BAB 7 Sistem Bahasa Suku Mandar

Bahasa
Suku mandar menggunakan bahasa yang disebut dengan bahasa mandar, hingga kini masih dengan mudah bisa ditemui penggunaannya di beberapa daerah di Mandar seperti: Polmas, Mamasa, majene, Mamuju dan Mamuju Utara. Kendati demikian di beberapa tempat atau daerah di Mandar juga telah menggunakan bahasa lain,seperti untuk Polmas di daerah Polewali juga dapat ditemui penggunaan bahasa Bugis. Begitu pula di Mamasa, menggunakan bahasa Mamasa, sebagai bahasa mereka yang memang di dalamnya banyak ditemui perbedaannya dengan bahasa Mandar. Sementara di daerah Wonomulyo, juga dapat ditemui banyak masyarakat yang menggunakan bahasa Jawa, utamanya etnis Jawa yang tinggal dan juga telah menjadi to Mandar di daerah tersebut.Kecuali di beberapa tempat Mandar, seperti Mamasa. Selain daerah Mandar atau kini wilayah Provinsi Sulawesi Barat tersebut, bahasa Mandar juga dapat ditemukan penggunaannya di komunitas masyarakat di daerah Ujung Lero Kabupaten Pinrang dan Tuppa Biring Kabupaten Pangkep.
Istilah ‘Mandar’ mengandung dua pengertian. Mandar sebagai bahasa. Dan mandar sebagai federasi kerajaan kecil (Pitu Ba’bana Binanga dan Pitu Ulunna Salu). Dulu di putaran waktu masa lalu, bahasa Mandar digunakan dalam berbagai kegiatan kebudayaan orang Mandar. Dalam penyebaran agama, perdagangan, pertanian, dan ilmu kesusastraan.
          Sama halnya dengan bahasa Bugis, Makassar, dan Toraja, bahasa Mandar juga termasuk dalam rumpun bahasa melayu polinesia. Dan semua bahasa tersebut mempunyai lambing-lambang bunyi atau aksara yang sama, yang diesbut ‘Aksara Lontara’,kecuali Toraja.
Menurut Balai Penelitian Bahasa Ujung Pandang, bahasa Mandar terdiri dari 4 dialek, yaitu :
1.      Dialek Balanipa
2.     Dialek Sendana
3.     Dialek Banggae
4.     Dialek Pamboang
Sedang menurut R.A. Palengkahu, Bahasa Mandar terdiri dari 5 dialek, yaitu :
1.      Dialek Balanipa
2.     Dialek Majene/Banggae
3.     Dialek Sendana
4.     Dialek Pamboang
5.     Dialek Awok-Sumakuyu

Kesusastraan Mandar
Kesusastraan itu terdiri dari :
1.      Bentuk Prosa, yaitu karangan bentuk bebas tetapi berirama.
2.     Bentuk Puisi, yaitu karangan terikat dan bersama

Dalam kesusastraan Mandar terdapat pula kesusasatraan bentuk prosa dan puisi. Beberapa bentuk prosa dan puisi :
1.      Lolintang atau Pau-Pau Losong (Dongeng)
Prosa yang menggambarkan tingkah laku binatang yang baik dan buruk, yang dapat dicontoh oleh manusia, misalnya : Dongeng I Puccecang Anna I Pullado’ (si kera dan si pelanduk). Dimana kera selalu melakukan sifat-sifat yang baik sedangkan si pelanduk selalu melakukan sifat-sifat keculasan.

2.     Tallo’ (kisah)
Prosa yang menggambarkan liku-liku kehidupan dari seorang tokoh dalam masyarakat, misalnya : Kisah Tonisesse’ di Tingalor (seorang perempuan yang jatuh dari khayangan dan ditemukan didalam perut ikan tinggalor.

