luas. Mesjid berukuran imut yang berada di tengah lahan yang luas ini tampil bak kapal Admiral Cheng-Hoo yang membelah samudera luas.
Ukuran podium yang kecil (9m x 11m) juga ternyata memiliki makna. Angka 11 diambil dari ukuran Ka’bah di Mekkah. Sedangkan angka 9 melambangkan jumlah Wali Songo, Sembilan wali yang menyebarkan ajaran Islam di Indonesia.
Warna merah, hijau, biru dan kuning yang mendominasi mesjid ini juga ternyata memiliki makna tertentu. Warna-warna ini sering digunakan pada bangunan Tionkok kebanyakan. Dominasi warna-warna ini membuat nuansa Tiongkok semakin kental pada Mesjid ini. Dalam kepercayaan Tionghoa, masyarakatnya percaya bahwa warna merah melambangkan kebahagiaan, biru melambangkan harapan, kuning melambangkan kemashyuran, dan hijau melambangkan kemakmuran.

Jumlah anak tangga yang berada di dalam dan luar masjid juga tidak sama. Di dalam masjid, berjumlah 6, sedangkan di luar masjid berjumlah 5. Ternyata, jumlah anak tangga yang berbeda ini sengaja dibuat oleh arsiteknya. Jumlah kedua anak tangga ini melambangkan jumlah rukun iman dan rukun Islam yang dimiliki umat Islam.
 Mesjid yang dibangun tanpa pintu ini juga melambangkan sikap Admiral Cheng-Hoo yang penuh dengan keterbukaan dan menyambut kedatangan siapapun dengan latar belakang apapun dengan baik. Keterbukaan mesjid ini juga demikian, siapapun dengan latar belakang apapun yang dimiliki dapat memasuki mesjid ini sebagai tempat meminta perlindungan kepada Allah.
Kelenteng Gedung Batu Sam Po Kong





Kelenteng Gedung Batu Sam Po Kong




 adalah sebuah petilasan, yaitu bekas tempat persinggahan dan pendaratan pertama seorang Laksamana Tiongkok beragama islam yang bernama Zheng He / Cheng Ho. Terletak di daerah Simongan, sebelah barat daya Kota Semarang. Tanda yang menunjukan sebagai bekas petilasan yang berciri keislamanan dengan ditemukannya tulisan berbunyi "marilah kita mengheningkan cipta dengan mendengarkan bacaan Al Qur'an".
Disebut Gedung Batu karena bentuknya merupakan sebuah Gua Batu besar yang terletak pada sebuah bukit batu., orang Indonesia keturunan cina menganggap bangunan itu adalah sebuah kelenteng - mengingat bentuknya berarsitektur cina sehingga mirip sebuah kelenteng. Sekarang tempat tersebut dijadikan tempat peringatan dan tempat pemujaan atau bersembahyang serta tempat untuk berziarah. Untuk keperluan tersebut, di dalam gua batu itu diletakan sebuah altar, serta patung-patung Sam Po Tay Djien. Padahal laksamana cheng ho adalah seorang muslim, tetapi oleh mereka di anggap dewa. Hal ini dapat dimeklumi mengingat agama Kong Hu Cu atau Tau menganggap orang yang sudah meninggal dapat memberikan pertolongan kepada mereka.

Kelenteng Boen Tek Bio – Tangerang



Kelenteng Boen Tek Bio

Berdirinya Kelenteng Boen Tek Bio diperkirakan sekitar tahun 1750. Para penghuni perkampungan Petak Sembilan secara gotong-royong mengumpulkan dana untuk mendirikan sebuah kelenteng yang diberi nama Boen Tek Bio. (Boen=Sastra Tek=Kebajikan Bio=Tempat Ibadah). Bio yang pertama berdiri diperkirakan masih sederhana sekali yaitu berupa tiang bambu dan beratap rumbia. Awal abad ke-19 setelah perdagangan di Tangerang meningkat, dan umat Boen Tek Bio semakin banyak, kelenteng ini lalu mengalami perubahan bentuk seperti yang bisa dilihat sekarang.
Sebagai tuan rumah kelenteng ini adalah Dewi Kwan Im. Selain Dewi Kwan Im di sebelah kiri dan kanan kelenteng ini juga dibangun tempat untuk Dewa-Dewa lain.
Berbeda dengan kebanyakan kelenteng yang ada di Indonesia maupun yang ada di negri Tiongkok, Kelenteng Boen Tek Bio mempunyai satu tradisi yang sudah berlangsung selama ratusan tahun yaitu apa yang dikenal dengan nama Gotong Toapekong. Setiap 12 tahun sekali yaitu saat tahun Naga menurut kalendar Tionghoa, didalam Kota Tangerang berlangsung arak-arakan joli Ka Lam Ya, Kwan Tek Kun dan terakhir Joli Ema Kwan Im. Pesta tahun Naga ini dimeriahkan oleh pertunjukan Barongsai dan Wayang Potehi yang berhasi menyedot ribuan pengunjung.
Disamping acara gotong Toapekong, sejak tahun 1911 para umat Boen Tek Bio menyelenggarakan pesta Petjun yang diadakan di Kali Cisadane, yaitu perlombaan balap perahu naga. Perlombaan ini berlangsung sekitar bulan Mei-Juni saat musim kemarau dimana air sungai jernih dan tenang. Setelah peristiwa G-30 S/PKI, acara Petjun dilarang pemerintah.

