BAB 4 Sistem Sosial Suku Mandar


Sistem Sosial Budaya Mandar
Sistem Kekerabatan
Suku Mandar, pada umumnya mengikuti kedua garis keturunan ayah dan ibu yaitu bilateral. Suku Mandar biasanya terdiri dari ayah, ibu dan anak yang biasanya bersekolah di daerah lain. Adapun keluarga luas di Mandar terkenal dengan istilah Mesangana, kelurag luas yaitu famili-famili yang yang dekat an sudah jauh tetapi masih ada hubungan keluarga. Status dalam suku Mandar berbeda dengan suku Bugis, karena didaerah Bugis  pada umunya wanita yang memegang peran   dalam peraturan rumah tangga. Suami sebagai kepala rumah tangga yang bertanggung jawab atas keluarganya mempunyai tugas tertentu, yaitu mencari nafkah untuk menghidupi keluarganya. Sebaliknya di Mandar, wanita tidak hnaya mengurus rumah tangga, tetapi mereka aktif dalam mengurus pencarian nafkah, mereka mempunyai prinsif hidup, yaitu Sibalipari yang artinya sama-sama menderita (sependeriataan) seperti: kalau laki-lakinnya mengakap ikan, setelah samapi didarat tugas suami sudah dianggap selesai, maka untuk penyelesaian selanjutnya adalah tugas istri terserah apakah ikan tersebut akan dijual atau dimakan, dikeringkan, semua itu adalah tugas si istri. Didaerah Bugis wanita juga turut mencari nafkah tetapi terbatas pada industri rumah, kerajinan tangan, menenun anyaman dan lain-lain.
Didaerah Mandar terkenal dengan istilah hidup, Sirindo-rondo, Siamasei, dan Sianuang pa’mai. Sirondo-rondoi maksudnya bekerjasama Bantu membantu dalam mengerjakan sesuatu pekerjaan baik yang ringan maupun yang berat. Jadi dalam rumah tangga kedua suami istri begotong royong dalam membina keluarga. Siamamasei, sianuang pa’mai ( sayang menyayangi, kasih mengasihi, gembira sama gembira susah sama susah).
Secara keseluruhan dapat ditarik kesimpulan bahwa adanya kerjasama Bantu membantu baik yang bersifat materil maupun non materil.


Sistem Kemasyarakatan
Pelapisan masyarakat di daerah Mandar nampaknya masih ada walaupun tidak menjadi hal yang mutlak dikedepankan lagi dalam pergaulan keseharian.Hal ini dapat diperhatikan jika kita membaca sejarah Mandar. Kerajaan-kerajaan yang masih mempunyai kedaulatan  pada masa berkuasanya raja-raja dahulu hakekatnya terbagi dalam dua stratifikasi,yaitu lapisan penguasa dan lapisan yang dikuasai. Sistem mobilisasi social yang Mandar memiliki sifat yang amat sederhana dan elastis dimana lapisan penguasa bukan hanya dari golongan tomaradeka (orang biasa),apabila mereka mampu memperlihatkan prestasisosialnya,misalnya : to panrita, to sugi, to barani, to sulasana, dan to ajariang.
Kelima macam tersebut ditempatkan dalam lapisan elit (golongan atas orang yang terpandang). Dengan demikian terjadilah mobilisasi social horizontal bagi anak puang.Lambat laun nampak pelapisan masyarakat ini makin tipis akibat pembauran dalam bentuk perkawinan.Kelima golongan tadi juga memiliki andil untuk dipilih sebagai pemimpin dalam masyarakat karena kelebihannya itu. Struktur masyarakat di daerah Mandar pada dasarnya sama dengan susunan masyarakat di seluruh daerah di Sulawesi Selatan,dimana susunan ini berdasarkan penilaian daerah menurut ukuran makro yaitu :
1. Golongan bangsawan raja
2. Golongan bangsawan hadat atau pia
3. Golongan tau maradeka yakni orang biasa
4. Golongan budak atau batua.
Golongan bangsawan adapt ini merupakan golongan yang paling bayak jumlahnya.Mereka tidak boleh kawin dengan turunan bangsawan raja supaya ada pemisahan.Raja hanya sebagai lambing sedangkan hadat memegang kekuasaan.
