Ciri khas dan Keunikan Suku Tengger

Dalam hal berbusana, pakaian sehari-hari yang dikenakan masyarakat Tengger memang tidaklah jauh berbeda dari masyarakat Jawa. Kaum wanitanya menggunakan kebaya pendek dan kain panjang tanpa wiron atau sarung tutup kepala dan selendang batik lebar. Kaum prianya berpakaian sehari-hari sebagaimana masyarakat pertanian di Jawa. Biasanya mereka memakai baju longgar dan celana panjang di atas mata kaki, berwarna hitam. Di bagian dalam, memakai kaos oblong. Udeng dan sarung tidak tertinggal.
Untuk pakaian resmi pun mereka menggunakan beskap,celan panjang hitam,dua kain berwarna kuning (Kampuh).dimana satu Kampuh dipakai secara dislempangkan / menyilang dipundak kanan yang kedua ujungnya disatukan.dan kain Kampuh yang satu dipakai secara melingkar di perut ( seperti sabuk ) dan memakai Udeng Tengger sebagai penutup kepala bagi kaum lelaki.Dalam pemakaian Udeng Tengger bagi pemakainya tidak diperbolehkan menggunakan Udeng yang telah jadi / permanen ( seperti blangkon jogja / udeng bali, madura dll) melainkan harus di pakai dengan menata dan mengikatnya pada saat di perlukan.( dipakai sendiri / dibantu orang lain). Ada berbagai macam cara memakai sarung karena didalam tradisi Tengger terdapat makna atau arti didalam tatacara dan kegunaannya. Tidak kurang dari 7 (tujuh) cara bersarung yang mereka kenal. Masing- masing cara ini memiliki istilah dan kegunaan sendiri.

1. Kekaweng
Digunakan untuk bekerja, cara menggunakannya kain sarung dilipat dua, kemudian disampirkan ke pundak bagian belakang dan kedua ujungnya diikat jadi satu. Cara ini disebut kakawung, yang dimaksudkan agar bebas bergerak pada waktu ketempat mengambil air atau kepasar. Cara bersarung seperti ini tidak boleh digunakan untuk bertamu dan melayat.

2. Sesembong
Sedang untuk pekerjaan yang lebih berat, seperti bekerja diladang atau pekerjaan-pekerjaan lain yang memerlukan tenaga lebih besar, mereka menggunakan sarung dengan cara sesembong. Sarung dilingkarkan pada pinggang kemudian diikatkan seperti dodot (di diatas perut di bawah dada) agar tidak mudah terlepas.

3. Sempetan ( sempretan,jawa)
Saat bertamu, mereka mengenakan sarung sebagaimana masyarakat umumnya, yaitu ujung sarung dilipat sampai kegaris pinggang. Cara ini disebut Sempetan.

4. Kekemul
Sementara itu, pada saat santai dan sekedar berjalan-jalan, mereka menggunakan sarung dengan cara kekemul. Setelah disarungkan pada tubuh, bagian atas dilipat untuk menutupi kedua bagian tangannya, kemudian digantungkan di pundak.

5. Sengkletan
Agar terlihat rapi pada saat bepergian mereka menggunakan cara sengkletan. Kain sarung cukup disampirkan pada pundak secara terlepas atau bergantung menyilang pada dada

6. Kekodong
Cara lain yang sangat khas, yang sering dijumpai pada saat masyarakat Tengger berkumpul di tempat - tempat upacara atau keramaian lainnya di malam hari adalah cara kekodong. Dengan ikatan di bagian belakang kepala kain sarung dikerudungkan sampai menutupi seluruh bagian kepala, sehingga yang terlihat hanya mata saja.

7. Sampiran
Anak-anak muda Tengger pun memiliki cara bersarung tersendiri, yang disebut sampiran. Kain sarung disampirkan di bagian atas punggung. Kedua bagian lubangnya dimasukkan pada bagian ketiak dan disangga ke depan oleh kedua tangannya.

