FOKLORE LISAN
1. BAHASA RAKYAT
1. BAHASA RAKYAT
Bahasa yg di gunakan adalah bahasa sunda
kasar
Untuk
saat ini sebagian masyarakat suku baduy luar atau pun dalam telah mampu
menggunakan bahasa Indonesia untuk berkomunikasi pada orang asing yang sedang
singgah di wilayahnya.
2.
DIALEK
IDIOLEK (Individual)
Untuk dialek nya sendiri sunda banten karena
memang wilayahnya sendiri berada di banten.
3.
TEKA-TEKI (yang memerlukan jawaban,peribahasa,silat)
Petuah Leluhur
Inilah sebagian petuah leluhur Baduy yang
terdapat di pintu masuk kampung Baduy:
gunung teu meunang dilebur
lebak teu meunang dirusak
larangan teu meunang dirempak
buyut teu meunang dirobah
lojor teu meunang dipotong
pondok teu meunang disambung
nu lain kudu dilainkeun
nu ulah kudu diulahkeun
nu enya kudu dienyakeun
artinya:
gunung tak boleh dihancurkan
lembah tak boleh dirusak
larangan tak boleh dilanggar
buyut tak boleh diubah
panjang tak boleh dipotong
pendek tak boleh disambung
yang bukan harus ditiadakan
yang jangan harus dinafikan
yang benar harus dibenarkan
Isi terpenting dari 'pikukuh' (kepatuhan)
Kanekes tersebut adalah konsep "tanpa perubahan apapun", atau
perubahan sesedikit mungkin:
Peribahasa yang memang di gunakan oleh suku
baduy luar yaitu berbunyi seperti ini
“ lojor teu meunang di potong
Pondok teu meunang di sambung
Kurang teu meunang di tambah
Leuwih teu meunang di kurang”
Artinya : sikap dan sifat yang harus di
miliki oleh suku baduy baik suku baduy dalam atau pun luar yaitu mereka harus
hidup jujur tidak berbohong dan hidup tidak berlebihan serta segala sesuatunya
tidak ada yang di kurang kurangkan.
Salah
satu peribahasa yang ada pada baju yg menjadi andalan souvenir di baduy
1.
PUISI RAKYAT (Pantun)
Dari hasil wawancara oleh kang arji dan wakil
jaro
Mereka mengatakan pada saat melangsungkan
pernikahan dan menanam padi akan di lantunkan nya sebuah pantun . pantu itu
sendiri akan di lantun kan oleh tuakng panting. Untuk tukang pantun di kp.
Marengo itu berasal dari luar kampung mereka, ada yang ada kp. Ciboleger untuk
melantunkan pantun tersebut.
pantun dalam upacara Suku Baduy
“ Jauh teu puguh nu dijugjug, leumpang teu puguhnu
diteang , malipir dina gawir, nyalindung dina gunung, mending keneh lara jeung
wiring tibatan kudu ngayonan perang jeung paduduluran nu saturunan atawa jeung
baraya nu masih keneh sa wangatua”
Artinya : jauh tidak menentu yang tuju ( Jugjug ),berjalan tanpa ada tujuan,
berjalan ditepi tebing, berlindung dibalik gunung, lebih baik malu dan hina
dari pada harus berperang dengan sanak saudara ataupun keluarga yang masih satu
turunan “
a.
Puun
Puun merupakan jabatan tertinggi dalam
wilayah tangtu. menurut pikukuh “peraturan adat” jabatan puun berlangsung
turun temurun, kecuali bila ada hal yang tidak memungkinkan. sehubungan
dengan hal tersebut jabatan puun bisa diwariskan kepada keturunannya atau
kerabat dekatnya. lama jabatan puun tidak ditentukan. jangka waktu
jabatan pada dasarnya ditentukan oleh kemampuan seseorang memegang jabatan
puun. ada yang menjabat sampai tutup usia, namun kebanyakan akan
mengundurkan diri karena usia tua.
b.
Girang Seurat
Girang seurat atau kadang disebut seurat
merupakan jabatan tertinggi kedua setelah puun yang melaksanakan tugas sebagai
“sekertaris” puun atau pemangku adat, juga bertugas mengurus huma serang
“ladang bersama” dan menjadi penghubung dan pembantu utama puun. setiap
orang yang ingin menghadap atau bertemu puun harus melalui girang seurat.
tamu dari luar lebih dihadapi oleh girang seurat yang mewakili puun.
sebagai pembantu puun, girang seurat hanya ada di tangtu Cikeusik dan
Cibeo, sedangkan di Cikertawana tugas yang sama dipegang oleh kokolot “tetua
kampung”.
c.
Baresan
Baresan adalah semacam petugas keamanan
kampung yang bertugas dan bertanggungjawab dalam bidang keamanan dan
ketertiban. mereka termasuk dalam anggota sidang kapuunan atau semacam
majelis yang beranggotakan sebelas orang di Cikeusik, sembilan orang di Cibeo
dan lima orang di Cikertawana. mereka juga dapat menggantikan puun
menerima tamu yang akan menginap dan dalam berbagai upacara adat.
d.
