SISTEM KEKERABATAN
1.Norma Kehidupan
apa yang bakal terjadi bila manusia hidup atas dasar hokum rimba?
Yang kuat akan memakan yang lemah yang besar akan manindas yang kecil.
Yang pintar akan menipu yang bodoh. Kehidupan akan segera menjadi neraka.
Manusia akan segera musnah
Nenek moyang orang minang nampaknya sejak seribu tahun yang lalu telah memahami bahaya ini bagi hidup dan kehidupan apalagi bagi kelangsungan anak dan cucunya. Oleh karna itu, mereka menciptakan norma-norma kehiduppan yang akan menjamin ketertiban,kesejahteraan,dan kebahagiaan hidup bagi mereka sendiri dan anak cucunya sepanjang zaman.
Norma-norma itu antara lain berupa aturan-aturan yang sangat esenial bagi kehidupan yang terib,aman,dan damai. Aturan-aturan itu antara lain mengatur hubungan antara wanita dan pria ,aturan mengenai harta kekayaan yang menjadi tumpuhan kehidupan manusia ,norma-norma tentang tata krama pergaulan dan system kekerabatan.Kalau dipelajari dengan seksama, ketentuan adat Minang mengenai hal-hal di atas,agak nya tidak ada seorangpun diantara kita yang tidak kagum dan bangga dengan aturan itu. Kalau kita tahu manfaat dari aturan-aturan itu, agak nya tidak seorangpun diantara kita yang mengingini lenyap nya aturan itu.namun, sayangnya banyak juga di antara kita yang kurang memahami aturan-aturan adat itu sehingga kurang mencintai nya. Tak tahu maka tak kenal dan tak kenal maka tak cinta kebanyakan kita dewasa ini memang sudah banyak yang melupakan norma-norma kehidupan yang terkandung dalam ajaran Minang.
2.Sistem Matrilineal
Menurut para ahli atropologi tua paqda abad ke-19, seperti J.Lublock, G.A. Wilken dan sebagai nya, manusia pada mulanya kehidupan berkelompok, kumpul kebo dan melahirkan tanpa ikatan kelompok keluarga batih (nuclear family) yang terdiri dari ayah,ibu dan anak-anak seperti sekarang belum ada. Lambat laun manusia sadar akan hubungan antara ibu dan anak-anaknya sebagai satu kelompok keluarga. Oleh karna itu, anak-anak hanya mengenal ibunya dan tidak tahu ayahnya. Dalam kelompok keluarga batih ibu dan anak-anak nya seperti ini , si ibu lah yang menjadi kepala keluarga.dan kelompok ini mulai berlaku aturan bahwa persanggamaan (persetubuhan) antara ibu dan anak lelakinya di hindari dan di pantangkan (tabu). Ini lah asal mula perkawinan di luar batas kelompok sendiri yang sekarang di sebut dengan adat eksogami. Artinya, perkawinan hanya boleh di lakukan dengan pihak luar , sedangkan perkawinan dalam kelompok serumpun tidak di perkenankan sepanjang adat.
Kelompok keluarga itu tadi makin lama makin bertambah banyak anggota nya. Karna garis keturunan selalu di perhitungkan menurut “Garis Ibu” , dengan demikian terbentuk suatu masyarakat yang oleh parah sarjana seperti Wilken di sebut masyarakat matriarkat.
Istilah matriarkat yang berarti “Ibu yang berkuasa” sudah di tinggalkan . para ahli sudah tau bahwa system ibu yang berkuasa itu tidak ada. Yang ada ialah kelompok keluarga yang menganut prinsip silsilah keturunan yang di perhitungkan melalui garis ibu atau dalam bahasa asing di sebut Matrilineal.
Dalam system kekerabatan Matrilineal terdapat 3 unsur yang paling dominan, yaitu
Pertama :Garis keturunan “ menurut Garis ibu”
Kedua : Perkawinan harus dengan kelopok lain, di luar kelompok sendiri yang sekarang di kenal dengan istilah eksogami Matrilineal
Ketiga : Ibu memegang peran Sentral dalam pendidikan, pengamanan kekayaan, dan kesejahteraaan keluarga.
