ekonomi


Ekonomi
Maiwak dalam bahasa Indonesia diartikan menangkap ikan. Dalam masyarakat Banjar kegiatan menangkap ikan merupakan mata pencarian yang sangat tua. Kondisi geografis menjadi penunjang kegiatan maiwak yang mereka miliki. Maiwak mempunyai arti yang luas sehingga kegiatan ini bisa dibagi dalam beberapa kategori dilihat dari : alat yang digunakan, tempat, dan hasil serta tujuannya.
Kegiatan mencari ikan dari segi tempat : darat dan air. Kegiatan mencari ikan dari segi alat yang digunakan : pancing, jala, jebakan ikan (terbuat dari bambu) dan tombak ikan. Tujuan mencari ikan : sebagai penghasilan utama, subtensi ekonomi, dan kesenangan belaka / hobby. Dua tujuan yang pertama disebutkan dipengaruhi oleh hasil yang didapat. Semua kategori yang tersebut saling berkaitan.
1.     Tempat Mencari Ikan

Maiwak Di Darat

Maiwak di darat bukan berarti menangkap ikan yang ada tanah (tanpa air).Dalam hal ini kegiatan menangkap ikan dilakukan di daerah persawahan tadah hujan. Kegiatan mencari ikan di sawah ini berlangsung sejak musim tanam sampai musim kemarau. Penangkapan ikan ini biasa dilakukan para petani sebagai sampingan dalam kegiatan awal menanam padi (manaradak). Alat yang digunakan pun tergantung kondisi air dan besarnya padi. Perlu diketahui hampir setiap daerah persawahan tadah hujan suku Banjar memiliki bumbun (kolam kecil), yang digunakan ikan-ikan berkumpul di dalamnya pada setiap musim kemarau.
• Maiwak Di Air
Kategori jenis ini kegiatan berlangsung di wilayah air / banyu yang sifat tetap atau tidak dipengaruhi oleh musim kemarau. Tempat mencari ikan mulai dari daerah rawa, sungai, danau, dan laut. Dari segi ekonomi maiwak jenis ini bersifat sebagai sumber penghasilan / mata pencarian, bukan seperti para petani yang sifatnya hanya untuk kebutuhan pribadi.

2. Alat-Alat Yang Digunakan
Alat yang digunakan berdasarkan keadaan alam dan jenis ikan yang akan dicari. Dalam suatu tempat dimana ikan ada terkadang bisa lebih dari 1 alat digunakan. Kita akan mulai dengan alat jenis pancing :

- Unjun / Pancing

Unjun Biasa
Dalam istilah bahasa Banjar dinamakan maunjun. Alat pancing jenis ini digunakan untuk menangkap ikan yang berukuran kecil, terbuat dari bambu kecil. Panjangnya sekitar 3 m – 4 m. Pada perkembangan selanjutnya unjun biasa berfungsi khusus untuk menangkap satu ikan. Misal unjun sapat (sepat), unjun sapat siam, unjun papuyu (pepuyu), unjun walut (belut), dll.
Tempat penggunaannya daerah persawahan yang padinya masih kecil dan daerah air tawar. Unjun biasa digunakan sewaktu sore atau waktu istirahat saat menanam padi.

Unjun Payir
Untuk istilah Banjar kegiatan ini dinamakan mamayir atau maunjun payir. Alat pancing jenis ini digunakan untuk menangkap ikan haruan (gabus). Panjangnya sekitar 8 m – 10 m. Berbeda dari unjun biasa, unjun pair menggunakan umpak cirat (katak berukuran sedang). Cara penggunaannya pun berbeda dari dari unjun biasa. Unjun payir umpannya dilempar jauh terlebih dahulu dan kemudian digerakan mirip seekor katak yang sedang berenang.
Tempat penggunaannya di daerah persawahan yang padi sudah tumbuh besar, danau, dan di sungai yang airnya tidak deras. Waktu menggunakan alat ini bisa malam ataupun siang hari.

