BAB
II
SISTEM
RELIGI MASYARAKAT SUKU SASAK
Sebagian besar masyarakat suku sasak beragama islam.
Uniknya disebagian kecil masyarkat sasak, terdapat penganut islam yang berbeda
dengan islam lainnya yakni penganut Islam Wetu Telu. Dan ada juga yang memiliki
kepercayaan pra-islam yang disebut dengan sasak Boda.
Kerukunan hidup antar umat beragama di Kabupaten Lombok
Timur (tempat tinggal suku Sasak) beralan harmonis, sehingga aktifitas
keagamaan dalam masyarakat terlaksana dengan baik. Hali ini didukung oleh
berkembangnya Majlis Ta'lim atau Lembaga Dakwa yang diperkirakan berjumlah
hapir 800 buah. Disisi lain, tempat-tempaat peribadatan juga memegang peran
penting dalam meningkatkan kualitas kehidupan umat beragama dikalangan
masyarakat suku sasak, menurut data, pada tahun 2005 tercatat 1.111 buah
masjid, 401 langgar, 2.125 musholla, 2 buah gereja dan 1 pura. Sementara itu
dari jumlah penduduk 1.046.510 jiwa, terdapat 1.045.235. penganut agama Islam,
976 Hindu, 12 Budha, 145 Kristen Katolik dan 142 Kristen Protestan.
Masuknya
agama islam
Sebelum masuknya Islam, masyarakat yang mendiami pulau
Lombok berturut-turut menganut kepercayaan anemisme, dinamisme kemudian Hindu.
Islam pertama kali masuk melalui para wali dari pulau Jawa, yakni Sunan Prapen
pada sekitar abad XVI, setelah runtuhnya kerajaan Majapahit. Bahasa pengantar
yang digunakan para penyebar tersebut adalah bahasa Jawa Kuno. Dalam
menyampaikan ajaran Islam, para wali tersebut tidak serta merta menghilangkan
kebiasaan lama masyarakat yang masih menganut kepercayaan lamanya. Bahkan
terjadi akulturasi antara Islam dengan budaya masyarakat setempat, karena para
penyebar tersebut memanfaatkan adat istiadat setempat untuk mempermudah
penyampaian Islam. Kitab-kitab ajaran agama pada masa itu ditulis ulang dalam
bahasa Jawa Kuno. Bahkan syahadat bagi para penganut Wetu Telu dilengkapi
dengan kalimat dalam bahasa Jawa Kuno. Pada masa itu, yang diwajibkan untuk
melakukan peribadatan adalah para pemangku adat atau kyai saja.
Terdapat dugaan bahwa praktik tersebut
bertahan karena para wali yang menyebarkan Islam pertama kali tersebut, tidak
sempat menyelesaikan ajarannya, sehingga masyarakat waktu itu terjebak pada
masa peralihan. Para murid yang ditinggalkan tidak memiliki keberanian untuk
mengubah praktik pada masa peralihan tersebut ke arah praktik Islam yang
lengkap. Hal itulah salah satu penyebab masih dapat ditemukannya penganut Wetu
Telu di masa modern.
Dalam
masyarakat Lombok yang awam menyebut kepercayaan ini dengan sebutan "Waktu
Telu" sebagai akulturasi dari ajaran islam dan sisa kepercayaan lama yakni
animisme,dinamisme, dan kerpercayaan Hindu. Selain itu karena penganut
kepercayaan ini tidak menjalankan peribadatan seperti agama Islam pada umumnya
(dikenal dengan sebutan "Waktu Lima" karena menjalankan kewajiban
sholat Lima Waktu). Yang wajib menjalankan ibadah-ibadah tersebut hanyalah
orang-orang tertentu seperti kyai atau pemangku adat (sebutan untuk pewaris
adat istiadat nenek moyang). Kegiatan apapun yang berhubungan dengan daur hidup
(kematian, kelahiran, penyembelihan hewan, selamatan dan sebagainya) harus
diketahui oleh kyai atau pemangku adat dan mereka harus mendapat bagian dari
upacara-upacara tersebut sebagai ucapan terima kasih dari tuan rumah.
