Sistem Sosial Budaya
Mandar
Sistem Kekerabatan
Suku Mandar, pada umumnya mengikuti kedua garis keturunan ayah dan
ibu yaitu bilateral. Suku Mandar biasanya terdiri dari ayah, ibu dan anak yang biasanya
bersekolah di daerah lain. Adapun keluarga luas di Mandar terkenal dengan
istilah Mesangana, kelurag luas yaitu famili-famili yang yang dekat an sudah
jauh tetapi masih ada hubungan keluarga. Status
dalam suku Mandar berbeda dengan suku Bugis, karena didaerah Bugis pada
umunya wanita yang memegang peran dalam peraturan rumah tangga.
Suami sebagai kepala rumah tangga yang bertanggung jawab atas keluarganya
mempunyai tugas tertentu, yaitu mencari nafkah untuk menghidupi keluarganya. Sebaliknya
di Mandar, wanita tidak hnaya mengurus rumah tangga, tetapi mereka aktif dalam
mengurus pencarian nafkah, mereka mempunyai prinsif hidup, yaitu Sibalipari
yang artinya sama-sama menderita (sependeriataan) seperti: kalau laki-lakinnya
mengakap ikan, setelah samapi didarat tugas suami sudah dianggap selesai, maka
untuk penyelesaian selanjutnya adalah tugas istri terserah apakah ikan tersebut
akan dijual atau dimakan, dikeringkan, semua itu adalah tugas si istri.
Didaerah Bugis wanita juga turut mencari nafkah tetapi terbatas pada industri
rumah, kerajinan tangan, menenun anyaman dan lain-lain.
Didaerah Mandar terkenal dengan istilah
hidup, Sirindo-rondo, Siamasei, dan Sianuang pa’mai.
Sirondo-rondoi maksudnya bekerjasama Bantu membantu dalam mengerjakan
sesuatu pekerjaan baik yang ringan maupun yang berat. Jadi dalam rumah tangga kedua
suami istri begotong royong dalam membina keluarga. Siamamasei, sianuang pa’mai
( sayang menyayangi, kasih mengasihi, gembira sama gembira susah sama susah).
Secara keseluruhan dapat ditarik kesimpulan bahwa adanya kerjasama
Bantu membantu baik yang bersifat materil maupun non materil.
Sistem Kemasyarakatan
Pelapisan masyarakat di daerah Mandar nampaknya masih ada walaupun
tidak menjadi hal yang mutlak dikedepankan lagi dalam pergaulan keseharian.Hal
ini dapat diperhatikan jika kita membaca sejarah Mandar. Kerajaan-kerajaan
yang masih mempunyai kedaulatan pada masa berkuasanya raja-raja dahulu
hakekatnya terbagi dalam dua stratifikasi,yaitu lapisan penguasa dan lapisan
yang dikuasai. Sistem mobilisasi social yang Mandar memiliki sifat yang amat
sederhana dan elastis dimana lapisan penguasa bukan hanya dari golongan
tomaradeka (orang biasa),apabila mereka mampu memperlihatkan
prestasisosialnya,misalnya : to panrita, to sugi, to barani, to sulasana, dan
to ajariang.
Kelima macam tersebut ditempatkan dalam lapisan elit (golongan
atas orang yang terpandang). Dengan demikian terjadilah mobilisasi social
horizontal bagi anak puang.Lambat laun nampak pelapisan masyarakat ini makin
tipis akibat pembauran dalam bentuk perkawinan.Kelima golongan tadi juga
memiliki andil untuk dipilih sebagai pemimpin dalam masyarakat karena
kelebihannya itu. Struktur masyarakat di daerah Mandar pada dasarnya sama dengan
susunan masyarakat di seluruh daerah di Sulawesi Selatan,dimana susunan ini
berdasarkan penilaian daerah menurut ukuran makro yaitu :
1. Golongan bangsawan raja
2. Golongan bangsawan hadat atau pia
3. Golongan tau maradeka yakni orang biasa
4. Golongan budak atau batua.
Golongan bangsawan adapt ini
merupakan golongan yang paling bayak jumlahnya.Mereka tidak boleh kawin dengan
turunan bangsawan raja supaya ada pemisahan.Raja hanya sebagai lambing
sedangkan hadat memegang kekuasaan.
