Setiap
kebudayaan yang hidup dalam suatu masyarakat baik berwujud sebagai komunitas
desa, kota, sebagai kelompok kekerabatan, atau kelompok adat yang lain, bisa
menampilkan suatu corak khas terutama terlihat oleh orang diluar Negara warga
masyarakat yang bersangkutan. Seorang warga dari dari suatu kebudayaan yang
telah hidup dari hari ke hari didalam lingkungan kebudayaan bisasanya tidak
terlihat lagi corak khas itu. Sebaliknya
terhadap kebudayaan tetangganya, ia dapat melihat corak khasnya, terutama
mengenai unsur-unsur yang berbeda mencolok dengan kebudayaan sendiri.
Konsep
yang tercakup dalam istilah “suku bangsa” adalah suatu golongan manusia yang
terkait oleh kesadaran dan identitas akan kesatuan dan kebudayaan. Sedangkan
kesadaran dan identitas akan kalin(tetapi dan tidak selalu) dikuatkan oleh
kesatuan bahasa juga. Jadi, kesatuan kebudayaan bukan karena ada suatu hal luar
(misalnya ditentukan oleh seorang antropologi, ahli kebudayaan, atau lainnya,
metode-metode analisis ilmiah), melainkan warga kebudayaan yang bersangkutan
itu sendiri. Dengan demikian suku anak
dalam merupakan suatu kesatuan, bukan karena ada peneliti-peneliti yang secara
etnografis telah menemukan suku anak dalam itu suatu yang kebudayaan tersendiri
yang berbeda dari suku-suku lainnya.
Dalam kenyataannya konsep “suku
bangsa” diatas lebih kompleks daripada yang terurai diatas. Ini disebabkan
karena dalam kenyataannya, batas dari kesatuan manusia yang merasakana diri
terikat keseragamaan kebudayaan itu dapat meluas atau menyempit, tergantung
pada beberapa keadaan.
Mengenai
pemakaian suku bangsa sebaiknya selalu memakainya secara lengkap, dan agar
tidak hanya mempergunakan istilah singkatan “suku” saja. Pemakaian yang tepat,
misalnya suku bangsa jambi. Hal tersebut
diatas dimaksudkan karena istilah suku, baik dalam bahasa jambi maupun system
peristilahan etnografi dan ilmu hokum ada Indonesia, sudah mempunyai arti
tekhnis yang khas. Deskripsi mengenai
kebudayaan suatu suku bangsa biasanya merupakan isi dari sebuah karangan
etnografi. Namun Karena ada suku bangsa yang besar sekali, terdiri dari
berjuta-juta penduduk, maka ahli antropologi yang membuat sebuah karangan
etnografi sudah tentu tidak dapat mencangkup keseluruhan dari suku bangsa besar
itu dalam deskripsinya.
Selain
mengenai besar kecilnya jumlah penduduk dalam kesatuan masyarakat suatu bangsa,
seorang sarjana antropologi tentu juga menghadapi masalah perbedaan asas dan kompleksitas dari unsure kebudayaan yang
menjadi pokok penelitian ayau pokok deskripsi etnografi. Dalam hal itu para
sarjana antropologi sebaiknya membedakan kesatuan masyarakat suku-suku bangsa
didunia berdasarkan atas criteria masa pencaharian dan system ekonomi kedalam 6
macam : (a)masyarakat pemburu dan peramu (b) masyarakat peternak (c)
masyrakat berladang (d) masyarakat
nelayan )
Suku
Anak Dalam pada amasa lalu sering disebut Suku Kubu, namun sesungguhnya
mereka mereka tidak suka dengan penamaan tersebut, karena menurut pengertian
mereka, kubu berarti bodoh, malas, dan tertinggal. Konon, istilah suku kubu ini
berasal dari kubu pertahanan, karena dahulu nenek moyang mereka mendirikan kubu
pertahanan untuk melawan musuh. Namun dalam perkembangannya istilah “Kubu kau”
sering digunakan oleh sebagian masyarakat jambi untuk mengejek temannya yang
dianggap malas atau bodoh. Hal ini menyebabkan Suku Anak Dalam merasa
tersinggung dan marah jika disebut dengan nama Suku Kubu. Mereka menyebut
dirinya sebagai “Orang Rimbo”, Suku Anak Dalam atau Sanak. Sementara itu
sebutan untuk oaring diluar suku mereka adalah “orang Terang atau Orang Luar”.
Suku
anak dalam hidup berpindah-pindah dikawasan hutan. Merreka membentuk
kelompok-kelompok tersendiri. Setiap kelompok-kelompok mereka tersendiri.
Setiap kelompok terdiri atas 20-30an anggota. Kelompok masyarakat dalam itu
dapat dikatakan masih hidup dengan mengandalkan dan bergantung pada alam dengan
peralatan dan teknologi yang tergolong
sederhana. Mereka memahami lingkungan hidupnya secara mendalam, tahu dimana bilamana
dapat mencari makan dan mengolah sumber daya yang tersedia. Dan sebaliknya,
kapan harus memberhentikan kegiatan produksi. Semua itu berlangsung terus dalam
kehidupan masyarakat suku anak dalam, berdasarkan pengetahuan itu mereka
mengolah sumber daya sesuai keseimbangan dan kelestarian lingkungan.
Diprovinsi
Sumatra Selatan, suku anak dalam sering disebut “orang kubu” oleh masyarakat
setempat. Mereka hidup secara berkelompok dikawasan hutan dibeberapa
kabupaten., antara lain, kabupaten Musi Rawa s. lokasinya pembinaan suku anak
dalam yaitu : Kecamatan Tugumulyo (2unit, serta di Kecamatan rumpit, Rawa Ulu
dan Rawa ilir masing-masing 1 unit pemukiman. Walaupun tempat yang tersedia
cukup banyak, ternyata masih ada kelompok suku anak dalam lebih senang bermukim
dan tinggal dikawasan hutan, diantaranya : kawasan hutan di desa Semangus,
Kecamatan Muara Lakitan.”Masyarakat Asing”, tidak ada yang benar-benar terpisah
hubungannya dengan luar lingkungan kelompoknya, mereka hidup saling bersinambungan,
intensitas kontak dengan masyrakat luar suku bangsa untuk masing-masing
kelompok suku anak dalam tidaklah sama. Belum semua suku anak dalam mau
mengadakan kontak social dan berinteraksi dengan kelompok budaya pemukiman iasanya dilakukan pada saat-saat tertentu
saja. Seperti, menukar hasil produksi mereka dengan barang-barang kebutuhan
mereka, adanya komunikasi dengan masyarakat luar, mendorong mereka menerima
berbagai komunikasi dengan masyarakat luar, mendorong mereka menerima berbagai
pengalaman dan pengetahuan baru ke dalam
system pengetahuan yang sudah diwariskan secara turun-temurun. Salah satu
pengaruh yang didapatnya adalah
diperkirakan akan mengganggu kesinambungan hubungan penduduk dengan
lingkungan sekitarnya.