Jaro
Jaro merupakan pelaksana harian urusan
pemerintahan kapuunan. tugas jaro sangat berat karena meliputi segala
macam urusan. di baduy dikenal empat jabatan jaro yaitu jaro tangtu, jaro
dangka, jaro tanggungan dan jaro pamarentah.
Jaro tangtu bertugas sebagai
pengawas dalam pelaksanaa hukum adat warga tangtu. Ia
bekerja sama dengan girang seurat mendampingi
puun dalam pelaksanaan upacara adat atau menjadi utusan
kepala desa ke luar desa Kanekes.
Jaro Dangka bertugas menjaga,
mengurus dan memelihara tanah titipan leluhur yang berada di dalam
dan di luar Desa Kanekes. Ia juga bertugas menyadarkan kembali
warga tangtu yang dibuang karena melanggar
adat. jaro dangka berjumlah sembilan orang, tujuh
orang berada di luar desa Kanekes dan dua
lainnya berada di dalam desa. Kesembilan jaro
ditambah dengan tiga orang jaro tangtu disebut dengan jaro
duabelas yang dikepalai oleh salah seorang diantara
mereka. pemimpin jaro duabelas ini disebut jaro
tanggungan duabelas.
Jaro pamarentah bertugas sebagai
penghubung pemerintahan adat dan masyarakat baduy dengan
pemerintah dan bertindak sebagai kepala desa
Kanekes yang berkedudukan di Kaduketug. Dalam tugas jaro
pamarentah dibantu oleh pangiwa, carik, dan kokolot lembur.
e.
Palawari
Palawari merupakan kelompok khusus –
semacam panitia tetap – yang bertugas sebagai pembantu, pesuruh dan perantara
dalam berbagai kegiatan upacara adat. mereka mendapat tugas dari
tangkesan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan persiapan dan pelaksanaan
suatu upacara adat, yakni menyediakan makanan untuk semua petugas dan warga
yang terlibat dalam upacara tersebut.
f.
Tangkesan
Tangkesan merupakan ”menteri
kesehatan” atau dukun kepala dan sebagai atasan dari semua dukun yang ada di
baduy. Ia juga merupakan juru ramal bagi segala aspek kehidupan orang
baduy. Ia terlibat dalam penentuan orang yang pantas menjadi puun.
ia juga orang yang memberi restu pada orang yang ingin menjadi dukun.
oleh karena itu, orang yang menjabat sebagai tangkesan harus cendikia dan
menguasai ilmu obat-obatan dan mantera-mantera. sekalipun tangkesan dapat
memberikan nasihat dan menjadi tempat bertanya bagi puun, jabatan ini dapat
dipegang oleh orang baduy luar. dalam hal ini, biasanya ia merupakan
keturunan dari tangkesan sebelumnya.
g.
Ada beberapa sebutan dukun pada masyarakat baduy,
yakni paraji (dukun beranak), panghulu (dukun khusus mengurus orang
yang meninggal), bengkong julu (dukun sunat untuk pria) dan bengkong bikang
(dukun sunat untuk wanita)
Apabila dalam masyarakat Baduy ada yang
melanggar aturan pikukuh maka orang tersebut akan mendapatkan hukuman yang
disesuaikan dengan pelanggaran yang dilakukan yang terdiri atas pelanggaran
berat dan pelanggaran ringan. Pelanggaran ringan yang dilakukan contoh adalah
cekcok antar masyarakat Baduy. Bentuk hukuman ringan untuk seseorang yang
melakukan pelanggaran ringan adalah pemanggilan oleh Pu’un untuk diberikan
peringatan.
Pelanggaran berat bagi masyarakat Baduy
adalah meneteskan darah, berzinah dan berpakaian kota. Hukuman berat yang aka
didapat adalah pemanggilan oleh Jaro setempat dan diberi peringatan. Selain
mendapat peringatan berat, orang yang mendapat hukuman akan dimasukan ke dalam
lembaga pemasyarakatan (LP) atau rumah tahanan adat selama 40 hari. Selain itu,
menjelang bebas, pelaku akan ditanya apakah masih mau berada di Baduy Dalam
atau akan keluar dan menjadi warga Baduy Luar di hadapan para Pu’un dan Jaro.
Untuk masyarakat Baduy Luar lebih longgar dalam menerapkan aturan adat dan
ketentuan Baduy.
Tradisi dan budaya masyarakat Baduy
menciptakan masyarakat Baduy yang menjunjung tinggi rasa kebersamaan atau
gotong-royong dalam hal kehidupan masyarakat. Salah satu contoh sikap itu
adalah saat masyarakat Baduy membangun suatu jembatan untuk melewati sungai.
Mereka bekerja sama, ada yang mencari bambu, rotan dan barang lainnya di hutan
untuk dikumpulkan dan ada juga yang bekerja membangun pola jembatan tersebut.
1.
Konsep Toponim
Menurut kepercayaan yang mereka anut, orang
Kanekes atau Baduy mengaku keturunan
dari Batara Cikal, salah satu dari tujuh dewa atau batara yang diutus ke bumi.