Pada umumnya suku Mandar ramah-ramah yang muda menghormati yang tua.Kalau orang tua berbicara dengan tamu,anak-anak tidak boleh ikut campur (ikut bersuara).Ada beberapa hal yang menjadi kebiasaan dalam suku Mandar seperti:
a. Mengalah yaitu kalau menghadap raja,kaki tangan dilipat.
b. Meminta permisi kalau mau lewat didepan orang dengan menyebut Tawe
c. Kalau bertamu sudah lama, mereka minta permisi yang disebut massimang.
Perkawinan
Untuk perkawinan di daerah Mandar secara umum, garis besarnya melalui 14 fase seperti:
1)   Massulajing
Massulajing  artinya mencalonkan dan mencocokkan antara dua orang yang akan di persunting. Fase ini dilakukan oleh orang tua si lelaki berssama keluarga terdekat. Ini bermakna saling menghargai antara keluarga dan merupakan isyarat bahwa pengurusan dan seluruh tanggung jawab akan menjadi tanggung jawab bersama.
2)   messisi’ atau Mammanu’manu
Messisi’ adalah langkah permulaan yang berfungsi sebagai pembuka jalan dalam rangka pendekatan pihak laki-laki terhadap pihak wanita. Tugas ini biasanya dilakukan oleh satu atau dua orang diambil dari orang-orang yang kedudukannya dapat menengahi urusan ini. Artinya dia ada hubungan keluarga dengan wanita dan juga ada hubungan kelurga dengan pihak pria.
Sifat kunjungan Messisi’ ini sangat rahasia. Sedapat mungkin pihal lain tidak mengetahuinya. Ada 2 hal yang ingin dicapai dalam kerahasian ini:
· Jika gagal pihak laki-laki tidak merasa malu.
· Untuk mencegah pihak lain yang ingin menghalangi hubungan ini.
Inti pembicaraan pada fase ini hanya menanyakan:
· Apakah si gadis, sudah ada yang meminang ?
· Apakah si anak dari si…….., dapat menerima jika datang melamar?
3)  Mettumae atau Ma’duta
Mettumae atau ma’duta ialah mengirim utusan untuk melamar, merupakan proses lanjutan utuk lebih memastikan dan membuktikan hasil yang dicapai pada fase mammanu’-manu. Duta artinya utusan tediri dari bebrapa pasangan suami istri yang biasanya dari keluarga dekat, pemuka adat dan penghulu agama dengan berbusana secara adat.
Pada fase ini biasanya berlangsung ramai karena disini para utusan berkesempatan menyampaikan maksudnya secara simbolik melalui puisi atau ‘kalinda’da mandar’. Untuk fase ini contoh kalinda’danya sebagai berikut :
Pihak laki-laki :
“Poleang me’oro candring Dileba turunammumTandai mie’ Kalepu di batammu
Artinya :
“Kami datang duduk menduta Dikampung halamanmu Suatu tanda Cinta kami kepadamu”.
Jawaban pihak wanita :
“Uromai pepolemu Utayang pe’endemu Maupa bappa Anna mala sambasse”
Artinya :
“Kedatanganmu kami jemput Kutunggu maksud hatimu Semoga beruntung Kehendak kita dapat bertemu”
Sampai pada kalimat terakhir yaitu, Pihak laki-laki :
“Beru-beru dibanyammu Pammasse’i appanna Diang tumani Tau laeng mappuppi”.
Artinya :
“Kembang melati dalam rumahmu Kuat-kuat pagarnya Jangan sampai ada Orang lain yang memetiknya”

Jawaban dari pihak wanita :
“Beru-beru di boya’i Masse’ banggi appanna Takkala  ula I’o nammabuai”
Artinya :
“Kembang melati dirumah kami Pagarnya cukup kuat Kami sepakat Engkaulah yang membukanya”.