Pada umumnya suku Mandar
ramah-ramah yang muda menghormati yang tua.Kalau orang tua berbicara dengan
tamu,anak-anak tidak boleh ikut campur (ikut bersuara).Ada beberapa hal yang
menjadi kebiasaan dalam suku Mandar seperti:
a. Mengalah yaitu kalau menghadap raja,kaki tangan dilipat.
b. Meminta permisi kalau mau lewat didepan orang dengan menyebut Tawe
c. Kalau bertamu sudah lama, mereka minta permisi yang disebut
massimang.
Perkawinan
Untuk
perkawinan di daerah Mandar secara umum, garis besarnya melalui 14 fase
seperti:
1) Massulajing
Massulajing
artinya mencalonkan dan mencocokkan antara dua orang yang akan di
persunting. Fase ini dilakukan oleh orang tua si lelaki berssama keluarga
terdekat. Ini bermakna saling menghargai antara keluarga dan merupakan isyarat
bahwa pengurusan dan seluruh tanggung jawab akan menjadi tanggung jawab
bersama.
2) messisi’
atau Mammanu’manu
Messisi’ adalah langkah
permulaan yang berfungsi sebagai pembuka jalan dalam rangka pendekatan pihak
laki-laki terhadap pihak wanita. Tugas ini biasanya dilakukan oleh satu atau
dua orang diambil dari orang-orang yang kedudukannya dapat menengahi urusan
ini. Artinya dia ada hubungan keluarga dengan wanita dan juga ada hubungan
kelurga dengan pihak pria.
Sifat kunjungan Messisi’ ini
sangat rahasia. Sedapat mungkin pihal lain tidak
mengetahuinya. Ada 2 hal yang ingin dicapai dalam kerahasian ini:
· Jika gagal pihak laki-laki tidak merasa malu.
· Untuk mencegah pihak lain yang ingin menghalangi hubungan ini.
Inti
pembicaraan pada fase ini hanya menanyakan:
· Apakah si gadis, sudah ada yang
meminang ?
· Apakah si anak dari si…….., dapat menerima jika datang melamar?
3) Mettumae atau
Ma’duta
Mettumae atau ma’duta ialah
mengirim utusan untuk melamar, merupakan proses lanjutan utuk lebih memastikan
dan membuktikan hasil yang dicapai pada fase mammanu’-manu. Duta artinya utusan
tediri dari bebrapa pasangan suami istri yang biasanya dari keluarga dekat,
pemuka adat dan penghulu agama dengan berbusana secara adat.
Pada fase ini biasanya
berlangsung ramai karena disini para utusan berkesempatan menyampaikan
maksudnya secara simbolik melalui puisi atau ‘kalinda’da mandar’. Untuk fase
ini contoh kalinda’danya sebagai berikut :
Pihak laki-laki :
“Poleang me’oro candring Dileba
turunammumTandai mie’ Kalepu di batammu
Artinya
:
“Kami
datang duduk menduta Dikampung halamanmu Suatu tanda Cinta kami kepadamu”.
Jawaban pihak wanita :
“Uromai pepolemu Utayang
pe’endemu Maupa bappa Anna mala sambasse”
Artinya
:
“Kedatanganmu
kami jemput Kutunggu maksud hatimu Semoga beruntung Kehendak kita dapat
bertemu”
Sampai
pada kalimat terakhir yaitu, Pihak laki-laki :
“Beru-beru
dibanyammu Pammasse’i appanna Diang tumani Tau laeng mappuppi”.
Artinya
:
“Kembang
melati dalam rumahmu Kuat-kuat pagarnya Jangan sampai ada Orang lain yang memetiknya”
Jawaban
dari pihak wanita :
“Beru-beru
di boya’i Masse’ banggi appanna Takkala ula I’o nammabuai”
Artinya
:
“Kembang
melati dirumah kami Pagarnya cukup kuat Kami sepakat Engkaulah yang
membukanya”.