Asal usul tersebut sering pula dihubungkan dengan Nabi Adam sebagai nenek
moyang pertama. Menurut kepercayaan mereka, Adam dan keturunannya, termasuk
warga Kanekes mempunyai tugas bertapa atau asketik (mandita) untuk menjaga
harmoni dunia.
Pendapat mengenai asal-usul orang Kanekes
berbeda dengan pendapat para ahli sejarah, yang mendasarkan pendapatnya dengan
cara sintesis dari beberapa bukti sejarah berupa prasasti, catatan perjalanan
pelaut Portugis dan Tiongkok, serta cerita rakyat mengenai 'Tatar Sunda' yang
cukup minim keberadaannya. Masyarakat Kanekes dikaitkan dengan Kerajaan Sunda yang sebelum keruntuhannya pada abad ke-16 berpusat di Pakuan Pajajaran (sekitar Bogor
sekarang). Sebelum berdirinya Kesultanan Banten, wilayah ujung barat pulau Jawa ini merupakan bagian penting dari Kerajaan Sunda. Banten
merupakan pelabuhan dagang yang cukup besar. Sungai Ciujung dapat dilayari
berbagai jenis perahu, dan ramai digunakan untuk pengangkutan hasil bumi dari
wilayah pedalaman. Dengan demikian penguasa wilayah tersebut, yang disebut
sebagai Pangeran Pucuk Umum menganggap bahwa kelestarian sungai perlu
dipertahankan. Untuk itu diperintahkanlah sepasukan tentara kerajaan yang sangat
terlatih untuk menjaga dan mengelola kawasan berhutan lebat dan berbukit di
wilayah Gunung Kendeng tersebut. Keberadaan pasukan dengan tugasnya yang khusus
tersebut tampaknya menjadi cikal bakal Masyarakat Kanekes yang sampai sekarang
masih mendiami wilayah hulu Sungai Ciujung di Gunung Kendeng tersebut
(Adimihardja, 2000). Perbedaan pendapat tersebut membawa kepada dugaan bahwa
pada masa yang lalu, identitas dan kesejarahan mereka sengaja ditutup, yang
mungkin adalah untuk melindungi komunitas Kanekes sendiri dari serangan
musuh-musuh Pajajaran.
Van Tricht, seorang dokter yang pernah
melakukan riset kesehatan pada tahun 1928, menyangkal teori tersebut. Menurut
dia, orang Kanekes adalah penduduk asli daerah tersebut yang mempunyai daya
tolak kuat terhadap pengaruh luar (Garna, 1993b: 146). Orang Kanekes sendiri
pun menolak jika dikatakan bahwa mereka berasal dari orang-orang pelarian dari
Pajajaran, ibu kota Kerajaan Sunda. Menurut Danasasmita dan Djatisunda (1986:
4-5) orang Baduy merupakan penduduk setempat yang dijadikan mandala' (kawasan
suci) secara resmi oleh raja, karena penduduknya berkewajiban memelihara
kabuyutan (tempat pemujaan leluhur atau nenek moyang), bukan agama Hindu atau
Budha. Kebuyutan di daerah ini dikenal dengan kabuyutan Jati Sunda atau 'Sunda
Asli' atau Sunda Wiwitan (wiwitan=asli, asal, pokok, jati). Oleh karena itulah
agama asli mereka pun diberi nama Sunda Wiwitan. Raja yang menjadikan wilayah
Baduy sebagai mandala adalah Rakeyan Darmasiksa.
v Fakta yg di dapat dr wawancara lansung wakil
jaro di kp.marengo baduy luar
Mereka bukan menganut sunda wiwitan tapi
selam wiwitan
Selam itu berate orang yang suci yg sudah
mensucikan diri dengan cara menselam yaitu sunat
Meraka percaya pada ajaran adam bukan allah
swt
Tetapi mereka pada hari tertentu seperti hari
sabtu dan minggu
Orang tua mengajarkan anak nya mengaji di rmh
masing-masing karena memang di kp. marengo tidak terdapat rumah ibadah.
KEPERCAYAAN SUKU BADUY
Dasar religi orang Baduy ialah
penghoramatan ruh nenek moyang dan kepercayaan kepada satu kuasa, Batara
Tunggal. Keyakinan mereka itu disebut Sunda Wiwitan atau agama Sunda Wiwitan.
Orientasi, konsep-konsep dan kegiatan-kegiatan keagamaan ditujukan kepada
pikukuh agar supaya orang hidup menurut alur itu dalam menyejahterakan
kehidupan Baduy dan dunia ramai (orang Baduy dari hirarki tua dan dunia ramai
keturunan yang lebih muda). Mereka bertugas menyejahterakan dunia melalui tapa
(perbuatan, bekerja) dan pikukuh apabila Kanekes sebagai inti jagat selalu
terbelihara baik, maka seluruh kehidupan akan aman sejahtera. Gangguan terhadap
inti bumi ini berakibat fatal bagi seluruh kehidupan manusia di dunia.