3. Fungsi Perkawinan
Manusia dalam perjalanan hidupnya melalui tingkat dan masa-masa tertentu yang dapat kita sebut dengan daur hidup. Daur hidup ini dapat dibagi menjadi masa balita (bawah usia lima tahun), masa kanak-kanak, masa remaja,masa percobaan, masa perkawinan, masa berkeluarga, dan masa usia senja serta masa tua.tiap peralihan dari satu masa ke masa berikutnya merupakan saat kritis dalam kehidupan manusia itu sendiri.
salah satu masa perahlihan yang sangat penting dalam adat Minang Kabau adalah saat menginjak masa perkawinan. Masa perkawinan merupakan masa permulaan bagi seseorang melepaskan dirinya dari lingkungan kelompok keluarganya,dan mulai membentuk kelompok kecil miliknya sendiri, yang secara rohani tidak lepas dari pengaruh kelompok hidup nya semula. Dengan demikian,perkawinan dapat juga disebut sebagai titik awal dari proses pemekaran kelompok.
pada umumnya, perkawinan mempunyai aneka fungsi sebagai berikut.
1. Sebagai sarana legalisasi hubungan seksual antara seorang pria dengan seorang wanita dipandang dari sudut ada dan agama serta undang-undang Negara.
2. Penentuan hak dan kewajiban serta perlindungan atas suami istri dan anak-anak.
3. Memenuhi kebutuhan manusia akan teman hidup dan status social dan terutama untuk memperoleh ketentraman batin.
4. Mmelihara kelangsungan hidup kekerabatan dan menghindari kepunahan.
4.Perkawinan Eksogami
Menurut Ajaran Islam,agama satu-satunya yang di anut orang Minang, di katakana bahwa ada tiga hal yang mutlak hanya di ketahui dan ditentukan Tuhan untuk masing-masing kita. Pertama adalah umur kita sebagai manusia. Tidak seorangpun tahu kapan dia akan mati. Kedua adalah rezeki. Sebagai manusia kita hanya dituntut berikgtiar dan berusaha ,namun berapa rezeki yang akan diberikan kepada kita secara mutlak ditentukan oleh Tuhan. Ketiga adalah Jodoh. Apapun upaya yang dilakukan oleh anak manusia, bagaimanapun cintanya dia kepda seseorang, kalau Tuhan tidak mengizinkan, perkawinan tidak akan terlaksana.
Sebaliknya kalau memang jodohnya, kenal dua minggupun perkawinan dapat terjadi. Oleh karna Itu, sebagai orang islam kita hanya senantiasa berdoa semoga diperpanjang umurnya. Diberi rezeki yang banyak, dan dientengkan jodohnya. Di samping Itu,kita tetap berusaha mencari pasangan hidupnya.
Sekalipun demikian, masyarakatpun mempunyai peran yang besar dalam penetapan jodoh. Dalam masyarakat jawa missal nya pemilihan jodoh penetapan jodoh.sekandung tetap diperbolehkan.
Pada tiap masyarakat , orang memang harus kawin di luar batas suatu lingkungan tertentu.perkawinan di luar batas tertentu ini di sebut dengan istilah eksogami
Minangkabau ditentukan menurut garis ibu, maka suku serumpun disini dimaksudkan seumpuh menurut garis ibu, maka disebut eksogami matrilokal ata eksogami matrilineal.
Dalam hal ini para ninik-mamak, alim ulama,cendekiawan ,para pakar mengenai rumusan (definisi) pengertian kata seumpun ini yang akan diperlakukan dalam perkawinan di minangkabau Apakah serumpuh itu sama dengan samande, saparuik, sajurai,sasuku ataukah sasudut.
Pengamatan kami membuktikan bahwa pengertian serumpuh ini tidak sama di minang kabau bahkan dalam satu nagara saja,pengertian generasi muda minangkabau.
Di nagara kubang di Luhak 50 kota misalnya, pengertian serumpun disamakan dengan sasudut . misalnya dengan sasudut adalah satu dari kelompok dari beberapa suku. Missal nya sudut nan 5, terdiri dari 5 (lima) buah suku yaitu suku jambak,suku Pitopang. Suku kutianyir,suku salo dan suku banuhampu.