Menyimak
jawaban terkhir dari pihak wanita menendakan bawa lamaran diterima. Dengan
demikian fase berikutnya yaitu: “Mambottoi Sorong”. Ketentuan utama dari fase
ma’duta adalah :
§ Pihak laki-laki harus membawa uang yang di sebut “pamuai ngnga
yaitu uamh pembuka mulut”
§ Segala bahan konsumsi ditanggung oleh pihak laki-laki, dan diantar
ke pihak wanita bersamaan pemberitahuan hari mambotoi sorong.
4) Mambottoi
Sorong
Sorong atau mas kawin adalah sesuatu yang memiliki nilai moral dan
material yang mutlak ada dalam suatu perkawinan. Tanpa adanya mas kawin,
perkawianan dianggap tidak sah menurut aturan adat maupun menurut syariat
Islam.
Sedang menurut adapt istiadat
suku Mandar, “sorong” adalah gambaran harga diri dan martabat wanita yang
ditetapkan menurut aturan adat yang disahkan oleh hadat yang tidak boleh
diganggu gugat atau ditawar-tawar naik turunnya. Seorang
ini adalah milik si wanita yang harus diangkat oleh si pria menurut strata si
wanita itu sediri. Sampai saat sorong didaerah mandar dikenal
lima tingkatan :
a. Sorong bagi anak raja yang berkuasa menggunakan istilah “Tae” yang
nilai realnya bervariasi :
· Satu tae balanipa
nilainya 4 real
· Satu tae sendana nilainya
3 real
· Satu tae banggae nilainya
2½ real
· Satu tae pamboang nilainya
2½ real
· Satu tae tappalang
nilainya 2½ real
· Satu tae mamuju nilainya
2½ real
· Satu tae binuang nilainya
2½ real
b. Sorong anak bangsawan 180 dan 300 real
c. Sorong Tau anak pattola hadat bisa 120 atau 160 real . Jika
sedang berkuasa menjadi anggota hadat bisa 200 real.
d. Sorong tau samar (orang biasa), 60 dan 80 real
e. Sorong to batua (budak), 40 real kemudian sorongnya diambil oleh
tuannya.
Semenjak suku mandar, Bugis,
Makasar, dan Toraja itu lahir di Sulawesi selatan, telah lahir dan berkembang
pula budaya dan adat-istiadat yang mendasari dan mengatur
kegiatanya masing-masing.
Bila
kegiatannya dilakukan dengan suku yang sama maka tidak akan ada masalah.
Kalaupun ada masalah penyelesaiannya mudah karena sama-sama berpegang pada
budaya dan aturan adat yang sama. Tetapi bila kegiatan itu, masalnya perkawinan
dilakukan oleh suku yang berlainan maka timbul masalah tentang budaya dan
aturan adat mana yang akan mendasari perkawianan tesebut.
Jika
kedua belah pihak bersikeras ingin menerapkan budayanya masing-masing, maka
perkawinan yang seharusnya terlaksana dengan baik, bisa menjadi batal. Yang
demikian ini banyak terjadi bagi yang belum mengetahui kesepakatan “aturan
adat” di sulawesi selatan yang diletakkan oleh tiga bersaudara yaitu
I-TabittoEng Balanipa (Mandar), La Palangki Aru Palakka (Bugis) dan I-Rerasi
Gowa (Makassar) sekitar tahun tahun 1460 M yang isinya dalam bahasa Indonesia :
“Orang
Mandar dan orang Gowa pergi ke Bona, maka Bonelah dia; orang Mandar dan orang
Bone pergi ke Gowa maka Gowalah dia; jiak orang Gowa dan orang Bone pergi ke
Manar, maka Mandarlah dia”
Ini
mengandung pengertian bahwa orang Mandar dan orang Gowa (Makassar) yang berada
di Bone (Bugis) harus menggunakan atau memakai adat-istiadat Bone (Bugis) dan
sebaliknya seterusnya
Jika
pria Gowa (Makassar) akan melamar wanita Mandar, menurut adat harus datang
melamar di Bandar. Karean acara ini dilakukan di Mandar (dalam lingkungan pihak
wanita) maka sesuai kesepakatan adat di Sulawesi Selatan yang harus mendasari
pelamaran, perkawinan dan seluruh rangkaiannya adalah budaya dan
adat-istiadat Mandar, termasuk “sorong” atau “mas kawin” dan sebaliknya
seterusnya.
