Sistem Religi
Agama
Pada umumnya dewasa ini suku
Mandar adalah penganut agama Islam yang setia tetapi dalam kehidupan
sehari-hari tidak dapat lepas dari kepercayaan-kepercayaan seperti pemali,
larangan-larangan dan perbuatan magis seperti pemakaian jimat atau benda-benda
keramat dan sesaji. Didaerah pedalaman seperti di
pegunungan Pitu Ulunna Salu sebelum Islam masuk, religi
budaya yang dikenal ketika itu adalah adat Mappurondo yang diterjemahkan sebagai bepeganng pada falsafah Pemali
Appa Randanna.
Sedangkan untuk wilayah
persekutuan Pitu Ba’bana Binanga sendiri, religi budayanya dapat ditemui pada peningglannya yang
berupa ritual dan upacara-upacara adat yang tampaknya bisa dijadikan patokan
bahwa ia besumber dari religi budaya dan kepercayaan masa lalunya. Seperti
ritual Mappasoro (menghanyutkan sesaji di
sungai) atau Mattula bala’ (menyiapkan sesaji untuk
menolak musibah) dan lain sebagainya yang diyakini akan membawa manfaat kepada
masyarakat yang melakukannya. Dari sini jelas tampak betapa simbol-simbol
budaya itu berangkat dari religi budaya, yang untuk itu tidak dikenal dalam
Islam.
Upacara Adat Suku Mandar
a. Akikah
Bagi keluarga yang mampu,
akikah sebaiknya dilakukan sedini mungkin misalnya : hari ke-7, ke-14, dan
ke-21. Pada upacara ini ada 2 tata-cara pokok yaitu : pemotongan hewan dan
pembacaan barzanji. Kemudian beberapa cara yang sering dikaitkan yaitu:
pemberian/peresmian nama dan pengguntingan rambut.
Persiapan-persiapan yang
diperlukan pada upacara ini antara lain : kue, songkol, pisang berbagai jenis.
Kemudian alat-alat antara lain : gunting, kelapa muda yang telh dilubangi,
patties atau lilin, dan dupa.
1. Pemotongan Hewan
Bagi anak laki-laki dianjurkan
dipotongkan 2 ekor kambing dewasa, jantan dan sehat, sedangakan anak wanita dianjurkan
seekor, juga dewasa, jantan dan sehat.
Secara tradisional pemotongan
ini dimaksudkan sebagai syukuran, selamatan dan penolak bala dari gangguan
roh-roh jahat.
2. Pembacaan Barzanji.
Pada saat dupa dan lilin
dibakar, barzanji mulai dibaca, anak yang telah diakikah ditimbang oleh dukun
beranak atau ibunya atau siapa saja yang ditunjuk di sekitar pembaca barzanji.
Saat bacaan tiba pada kalimat “ASYARAKAL BADRU ALAINA”, pembaca barzanji, ibu
yang memangku si bayi diangkat ke tengah-tengah para penggunting yang telah
diundang untuk acara tersebut. Ada dua cara untuk melakukan pengguntingan
rambut yaitu secara “aturan adapt” dan secara “biasa” atau “umum” atau “bebas”.
Secara
aturan adat dilakukan pengguntingan rambut menurut Anggota Hadat. Untuk Kerajaan Pamboang urutannya sebagai berikut :
1.
Kadhi Pamboang
2.
Maradia (bisa Maradia Matoa atau Maradia Malolo)
3.
Pabicara Bonde
4.
Pabicara Adolang
5.
Pabicara Lalampanua
6.
Suro Puang di Tawaro
7.
Suro Puang di Polo
(ng).
Secara
umum bisa dilakukan sebagai berikut:
a. Kadhi atau Imam
b. Pejabat
c. Orang yana banyak anak dan berhasil mendidiknya
d. Orang berilmu pengetahuan
e. Orang kaya
f. Pemuka masyarakat yang disegani (berani)
g. Pemuka masyarakat yang dukun.
