Kearifan
Lokal masyarakat islam TiongHoa di Indonesia
Dengan
sejalan nya perkembangan dalam era globalisasi. Sebuah sejarah memang harus
diingat sesuai dengan alur cerita yang asli terjadi dan bila kita mengetahuinya
kadang malah tak menyangka atas kebenaran yang tersimpan.Seperti sejarah Muslim
Tionghoa yang ada di bumi nusantara yang mendahului para muslim asli Indonesia
yang tentunya mengejutkan. Ada berbagai sumber yang dapat dipakai sebagai dasar
rujukan sejarah tersebut.Sedikit kita korek informasi yang ada tentang
keberadaannya dan eksistensinya hingga sekarang di bumi Indonesia. Sebagai
agama, Islam masuk dan berkembang di negeri Cina, melalui jalur perdagangan.
Begitu pula Islam masuk ke Nusantara. Kebanyakan sarjana berpendapat bahwa
peristiwa masuknya agama Islam ke Cina, terjadi pada pertengahan abad VII.
Kedatangan
etnis Tionghoa dan Muslim Tionghoa dari negeri Cina ke Nusantara, tujuannya
adalah untuk meningkatkan taraf kehidupan ekonomi mereka, bukan tujuan
menyampaikan Islam atau berdakwah. Pada umumnya mereka berasal dari
daerah-daerah Zhangzhou, Quanzhou dan provinsi Guangdong. Tapi di zaman pemerintah
Belanda pernah mendatangkan etnis Tionghoa ke Indonesia untuk memenuhi
kebutuhan tenaga kerja di perkebunan dan pertambangan milik Belanda.
Meski
kedatangan etnis Tionghoa Muslim tidak untuk berdakwah, namun keberadaan mereka
punya dampak dalam perkembangan dakwah. Salah satunya karena proses asimilasi,
perkawinan dengan penduduk setempat yang kemudian menjadi Muslim
Pada
perkembangannya, jarak yang muncul dengan etnis Tionghoa mengundang beberapa
Muslim Tionghoa untuk memperbaiki kerenggangan tersebut. Salah satunya adalah
Haji Yap Siong yang berasal dari kota Moyen, Cina. Setelah belajar Islam ia
menjadi Muslim pada tahun 1931 dan mendirikan organisasi dakwah yang diberi
nama Persatuan Islam Tionghoa (PIT) di kota Deli Serdang, Sumatera Utara. Dakwah
beliau dimulai dari Sumatera Utara ke Sumatera Selatan dan menyeberang ke Jawa
Barat sampai Jawa Timur. Berdakwah dalam bahasa Mandarin dan memperoleh izin
dakwah pada waktu itu dari pejabat-pejabat Kolonial Belanda.
Pertumbuhan Muslim Tionghoa di Indonesia
semakin pesat, khususnya di Jakarta, Surabaya, dan Semarang, kata Wakil Ketua
Bidang Kesra DPP Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) Budijono.Pada tahun 1950 bersama Haji Abdul Karim Oei Tjing Hien, kelahiran Bengkulu yang pada tahun 1930 telah menjadi Konsul Muhamadiyah untuk daerah Sumatera Selatan. Keduanya bertemu di Jakarta dan mengembangkan PIT. Pada tahun 1953, Kho Guan Tjin mendirikan organisasi dakwah pula dengan nama Persatuan Muslim Tionghoa (PMT), di Jakarta. Pada tahun 1954, kedua Organisasi dakwah itu difusikan. Namun perjalanannya, organisasi ini bubar karena berbeda pandangan menjelang pemilihan umum pertama tahun 1955.
Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) didirikan di Jakarta, pada tanggal 14 April 1961, antara lain oleh Abdul Karim Oei Tjeng Hien, Abdusomad Yap A Siong dan Kho Goan Tjin. PITI merupakan gabungan dari Persatuan Islam Tionghoa (PIT) dipimpin oleh Alm Abdusomad Yap A Siong dan Persatuan Muslim Tionghoa (PMT) dipimpin oleh Kho Goan Tjin. PIT dan PTM yang sebelum kemerdekaan Indonesia mula-mula didirikan di Medan dan di Bengkulu, masing-masing masih bersifat lokal sehingga pada saat itu keberadaan PIT dan PTM belum begitu dirasakan oleh masyarakat baik muslim Tionghoa dan muslim Indonesia.Pada awal tahun 1972, Kejaksaan Agung RI dengan alasan bahwa agama Islam adalah agama universal, menganggap PITI tidak selayaknya ada. Tidak ada Islam Tionghoa atau Islam-Islam lainnya. Maka pada tanggal 15 Desember 1972, Dewan Pimpinan Pusat PITI memutuskan untuk melakukan perubahan organisasi menjadi Pembina Iman Tauhid Islam.