Menyimak jawaban terkhir dari pihak wanita menendakan bawa lamaran diterima. Dengan demikian fase berikutnya yaitu: “Mambottoi Sorong”. Ketentuan utama dari fase ma’duta adalah :
§ Pihak laki-laki harus membawa uang yang di sebut “pamuai ngnga yaitu uamh pembuka mulut”
§ Segala bahan konsumsi ditanggung oleh pihak laki-laki, dan diantar ke pihak wanita bersamaan pemberitahuan hari mambotoi sorong.
4)  Mambottoi Sorong
Sorong atau mas kawin adalah sesuatu yang memiliki nilai moral dan material yang mutlak ada dalam suatu perkawinan. Tanpa adanya mas kawin, perkawianan dianggap tidak sah menurut aturan adat maupun menurut syariat Islam.
Sedang menurut adapt istiadat suku Mandar, “sorong” adalah gambaran harga diri dan martabat wanita yang ditetapkan menurut aturan adat yang disahkan oleh  hadat yang tidak boleh diganggu gugat atau ditawar-tawar naik turunnya. Seorang ini adalah milik si wanita yang harus diangkat oleh si pria menurut strata si wanita itu sediri. Sampai saat sorong didaerah mandar dikenal lima tingkatan :
a. Sorong bagi anak raja yang berkuasa menggunakan istilah “Tae” yang nilai realnya bervariasi :
· Satu tae balanipa nilainya  4 real
· Satu tae sendana nilainya  3 real
· Satu tae banggae nilainya  2½ real
· Satu tae pamboang nilainya 2½  real
· Satu tae tappalang nilainya  2½  real
· Satu tae mamuju nilainya  2½  real
· Satu tae binuang nilainya 2½  real
b. Sorong anak bangsawan 180 dan 300 real
c. Sorong Tau anak pattola hadat bisa 120 atau 160 real .  Jika sedang berkuasa menjadi anggota hadat bisa 200 real.
d. Sorong tau samar (orang biasa), 60 dan 80 real
e. Sorong to batua (budak), 40 real kemudian sorongnya diambil oleh tuannya.
Semenjak suku mandar, Bugis, Makasar, dan Toraja itu lahir di Sulawesi selatan, telah lahir dan berkembang pula  budaya  dan adat-istiadat yang mendasari dan mengatur kegiatanya masing-masing.
Bila kegiatannya dilakukan dengan suku yang sama maka tidak akan ada masalah. Kalaupun ada masalah penyelesaiannya mudah karena sama-sama berpegang pada budaya dan aturan adat yang sama. Tetapi bila kegiatan itu, masalnya perkawinan dilakukan oleh suku yang berlainan maka timbul masalah tentang budaya dan aturan adat mana yang akan mendasari perkawianan tesebut.
Jika kedua belah pihak bersikeras ingin menerapkan budayanya masing-masing, maka perkawinan yang seharusnya terlaksana dengan baik, bisa menjadi batal. Yang demikian ini banyak terjadi bagi yang belum mengetahui kesepakatan “aturan adat” di sulawesi selatan yang diletakkan oleh tiga bersaudara yaitu I-TabittoEng Balanipa (Mandar), La Palangki Aru Palakka (Bugis) dan I-Rerasi Gowa (Makassar) sekitar tahun tahun 1460 M yang isinya dalam bahasa Indonesia :
“Orang Mandar dan orang Gowa pergi ke Bona, maka Bonelah dia; orang Mandar dan orang Bone pergi ke Gowa maka Gowalah dia; jiak orang Gowa dan orang Bone pergi ke Manar, maka Mandarlah dia”
Ini mengandung pengertian bahwa orang Mandar dan orang Gowa (Makassar) yang berada di Bone (Bugis) harus menggunakan atau memakai adat-istiadat Bone (Bugis) dan sebaliknya seterusnya
Jika pria Gowa (Makassar) akan melamar wanita Mandar, menurut adat harus datang melamar di Bandar. Karean acara ini dilakukan di Mandar (dalam lingkungan pihak wanita) maka sesuai kesepakatan adat di Sulawesi Selatan yang harus mendasari   pelamaran, perkawinan dan seluruh rangkaiannya adalah budaya dan adat-istiadat Mandar, termasuk “sorong” atau “mas kawin” dan sebaliknya seterusnya.