Dalam hal berbusana, pakaian sehari-hari yang dikenakan masyarakat Tengger memang tidaklah jauh berbeda dari masyarakat Jawa. Kaum wanitanya menggunakan kebaya pendek dan kain panjang tanpa wiron atau sarung tutup kepala dan selendang batik lebar. Kaum prianya berpakaian sehari-hari sebagaimana masyarakat pertanian di Jawa. Biasanya mereka memakai baju longgar dan celana panjang di atas mata kaki, berwarna hitam. Di bagian dalam, memakai kaos oblong. Udeng dan sarung tidak tertinggal.
Untuk pakaian resmi pun mereka menggunakan beskap,celan panjang hitam,dua kain berwarna kuning (Kampuh).dimana satu Kampuh dipakai secara dislempangkan / menyilang dipundak kanan yang kedua ujungnya disatukan.dan kain Kampuh yang satu dipakai secara melingkar di perut ( seperti sabuk ) dan memakai Udeng Tengger sebagai penutup kepala bagi kaum lelaki.Dalam pemakaian Udeng Tengger bagi pemakainya tidak diperbolehkan menggunakan Udeng yang telah jadi / permanen ( seperti blangkon jogja / udeng bali, madura dll) melainkan harus di pakai dengan menata dan mengikatnya pada saat di perlukan.( dipakai sendiri / dibantu orang lain).
















Orang Tengger Suka Memakan Bawang
Nah saya juga baru tahu suku tengger suka memakan bawang,menurut yang saya baca alasannya adalah Menurut penduduk Tengger ‘bawang’ adalah pemberian khusus dari Brahma. Pada awalnya daerah Tengger yang masih berupa hutan belantara dan mulai dihuni oleh kaum Brahma untuk pertama kalinya. Namun anehnya di daerah Tengger yang masih berupa hutan belantara itu mereka menemukan sebuah hunian manusia di lereng Gunung Semeru. Pimpinan mereka yang bernama Ki Dadap Putih mengajak dan menyuruh pengikutnya untuk menyelidiki mereka, karena dia mereka yang hidup di lereng Semeru berasal dari kasta yang sama kasta Brahma dan mereka juga ingin belajar kepada suku yang berada di lereng Semeru tentang tata cara mereka bercocok tanam karena di lereng Tengger padi pun tidak dapat tumbuh dan Ki Dadap Putih beserta rombongan menderita kelaparan. Pada suatu malam Ki Dadap Putih beserta rombongan melakukan perjalanan menuju lereng Semeru untuk berkunjung dan belajar tata cara bercocok tanam, sekiranya sampai di tempat yang dimaksud, mereka hanya menemukan sepasang laki-laki dan perempuan dan kedua orang itu adalah seorang tapa (petapa laki-laki) dan endan (petapa perempuan) kehidupannya hanya diisi oleh sembayang dan dapat hidup dari tumbuh-tumbuhan, buah-buahan dan akar-akar yang berada di sekitarnya.
Ki Dadap Putih meminta kepada keduanya untuk mendo’akan keselamatan  rombongan yang masih berada di Tengger, permintaannya adalah agar daerah yang akan mereka huni menjadi subur. Ternyata keinginan mereka terkabul, pada suatu malam pertapa endang bermimpi bertemu dengan seorang bidadari (pitri) dan memberikan dua biji benih yang berwarna merah dan putih. Sang Bidadari bersabda : Benih yang berwarna merah sudah dapat ditanam keesokan harinya dan diberi nama bawang abang. Benih yang berwarna putih baru dapat ditanam pada awal bulan baru kemudian diberi nama bawang putih. Dan hasil dari pada kedua benih ini harus diberikan kepada orang Tengger yang telah lebih dulu tinggal disana yaitu penganut Brahma. Sang peri juga    berpesan : “Katakan kepada mereka bahwa benih-benih ini akan mendatangkan kebahagiaan bagi mereka dan keturunannya. Selain itu, ketangan (kentang) dan tanaman-tanaman lain akan dapat tumbuh di samping bibit-bibit ini. Bibit inilah yang akan menyuburkan tanah-tanah yang kurang subur ini. Dan janganlah menanam padi di dataran maupun lereng Gunung Tengger apabila hal itu dilakukan maka seluruh daerah itu akan menjadi tidak subur lagi.
Kemudian keesokan harinya tapa memberikan benih itu kepada Ki Dadap Putih dan berkata bahwa benih ini adalah pemberian langsung dari peri kayangan. Mendengar cerita itu para brahma Tengger langsung menanam benih bawang-bawang tersebut dan tanah beserta tanaman lainnya dapat tumbuh dengan subur seperti bibit kentang dan tanaman menjalar lainnya, semenjak itulah kehidupan orang Tengger menjadi makmur dan bahagia.






orang tengger
0 Responses