Meskipun
ada aturan-aturan adat yang disepakati seperti tersebut diatas, jika ada
perselisihan tentang hal ini masih ada jalan lain yang dibenarkan oleh aturan
adat dan kaidah yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat Sulawesi Selatan
selama ini berbunyi :
“Matindoi ada’mua’diang sasamaturuang”
Artinya
:
“Aturan-aturan
adat (bisa) tidak berlaku bagi pihak-pihak yang ingin berdamai atau
mencari kesepakatan lain yang baik”.
Mambottui sorong artinya memutuskan (menetapkan) mas kawin. Pada fase ini seluruh
permasalahan yang berhubungan dengan persyaratan mas kawin dan pelaksanaannya
telah dibicarakan dan diputuskan, utamanya mengenai sorong itu sendiri,
belanja, waktu pelaksanan akad nikah, paccandring dan lain-lain.
Pada
acara ini biasa berjalan ramai dan seru karena “sipappa soro-sorong” artinnya saling desak-mendesak
untuk mengabulkan usul masing-masing. Dikatakan ramai karena usul ini biasanya
dapat disampaikan secara simbolik dengan kalinda’da Mandar yang contohnya sebagai berikut :
Pihak
laki-laki :
“Poleang
ma’lopi sande Lima ngura sobalna Merandang jappo Mewalango ta’garang”
Artinya
:
“Kami
datang berperahu sande Lima urat kain layarnya Bertali-jangkar lapuk Jangkarnya juga sudah
berkarat”.
Satu
hal yang harus diperhatikan dalam penyampaikan lamaran kepada pihak wanita
yaitu kalinda’da yang digunakan harus yang bersifat merendah hati, tidak boleh
menyombongkan diri karena bangsawan, karena kaya, karena pintar, dan
lain-lainnya.
Jika
tahap pambottuiangan sorong ini mencapai kesepakatan maka tahap selanjutnya dapat dilakukan.
5) Membawa Paccanring
Membawa paccandring adalah
pernyataan rasa gembira oleh pihak laki-laki atas tercapainya kesepakatan
tentang sorong dan besar belanja. Yang dibawa dominan buah-buahan segala macam dan
sebanyak mungkin. Menurut kebiasaan, paccanring ini dibagi-bagikan kepada
segenap keluarga dan tetangga, dan pengantarnya harus dengana arak-arakan.
6) Ma’lolang
Adalah perkunjuangan laki-laki
bersama sahabat-sahabatnya kerumah wanita. Ini merupakan pernyataan resminya
pertunangan dan perkenalan pertama laki-laki yang akan dikawinkan kepada
segenap keluarga pihak wanita.
Yang dilakukanya antara lain
mengadakan permainan musik Gambus, Kecapi dan lain-lain. Mengenai konsumsi
dalam acara ini ditanggung sepenuhnya oleh pihak laki-laki.
7) Mappadai
Balaja
Artinya pihak laki-laki
mengantar uang belanjaan yang telah disepakati kepihak wanita dengan
arak-arakan yang lebih ramai lagi. Ini dilakukan sebelum ‘mata gau’ dan diantar sesuai permintaan pihak wanita.
8) Mappasau
Dilakukan
pada malam hari menjelang besoknya persandingan. Mappasau artinya mandi uap, dimaksudkan agar semua bau busuk yang yang
mungkin ada pada mempelai wanita menjadi hilang. Bahannya terbuat dari
tumbuh-tumbuhan yang disebut “daun bunga” sejenis daun pandan dan beberapa campuran rempah-rempah lainnya.