Meskipun ada aturan-aturan adat yang disepakati seperti tersebut diatas, jika ada perselisihan tentang hal ini masih ada jalan lain yang dibenarkan oleh aturan adat dan kaidah yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat Sulawesi Selatan selama ini berbunyi :
“Matindoi ada’mua’diang sasamaturuang”
Artinya :
“Aturan-aturan adat (bisa) tidak berlaku bagi pihak-pihak yang ingin berdamai atau  mencari kesepakatan lain yang baik”.
Mambottui sorong artinya memutuskan (menetapkan) mas kawin. Pada fase ini seluruh permasalahan yang berhubungan dengan persyaratan mas kawin dan pelaksanaannya telah dibicarakan dan diputuskan, utamanya mengenai sorong itu sendiri, belanja, waktu pelaksanan akad nikah, paccandring dan lain-lain.
Pada acara ini biasa berjalan ramai dan seru karena “sipappa soro-sorong” artinnya saling desak-mendesak untuk mengabulkan usul masing-masing. Dikatakan ramai karena usul ini biasanya dapat disampaikan secara simbolik dengan kalinda’da Mandar yang contohnya sebagai berikut :
Pihak laki-laki :
“Poleang ma’lopi sande Lima ngura sobalna Merandang jappo Mewalango ta’garang”
Artinya :
“Kami datang berperahu sande Lima urat kain layarnya Bertali-jangkar lapuk Jangkarnya juga sudah berkarat”.
Satu hal yang harus diperhatikan dalam penyampaikan lamaran kepada pihak wanita yaitu kalinda’da yang digunakan harus yang bersifat merendah hati, tidak boleh menyombongkan diri karena bangsawan, karena kaya, karena pintar, dan lain-lainnya.
Jika tahap pambottuiangan sorong ini mencapai kesepakatan maka tahap selanjutnya dapat dilakukan.
5)   Membawa Paccanring
Membawa paccandring adalah pernyataan rasa gembira oleh pihak laki-laki atas tercapainya kesepakatan tentang sorong dan besar belanja. Yang dibawa dominan buah-buahan segala macam dan sebanyak mungkin. Menurut kebiasaan, paccanring ini dibagi-bagikan kepada segenap keluarga dan tetangga, dan pengantarnya harus dengana arak-arakan.
6)   Ma’lolang
Adalah perkunjuangan laki-laki bersama sahabat-sahabatnya kerumah wanita. Ini merupakan pernyataan resminya pertunangan dan perkenalan pertama laki-laki yang akan dikawinkan kepada segenap keluarga pihak wanita.
Yang dilakukanya antara lain mengadakan permainan musik Gambus, Kecapi dan lain-lain. Mengenai konsumsi dalam acara ini ditanggung sepenuhnya oleh pihak laki-laki.
7)   Mappadai Balaja
Artinya pihak laki-laki mengantar uang belanjaan yang telah disepakati kepihak wanita dengan arak-arakan yang lebih ramai lagi. Ini dilakukan sebelum ‘mata gau’ dan diantar sesuai permintaan pihak wanita.