Pakaian / Baju Tradisional China (Cheongsam)




Cheongsam


Pakaian tradisional China (Tionghoa) untuk wanita adalah Cheongsam. Nama Cheongsam sendiri artinya adalah pakaian panjang. Nama cheongsam diambil dari terjemahan bahasa Inggris dari dialek provinsi Guangdang, Tiongkok (chèuhngsāam). Di daerah lain di China, misalnya Beijing, nama pakaian tradisional china ini disebut sebagai qipao.

Sejarah awal Pakaian Tradisional China (Cheongsam)

Di awal bangsa Manchu yang terdapat pada Dinasti Qing di Tiongkok, perempuan bangsa Manchu tersebut mengenakan pakaian qipao. Walaupun kekuasaan bangsa Manchu ini tidak berlangsung lama, namun adat istiadat dalam memakai pakaian Qipao ini tetap bertahan seiring waktu. Dari situ mulai dikembangkan menjadi pakaian tradisional bangsa China.

Cheongsam Disukai Berbagai Bangsa Di Dunia

Sekarang ini pakaian tradisional china sudah terkenal dan disukai berbagai bangsa di dunia. Kepopuleran pakaian tradisional china ini mungkin dikarenakan dapat digunakan di berbagai acara resmi maupun untuk santai. Pakaian ini juga mewakilkan kesederhanaan dan kerapihan bagi pemakainya. Pembuatannya pun sepertinya tidak terlalu sulit.

Warna Pakaian Tradisional China (Cheongsam)

Warna pakaian tradisional ini pada umumnya berwarna merah dikarenakan masyarakat china percaya bahwa warna merah akan mendatangkan keberuntungan dan kesejahteraan. Namun pakaian tradisional cheongsam ini juga memiliki warna lain selain merah seperti warna biru, putih, hitam,dan lain sebagainya.

Motif Pakaian Tradisional China (Cheongsam)

Pakaian cheongsam tentu ada motifnya. Ada yang bunga peony, naga, ikan, dan lain sebagainya. Motif ini ternyata memiliki arti masing – masin. Dari berbagai artikel yang saya baca, berikut adalah beberapa arti motif tersebut:
  • Bunga Peony diartikan sebagai lambang kemakmuran dan kesejahteraan
  • Bunga Lotus diartikan sebagai lambang kecantikan
  • Naga diartikan sebagai lambang kekuatan
  • Ikan diartikan sebagai lambang keberuntungan

Bahan Dalam Pembuatan baju Tradisional China (Cheongsam)

Bahan pembuatan baju tradisional China ini biasanya adalah sutra, latin, dan brokat. Bahan tersebut akan membuat pakaian tradisional china ini akan tampak mewah dan menawan. Untuk acara santai dan tidak resmi sebaiknya gunakan bahann dari katun dan satin ;)

         
Pakaian adat suku Cina Benteng
Pakaian adat suku Cina Benteng merupakan perpaduan antara pakaian adat suku besar Tionghoa (yang didominasi suku Hokian) dan pakaian adat suku Betawi. Pakaian adat prianya berupa baju koko hitam dan celana panjang, dengan topi yang khas yang mirip dengan caping. Sedangkan pakaian adat wanitanya dinamakan hwa kun, yang berupa blus dan bawahan lengkap dengan hiasan kepala serta tirai penutup wajah. Namun seringkali digunakan pula kebaya encim, dengan aksen kembang goyang sebagai hiasan kepala, yang menunjukkan pengaruh Betawi dalam pakaian tersebut


http://www.mizzu.net  prestylarasati.wordpress.com/

0 Responses