Konsep keagamaan dan adat terpenting yang
menjadi inti pikukuh Baduy tanpa perubahan apa pun, seperti dikemukakan oleh
peribahasa “lojor teu meunang dipotong, pondok teu meunang disambung” (panjang
tak boleh dipotong, pendek tak boleh disambung). Konsep-konsep itu tidak berada
dalam diri orang Baduy sendiri yang kekuatannya tergantung dari tindakan atau
perbuatan seseorang. Konsep pikukuh merupakan pengejawantahan dari adat dan
keagamaan yang ditentukan oleh intensitas konsep mengenai karya dan keagamaan.
Dengan melaksanakan semuanya itu orang akan dilindungi oleh kuasa tertinggi,
Batara Tunggal, melalui para guriang yang dikirim oleh karuhun dan Batara
Tunggal karena orang tidak patuh kepada pikukuh, hakikat agama Sunda Wiwitan.
Para
puun itu bukan hanya pemimpin tertinggi tetapi keturunan karuhun, yang langsung
mewakili mereka di dunia. Ada beberapa konsep yang merupakan kewajiban puun
dalam rangka pikukuh, yaitu memelihara Sasaka Pusaka Buana; memelihara Sasakan
Domas atau Parahyang; mengasuh dan memelihara para bangsawan/pejabat; bertapa
bagi kesejahteraan dunia; berbakti kepada dewi padi dengan berpuasa pada
upacara, memuja nenek-moyang, dan membuat laksa untuk bahan pokok seba (Garna
1988).
Nenek moyang orang Baduy dikategorikan dalam
dua kelompok, yaitu nenek moyang yang berasal dari masa para Batara dan masa
para puun. Batara Tunggal digambarkan dalam dua dimensi, sebagai suatu kuasa
dan kekuatan yang tak tampak tetapi berada di mana-mana, dan sebagai manusia
biasa yang sakti. Dalam dimensi sebagai manusia sakti, Batara Tunggal mempunyai
keturunan tujuh orang batara yang dikirimkan ke dunia di kabuyutan (tempat
nenek-moyang), yaitu titik awal bumi Sasaka Pusaka Buana. Mereka itu ialah
Batara Cikal, yang diberitakan tidak ada keturunannya, Batara Patanjala yang
menurunkan tujuh tingkat batara ketiga, yaitu (dari yang paling senior) Daleum
Janggala, Daleum Lagondi, Daleum Putih Seda Hurip, Dalam Cinangka, Daleum
Sorana, Nini Hujung Galuh, dan Batara Bungsu. Mereka itu yang menurunkan
Bangsawan Sawidak Lima atau tujuh batara asal, nenek moyang orang Baduy. Daleum
Janggala adalah batara yang tertua, dan yang menurunkan kerabat tangtu
Cikeusing; Daleum Putih Seda Hurip menurunkan kerabat kampung Cibeo. Para
batara tingkat ketiga lain masing-masing menurunkan jenis kerabat pemimpin
lainnya.
Lima batara tingkat kedua, saudara-saudara
muda Batara Pantajala, yaitu Batara Wisawara, Batara Wishnu, Batara Brahmana,
Batara Hyang Niskala, dan Batara Mahadewa, menurunkan kelompok kerabat besar di
luar Baduy yang disebut salawe nagara (dua puluh lima negara), yang menunjukkan
jumlah kerabat yang besar, dan menurut pengetahuan orang Baduy adalah wilayah
yang sangat luas di sebelah Sungai Cihaliwung (Garna 1988). Kelompok kerabat
itulah yang dianggap orang Baduy keturunan yang lebih muda.
Dari ketujuh orang batara tingkat ketiga
nenek-moyang orang Baduy itu tampak bahwa hanya kerabat jaro dangka yang
berasal dari garis keturunan perempuan. Lainnya diturunkan melalui garis
keturunan patrilineal. Para puun adalah keturunan Batara Patanjala, dan sampai
masa akhir abad ke-19 oleh Jacobs dan maijer dicatat sudah terjadi 13 kali
pergantian puun Sikeusik (1891: hlm. 13). Menurut catatan tahun 1988, jumlah
puun Cikeusik adalah 24 orang, dan yang terakhir adalah Puun Sadi (Garna 1988).
Suatu konsep penting dalam religi orang Baduy
ialah karuhun, yaitu generasi-generasi pendahulu yang sudah meninggal. Mereka
berkumpul di Sasaka Domas, yaitu tempat di hutan tua di hulu Sungai Ciujung.
Karuhun dapat menjelma atau datang dalam bentuk asalnya menengok para
keturuannya, dan jalan untuk masuk ialah melalui hutan kampung.
Dalam kaitan dengan konsep karuhun itu ada
konsep lain, yaitu guriang, sanghyang, dan wangatua. Guriang dan sanghyang
dianggap penjelmaan para karuhun untuk melindungi para keturunannya dari segala
marabahaya, baik gangguan orang lain maupun mahluk-mahluk halus yang jahat
(seperti dedemit, jurig, setan) wangatua ialah ruh atau penjelmaan ruh ibu
bapak yang sudah meninggal dunia.