8)  Mappasau
Dilakukan pada malam hari menjelang besoknya persandingan. Mappasau artinya mandi uap, dimaksudkan agar semua bau busuk yang yang mungkin ada pada mempelai wanita menjadi hilang. Bahannya terbuat dari tumbuh-tumbuhan yang disebut “daun bunga” sejenis daun pandan dan beberapa campuran rempah-rempah lainnya. Cara melaksanankan pappasaungan ini ialah, bunga dan campurannya berupa dedaunan yang harum baunya direbus dengan air sampai mendidih. Mulut belanga diberi bungkus kain dan di lubangi. Pada lubang tersebut dipasangi saluran saluran bambu. Si gadis menyelimuti tubuhnya engan kain setebal mungkin. Setelah si gadis mengeluarkan keringat dan dianggap sudah memadai selimut dibuka. Setelah itu sigadis dimandikan untuk membersikan sisa-sisa uap yang melekat pada badan si gadis. Sesudah itu selesailah acara Pappasaungan.
9)   Pallattigiang
Pallatiang dalam suku Mandar ada  3 yaitu pellattigiang secara adat, pelattigiang adat oleh raja-raja, an pelattigiang secara pauli atau obat.
Pelaksanaan pelattigiang waktunya ada 2 macam :
o    Bersamaan dengan hari akad nikah
o    Sehari sebelum akad nikah
Pelaksanaan pellattigiang secara adat harus berbusana lengkap dengan keris di pinggang, khusus pellattiang pauli (obat), busana dan kelengkapan lainnya bebas.
10) Mambawa Pappadupa
Adalah perkunjungan utusan pihak wanita ke rumah pihak laki-laki membawa “lomo masarri atau manyak wangi” dan busana yang akan dipakai pada saat akad nikah. Maksud utama dari padduppa ini adalah pernyataan kesiapan dan kesedian calon mempelai wanita untuk dikawinkan. Ini dilakukan pada malam hari, menuju esonya akan dinikahkan.
11) Matanna Gau
Merupakan puncak dari  segenap acara yang ada dalam upacara perkawinan. Pada bagian ini dilakukan arak-arakan yang lebih ramai ari sebelumnya untuk mengantar calon mempelai pria kerumah calon mempelai wanita. Ada dua hal pokok yang diantar, yaitu calon mempelai laki-laki dan mas kawin. Mas kawin dipantangkan bepisah dari calon mempelai laki-laki sebelum di serahkan pada wali mempelai wanita. Untuk meramaikan iring-iringan turut diantar barang-barang yang diatur sebagi berikut :
Lomo atau minyak dimaksudkan agar acar berjalan dengan mulus dan jika ada kesulitan mudah penyelesaiannya.
Gula atau manis-manisan, dimaksudkan agar pelaksanaan acara berjalan dengan baik.
Kappu bunga-bungaan atau harum-haruman dimaksudkan agar kemulusan dan kebaikan pelaksanaan acara ini tersohor di segenap penjuru.
1.      Masing-masing dimaksudkan agar calon pihak mempelai pria dan wanita senantiasa searah dan keseinginan, dan sekaligus menjadi tanda bahwa yang diarak ini beagama Islam.
2.     Bualoa artinya seperti pajak dari nilai kesepakatan. Ini dibagi-bagikan oleh adapt dalam upacara.
3.     Kelompok pengantar dari golongan wanita.
4.     Calon mempelai pria bersama mas kawin yang dibawa oleh seorang laki-laki kuat asmnai dan rohani serta dapat dipercaya.
5.     Kelompok pengantar laki-laki.
6.     Kelompok musik rebana.
Calon pengantin pria bersama sorong dan pembawanya berada dibawah payung. Setelah calon mempelai pria tiba dihalaman rumah calon pengantin wanita, dia dijemput oleh seorang famili dari mempelai wanita. Sesampai di tangga diemput dengan taburan beras ini dimaksudkan agar kedua suami-istri kelak dapat membangun rumah tangga yang makmur, berbahagialahir dan batin.
Urutan acara pada mata gau :
§ Pembacaan ayat suci Al-Qur’an
§ Pellattingiang berlangsung bersama-sama dengan tarian
§ Penyerahan mas kawin
§ Penyerahan perwalian dari wali calon mempelai wanita kepada orang yang akan menikah
§ Pelaksanan ijab Kabul
§ Pengucapan ikrar mempelai pria terhadap mempelai wanita
§ Mappasinga’ang artinya melakukan pegangan sah yang pertama.