Cara melaksanankan pappasaungan ini ialah, bunga dan campurannya berupa
dedaunan yang harum baunya direbus dengan air sampai mendidih. Mulut belanga
diberi bungkus kain dan di lubangi. Pada lubang tersebut dipasangi saluran
saluran bambu. Si gadis menyelimuti tubuhnya engan kain setebal mungkin.
Setelah si gadis mengeluarkan keringat dan dianggap sudah memadai selimut
dibuka. Setelah itu sigadis dimandikan untuk membersikan sisa-sisa uap yang
melekat pada badan si gadis. Sesudah itu selesailah acara Pappasaungan.
9) Pallattigiang
Pallatiang dalam suku Mandar
ada 3 yaitu pellattigiang secara adat, pelattigiang adat oleh raja-raja,
an pelattigiang secara pauli atau obat.
Pelaksanaan pelattigiang
waktunya ada 2 macam :
o Bersamaan dengan hari akad nikah
o Sehari sebelum akad nikah
Pelaksanaan pellattigiang
secara adat harus berbusana lengkap dengan keris di pinggang, khusus pellattiang
pauli (obat), busana dan kelengkapan lainnya bebas.
10) Mambawa
Pappadupa
Adalah perkunjungan utusan
pihak wanita ke rumah pihak laki-laki membawa “lomo masarri atau manyak wangi” dan busana yang akan dipakai pada saat akad nikah. Maksud utama
dari padduppa ini adalah pernyataan kesiapan dan kesedian calon mempelai wanita
untuk dikawinkan. Ini dilakukan pada malam hari, menuju esonya akan dinikahkan.
11) Matanna Gau
Merupakan
puncak dari segenap acara yang ada dalam upacara perkawinan. Pada bagian
ini dilakukan arak-arakan yang lebih ramai ari sebelumnya untuk mengantar calon
mempelai pria kerumah calon mempelai wanita.
Ada dua hal pokok yang diantar, yaitu calon mempelai laki-laki dan
mas kawin. Mas kawin dipantangkan bepisah dari calon mempelai laki-laki sebelum
di serahkan pada wali mempelai wanita. Untuk meramaikan iring-iringan turut
diantar barang-barang yang diatur sebagi berikut :
- Lomo
atau minyak dimaksudkan agar acar berjalan dengan mulus dan jika ada kesulitan
mudah penyelesaiannya.
- Gula atau manis-manisan, dimaksudkan agar pelaksanaan acara
berjalan dengan baik.
- Kappu bunga-bungaan atau harum-haruman dimaksudkan agar kemulusan
dan kebaikan pelaksanaan acara ini tersohor di segenap penjuru.
1.
Masing-masing dimaksudkan agar calon pihak mempelai pria dan
wanita senantiasa searah dan keseinginan, dan sekaligus menjadi tanda bahwa
yang diarak ini beagama Islam.
2.
Bualoa artinya seperti pajak dari nilai kesepakatan. Ini dibagi-bagikan oleh adapt dalam upacara.
3.
Kelompok pengantar dari golongan wanita.
4.
Calon mempelai pria bersama mas kawin yang dibawa oleh seorang
laki-laki kuat asmnai dan rohani serta dapat dipercaya.
5.
Kelompok pengantar laki-laki.
6.
Kelompok musik rebana.
Calon pengantin pria bersama sorong
dan pembawanya berada dibawah payung. Setelah calon mempelai pria tiba
dihalaman rumah calon pengantin wanita, dia dijemput oleh seorang famili dari
mempelai wanita. Sesampai di tangga diemput dengan taburan beras ini
dimaksudkan agar kedua suami-istri kelak dapat membangun rumah tangga yang
makmur, berbahagialahir dan batin.
Urutan acara pada mata gau :
§ Pembacaan ayat suci Al-Qur’an
§ Pellattingiang berlangsung bersama-sama dengan tarian
§ Penyerahan mas kawin
§ Penyerahan perwalian dari wali
calon mempelai wanita kepada orang yang akan menikah
§ Pelaksanan ijab Kabul
§ Pengucapan ikrar mempelai pria
terhadap mempelai wanita
§ Mappasinga’ang artinya melakukan pegangan sah yang pertama.