Kosmologi orang Baduy yang menghubungkan asal
mula dunia, karuhun dan posisi tangtu, merupakan konsep penting pula dalam
religi mereka. Karena itu wilayah yang paling sakral ada di Kanekes, terutama
wilayah taneuh larangan (tanah suci, tanah terlarang) tempat kampung tangtu dan
kabuyutan. Bumi dianggap bermula dari masa yang kental dan bening, yang
lama-kelamaan mengeras dan melebar. Titik awal terletak di pusat bumi, yaitu
Sasaka Pusaka Buana tempat tujuh batara diturunkan untuk menyebarkan manusia.
Tempat itu juga merupakan tempat nenek moyang. Kampung tangtu kemudian dianggap
sebagai inti kehidupan manusia, yang diungkapkan dengan sebutan Cikeusik, Pada
Ageung Cikartawana disebut Kadukujang, dan Cikeusik disebut Parahyang, semua
itu disebut Sanghyang Daleum. Secara khusus posisi tempat nenek moyang
(kabuyutan) dan alur tangut dalam memperlihatkan kaitan karuhun, yaitu Pada
Agueng ---- Sasaka Pusaka Buana ---- dangkanya disebut Padawaras; Kadukujang
---- Kabuyutan ikut pada Cibeo dan Cikeusik ---- dengan dangka-dangkanya yang
disebut Sirah Dayeuh. Konsep buana (buana, dunia) bagi orang Baduy berkaitan
dengan titik mula, perjalanan, dan tempat akhir kehidupan. Ada tiga buana,
yaitu Buan Luhur atau Buana Nyungcung (angkasa, buana atas) yang luas tak
terbatas, Buana Tengah atau Buana Panca Tengah, tempat manusia melakukan
sebagian besar pengembaraannya dan tempat ia akan memperoleh segala
suka-dukanya. Buana Handap (buana bawah) ialah bagian dalam tanah yang tak
terbatas pada luasnya. Keadaan di tiga benua itu adalah seperti halnya dunia
ini, ada siang dan ada malam, dan keadaannya sebaliknya dengan di dunia.
Konsep lain dalam religi orang Baduy ialah
kaambuan atau ambu (ibu, wanita, ibu suci). Menurut orang Baduy ada tiga ambu
yang penting (peling tidak yang ditakuti dan disegani) yaitu Ambu Luhur di
Buana Luhur, Ambu Tengah di Buana Panca Tengah, dan Ambu Rarang di Buana
Handap. Ambu Tengah ialah pemelihara kehidupan yang harus dihormati dengan
kesungguhan melakukan pikukuh. Ambu luhur tidak hanya mengurus tempat orang
Baduy setelah mati, tetapi juga dengan segala kekuatan dan kesaktiannya, Ambu
Rarang dapat menyelesaikan setiap masalah kehidupan dengan menyebut namanya
atau membaca mantera-mantera. Sedang Ambu Rarang adalah ambu yang menerima
jasad dan ruh orang Baduy yang mati untuk diurus selama tujuh hari dan
melepaskannya setelah 40 hari ke tempat akhir tetapi juga bentuk nyata dari
Buana luhur.
Legenda
Asal-usul
CERITA RAKYAT PUCUK UMUN
Cerita rakyat yang berhubungan dengan
Islamisasi di Banten salah satunya adalah cerita Pucuk Umun. Pucuk Umun
menghadapi Sultan Hasanuddin. Menurut ceritanya, kedua orang itu mengadakan adu
ayam dengan ketentuan bila ayam Pucuk Umun kalah, Sultan Hasanuddin bebas
menyebarkan Islam di derah Banten. Ternyata ayam Pucuk Umun Kalah dan setelah
itu ia melepaskan daulatnya atas Banten dan kemudian bermukin di Ujung Kulon.
Tempat pertarungan adu kesaktian antara Maulana Hasanuddin dengan Pucuk Umun
pun telah disepakati oleh kedua belah pihak, yaitu di lereng Gunung Karang.
Satu tempat yang dianggap netral, karena kedua pihak tentu tidak ingin disebut
jago kandang bila berhasil memenangkan pertandingan, yang tidak saja
mempertaruhkan jabatan tapi juga kedaulatan atas Banten. Perlu dicatat disini,
bahwa pertarungan ini bukanlah pertarungan ‘full-body contact’ langsung antara
dua tokoh agama, tapi pertarungan dengan menggunakan perwakilan berupa ayam
jago: satu milik Maulana Hasanuddin dan yang satu lagi milik Pucuk Umun.
Penyelenggaraan pertarungan dahsyat ini adalah prakarsa dari Pucuk Umun sendiri
yang langsung diterima oleh Maulana Hasanuddin. Pendekatan seperti ini dapat
dipandang sebagai jalan tengah menuju penyelesaian damai terhadap konflik
berkepanjangan antara dua pihak yang berbeda kepentingan. Pucuk Umun
berkepentingan mempertahankan eksistensi ajaran Sunda Wiwitan (Hindu) di bawah
naungan Negeri Pajajaran. Sedangkan Maulana Hasanuddin berkepentingan agar
supaya kegiatan dakwah Islam di Banten dapat berjalan tanpa hambatan yang
berarti.