Banjur
Istilah Banjar dinamakan mambanjur. Digunakan untuk menangkap ikan haruan (gabus). Bentuknya berbeda dari berbeda dari unjun payir. Kalau unjun payir memiliki panjang sekitar kurang lebih 10 m, banjur panjangnya sekitar 50 cm – 70 cm. Digunakan di daerah sawah yang padinya sudah besar.
Cara penggunaannya banjur diberi umpan cirat. Kemudian di tancapkan atau diletakan di sekitar tumbuhan padi. Kemudian dibiarkan selama satu malam, setelah itu dilihat apakah sudah ada ikannya yang memakan.

- Jala

Hancau
Istilah bahasa Banjar dinamakan mahancau. Terbuat dari benang ayum-ayum, bentuk rongga belah ketupat dengan ukuran 0,5 cm – 1 cm. Bentuknya jala segi-empat dengan luas sekitar 4 m2 sesuai kondisi tempat. Pada ke- 4 ujung sisinya diberi potongan bambu membentuk tanda tambah. Dan diberi tongkat dari bambu sebagai alat bantu mengangkatnya.
Alat ini digunakan di daerah aliran sungai-sungai kecil. Biasanya dipasang pada pagi hari saat aliran sungai deras. Sesudah beberapa saat ditaruh, hancau diangkat untuk mengambil ikan yang terperangkap. Hal ini dilakukan berdasarkan insting serta pengalaman.

Ringgi
Istilah bahasa Banjar disebut maringgi. Ringgi ada dua jenis : untuk air tawar (sawah dan sungai ukuran sedang) dan air laut atau sungai ukuran besar. Terbuat dari benang nilon dan rongga berbentuk belah ketupat. Untuk air tawar bentuknya jala persegi panjang dengan lebar 50 cm – 1 m dan panjang 15 – 30 m, dengan ukuran rongga jala 1 cm – 1,5 cm, serta diberi gelang besi sebagai pemberatnya. Untuk air laut atau ukuran sungai besar memiliki panjang 75 m – 150 m dan lebar 1,5 m – 2 m serta diberi pelampung dan pemberat.
Penggunaannya untuk ringgi air tawar dibentangkan dan dibiarkan untuk beberapa lama dan dilihat untuk mengambil ikan terjebak. Ringgi air laut, ringgi dilepaskan ke air dan ditarik dengan menggunakan kapal dan kemudian ditarik kembali untuk mengambil ikan yang terjerat. Kegiatan lempar-tarik ini biasanya berlangsung pada malam hari sampai menjelang pagi.

Lunta
Dalam bahasa Banjar dinamakan malunta. Lunta sama halnya dengan hancau terbuat dari benang ayum-ayum dan rongga berbentuk belah ketupat dengan ukuran 0,5 cm – 1 cm. Kalau ringgi bentuknya memanjang sedangkan lunta berbentuk kerucut berdiameter 3 m – 7 m. Diujung lebarnya diberi pemberat besi berbentuk rantai panjang (dalam istilah bahasa Banjar dinamakan cincin). Pada ujung kerucutnya diberi tali sebagai alat bantu menarik setelah dilemparkan.
Lunta dipakai di kawasan daerah air tawar seperti sungai ukuran kecil maupun besar dan digunakan juga di danau. Untuk daerah yang airnya dalam biasanya memakai perahu kecil (jukung). Menggunakan lunta tidak semudah seperti saat memakai ringgi atau hancau. Bagi pemula atau orang yang mau mencoba malunta, kebanyakan saat lunta dilempar ke air, lunta tidak berkembang seperti kerucut. Penulis pun sampai sekarang tidak bisa menggunakan lunta.

Pukat
Pukat tergolong baru orang Banjar. Pukat disini sama dengan istilah sekarang yang digunakan kapal besar dalam menangkap ikan seperti pukat harimau. Untuk penggunakan pukat biasanya dipakai nelayan Banjar di pesisir pantai. Untuk wilayah sungai orang Banjar hanya memakai ringgi.
Penggunaannya sama dengan ringgi yaitu dilemparkan ke laut kemudian di tarik dengan kapal untuk beberapa lama. Setelah itu ditarik kembali ke dalam kapal untuk mengambil ikan yang terjebak. Bentuk pukat seperti kantung besar dengan diameter 30 meter yang terbuat dari bahan khusus yang tak mudah rusak.