Kyai ini
merupakan orang yang diagungkan dikalangan masyarakat suku sasak. Kyai juga
orang yang selalu menjadi bagian dalam setiap upacara adat dan merupakan
pewaris adat istiadat dari nenek moyang.
Ritual-ritual suku sasak
·
Peresean
adalah
kesenian bela yang sudah ada sejak jaman kerajaan-kerajaan di Lombok,
awalnya adalah semacam latihan pedang dan perisai sebelum berangkat ke medan
pertempuran. Pada perkembangannya hingga kini senjata yang dipakai berupa
sebilah rotan dengan lapisan aspal dan pecahan kaca yang dihaluskan, sedangkan
perisai (Ende) terbuat dari kulit lembu atau kerbau. Setiap pemainnya atau
biasa disebut ‘’pepadu’’ dilengkapi dengan ikat kepala dan kain panjang.
Kesenian ini tak lepas dari upacara ritual dan musik yang membangkitkan
semangat untuk berperang. Pertandingan akan dihentikan jika salah satu pepadu
mengeluarkan darah atau dihentikan oleh juri. Walaupun perkelahian cukup seru
bahkan tak jarang terjadi cidera hingga mengucurkan darah didalam arena. Tetapi
diluar arena sebagai pepadu yang menjunjung tinggi sportifitas tidak ada dendam
diantara mereka.
Upacara
pengeluaran sabuk belo
Sabuk Belo
adalah sabuk yang panjangnya 25 meter dan merupakan warisan turun temurun
masyarakat Lombok khususnya yang berada di Lenek Daya. Sabuk Belo biasanya
dikeluarkan pada saat peringatan Maulid Bleq bertepatan dengan tanggal 12
Rabiul Awal tahun Hijriah. Upacara pengeluaran Sabuk Bleq ini diawali dengan
mengusung keliling kampung secara bersama-sama yang diiringi dengan tetabuhan
Gendang Beleq yang dilanjutkan dengan praja mulud dan diakhiri dengan memberi
makan kepada berbagai jenis makhluk. Menurut kepercayaan masyarakat setempat
upacara ini dilakukan sebagai simbol ikatan persaudaraan, persahabatan,
persatuan dan gotong royong serta rasa kasih sayang diantara makhluk yang
merupakan ciptaan Allah.
·
Bau Nyale
Bau Nyale
adalah sebuah peristiwa dan tradisi yang sangat melegenda dan mempunyai nilai
sakral tinggi bagi suku Sasak. Tradisi ini diawali oleh kisah seorang Putri
Raja Tonjang Baru yang sangat cantik yang dipanggil dengan Putri Mandalika.
Karena kecantikannya itu para Putra Raja, memperebutkan untuk meminangnya. Jika
salah satu Putra raja ditolak pinangannya maka akan menimbulkan peperangan.
Sang Putri mengambil keputusan pada tanggal 20 bulan kesepuluh untuk menceburkan
diri ke laut lepas. Dipercaya oleh masyarakat hingga kini bahwa Nyale adalah
jelmaan dari Putri Mandalika. Nyale adalah sejenis binatang laut berkembang
biak dengan bertelur, perkelaminan antara jantan dan betina. Upacara ini
diadakan setahun sekali pada setiap akhir Februari atau Maret. Bagi masyarakat
Sasak, Nyale dipergunakan untuk bermacam-macam keperluan seperti santapan
(Emping Nyale), ditaburkan ke sawah untuk kesuburan padi, lauk pauk, obat kuat
dan lainnya yang bersifat magis sesuai dengan keyakinan masing-masing. Upacara
Rebo dimaksudkan untuk menolak balaâ (bencana/penyakit), dilaksanakan setiap
tahun sekali tepat pada hari Rabu minggu terakhir bulan Safar. Menurut
kepercayaan masyarakat Sasak bahwa pada hari Rebo Bontong adalah merupakan puncak
terjadi Bala (bencana/penyakit), sehingga sampai sekarang masih dipercaya untuk
memulai suatu pekerjaan tidak diawali pada hari Rebo Bontong. Rebo Bontong ini
mengandung arti Rebo dan Bontong yang berarti putus sehingga bila diberi awalan
pe menjadi pemutus. Upacara Rebo Bontong ini sampai sekarang masih tetap
dilaksanakan oleh masyarakat di Kecamatan Pringgabaya.