§ Pemasangan cincin kawin bergantian
§ Saling menyuapi makan
§ Memohon doa restu ke-4 orang tua, dan sanak famili yang lain dari ke-2 belah pihak
§ Kedua mempelai duduk bersama di pelaminan untuk menerima tamu.
12) Nilipo
Merupakan kunjungan keluarga pihak mempelai pria keruamh mempelai wanita. Ini dilakukan paling tidak 3 kali berturut-turut setiap malam sesudah salat isya.
Ini dimaksudkan untuk mempererat hubungan kekeluargaan antara kelurga kedua belah pihak. Kesempatan ini pula diadakan acara ‘mappapangino’ yaitu mempelai laki-laki mencari, memburu dan menangkap memoelai wanita.
13) Mando E Bunga
Artinya mandi bunga untuk menharumkan dan membersihkan diri dari hadas besar yang mungkinterjadi sesudah akad nikah. Ini dilakukan bersama-sama  kedua mempelai dalam tempayan yang satu, untuk memasuki tahap berikutnya.
14) Marola atau Nipemaliangngi
Marola artinya mengikut atau rujuk ialah perkunjungan kedua mempelai kerumah mempelai pria. Kegiatan ini dilakukan hanya untuk bersenang-senang, bermain musik dan lain-lain. Kesempatan ini biasa orang tua pria melakukan pemberian barang-barang berharga seperti tanah, perkebunan, rumah dan sebagainya sebagai pernyataan syukur dan gembira terhadap terlaksananya perkawinan tersebut.
Seni dan budaya
1. Seni Sastra
Bentuk sastra Mandar ada 2 (dua) yaitu :
a. Bentuk prosa yaitu karangan bentuk bebas tetapi berirama.
b. Bentuk puisi yaitu karangan bentuk terikat dan berirama.
Karangan bentuk prosa disebut juga cerita dan meliputi :
- Pomolitang atau pau-pau losong (dongeng) dengan menggambarkan tingkah laku binatang
yang baik dan buruk yang dapat dicontohi oleh manusia, misalnya dongeng I Puccecang annaq I Pulladoq (Kera denagan Pelanduk), di mana kera melaksanakan sifat yang baik dan pelanduk melaksanakan sifat yang kurang baik.
- Toloq (kissah) menggambarkan liku-liku kehidupan dari seseorang tokoh dalam masyarakat misalnya kisah Tonisesseq di Tingalor (seorang bidadari jatuh dari kayangan dan ditelan oleh seekor ikan Tingalor).
- Sila-sila (silsilah) menggambarkan suatu kerajaan dan nama-nama rajanya secara turun-temurun, misalnya silsilah raja-raja di Pamboang, Sendana, Banggae dsb.
- Pau-pau pasang atau Pappasang (pesan-pesan luhur) menggambarkan ajaran normal, nasihat dan petuah bagi kehidupan seseorang, keluarga dan bagi kehidupan masyarakat yang lebih luas, misalnya pesan orang tua terhadap anak-anaknya, pesan seorang kakek terhadap pasangan suami isteri, pesan seorang sesepuh kepada warga masyarakat, pesan-pesan raja pada rakyatnya.
Karangan bentuk puisi disebut juga kalindaqdaq. Suatu bentuk penuturan perasaan seseorang dengan untaian kalimat-kalimat indah.
Terdiri dari 4 (empat) baris dalam satu bait, dan dalam satu bait susunan suku katanya terdiri dari 8-7-5-7. Bersaak a.b.a.b atau abba atau aaaa. Menurut isinya kalindaqdaq ini dari 6 (enam) macam yaitu :
Ahmad. 2007. Monografi Kebudayaan Mandar di Kabupaten Majene, Dinas P & K Kabupaten Majene, Bidang Binmudorabud Seksi Budaya.
Alimuddin, Muhammad Ridwan, 2005. Orang Mandar Orang Laut, KPG.



0 Responses