Tapi pengertian serumpuih sama dengan sasudut ini tidak konsisten oula, sebab ternyata perkawinan sesame anggota dari sudut nan 6 dan sama-sama berasal daru suku caniago dan dalam nagara yang sama, malah diperbolehkan. Pengertian serumpuh yang tidak konsisten semacam ini jelas akan membingungkan dengan prinsip eksogami yang dianut di minangkabau.
Kami tidak mengatakan bahwa hal ini menunjukan gejala yang baik atau tidak baik, tetapi sekedar menunjukkan bahwa prinsip eksogami matrilineal akan manek sendiri bila pengertian serempun tidak segera direvesi dan di perkecil
5. Perkawinan Adat Minangkabau
Dalam tiap masyarakat dengan susunan kekerabattan bagaimanapun, perkawinan memerlukan penyesuaian dalam banyak hal. Perkawinan menimbulkan hubungan baru tidak sana antara pribadi yang bersangkutan, antara marapulai dan anak pria tetapi juga antara kedua keluarga.
Latar belakang antara kedua keluarga bias sangat berbeda, baik asal-usul, kebiasaan hidup, pendidikan,tingkat social, tata krama bahasa dan lain sebagainya. Oleh karna itu, syarat utama yang harus dipenuhi dalam perkawinan adalah kesediaan dan kemampuan untk menyesuaikan diri dari masing-masing pihak.
Pengenalan dan pedekatan untuk dapat mengenal watak masing-masing pribadi dan keluarga penting sekali guna memperoleh keserasian atau keharmonisan dalam pergaulan antara keluarga kelak kemudian.
Perkawinan juga menuntut suatu tanggung jawab antara lain menyangkut nafkah lahir dan batin, jaminan hidup, dan tanggung jawab pendidikan anak-anak yang kan di lahirkan
Berpilin duanya antara adat dan agama islam di Minangkabau membawa konsokwensih sendiri. Baik ketentuan adat maupun ketentuan agama daam mengatur hidup dan kehidupan masyarakat minang tidak di abaikan khusunya dalam pelaksanan dengan cara serasi,seiring,dan sejalan
Pelanggaran,apalagi pendobrakan terhadap salah satu ketentuan adat maupun ketentuan agama Islam dalam masalah perkawinan akan membawa konsekwensih yang pahit sepanjang ayat dan bahkan berlanjut pada keturunan hukuman yang di jatuhkan masyarakat adat dan agama, walaupun tidak pernah di undangkan sangat berat. Kadang kala jauh lebih berat dari pada hukuman yang di jatuhkan pengadilan agama maupun pengadilan Negara.
Hukuman ini tidak kentara dalam bentuk pengucilan dan pengasiangan dari pergaulan masyarakat minang. Oleh karna itu, dalam perkawinan, orang minang selalu berusaha memenuhi semua syarat perkawinan yang lazim di minang kabau.
Syarat-syarat itu menurut Fiony Sukmasari dalam buku perkawinan adat minang kabau adalah sebagai berikut
1. Ketua calon mempelai harus beragama Islam
2. Kedua calon mempelai tidak sedarah atau tidak bersala dari suku yang sama, kecuali pesukuan itu berasal dari nagari atau luhak yang lain
3. Kedua calon mempelai saling menghormati dan menghargai orang tua dan keluarga kedua belah pihak
4. Calon suami (marapulai) harus sudah mempunyai sumber penghasilan untuk dapat menjamin kehidupan keluarga nya.
Perkawinan yang dilakukan tanpa memenuhi semua syarat di atas dapat di anggap perkawinan sumbang atau perkawinan yang tidak memenuhi syarat menurut adat minang.