Matahari pagi mulai memanasi Gunung Karang
yang hijau ketika kumpulan orang-orang mulai memadati lapangan. Untuk
menghadapi berbagai kemungkinan, masing-masing pihak melengkapi diri dengan
senjata masing-masing. Dari kejauhan tertampak, selain ada golok di
pinggangnya, Pucuk Umun juga memegang tombak. Sedangkan di pinggang Maulana
Hasanuddin terselip sebilah keris pusaka warisan Wali Songo. Di tepi utara
lapangan, Maulana Hasanuddin tampak mengenakan jubah putih dengan sorban di
kepala. Sementara disisi selatan, Pucuk Umun berpakaian hitam-hitam, dengan
rambut gondrong sampai leher, mengenakan ikat kepala.
Dua ekor ayam jago yang masing-masing masih
dalam kandang anyaman bambu sudah berada di tengah lapangan. Ayam milik Pucuk
Umun telah diberi ajian ‘otot kawat tulang besi’ dan dipasang keris berbisa
pada kedua tajinya. Sedangkan pada ayam milik Maulana Hasanuddin tidak dipasang
senjata apapun, tetapi dia telah dimandikan dengan air sumur Masjid Agung
Banten. Pada saat dimandikan, dibacakan ayat-ayat Al-Quran, termasuk Surat
Al-Fatihah, Surat Al-Ikhlas dan kalimat “La haula wala quata illa billahil
aliyyil ‘adzim” masing-masing tiga kali.
Suasana di arena laga tampak menegangkan.
Dari pihak Maulana Hasanuddin, telah hadir ratusan pengikutnya yang terdiri
para ustad dan santri yang juga merangkap sebagai anggota pasukan keamanan.
Mereka semua terbenam dalam doa memohon pertolongan Allah SWT. Adapun di pihak
Pucuk Umun, telah hadir juga 800 ajar (sejenis pendeta) dan beberapa Punggawa
(Panglima) Pajajaran, yang semuanya tampak komat kamit membaca jampi-jampi.
Dalam suasana yang mencekam itu, dua orang
Punggawa yang mewakili kedua pihak maju ke tengah lapangan membacakan
maklumat:“Di hadapan yang mulia Maulana Hasanuddin dan Prabu Pucuk Umun,
perkenanlah kami membacakan maklumat sebagai berikut:
1. Sebagaimana yang telah disepakati antara
yang mulia Maulana Hasanuddin dengan Prabu Pucuk Umun, bahwa apabila Prabu
Pucuk Umun kalah maka pihak Maulana Hasanuddin akan diberi kebebasan
menyebarkan Islam di Banten. Tetapi apabila ternyata Prabu Pucuk Umun yang
menang, maka Maulana Hasanuddin harus menghentikan kegiatan dakwahnya di Banten
Tengah dan Selatan.
2. Pihak yang kalah harus menunjukkan tanda
pengakuan kepada pihak yang menang dengan menyerahkan senjata kepada pihak yang
menang.
3. Kepada semua yang hadir, agar dapat
menahan diri dan menjaga ketertiban dengan tidak memasuki lapangan selama
pertandingan berlangsung.
Demikianlah maklumat kami sampaikan.”
Riuh rendah suara penonton mulai membahana
tatkala dua ekor ayam jago mulai dikeluarkan dari sangkarnya masing-masing.
Kedua jago itu bergerak saling mendekati, berhadap-hadapan dalam jarak sekitar
dua meter. Bagaikan dua jagoan di atas ring tinju, keduanya terus bergerak,
menari-nari, dengan posisi siap menyerang dan diserang, sambil menatap mata
lawan. Belum ada insiatif menyerang dari masing-masing jago. Karena, tampaknya,
kedua jago ini mengharapkan serangan dimulai oleh lawan. Kemudian, tiba-tiba
jago Pucuk Umun mengambil ancang-ancang, mundur setengah meter, lalu dengan
kekuatan penuh, bergerak maju menyerang, mengarahkan kerisnya ke dada jago
Maulana Hasanuddin yang siap menyambut serangan pertama itu. Gebraaaaak!! Suara
keras terdengar sampai jarak satu kilometer. Benturan fisik pun terjadi antara
dua jago yang sedang bertarung mempertaruhkan harga diri tuannya.
Kedua jago itu saling terpental kearah
belakang masing-masing. Tidak ada tanda-tanda luka pada jago Maulana
Hasanuddin, dan malahan ia kembali berusaha tenang setelah menerima serangan
pertama. Mereka kembali berhadap-hadapan, siap menyerang dan diserang. Jago
Pucuk Umum menjadi beringas, yang terlihat dari gerakan dan matanya yang
memerah. Apakah pukulan jago Maulana Hasanuddin berhasil bersarang di dadanya
saat hunjaman kerisnya gagal menggores dada lawan? Entahlah. Yang tampak ketika
itu adalah suasana hening di pinggir lapangan. Semua mata mengarah kepada kedua
jago itu. Rupanya, jago Pucuk Umun terpancing emosinya. Gerakannya semakin liar
dan matanya merah. Lalu dia menyerang lagi dengan maksud merobek dada jago
Maulana Hasanuddin. Kali ini, jago Maulana Hasanuddin berkelit kearah kiri
menghindari keris berbisa jago Pucuk Umun, dan … Buk!!, tangan kanannya
bersarang di rusuk kanan jago Pucuk Umun. Serangan jago Pucuk Umun gagal total,
bahkan dia mendapat sebuah gebukan telak.