Tradisi
Bau Nyale
Fungsi dan
peranan Bau Nyale bagi masyarakat suku sasak antara lain sebagai sarana
rekreasi, perangsang solidaritas, sarana enkulturasi, pelestarian budaya
tradisional, pembinaan ketakwaan kepada Tuhan Yang Mahaesa, sarana pembinaan
semangaat patriotisme.
·
Perang Ketupat (Perang Topat)
Dalam rangka pertanian, masyarakat Sasak melaksanakan Perang Topat. Inti upacara ini adalah saling melempar ketupat antara dua pihak dalam satu arena, yang dilaksanakan dalam sebuah kemalig. Hal ini dilakukan misalnya di Desa Lingsar, Kecamatan Narmada, Kabupaten Lombok Barat.
Perang ketupat
ini mempunyai suatu rangkaian upacara yang berlangsung berhari-hari. Tiga hari
sebelum upacara saling melempar ketupat itu dilakukan upacara yang sifatnya sebagai
persiapan. Pada tahap persiapan itu, kemalig, arena dan alat-alat
upacara dibersihkan.
Sehari sebelum
upacara mereka membuat janur (kebun odeg), artinya kebun kecil agung
yang nantinya akan dibawa kemalig. Sebelum perang dimulai, ada acara penyembelihan
kerbau dan acara-acara lainnya.
Upacara ini
berlatar belakang suatu kepercayaan untuk mendapatkan berkah, keselamatan, dan
kemakmuran, terutama di kalangan petani. Upacara ini juga merupakan perwujudan
rasa syukur kepada Tuhan atas nikmat karunia yang telah dilimpahkannya kepada
masyarakat. Melalui upacara ini mereka berharap akan mendapat curah hujan yang
cukup, tanaman menjadi subur, tanaman terhindar dari hama, ternah pun selamat,
dan sebagainya. Dengan melaksanakan perang ketupat mereka merasa telah memenuhi
wasiat alam gaib.
Kalangan pemeluk agama Hindu
di Lombok sendiri menamakan upacara ini ‘’pujawali’’.
Upacara adat
·
Menjelang
Dewasa
Menjelang
dewasa, anak laki-laki harus menjalani suatu upacara untuk mengantarkan
kedewasaannya. Upacara tersebut adalah bersunat atau berkhitan (nyunatang)
yang merupakan hal yang wajib di lakukan oleh pemeluk Islam. Pada upacara ini
dilakukan naglu' ai', pada kemali mata air denagn diiringi
gamelan serta menggunakan pakaian adat. Air yang diambil dari kemali kemudian dikelilingi sembilan kali di tempat paosenli
atau berupa pajangan. Air tersebut
digendong oleh seorang wanita yang dipayungi. Setelah itu air diserahkan kepada
inen beru.
Anak yang
dikhitan biasanya harus berendam terlebih dahulu. Waktu pergi serta pulang
berendam diirngi dengan gamelan serta diusung di atas juli yang disebut peraja.
Khitan dilaksanakan oleh dukun sunat yang disebut tukang sunat.
Selain upacara di atas, bagi
seorang yang menjelang dewasa, juga dilakukan upacara potong gigi yang
pelaksanaannya biasa bersamaan dengan upacara lain, seperti bersunat dan
perkawinan. Upacara potong gigi disebut juga rosoh oleh suku Sasak.
Hanya saja upacara ini sudah jarang dilakukan.