Bahasa
Suku mandar menggunakan bahasa yang disebut
dengan bahasa mandar, hingga kini masih dengan mudah bisa ditemui penggunaannya
di beberapa daerah di Mandar seperti: Polmas, Mamasa, majene, Mamuju dan Mamuju
Utara. Kendati demikian di beberapa
tempat atau daerah di Mandar juga telah menggunakan bahasa lain,seperti untuk
Polmas di daerah Polewali juga dapat ditemui penggunaan bahasa Bugis. Begitu
pula di Mamasa, menggunakan bahasa Mamasa, sebagai bahasa mereka yang memang di
dalamnya banyak ditemui perbedaannya dengan bahasa Mandar. Sementara di daerah
Wonomulyo, juga dapat ditemui banyak masyarakat yang menggunakan bahasa Jawa,
utamanya etnis Jawa yang tinggal dan juga telah menjadi to Mandar di daerah
tersebut.Kecuali di beberapa tempat Mandar, seperti Mamasa. Selain daerah
Mandar atau kini wilayah Provinsi Sulawesi Barat tersebut, bahasa Mandar juga
dapat ditemukan penggunaannya di komunitas masyarakat di daerah Ujung Lero
Kabupaten Pinrang dan Tuppa Biring Kabupaten Pangkep.
Istilah ‘Mandar’ mengandung dua pengertian.
Mandar sebagai bahasa. Dan mandar sebagai federasi kerajaan kecil (Pitu Ba’bana
Binanga dan Pitu Ulunna Salu). Dulu di putaran waktu masa lalu, bahasa Mandar
digunakan dalam berbagai kegiatan kebudayaan orang Mandar. Dalam penyebaran
agama, perdagangan, pertanian, dan ilmu kesusastraan.
Sama halnya dengan bahasa Bugis, Makassar, dan Toraja, bahasa Mandar juga
termasuk dalam rumpun bahasa melayu polinesia. Dan semua bahasa tersebut
mempunyai lambing-lambang bunyi atau aksara yang sama, yang diesbut ‘Aksara
Lontara’,kecuali Toraja.
Menurut Balai Penelitian Bahasa Ujung Pandang, bahasa
Mandar terdiri dari 4 dialek, yaitu :
1. Dialek Balanipa
2. Dialek Sendana
3. Dialek Banggae
4. Dialek Pamboang
Sedang menurut R.A. Palengkahu, Bahasa Mandar terdiri
dari 5 dialek, yaitu :
1. Dialek Balanipa
2. Dialek Majene/Banggae
3. Dialek Sendana
4. Dialek Pamboang
5. Dialek Awok-Sumakuyu
Kesusastraan Mandar
Kesusastraan itu terdiri dari :
1. Bentuk Prosa, yaitu
karangan bentuk bebas tetapi berirama.
2. Bentuk Puisi, yaitu karangan
terikat dan bersama
Dalam kesusastraan Mandar terdapat pula kesusasatraan
bentuk prosa dan puisi. Beberapa bentuk prosa dan puisi :
1. Lolintang
atau Pau-Pau Losong (Dongeng)
Prosa yang menggambarkan tingkah laku binatang yang baik
dan buruk, yang dapat dicontoh oleh manusia, misalnya : Dongeng I Puccecang
Anna I Pullado’ (si kera dan si pelanduk). Dimana kera selalu melakukan
sifat-sifat yang baik sedangkan si pelanduk selalu melakukan sifat-sifat
keculasan.
2. Tallo’
(kisah)
Prosa yang menggambarkan liku-liku kehidupan dari seorang
tokoh dalam masyarakat, misalnya : Kisah Tonisesse’ di Tingalor (seorang
perempuan yang jatuh dari khayangan dan ditemukan didalam perut ikan tinggalor.
3. Papasang
atau Pesan-Pesan Leluhur
Prosa yang menggambarkan ajaran moral, nasihat atau
petuah bagi kehidupan seseorang, keluarga, atau kehidupan bermasyarakat,
misalnya :
-
Pesan orang tua kepada anaknya :
Diang dalle’ mulolongang da mugula-gulai, andiang dalle’
nasadhiang dhiangna.
(Jika ada rezeki yang engkau peroleh, jangan engkau
hambur-hamburkan sebab rejeki itu tidak ada yang abadi adanya).
Tunamu damu pepaule’ I mua’ dian muola, issangi siri
dibanunna tau.
