Bahasa
Pemakaian
bahasa Melayu yang dipengaruhi bahasa Sansekerta telah mendominasi Kerajaan
Sriwijaya. Hal ini jelas terlihat pada berbagai inskripsi batu bertulis yang
ditemukan pada berbagai tempat di Sumatra. Tetapi, dalam era berikutnya, yaitu
era Kerajaan-kerajaan Melayu yang muncul dari abad ke-12 sampai dengan abad
ke-19 Masehi, bahasa yang dipakai tidak lagi dipengaruhi oleh bahasa
Sansekerta. Raja-raja yang berkuasa pada saat itu berketurunan Melayu.
Era
ini dapat dibagi menjadi dua sub-era, yaitu sub-era Kerajan Bintan dan Tumasik,
dan sub-era Kerajaan Melayu Riau. Selanjutnya, sub-era Kerajaan Melayu Riau ini
dibagi lagi menjadi tiga periode, yaitu periode Kerajaan Malaka, periode
Kerajaan Johor, dan periode Kerajaan Riau dan Lingga. Sekali lagi, pembagian
menjadi periode-periode ini sangat penting karena berkaitan dengan perkembangan
bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia .
Pada
era Kerajaan-kerjaan Melayu ini, penyebaran bahasa Melayu mengalami
perkembangan yang sangat pesat. Kedatangan orang-orang Eropa yang ikut
mempergunakana bahasa Melayu sebagai lingua franca tidak hanya menmbantu
penyebaran bahasa itu secara ekstensif melainkan juga menaikkan statusnya
sebagai bahasa yang memiliki “norma supraetnik”, melebihi norma etnik
bahasa-bahasa daerah lainnya yang ada di Kepulauan Nusantara.
Pigafetta
yang mendampingi Magelhaens di dalam pelayarannya yang pertama mengelilingi
dunia, misalnya, berhasil menyusun glosari pertama Bahasa Melayu ketika
kapalnya berlabuh di Tidore tahun 1521 Masehi. Glosari Pigafetta yang sederhana
ini menunjukkan bahwa Bahasa Melayu yang berasal dari Indonesia bagian barat
telah menyebar ke bagian timur Kepulauan Nusantara pada waktu itu. Bahkan, pada
tahun 1865 pemerintah kolonial Belanda mengangkat Bahasa Melayu sebagai bahasa resmi
kedua mendampingi Bahasa Belanda. Hal ini mengisyaratkan bahwa peranan Bahasa
Melayu sebagai lingua franca tidak dapat diabaikan begitu saja.
Pada
tahun 1581, Jan Huygen van Linschoten, seorang pelaut Belanda yang berlayar ke
Indonesia, menulis di dalam bukunya Itinerarium Schipvaert naar Oost ofte
Portugaels Indiens bahwa Bahasa Melayu adalah bahasa yang dipergunakan oleh
banyak orang timur, dan bahwa barang siapa yang tidak mengerti bahasa itu akan
berada dalam keadaan seperti orang Belanda (dari zaman yang sama) yang tidak
mengerti Bahasa Perancis. (Alisjahbana dalam Fishman, 1974: 393).
Pada
akhir abad ke-17, sewaktu Francois Valentyn di Malaka, ia telah menulis buku
berjudul Oud en Nievw Oostindien II Del V tentang bahasa Melayu. Dalam buku
tersebut dinyatakan bahwa Bahasa Melayu telah terbukti menjalankan fungsinya
sebagai alat komunikasi dan lingua franca yang penting di Malaka. Valentyn
seorang pendeta dan ahli sejarah berbangsa Belanda dalam penulisan buku
sebanyak enam jilid itu menjelaskan sejarah dan skenario kota pelabuhan di
Kepulauan Melayu. Sebagian penjelasannya adalah:
“Bahasa
mereka, yaitu bahasa Melayu … bukan saja digunakan di pantai-pantai Tanah
Melayu, melainkan juga di seluruh India dan di negeri-negeri sebelah timur. Di
mana-mana pun bahasa ini dipahami oleh setiap orang. Bahasa ini bagaikan bahasa
Perancis atau bahasa Latin di Eropa, atau senacan bahasa perantara di Itali
atau di Levent. OLeh karena banyaknya bahasa ini digunakan,maka seseorang yang
mampu bertutur dalam bahasa Melayu akan dapat dipahami orang baik dalam negeri
Persia maupun Filipina.”
Bahasa
Melayu menjadi bahasa nasional dan bahasa pengantar di semua lembaga publik di
sebagian Asia, seperti Malaysia, Singapura, dan Indonesia. Bahasa Melayu yang
menjadi lingua franca penduduk Nusantara sejak sekian lama. Bahasa Melayu juga
telah dipergunakan oleh masyarakat Indonesia, termasuk etnik Melayu..
Akan
tetapi dalam kebudayaan Melayu penggunaan bahasa khususnya dialek memilki
perbedaan dari lima kabupaten, jika orang Melayu di pesisir timur, Serdang
Bedagai, Pangkalan Dodek, Batubara, Asahan dan Tanjung Balai memakai Bahasa
Melayu dengan mengutamakan huruf vokal “o” sebagai contoh kemano (kemana),
siapo (siapa). Di Langkat dan Deli masih menggunakan huruf vocal “e” seperti
contoh, kemane (kemana), siape (siapa).
Dari
sini kita bisa melihat meskipun akar kebudayaan etnik Melayu itu satu rumpun,
namun ada juga perbedaan-perbedaan kecil yang membedakan etnik Melayu. Adapun
perbedaan-perbedaan tersebut dikarenakan adanya kebiasaan yang sudah dibawa
dari nenek moyang yang pada saat itu mereka memilki satu pengelompokan yang
berbeda-beda. (Zein 1957:89).
Bahasa
yang digunakan dan difungsikan oleh Nur ‘Ainun adalah bahasa Melayu dan juga
Indonesia. Biarpun beliau sendiri orang Melayu Sumatera Utara, akan tetapi, dia
lebih senang menggunakan bahasa Indonesia dalam pergaulan sehari-hari.