3.     Papasang atau Pesan-Pesan Leluhur
Prosa yang menggambarkan ajaran moral, nasihat atau petuah bagi kehidupan seseorang, keluarga, atau kehidupan bermasyarakat, misalnya :
-          Pesan orang tua kepada anaknya :
Diang dalle’ mulolongang da mugula-gulai, andiang dalle’ nasadhiang dhiangna.
(Jika ada rezeki yang engkau peroleh, jangan engkau hambur-hamburkan sebab rejeki itu tidak ada yang abadi adanya).
Tunamu damu pepaule’ I mua’ dian muola, issangi siri dibanunna tau.
(Perbuatanmu yang rendah/hina jangan engkau bawa serta bila engkau bepergian, ketahuilah kehormatan dinegeri orang).
-          Pesan Raja Balanipa pertama kepada rakyatnya :
Madhondong duambongi anna’ matea’, damuannai mara’dia, mau ana’u, mau appou, mua’ Tania tonama’asayani lita’, mua’ pulu-pulunna mato’dori kedhona, apa’iamotu’ ditingo namarruppu-ruppu’ lita’.
(Besok lusa bila saya wafat, jangan diangkat seorang raja meskipun anak saya, cucu saya jika tidak menyayangi negeri ini, orang yang terlalu keras perintahnya dan orang yang keras tingkah lakunya, sebab orang itulah yang akan menghancurkan negeri ini).
-          Pesan Raja Balanipa kedua (tomepayung) kepada anak-anaknya :
Dan melo’, apa’ duanrupai tu’u nirakke’. Niarakke’ saiyang anna’ niarakke’ kanene’. Niarakke tongani saiyang apa’ maladhi nisapu-sapu mane niangnga’ anna mane’ nipessawei. Niarekke tongani kanene’ apa’ ninawa-nawadhi nanipatei.

(Jangan mau ditakuti, sebab hanya dua macam yang ditakuti. Ditakuti seperti kuda dan seperti buaya. Betul kuda ditakuti akan tetapi dia bisa dielus-elus kemudian dikekang lalu ditunggangi. Buaya ditakuti akan tetapi akan selalu diincar untuk dibunuh).

-          Pesan atau petuah Tomanurung di Pattu’duang kepada para Tomakak’ kemudian menjadi pesan adat secara turun temurun :
Muo melo’o andiang niande bau di paramu rupa tau, ammungi tammuba’barang pasang pole di langi’, mesami nisanga sipatau, madha’duanna nisanga sitaiyang acoang tassitaiyang adhaeang, matallunna soei soemu spasoei soemu spasoei soeu.
(Jika kalian harus saling harga menghargai. Yang kedua kalian harus saling bekerja sama dalam kebaikan dan saling mencegah kepada keburukan. Yang ketiga masing-masing kelompok masyarakat menjalankan aturan yang berlaku dalam kelompknya masing-masing.
          Dalam kesustraan Mandar, kesustraan Mandar, kesustraan bentuk puisi disebut Kalinda’da’, yaitu suatu bentuk penuturan perasaan seseorang dengan untaian kalimat-kalimat yang indah. Terdiri dari 4 baris kalimat dalam 1 bait.
          Menurut isinya, Kalinda’da terdiri dari :
1.      Kalinda’da Muda-Mudi
Misalnya : seorang pemuda yang ingin mengungkapkan isi hatinya kepada seorang gadis.
Usanga bittoeng ra’da’ (Kusangka Bintang Jatuh)
Dipondo’na ibolong (diatas punggungnya si kuda hitam)
Ikandi palakang (tetapi ternyata si adinda)
Mambure pecawanna (yang menabur senyum)

2.     Kalinda’da masalah (tentang ajaran agama)
Misalnya : sangga’ lino damo I’o (hanya keduniaan saja)
Mupasirua-rua (yang engkau genap-genapkan)
Akhera’ tia (tetapi akhirat)
Musalendoandami (engkau abaikan)

3.     Kalinda’da Mappakatuna Alawe (merendahkan hati)
Misalnya : Usapu-sapu batangngu (kuusap-usap diriku)
Upare nyawau                  (kuhibur jiwaku)
Ita’ to tuna              (kita orang hina)
Ita tokasiasi             (kita orang miskin)

4.     Kalinda’da yang mengutamakan tentang rezeki
Misalnya :  Nipameang pai dalle’ (nanti dicari rezeki)
Nileteanni pai (dan upayakan)
Andiang dale (tiada rezeki)
Napole mettuala (yang akan datang dengan sendirinya

5.     Kalinda’da yang mengutamakan tentang cinta dan kesetiaan
Misalnya : Matindou mangipi’u (disaat ku tidur pasti aku bermimpi)
I’on na upangipi (pasti engkau dalam mimpiku)
Tanda mu bandi (pertanda hanya engkau)
Surugana nyawau (surganya jiwaku)

Ahmad, 2007. Monografi Kebudayaan Mandar di Kabupaten Majene, Dinas P & K Kabupaten Majene, Bidang Binmudorabudd Seksi Budaya.
0 Responses