PITI didirikan pada waktu itu, sebagai tangapan realistis atas saran Ketua Pengurus Pusat Muhammadiyah K.H. Ibrahim kepada Abdul Karim Oei bahwa untuk menyampaikan agama Islam kepada etnis Tionghoa harus dilakukan oleh etnis Tionghoa yang beragama Islam.
“Di Jakarta saja jumlah Muslim Tionghoa saat ini sudah ratusan ribu orang,” kata Budijono yang juga memiliki nama Nurul Fajar, di sela Dialog Pengembangan Wawasan Multikultural antar Pimpinan Pusat dan Daerah Intern Agama Islam di Pontianak, Kalbar, Rabu.
Dari 238 juta jiwa penduduk Indonesia, menurut dia 15 persen di antaranya adalah warga negara Indonesia keturunan Tionghoa, dan sebanyak lima persen dari 15 persen tersebut adalah Muslim.
"Jadi sebenarnya di China, Islam sudah lebih dulu berkembang dan dianut puluhan juta orang. Kalau ada yang memisahkan antara keturunan China dengan warga Indonesia yang lain itu sebenarnya hanya politik adu domba China-pribumi di masa lalu,"
Ternyata perkembangan islam di masyarakat tionghoa itu sangat bagus sekali dan sekarangpun tidaka hanya oramg pribumi saja yang eksis menjadi ustad tetapi adalah satu ustad yang kita pasti kenal yaitu adalah ust. Haji Muhammad Ustman Ansori atau yang kita sering ust. Koko Liem lahir pada 17 Januari 1979 di Dumai Riau dari sepasang suami istri berdarah Tionghoa. Kiprah dan pengalaman beliau dalam dunia dakwah tak diragukan lagi karena beliau berceramah bukan hanya dari mimbar-ke mimbar tetapi beliau sering tampil untuk berdakwah di berbagai media massa & radio
Pandangan Imlek pada masyarakat islam tionghoa
MUI setempat, setelah diperlihatkan sejumlah data dan fakta bahwa perayaan Imlek tidak terkait agama tertentu (Khong Hu Cu).
Versi tentang sejarah Imlek pun ada beberapa versi, tapi yang paling umum lebih menitikberatkan bahwa Imlek adalah tradisi budaya China. Konon warga Tionghoa sudah merayakan Imlek secara turun temurun, sejak ribuan tahun lalu. Dimulai sejak Dinasti Huang Ti. Imlek pun sebagai perayaan para petani pada musim semi.
Mengacu dari sejarah tersebut, Imlek bukanlah sebagai perayaan agama. Karenanya, banyak Muslim Tionghoa di Indonesia juga merayakannya, namun tidak bernuansa ritual agama Kong Hu Cu.
Yang kontra menyatakan, Imlek adalah bagian integral dari ajaran agama Kong Hu Cu. Versi yang menyebut Imlek adalah perayaan Kong Hu Cu, salah satunya mengacu pada buku berjudul Mengenal Hari Raya Konfusiani (Semarang : Effhar & Dahara Prize, 2003) karya Hendrik Agus Winarso.
Dalam buku tersebut Hendrik menyatakan, Imlek adalah bagian dari ajaran Kong Hu Cu. Imlek disebut juga sebagai hari permulaan tahun [Liep Chun] yang dijadikan sebagai Hari Agung untuk bersembahyang.
Penulis buku tersebut lalu menyimpulkan, Imlek adalah bagian ajaran Khonghucu, dengan menegaskan,”Dengan demikian, menyambut Tahun Baru bagi umat Khonghucu Indonesia mengandung arti ketakwaan dan keimanan.” (hlm. 61).