Selain dari itu, masi ada tata krama dan upacara adat ketentuan agama islam yang harus di penuhi seperti tata krama jalang menjalang, barale gadang akad nikah batuka tando dan lainlain
6.Urang Sumando
Di samping penganut system eksogami dalam perkawinan, adat minang juga menganut paham yang dalam istilah antropologi di sebut dengan system matrilokal atau lazim juga di sebut dengan system uxorilokal yang menetapkan bahwa marapulai atau suami bermukim atau menetap di sekitar pusat kediaman kaum kerabat istri atau di dalam lingkungan kerabat istri. Namun, status pasukan marapulai atau suami tidak berubah menjadi status pesukuan istri. Status suami dalam lingkungan kerabatan istri adalah di anggap sebagai tamu terhomat, tetap sebagai di anggap pendatang. Sebagai pendatang, kedudukan nya sering di gambarkan dramatis bagaikan abu di atas tunggul, dalam hati sangat lemah dan mudah di singkirkan. Namun, sebalik nya dapat juga di artikan bahwa suami haruslah sangat berhati hati dalam menempatkan diri di krabat istri nya
Dilain pihak, perkawinan perjaka minang dalam berarti pula langka awal bagi dirinya meninggalkan kampong halaman, ibu dan bapak seluruh krabat nya, untuk memulai hidup baru di lingkungan krabat istri nya. Prosesi turun janjang dari rumah tangga orang tuanya, bagi seorang perjaka minang, adalah suatu peristiwa yang sangat mengaruhkan rasa sedih yang di kira bergalau menjadi satu. Upacara turun janjang ini dilakukan dalam rangka upacara japuik-menjapuik yang berlaku dalam perkawinan anak minang
Pepata minang mengatur upacara ini sebagai berikut
Sigai mencari anau
Anau tatap sigai baranjak
Datang deck bajapuik
Pai jo baanta
Ayam puitieh tabang siang
Basuluah matoari
Bagalanggang mato rang banyak
Maksud dari pepata di atas adalah bahwa dalam setiap perkawinan adat minang selalu laki- laki yang di antar kerumah istri nya, dengan di jemput oleh keluarga nya istrinya secara adat dan di antar pula bersama-sama oleh keluarga pihak laki-laki secara adat pula. Setelah itu,suami menetap di rumah atau di kampong halaman istri nya.
Bila terjadi perceraian suami lah yang harus pergi dari rumah istri nya. Sedangkan istri tetap tinggal dirumah kediaman nya bersama anak-anaknya sebagai mana telah di atur hokum adata. Bila istrinya meninggal dunia, kewajibban keluarga pihak suami untuk menjemput suami yang sudah duda itu untuk di bawa kembali kedalam lingkungan sukunya atau kembali ke kota halaman. Situasi ini sungguh sangat menyedihkan namun begitulah ketentuan adat minanag
Secara lahirlah maupun kehaniah dan dimiliki rumah di minang kabau adalah wanita.kaum pria hanya menumpang tenoat berlindung pria minang atau surau.menyedihkan memang,tetai ini pula yang menjadi sumber dinamika pria minang sehingga dia menajadi perantau atau pengembara yang taungguh
Kenyataan ini di hayati dan diterima dengan sadar hampir seluruh warga minang, baik mereka yang menempati rumah gadang modern,baik mereka yang bermukim di kampong halaman maupun merka yang sudah merantau ke kota besar.
Berdasarkan pula dan demikianm yang sudah lazim penghuni rumah gadang di minang kabau adalah kaum wanita dengan suami dan anak-anak mereka terutama anak anak wanita. Anak-anak laki-laki nilai usia sekolah, dulu sudah harus mengaji di surau surau, belajar silat, bergaul dengan pria dalam segala tingkat usia sehingga mereka terbiasa hidup secara Spartan (secara keras dan jantan) dalam struktur adat minang, kedudukan suami sebagai orang pendatang (urang sumando) sangat lemah, sedangkan anak kedudukan anak laki-laki, secara fisik tidak punya tempat di rumah ibunya. Bila terjadi sesuatu di rumah tangga nya sendiri, dia tidak memiliki tempat tinggal
Dalam zaman modern ini dimana kehidupan telah berubah dari sektor agraria menjadi sektor jasa dan industry, maka sebagai mana keluarga minang terutama dirantau telah berubah bercendrum keahar pembentukan keluarga barat dimana bapak merasa ini dirinya sebagai kepala keluarga dan sekaligus sebagai kepala kaum, menggantikan kedudukan mamak.
Kecendrungan semacam ini telah merusak tantanan system kekerabatan keluarga minang yang telah melahirkan pula jenis rangsumando, bentuk baru yang dapat kita beri sebutan sebagai rangsumandi gadang malendo, yang tanpa malu malu telah menempatkan dirinya sendiri sebagai kepala kaum sehingga menyulitkan kedudukan mamak terhadap para kemenakan