Jago Pucuk Umun tampak semakin kalap dan
berniat melancarkan serangan mematikan kearah lawannya. Melihat gelagat
lawannya itu, jago Maulana Hasanuddin menghindar. Tiba-tiba, dia melompat ke
angkasa. Jago Pucuk Umun pun melompat tinggi menyusulnya. Semua mata terfokus
pada kedua jago yang berada pada ketinggian sekitar 40 meter dari tanah. Tak
terhindarkan lagi, sebuah pertarungan sengit terjadi di udara, disaksikan
gunung karang yang tegak kokoh dengan sinar mentari yang berkilau di atas
pepohonan hijau. Lalu tiba-tiba terdengar suara keras memekakkan telinga.
Gebraaaak!!! Tubuh jago Pucuk Umun hancur berkeping-keping, jatuh ke tanah
berlumuran darah. Para penonton, pendukung jago Maulana Hasanuddin bergemuruh
sambil meneriakkan “Allahu Akbar! Hidup Maulana Hasanuddin! Hidup Syariat
Islam!”
Demikianlah, akhirnya Maulana Hasanuddin
memenangkan adu kesaktian melawan Pucuk Umun. Pucuk Umun mengaku kalah,
melangkah mendekati Maulana Hasanuddin, memberi hormat dan menyerahkan golok
dan tombak miliknya sebagai tanda pengakuan atas kemenangan Sang Maulana. Pucuk
Umun undur pamit setelah mengaku kalah dan menyerahkan daulatnya atas Banten,
dan kemudian bermukim di Ujung Kulon sampai akhir hayatnya. Adapun pengikutnya
yang loyal, memutuskan untuk memisahkan diri dari masyarakat Islam. Mereka
menetap di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Lebak sampai sekarang sebagai
satu komunitas yang melanggengkan ajaran Sunda Wiwitan.
Sementra itu, pada hari itu juga, 800 ajar
dan dua orang Punggawa Pajajaran, Mas Jong dan Agus Jo, menyatakan diri masuk
Islam dengan mengucapkan dua kalimat syahadat di hadapan Sultan Maulana
Hasanuddin. Dengan masuknya mereka ke dalam masyarakat muslim, maka semakin
muluslah jalan bagi Sultan Maulana Hasanuddin untuk mewujudkan sebuah Negara
Islam di Banten. Pusat Pemerintahan pun dipindahkan, pada tanggal 1 Muharram
933 H atau 8 Oktober 1526, dari Banten Girang (dekat Serang sekarang) ke daerah
pesisir yang kemudian dikenal dengan nama Surosowan, yang sekarang disebut
Banten Lama.
Nama
asal-usul wilayah
v Saat di wawancari wakil jaro berkata asal
mula nama baduy berasal dari gunung yang ada di selah utara yaitu gunung baduy
dan nama desa yang ada di wilayah baduy ini biasa nya bersal dari letak
geografisnya . jika suatu desa berdekatan dengan sungai maka akan di namau
dengan sungai itu. Sebagai contoh asal mula nama desa Marengo itu dari kali
yang ada di dkat desa yaitu kali Marengo.
Etimologi
Sebutan "Baduy" merupakan sebutan
yang diberikan oleh penduduk luar kepada kelompok masyarakat tersebut, berawal
dari sebutan para penelitiBelanda yang agaknya mempersamakan mereka dengan
kelompok Arab
Badawi yang merupakan
masyarakat yang berpindah-pindah (nomaden). Kemungkinan lain adalah karena
adanya Sungai Baduy dan Gunung Baduy yang ada di bagian utara dari wilayah
tersebut. Mereka sendiri lebih suka menyebut diri sebagai urang
Kanekes atau "orang Kanekes" sesuai dengan nama wilayah mereka,
atau sebutan yang mengacu kepada nama kampung mereka seperti Urang
Cibeo (Garna, 1993).
Asal-usul
Delegasi Kanekes sekitar tahun 1920
Menurut kepercayaan yang mereka anut, orang
Kanekes mengaku keturunan dari Batara Cikal, salah satu dari tujuh dewa atau
batara yang diutus ke bumi. Asal usul tersebut sering pula dihubungkan dengan
Nabi Adam sebagai nenek moyang pertama. Menurut kepercayaan mereka, Adam dan
keturunannya, termasuk warga Kanekes mempunyai tugas bertapa atau asketik
(mandita) untuk menjaga harmoni dunia.
Pendapat mengenai asal-usul orang Kanekes
berbeda dengan pendapat para ahli sejarah, yang mendasarkan pendapatnya dengan
cara sintesis dari beberapa bukti sejarah berupa prasasti, catatan perjalanan
pelaut Portugis dan Tiongkok, serta cerita rakyat mengenai 'Tatar Sunda' yang
cukup minim keberadaannya. Masyarakat Kanekes dikaitkan dengan Kerajaan Sunda yang sebelum keruntuhannya padaabad ke-16 berpusat di Pakuan Pajajaran (sekitar Bogor sekarang).
