Ciri fisik dan budaya
fisik
orang Bahau menunjukan bahwa mereka sebagai bagian dari ras Mongoloid. Dalam
proses sejarah kehidupan kemasyarakatannya, mereka memiliki pengetahuan dan
kepercayaan yang mempengaruhi cirri-ciri fisiknya seperti pada berbagai
kelompok orang Dayak lainnya, orang Bahau juga pernah mengenal telinga panjang
terutama pada kaum wanitanya. Telinga wanita dilubangi kemudian digantungi
anting-anting sehingga daun telinga tertarik dan akhirnya menjadi panjang dan
turun kebawah. Pada masa lalu telinga panjang merupakan suatu simbol status
atau derajat seorang wanita. Generasi sekarang sudah tidak mau lagi punya
telinga semacam itu bahkan generasi yang sudah terlanjur telinganya mulai
panjang merasa malu, dan tidak jarang diantara mereka memotong kelebihan
telinga iu ke dokter yang berada di kota Tenggarong ataupun Samarinda.
Sedangkan pada kaum Prianya pada masa lalu membuat dua lubang pada daun
telinga, lubang atas sebagai tempat menyelipkan paruh burung engang, sedangkan
lubang bawah tempat untuk mencucukkan taring harimau. Semua ini merupakan
lambang keperkasaan atau kejantanan kaum pria. Mereka juga mengenal tato
(tutang cacah) baik pada pria maupun wanita. Pada masa lalu setiap gadis yang
akan kawin harus dirajah terlebih dahulu , hal ini dimaksudkan sebagai latihan
untuk menahan raasa sakit yang akan dialami ketika melahirkan kelak.
Motif-motif hiasan rajah pada kulit kaki atau pada bagian tubuh lainnya itu
juga memberi makna tentang status sosial atau kebangsawanan seseorang.
Pola Permukiman
Pemukiman orang Bahau pada umumnya berada di sekitar tepi sungai atau pada pertemuan anak sungai dengan sungai besar, seperti sungai Mahakam. Rumah- rumah mengelompok berjejer sepanjang badan sungai. Dahulu keluarga-keluarga mereka hidup dalam bilik-bilik (amin) dari rumah tradisional (umaa) yang panjangnya ratusan meter dengan puluhan bilik, antara bilik yang satu dan yang lainnya di batasi dengan dinding papan atau kulit kayu. Bilik-bilik ini tidak memiliki jendela, sehingga hampir tidak ada cahaya yang masuk. Di bagian depan terdapat beranda yang menghubungkan bilik-bilik tersebut. Kini rumah-rumah panjang semacam itu sebagian besar sudah punah. Mereka masih membuat bangunan tradisional itu dengan ukuran yang lebih pendek dan tidak lagi sebagai tempat tinggal, melainkan sebagai gedung pertemuan tempat melaksanakan upacara adat atau pertunjukan seni.
Kini rumah keluarga itu umumnya berupa rumah tinggal yang berjejer sepanjang tepi sungai, rumah itu umumnya berbentuk pangung dari kayu dengan dinding papan dan atap sirap atau seng. Rumah-rumah tinggal ini sudah memiliki jendela dan pintu yang lebar. Bentuk rumahnya tidak lagi mengikuti bentuk rumah adat lama, tetapi disesuaikan dengan selera pemiliknya yang mungkin meniru bentuk rumah-rumah lain yang pernah diliatnya.
Di tepi sungai mereka membuat pemandian, tempat mencuci, dan jambangan umum. Tempat pemandian umum (amban) ini dibuat terapung seperti rakit diatas dua atau tiga potong pohon besar yang direndengkan. Diatasnya dibuatkan jamban yang dikelilingi dinding papan dengan pintu sedang dibagian atas ada yang terbuka dan juga ada yang beratap. Tempat pemandian ini terapung mengikuti permukaan air yang naik dimusim hujan dan turun ketika air surut .
Pola Permukiman
Pemukiman orang Bahau pada umumnya berada di sekitar tepi sungai atau pada pertemuan anak sungai dengan sungai besar, seperti sungai Mahakam. Rumah- rumah mengelompok berjejer sepanjang badan sungai. Dahulu keluarga-keluarga mereka hidup dalam bilik-bilik (amin) dari rumah tradisional (umaa) yang panjangnya ratusan meter dengan puluhan bilik, antara bilik yang satu dan yang lainnya di batasi dengan dinding papan atau kulit kayu. Bilik-bilik ini tidak memiliki jendela, sehingga hampir tidak ada cahaya yang masuk. Di bagian depan terdapat beranda yang menghubungkan bilik-bilik tersebut. Kini rumah-rumah panjang semacam itu sebagian besar sudah punah. Mereka masih membuat bangunan tradisional itu dengan ukuran yang lebih pendek dan tidak lagi sebagai tempat tinggal, melainkan sebagai gedung pertemuan tempat melaksanakan upacara adat atau pertunjukan seni.