§ Pemasangan cincin kawin
bergantian
§ Saling menyuapi makan
§ Memohon doa restu ke-4 orang tua, dan sanak famili yang lain dari
ke-2 belah pihak
§ Kedua mempelai duduk bersama di pelaminan untuk menerima tamu.
12) Nilipo
Merupakan kunjungan keluarga
pihak mempelai pria keruamh mempelai wanita. Ini
dilakukan paling tidak 3 kali berturut-turut setiap malam sesudah salat isya.
Ini
dimaksudkan untuk mempererat hubungan kekeluargaan antara kelurga kedua belah
pihak. Kesempatan ini pula diadakan acara ‘mappapangino’ yaitu mempelai
laki-laki mencari, memburu dan menangkap memoelai wanita.
13) Mando E Bunga
Artinya mandi bunga untuk
menharumkan dan membersihkan diri dari hadas besar yang mungkinterjadi sesudah
akad nikah. Ini dilakukan bersama-sama kedua mempelai dalam tempayan yang
satu, untuk memasuki tahap berikutnya.
14) Marola atau
Nipemaliangngi
Marola artinya mengikut atau
rujuk ialah perkunjungan kedua mempelai kerumah mempelai pria. Kegiatan ini
dilakukan hanya untuk bersenang-senang, bermain musik dan lain-lain. Kesempatan
ini biasa orang tua pria melakukan pemberian barang-barang berharga seperti
tanah, perkebunan, rumah dan sebagainya sebagai pernyataan syukur dan gembira
terhadap terlaksananya perkawinan tersebut.
Seni dan budaya
1. Seni Sastra
Bentuk
sastra Mandar ada 2 (dua) yaitu :
a. Bentuk prosa yaitu karangan bentuk bebas tetapi berirama.
b. Bentuk puisi yaitu karangan bentuk terikat dan berirama.
Karangan bentuk prosa disebut
juga cerita dan meliputi :
- Pomolitang atau pau-pau losong
(dongeng) dengan menggambarkan tingkah laku binatang
yang baik dan buruk yang dapat
dicontohi oleh manusia, misalnya dongeng I Puccecang annaq I Pulladoq (Kera
denagan Pelanduk), di mana kera melaksanakan sifat yang baik dan pelanduk
melaksanakan sifat yang kurang baik.
- Toloq (kissah) menggambarkan
liku-liku kehidupan dari seseorang tokoh dalam masyarakat misalnya kisah
Tonisesseq di Tingalor (seorang bidadari jatuh dari kayangan dan ditelan oleh
seekor ikan Tingalor).
- Sila-sila (silsilah)
menggambarkan suatu kerajaan dan nama-nama rajanya secara turun-temurun,
misalnya silsilah raja-raja di Pamboang, Sendana, Banggae dsb.
- Pau-pau pasang atau Pappasang
(pesan-pesan luhur) menggambarkan ajaran normal, nasihat dan petuah bagi
kehidupan seseorang, keluarga dan bagi kehidupan masyarakat yang lebih luas,
misalnya pesan orang tua terhadap anak-anaknya, pesan seorang kakek terhadap
pasangan suami isteri, pesan seorang sesepuh kepada warga masyarakat,
pesan-pesan raja pada rakyatnya.
Karangan
bentuk puisi disebut juga kalindaqdaq. Suatu bentuk penuturan perasaan seseorang
dengan untaian kalimat-kalimat indah.
Terdiri
dari 4 (empat) baris dalam satu bait, dan dalam satu bait susunan suku katanya
terdiri dari 8-7-5-7. Bersaak a.b.a.b atau abba atau aaaa. Menurut isinya
kalindaqdaq ini dari 6 (enam) macam yaitu :
Ahmad. 2007. Monografi
Kebudayaan Mandar di Kabupaten Majene, Dinas P & K Kabupaten Majene,
Bidang Binmudorabud Seksi Budaya.
Alimuddin, Muhammad
Ridwan, 2005. Orang Mandar Orang Laut, KPG.