Sebelum berdirinya Kesultanan Banten, wilayah ujung barat pulau Jawa ini merupakan bagian penting dari Kerajaan Sunda.
Banten merupakan pelabuhan dagang yang cukup besar. Sungai Ciujung dapat
dilayari berbagai jenis perahu, dan ramai digunakan untuk pengangkutan hasil
bumi dari wilayah pedalaman. Dengan demikian penguasa wilayah tersebut, yang
disebut sebagai Pangeran Pucuk Umum menganggap bahwa kelestarian sungai perlu dipertahankan.
Untuk itu diperintahkanlah sepasukan tentara kerajaan yang sangat terlatih
untuk menjaga dan mengelola kawasan berhutan lebat dan berbukit di wilayah
Gunung Kendeng tersebut. Keberadaan pasukan dengan tugasnya yang khusus
tersebut tampaknya menjadi cikal bakal Masyarakat Kanekes yang sampai sekarang
masih mendiami wilayah hulu Sungai Ciujung di Gunung Kendeng tersebut
(Adimihardja, 2000). Perbedaan pendapat tersebut membawa kepada dugaan bahwa
pada masa yang lalu, identitas dan kesejarahan mereka sengaja ditutup, yang
mungkin adalah untuk melindungi komunitas Kanekes sendiri dari serangan
musuh-musuh Pajajaran.
Van Tricht, seorang dokter yang pernah
melakukan riset kesehatan pada tahun 1928, menyangkal teori tersebut. Menurut
dia, orang Kanekes adalah penduduk asli daerah tersebut yang mempunyai daya
tolak kuat terhadap pengaruh luar (Garna, 1993b: 146). Orang Kanekes sendiri
pun menolak jika dikatakan bahwa mereka berasal dari orang-orang pelarian dari
Pajajaran, ibu kota Kerajaan Sunda. Menurut Danasasmita dan Djatisunda (1986:
4-5) orang Baduy merupakan penduduk setempat yang dijadikan mandala' (kawasan
suci) secara resmi oleh raja, karena penduduknya berkewajiban memelihara
kabuyutan (tempat pemujaan leluhur atau nenek moyang), bukan agama Hindu atau
Budha. Kebuyutan di daerah ini dikenal dengan kabuyutan Jati Sunda atau 'Sunda
Asli' atau Sunda Wiwitan (wiwitan=asli, asal, pokok, jati). Oleh karena itulah
agama asli mereka pun diberi nama Sunda Wiwitan. Raja yang menjadikan wilayah
Baduy sebagai mandala adalah Rakeyan Darmasiksa.
Kegalauan sebutan terhadap penduduk Kanekes
baik oleh warga masyarakat bukan Baduy maupun penulis-penulis asing pada
permulaan Abad ke-18 dan Abad ke-19 memperlihatkan perkiraan yang
mempertimbangkan semua aspek dan mencoba mencari jawabannya, termasuk aspek
linguistik (misalnya, Jacobs dan Meijer, 1891; Pennings, 1902). Pembakuan
sebutan Badawi, Badoeien, Badoei dan Bedoeis oleh orang-orang Belanda
seringkali ditunjang pula oleh laporan-laporan resmi para pejabat pemerintahan
kolonial. Karena itu, ada pula kemungkinan bahwa kata Badoeis, Bedoeis
dikaitkan dengan kata badwi kelompok masyarakat Arab yang hidup secara nomaden
di gurun pasir. Selain kata itu kadangkala dikaitkan dengan kata Buddha, buda
yang berarti tidak beragama Islam.
Pleyte (1909), memberikan alasan tentang
sebutan Baduy itu dikaitkan dengan unsur kebudayaan mereka sendiri. Ia
mengemukakan bahwa kata Baduy tidak ada konotasi sebagai kata hinaan dan juga
tidak ada kaitannya dengan kata Badwi, tetapi semata-mata nama Baduy yang
berasal dari kata Cibaduy, nama sungai di sebelah utara Desa Kanekes. Itu
artinya, untuk menyebut diri sendiri memang merupakan salah satu kebiasaan
masyarakat Sunda menyebut nama kampung atau tempat bermukim, tempat dilahirkan
atau tempat yang dapat memberikan arti penting dalam kehidupannya. Sehubungan
dengan itu, tidaklah mengherankan apabila sebutan urang Kanekes dipakai pula
oleh mereka, sebagai sebutan yang menekankan hakekat dan nilai budayanya.
Selain, sebutan untuk orang Baduy yang
merupakan masalah oleh semua penulis, masalah asal juga menjadi bahan kajian
yang tidak hentinya-hentinya (Jacobs dan Meijer, 1891; van Trich, 1929; Geisi,
1952). Bahkan penulis-penulis setelah kemerdekaan Indonesia seringkali
mengaitkan asal-usul mereka dengan keruntuhan kerajaan Sunda-Hindu terakhir di
Jawa Barat, yaitu kerajaan Pajajaran pada Abad ke-15 (misalnya, Djunaedi dkk.,
1985; dan Danasasmita, 1986).
Peta