(Perbuatanmu yang rendah/hina jangan engkau bawa serta
bila engkau bepergian, ketahuilah kehormatan dinegeri orang).
-
Pesan Raja Balanipa pertama kepada rakyatnya :
Madhondong duambongi anna’ matea’, damuannai mara’dia,
mau ana’u, mau appou, mua’ Tania tonama’asayani lita’, mua’ pulu-pulunna
mato’dori kedhona, apa’iamotu’ ditingo namarruppu-ruppu’ lita’.
(Besok lusa bila saya wafat, jangan diangkat seorang raja
meskipun anak saya, cucu saya jika tidak menyayangi negeri ini, orang yang
terlalu keras perintahnya dan orang yang keras tingkah lakunya, sebab orang itulah
yang akan menghancurkan negeri ini).
-
Pesan Raja Balanipa kedua (tomepayung) kepada anak-anaknya :
Dan melo’, apa’ duanrupai tu’u nirakke’. Niarakke’
saiyang anna’ niarakke’ kanene’. Niarakke tongani saiyang apa’ maladhi
nisapu-sapu mane niangnga’ anna mane’ nipessawei. Niarekke tongani kanene’ apa’
ninawa-nawadhi nanipatei.
(Jangan mau ditakuti, sebab hanya dua macam yang
ditakuti. Ditakuti seperti kuda dan seperti buaya. Betul kuda ditakuti akan
tetapi dia bisa dielus-elus kemudian dikekang lalu ditunggangi. Buaya ditakuti
akan tetapi akan selalu diincar untuk dibunuh).
-
Pesan atau petuah Tomanurung di Pattu’duang kepada para Tomakak’ kemudian
menjadi pesan adat secara turun temurun :
Muo melo’o andiang niande bau di paramu rupa tau, ammungi
tammuba’barang pasang pole di langi’, mesami nisanga sipatau, madha’duanna
nisanga sitaiyang acoang tassitaiyang adhaeang, matallunna soei soemu spasoei
soemu spasoei soeu.
(Jika kalian harus saling harga menghargai. Yang kedua
kalian harus saling bekerja sama dalam kebaikan dan saling mencegah kepada
keburukan. Yang ketiga masing-masing kelompok masyarakat menjalankan aturan
yang berlaku dalam kelompknya masing-masing.
Dalam kesustraan Mandar, kesustraan Mandar, kesustraan bentuk puisi disebut
Kalinda’da’, yaitu suatu bentuk penuturan perasaan seseorang dengan untaian
kalimat-kalimat yang indah. Terdiri dari 4 baris kalimat dalam 1 bait.
Menurut isinya, Kalinda’da terdiri dari :
1. Kalinda’da Muda-Mudi
Misalnya : seorang pemuda yang ingin mengungkapkan isi
hatinya kepada seorang gadis.
Usanga bittoeng ra’da’ (Kusangka Bintang Jatuh)
Dipondo’na ibolong (diatas punggungnya si kuda hitam)
Ikandi palakang (tetapi ternyata si adinda)
Mambure pecawanna (yang menabur senyum)
2. Kalinda’da masalah (tentang
ajaran agama)
Misalnya : sangga’ lino damo I’o (hanya keduniaan saja)
Mupasirua-rua (yang engkau genap-genapkan)
Akhera’ tia (tetapi akhirat)
Musalendoandami (engkau abaikan)
3. Kalinda’da Mappakatuna Alawe
(merendahkan hati)
Misalnya : Usapu-sapu batangngu (kuusap-usap diriku)
Upare
nyawau
(kuhibur jiwaku)
Ita’ to
tuna
(kita orang hina)
Ita
tokasiasi
(kita orang miskin)
4. Kalinda’da yang mengutamakan tentang
rezeki
Misalnya : Nipameang pai dalle’ (nanti dicari
rezeki)
Nileteanni pai (dan upayakan)
Andiang dale (tiada rezeki)
Napole mettuala (yang akan datang dengan sendirinya
5. Kalinda’da yang mengutamakan
tentang cinta dan kesetiaan
Misalnya : Matindou mangipi’u (disaat ku tidur pasti aku
bermimpi)
I’on na upangipi (pasti engkau dalam mimpiku)
Tanda mu bandi (pertanda hanya engkau)
Surugana nyawau (surganya jiwaku)
Ahmad, 2007. Monografi Kebudayaan Mandar di Kabupaten
Majene, Dinas P & K Kabupaten Majene, Bidang Binmudorabudd Seksi
Budaya.