Setelah rambut bayi tergunting,
guntingannya dimasukkan ke dalam kelapa muda yang sudah dilubangi, langsung
oleh masing-masing para penggunting. Penggunaan kelapa muda pada acara ini,
dimaksudkan agar si anak tetap kelihatan bersih dan tahan serangan penyakit.
Jika kita perhatikan acara
pengguntingan rambut ini terlihat ada maksud-maksud tertentu dan rahasia dari
orang tua si bayi, bahwa dengan pengguntingan rambut ini diharapkan si bayi
kelak bernasib sama dengan para penggunting rambut pada acara ini.
Sementara pengguntingan rambut
pembacaan barzanji jaln terus dan sesudah pengguntingan pembaca barzanji duduk
bersama seluruh hadirin.
Sesudah pembacaan barzanji
konsumsi khusus berupa songkol, cucur, telur, dan pisang berbagai macam
dibagikan kepada para segenap peserta. Khusus untuk pembagian Kadhi, Raja dan
anggota Hadat diantarkan langsung ke rumahnya. Kemudian pada acara istirahat
kambing sembelihan untuk akikah dimakan bersama. Sesudah itu maka selesailah
upacara akikah dan seluruh rangkaiannya.
b. Niuri
Niuri dalam masyarakat Mandar
adalah upaya penyelamatan lahirnya seorang bayi. Bagi wanita utamanya yang baru
pertama kalinya hamil sudah menjadi tradisi (kebiasaan) diadakan acara niuri
dalam masa kehamilan 7 sampai 8 bulan.
Untuk melaksanakan acara ini,
yang lebih dahulu disiapkan yaitu : Kue-kue sebanyak mungkin, ayam betina satu
ekor, tempayan berisi air, kayu api, beras dan lain-lain. Tata cara
melaksanakan sebagai berikut :
1.
Wanita yang akan niuri duduk bersanding dengan suaminya, keduanya dalam busana
tradisional lengkap. Wanita boleh memakai perhiasan emas seperti pattu’du boleh
juga memakai boko atau pasangan berwarna biru atau putih. Keduanya disuruh
memilih kue-kue yang muncul diseleranya masing-masing. Jika yang dipilih yang
bundar misalnya : Onde-onde, gogos dan semacamnya maka diperkirakan akan lahir
bayi laki-laki. Jika yang gepeng-gepeng misalnya : Pupu, kue lapis, katiri
mandi dan semacamnya, diharapkan akan lahir seorang bayi wanita.
2. Sesudah makan bersama, istilah Mandarnya “nipande mangidang” orang
yang akan niuri dibaringkan oleh “sando peana” atau “dukun beranak” dihamparan
kasur di lantai rumah. Setelah dibaringkan si dukun menaburkan
beras di bagian dahi dan perut to-niuri. Kemudian ayam yang telah tersedia yang
sehat dan tidak cacat di suruh mencocot beras-beras yang bertaburan tadi sampai
habis.
3. Masih dalam posisi
berbaring, si dukun mengambil piring yang berisi beras ketan, telur dan lilin
yang sedang menyala diletakkan sejenak di atas perut lalu ke bagian dahi,
kemudian diayun-ayunkan beberapa kali mulai dari kepala sampai ke kaki. Sesudah
itu ayam pencotot tadi dilambai-lambaikan ke sekujur tubuh toniuri sebanyak 3
atau 5 atau 7 kali. Sesudah itu dilepaskan melalui
pintu depan dan toniuri di bangunkan.
4. Selesai tahap ke-3,toniuri diantar ke pintu depan rumah kemudian
diambil kayu-api yang masih menyala, lalu dipegang diatas kepala. Setelah itu
diambil air yang telah dicampur dengan burewe tadu, bagot tuo, ribu-ribu, daun
atawang dan daun alinduang, dan dengan timbah khusus disiramkan di atas kayu
api langsung ke kepala dan membasahi seluruh tubuh serta memadamkan api yang
masih menyala di kayu api. Sesudah itu secepatnya kayu api yang sudah padam
dibuang ke tanah. Seluruh busana yang dikenakan oleh toniuri diserahkan kepada
si dukun untuk dimiliki. Dalam istilah Mandarnya disebut “nilullus”. Menimba
air cukup 14 kali saja.