- Jebakan Ikan
Tangguk
Istilah bahasa Banjar manangguk. Tangguk terbuat dari kulit bambu yang dianyam berbentuk setengah bola, tangguk mempunyai dua ukuran : ada ukuran kecil dan ukuran besar. Cara menggunakannya sangat gampang, kita menggerakannya seperti mengeruk tanah dari depan ke belakang. Kemudian diangkat untuk melihat apakah ada ikan yang tersangkut.
Tangguk digunakan di bumbun yang terdapat di sawah-sawah masyarakat saat menjelang musim kemarau. Seperti dijelaskan pada maiwak di darat, bumbun merupakan tempat berkumpulnya ikan pada musim kemarau.

• Lukah
Istilah bahasa Banjar malukah. Lukah terbuat dari potongan bambu yang dibentuk silinder berdiameter 20 cm – 30 cm. Dengan kerapatan potongan bambu antara 0,5 cm – 1 cm. Panjang lukah sekitar 1 m – 1,5 m dan pada bagian belakangnya diberi penutup. Di dalam lukah terdapat satu bentuk kerucut kecil yang berfungsi mencegah ikan telah masuk tidak keluar lagi.
Lukah dipasang di muara batas sawah (bahasa Banjar : galangan) yang airnya deras. Di mana ikan sering lalu lalang dari satu sawah ke sawah lain. Biasanya lukah ditaruh selama satu malam, kemudian diperiksa untuk mengambil ikan yang terperangkap.

• Tampirai
Fungsi tampirai sama dengan lukah yaitu untuk mejebak ikan. Bahannya sama terbuat dari bambu juga. Perbedaan tampirai dengan lukah terletak pada bentuk dan tempat meletakannya.
Bentuk tampirai seperti bentuk tanda hati / amor yang memanjang ke bawah sekitar 1 meter dan lebar 50 cm. Lubang tempat masuk ikan terdapat di sekitar lengkungan dalam bentuk hati. Tampirai dipasang di anak sungai kecil yang deras di mana ikan sering terbawa arus.

Jambih (Banjar Pahuluan), Sarakap (Banjar Kuala)
Istilah bahasa Banjar manyuar iwak. Bentuk jambih sama seperti lukah, panjangnya sekitar 60 cm. Bedanya jambih tidak mempunyai kerucut dibagian dalamnya. Digunakan di daerah persawahan pada malam hari semasa tanaman padi masih kecil. Dengan cara berjalan di areal sawah ikan disorot lampu khusus (lampu suar) dan didekati secara perlahan dan kemudian disergap menggunakan jambih. Setelah ikan terkurung dalam jambih, lalu diambil dan dimasukan dalam tempatnya (karanjang).

- Tombak Ikan
Sirapang
Istilah bahasa banjar manumbak iwak. Sirapang terbuat dari batang bambu yang kecil dan diberi mata tombak kecil berjumlah 3 buah sampai dengan 10 buah. Mempunyai panjang sekitar 1,5 m – 2 m.
Alat ini digunakan pada sungai-sungai kecil saat musim kemarau. Di mana air sungai waktu itu sedang dangkal. Saat itu ikan jelas terlihat sedang berenang terutama iwak sanggi
.
- Alat lainnya
Semua alat maiwak tersebut kebanyakan berasal dari Banua Enam terutama daerah Hulu Sungai Selatan. Menurut pengalaman penulis sejak kecil sampai sekarang alat-alat tersebut masih digunakan. Untuk alat maiwak di kawasan laut diketahui penulis dari perjalanan wisata kawasan pantai.
Khusus untuk kawasan Hulu Sungai Selatan, alat-alat yang telah disebutkan mungkin masih kurang lengkap mengenai jenisnya. Sebab artikel ditulis tanpa penelitian, hanya berdasarkan pengalaman dan pengetahuan penulis. Untuk daerah Kalimantan Selatan secara umum, kemungkinan besar alat maiwak sama tetapi beda penamaannya saja. Ibarat peribahasa ”lain lubuk lain ilalang”.