Kini rumah keluarga itu umumnya berupa rumah tinggal yang berjejer sepanjang tepi sungai, rumah itu umumnya berbentuk pangung dari kayu dengan dinding papan dan atap sirap atau seng. Rumah-rumah tinggal ini sudah memiliki jendela dan pintu yang lebar. Bentuk rumahnya tidak lagi mengikuti bentuk rumah adat lama, tetapi disesuaikan dengan selera pemiliknya yang mungkin meniru bentuk rumah-rumah lain yang pernah diliatnya.
Di tepi sungai mereka membuat pemandian, tempat mencuci, dan jambangan umum. Tempat pemandian umum (amban) ini dibuat terapung seperti rakit diatas dua atau tiga potong pohon besar yang direndengkan. Diatasnya dibuatkan jamban yang dikelilingi dinding papan dengan pintu sedang dibagian atas ada yang terbuka dan juga ada yang beratap. Tempat pemandian ini terapung mengikuti permukaan air yang naik dimusim hujan dan turun ketika air surut .
PERILAKU
MASYARAKAT BAHAU
Orang bahau sama saja sperti masyarakat dayak
laennya , Suku
dayak bahau sempat menjalani hidup berpindah-pindah dari hutan ke hutan. Mereka
bertahan hidup dengan bercocok tanam dan berburu hewan. Pola hidup ini mulai
ditinggalkan Suku Dayak Bahau Busang sejak abad ke-19. Mereka memilih menetap
di Kampung Long Pahangai. Perubahan pola hidup ini tidak serta merta
menghilangkan adat kebiasaan suku ini.dan selain itu kebiasaan juga .Berburu
babi dan ikan masih dijalani. Menjalankan kegiatan ini berarti juga harus
melaksanakan semua ritual dan norma yang melekat sebelumnya. Saat kaum pria
telah menemukan lokasi perburuan, yang pertama dilakukan ialah memohon izin
kepada roh leluhur. Mereka memohon agar terbebas dari petaka saat berburu.dan
mereka juga melarang kepada warga nya untuk .Mereka melarang menggunakan bom atau
racun ikan. Hanya senjata rakitan dengan anak panah yang diperbolehkan sebagai
alat berburu. Tak hanya ikan tembilang yang didapat kaum pria saat berburu. Hiu
Mahakam sering menjadi sasaran mata anak panah para pemburu Suku Dayak Bahau .Kesibukan
sehari-hari untuk mencari makan tidak membuat Suku Dayak Bahau tidak slalu lupa lupa bersyukur kepada Sang
Pencipta. Mereka beranggapan Amay
Tingai yang menjadi Tuhan mereka akan menjauhkannya dari berbagai
musibah. Salah satu upacara sebagai wujud syukur Bahau Busang adalah ritual Dangai. Selain ungkapan rasa syukur,
upacara ini untuk meneguhkan mereka dalam menjalani kehidupan.
Upacara
Dangai selalu diiringi tetabuhan musik tradisional. Bersamaan dengan suara
gendang bertalu-talu, sejumlah wanita dengan pakaian adat keluar satu per satu
dari sebuah rumah. Ini merupakan awal ditandainya ritual Dangai. Mereka
berjalan beriringan mengikuti irama musik untuk menggelar ritual tanah, prosesi
awal Dangai.Sedikit tanah sebagai simbol media yang telah memberi kesuburan dan kemakmuran, pohon berikut akarnya, dan potongan kecil papan lantai dikumpulkan. Bahan-bahan yang diambil dari suatu tempat yang dianggap suci itu lalu ditaruh di lamin besar. Selanjutnya para wanita itu mengitarinya 16 kali yang merupakan simbol kebersatuan alam.Prosesi selanjutnya adalah ritual di bawah atap janur. Ritual ini ditandai dengan pemanjatan doa dan mantera oleh para dayung atau pemuka agama yang semuanya perempuan untuk meminta izin pada roh leluhur agar Dangai berjalan lancar. Dua prosesi ini disebut dengan ngetalun. Pada upacara ini dominasi wanita begitu kental. Namun bukan berarti kaum pria tak berperan. Peran kaum adam Suku Dayak Bahau Busang mulai tampak saat mendirikan pondok lamin, bangunan kecil di depan lamin besar. Mereka bekerja sama membuat bangunan yang akan digunakan sebagai sentral ritual Dangai.
Setelah pondok lamin selesai dibangun, upacara tegerang lepau mulai digelar. Inti upacara Dangai ini dimulai dengan dipanjatkannya kembali mantera ke leluhur oleh pemuka adat. Selanjutnya warga menghadap dayung. Para ibu juga membawa anaknya kepada dayung yang tidak lain agar tunas-tunas Suku Dayak Bahau Busang dapat mengarungi hidup kelak.
Hari pertama Dangai ditandai penyembelihan anak babi dan anak ayam. Hati babi dipercaya mampu menangkap sinyal kehidupan yang akan dihadapi suku ini. Baik buruknya masa depan suku ini dapat dibaca dari warna hati babi yang dipotong. Bila hasilnya masa depan suku ini buruk, hati anak ayam akan ditempelkan pada hati babi sebagai upaya menangkal bencana yang akan muncul di kemudian hari.