Sementara seluruh tahap-tahap
peurian berlangsung bagi keturunan bangsawan yang ada darah Bugis-Makasarnya,
alat musik siasia dibunyikan terus dengan lagu-lagu bersifat doa yang contohnya
sebagai berikut :
“Alai sipa’uwaimmu
Pidei sipa’ apimmu
“Tallammo’o liwang
Muammung
pura beremu”
Artinya
:
“Ambil
sifat airmu (gampang mengalir)
Padamkan sifat apimu (panas)
Keluarlah engkau Membawa takdirmu”.
“Uwai penjarianmu
Uwai pessungammu
Uwai pellosormu
Uwai pellene’mu
Uwai peoromu
Uwai pellambamu
Uwai atuo-tuoammu”.
Artinya :
“Engkau tercipta dari air
Keluarlah merangkak, duduk dan
berjalan seperti lancarnya air mengalir.
Murahlah rezekimu an dingin
seperti air”
Ada
beberapa maksud-maksud tersembunyi dalam upacara niuri ini yaitu :
1. Menimba air 14 kali, dimaksudkan agar si bayi setelah dewasa,
memiliki wajah seperti bulan purnama.
2. Bangot tuo yaitu semacam tumbuh-tumbuh biar dimana saja gampang
tumbuh dan tumbuh subur. Bangong artinya bangun dan tuo artinya hidup.
Dimaksudkan agar si bayi sampai dewasa tetap sehat bugar.
3. Ribu-ribu juga semacam tumbuh-tumbuhan yang bunganya lebih banyak
dari pada daunnya. Ini dimaksudkan agar si bayi setelah dewasa menjadi orang
kaya.
4. Daun atawang, dimaksudkan agar si bayi tetap terhindar dari
penyakit.
c. Pappatadayang
Pappatadayang artinya pelantikan yang
akan dibahas pada makalah ini adalah pelantikan seorang Raja yang
mengambil sempel di Kerajaan Pamboang, yang pasti caranya sama dengan seluruh
kerajaan di Pitu “Ba’ba Binanga Mandar.
Pada
upacara seperti ini dikaitkan yaitu memanna atau mangaru dalam beberapa macam
tingkatan. Sehubungan dengan pelantikan ini disiapkan Payung Kerjaan untuk
tempat berpegang Raja bersama seorang anggota Hadat yang mewakili anggota Hadat
lainnya untuk melakukan pelantikan, gendang an keke.
Untuk
Kerajaan Pamboang tata-caranya sebagai berikut :
1. Raja yang akan dilantik berpegang ke Payung Kerajaan yang telah
disiapkn dipanggung kehormatan menyusul Pabicara Bonde selaku ketua Hadat dan
juru bicara yang akan melakukan pelantikan.
2. Sementara berpegang bersama di payung,dengan diahului pemukulan
gendang, keke,aba-aba dari protocol, Pabicara Bonde mengucapkan naskah
pelantikan sebagai berikut :
a. “Iyamimo tu’u die Hada’ siolatau maranni”.
Artinya
: “Kami ini adalah Hadat bersama rakyat”.
b. “Lewu parri’dimang”.
Artinya
: “Kami telah sepakat secara aklamasi”.
c. “Maradiamo tu’u namaasayangngi Banua siola Pa’banua”.
Artinya
: “ Rajalah yang akan menyayangi Negeri dan Rakyat”.
d. “Maradia tomo rapang ponnana
ayu nanaengei mettullung.
Ahmad, Monografi Kebudayaan Mandar di Kabupaten Majene,
Dinas P & K Kabupaten Majene, bidang Binmudorabud Seksi Budaya, 2007.
Alimuddin, Muhammad Ridwan, Orang MandarOrang Laut,
KPG, 2005