3. Tujuan Maiwak

• Sumber Pendapatan Utama
Seperti kita ketahui suku Banjar tinggal di beberapa kawasan salah satunya daerah sungai besar dan pinggir laut. Seperti di daerah Sungai Nagara, Sungai Barito, dan daerah pinggir pantai Bunifah, Tanifah, Tangkisung, Batakan, dan Pagatan. Masyarakat Banjar yang tinggal disini disebut nelayan (karena profesi mereka menangkap ikan) seperti hal masyarakat pantai pada umumnya di Indonesia. Para nelayan ini menggantungkan hidup dari laut atau sungai besar.
Setelah mereka mendapatkan ikan hasil semalaman menangkap ikan dengan cara pakai pukat atau maringgi. Hasil yang didapat tersebut dilelang di pasar ikan, yang kemudian di distribusikan ke daerah lain (kota-kota dan daerah pedalaman). Uang hasil menjual ikan itulah yang menjadi sumber pendapatan utama.

- Sistem Bagi Hasil
Ikan yang didapat semalam dibagi secara adil. Ikan dibagi untuk pemilik kapal, juru kemudi, juru masak, para penarik jala. Biasanya yang paling banyak dapat adalah pemilik kapal. Dalam pembagian tugas saat mencari ikan kadang-kadang 1 orang merangkap menjadi pemilik kapal dan juru kemudi, dsb.

- Hasil Kebudayaan
Seperti pengertian masyarakat yaitu tempat orang-orang hidup bersama dan menghasilkan kebudayaan (Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi). Masyarakat nelayan juga memiliki kebudayaan, terutama di daerah Pagatan. Yaitu maparentasi (kalau tidak salah), upacara memberi makan laut. Supaya laut selalu memberikan hasil yang berlimpah berupa ikan dan selamat dalam mencari ikan.

• Subtensi Ekonomi
Biasanya hal ini dilakukan oleh masyarakat yang hidupnya bertani. Mereka mencari ikan sekedar untuk kebutuhan sehari-hari. Meskipun kadang-kadang kalau hasil ikan yang didapat banyak, maka ikan tersebut dijual.
• Kesenangan Belaka / Hobby
Maiwak jenis ini tidak mementingkan hasil, yang banyak dilakukan adalah maunjun dan mamayir. Bagi mereka hasil ikan yang didapat persoalan nomor 3. Mereka melakukan aktifitas maiwak setiap akhir pekan dengan rombongan mobil, yang anggota rekan-rekan berkerja atau teman sejawat. Biasanya mereka pergi ke daerah persawahan yang terkenal banyak ikannya.
Dari beberapa cerita yang pernah penulis dengar. Sebenarnya yang mereka cari atau paling disenangi. Ternyata persoalan sebenarnya hanya mencari jarujut iwak (tarikan ikan saat memakan umpan pancing). Makin banyak jarujut iwaknya maka mereka makin senang.

4. Maiwak Pada Masa Sekarang
Sulitnya keadaan ekonomi sekarang menyebabkan orang susah mencari pekerjaan. Maiwak di darat pun menjadi pilihan pekerjaannya. Kalau kegiatan menangkap ikan dahulu konsepnya tradisional, sehingga ekosistem perkembangan ikan tetap terjaga. Dalam arti maiwak pada masa itu hanya menangkap ikan-ikan besar.
Maiwak pada kondisi sekarang tidak memakai konsep tradisional lagi. Sehingga dapat kita lihat dimana ikan yang dahulunya seperti ikan gabus mudah didapatkan sekarang sangat sulit. Konsep maiwak sekarang yang penting hasilnya banyak sehingga kebutuhan anak istri tercukupi. Alasan seperti ini memang tidak salah.
Untunglah hal ini bisa ditangkap oleh anggota-anggota DPRD Kal-Sel. Sehingga saat ini telah dibahas mengenai undang-undang tata cara penangkapan ikan. Apakah perda ini sudah selesai dibahas penulis tidak mengetahuinya. Semoga saja perda ini akan efektif jika sudah diterapkan. Amin. Tidak ada lagi maiwak dengan menggunakan putas, setrum, dan mungkin saja bom ikan.
1 Response