Jika mengacu pada versi ini, maka jelas Islam melarang umatnya ikut merayakan Imlek yang nota bene hari raya umat agama lain (Kong Hu Cu). Kaum Muslim hanya harus menghormati mereka yang merayakannya sebagai bentuk toleransi beragama.
Sikap BMI HK
Bagaimana dengan para BMI HK yang beragama Islam ketika majikan merayakan Imlek? Sikap terbaik bagi BMI HK yang beragama Islam adalah berpegang pada versi, bahwa Imlek adalah tradisi orang China/Tionghoa, bukan bagian dari ajaran Kong Hu Cu, sebagaimana sebagian Muslim Tionghoa di Indonesia juga meyakininya demikian.
Namun, sebagai pemeluk Islam, BMI HK yang beragama Islam tidak boleh turut merayakan Imlek yang di dalamnya ada acara ritual keagamaan Kong Hu Cu.
Menurut General Manager Dompet Dhuafa Hong Kong (DDHK), Ustadz Ahmad Fauzi Qosim, perayakan Imlek itu perpaduan antara budaya dan agama.
“Kita mengikuti dengan tidak terlalu berlebihan, dalam artian gini, kalau memang dalam Imlek itu ada acara seremonial, untuk penghormatan saya kira tidak masalah, tetapi kalau kita masuk ke acara ibadahnya mereka, itu yang harus dihindari,” tegasnya.
Dikatakannya, kalau melihat kecenderungan sekarang, Imlek itu sebenarnya hari raya Cina, bukan hari raya agama, jadi kita merayakannya sesederhana mungkin sebagai orang Indonesia, sebagai penghormatan saja kepada mereka.
“Akan tetapi kalau diikuti atau dibarengi dengan acara ibadah, itu yang harus kita hindari. Kalau sebuah acara budaya seperti orang Jawa sebuah tradisi, dan tidak ada hubungannya dengan keyakinan beragama, tidak ada masalah. Batasan itu aja. Akan tetapi kalau dicampuri ritual ibadah, itu yang harus kita hindari,” jelasnya.
Kalau mereka mengucapkan “Kung Hei Fat Choi”, kata Ust. Fauzi, kita mengucapkan “semoga bahagia sehat selalu”. Begitu aja. “Tidak dikhususkan ke hari raya Imleknya, tetapi kita ucapkan ke semoga bahagia sehat selalu, ke person atau individunya.”
Dijelaskannya, Hari Raya Imlek itu sekarang menjadi tradisi orang Cina yang lintas agama, dalam arti semua pemeluk agama merayakannya. “Tetapi kalau saya ketemu orang Cina muslim di Indonesia, Imlek itu tradisi China. Mereka pun merayakan Imlek dengan lilitan tradisi Islam, tidak menyembah patung, tapi dengan rasa syurur kumpul keluarga dengan baca Al-Fatihah. Itu ‘kan perayaan sebuah komunitas, sebuah kelompok atau bangsa.”
Menurut Ustadz Muhaemin Karim (executive dakwah Islamic Union of Hong Kong), kita tetap harus bersikap menghormati perayaan tradisi mereka. “Dianjurkan untuk memberi ucapan selamat karena dengan begitu akan tercipta keharmonisan bermasyarakat,” katanya. (ASM. Romli/Lutfiana Wahid/ddhongkong.org).
Masjid
Mulai banyaknya pembangunan masjid-masjid berarsitektur Tiongkok mengikuti jejak pendirian Masjid Cheng Ho di Surabaya, seperti di Purbalingga, Masjid Ja’mi An Naba KH Tan Shin Bie di Purwokerto, di Kota Palembang Masjid Cheng Ho Sriwijaya dan Kota Semarang, Masjid Cheng Ho Jawa Tengah dan Islamic Center di Kota Kudus.
Jadi berbagai macam-macam bentuk yang membuat masyarakat islam tionghoa yang menjadi berfariasi.dan kita dapat mengetahui betapa gigih nya perjuangan islam tionghoa di Indonesia. terimakasih
urutan pembahasannya bagus, tapi tinggal bahasanya aja kurang tepat. Kalo bahasanya tepat, pasti bagus deh. oiya, sesuaikan juga kalimatnya, disini 1 paragraf pembahasannya kurang mengacu pada satu point, jadi terkesan acak.
heheh.. tapi bagus ko.. ^^