Kesenian & Kebudayaan
Keterampilan Mengolah
Lahan Pasang Surut
Salah
satu keahlian orang Banjar adalah mengolah lahan pasang surut menjadi kawasan
budi daya pertanian dan permukiman. Kota Banjarmasin didirikan di atas lahan pasang surut.
Rumah Banjar
Rumah
Banjar adalah rumah tradisional suku Banjar. Arsitektur
tradisional ciri-cirinya antara lain mempunyai perlambang, mempunyai penekanan
pada atap, ornamental, dekoratif dan simetris. Rumah tradisonal Banjar adalah
tipe-tipe rumah khas Banjar dengan gaya dan ukirannya sendiri mulai berkembang
sebelum tahun 1871 sampai tahun 1935. Dari sekian banyak
jenis-jenis rumah Banjar, tipe Bubungan Tinggi merupakan jenis rumah Banjar yang paling dikenal dan
menjadi identitas rumah adat suku
Banjar.
Tradisi lisan
Tradisi
lisan oleh Suku Banjar sangat dipengaruhi oleh budaya Melayu, Arab,
dan Cina. Tradisi lisan Banjar (yang kemudian hari menjadi
sebuah kesenian) berkembang sekitar abad ke-18 yang di antaranya adalah Madihin dan Lamut. Madihin berasal dari bahasa Arab, yakni madah yang artinya pujian. Madihin
merupakan puisi rakyat anonim bertipe hiburan yang dilisankan atau dituliskan
dalam bahasa Banjar dengan bentuk fisik dan bentuk mental tertentu sesuai
dengan konvensi yang berlaku secara khusus dalam khasanah folklor Banjar
di Kalsel. Sedangkan Lamut adalah sebuah
tradisi berkisah yang berisi cerita tentang pesan dan nilai-nilai keagamaan,
sosial dan budaya Banjar. Lamut berasal dari negeri Cina dan mulanya
menggunakan bahasa Tionghoa. Namun, setelah dibawa ke Tanah Banjar oleh pedagang-pedagang Cina, maka bahasanya
disesuaikan menjadi bahasa Banjar.
Teater
Satu-satunya
seni teater tradisional yang berkembang di pulau Kalimantan adalah Mamanda. Mamanda adalah seni teater atau pementasan
tradisional yang berasal dari Kalimantan
Selatan. Dibanding dengan seni
pementasan yang lain, Mamanda lebih mirip dengan Lenong dari segi hubungan
yang terjalin antara pemain dengan penonton. Interaksi ini membuat penonton
menjadi aktif menyampaikan komentar-komentar lucu yang disinyalir dapat membuat
suasana jadi lebih hidup.
Bedanya, Kesenian
lenong kini lebih mengikuti zaman ketimbang Mamanda yang monoton pada alur
cerita kerajaan. Sebab pada kesenian Mamanda tokoh-tokoh yang dimainkan adalah
tokoh baku seperti Raja, Perdana Menteri, Mangkubumi, Wazir, Panglima Perang,
Harapan Pertama, Harapan kedua, Khadam (Badut/ajudan), Permaisuri dan Sandut
(Putri).
Tokoh-tokoh ini wajib
ada dalam setiap Pementasan. Agar tidak ketinggalan, tokoh-tokoh Mamanda sering
pula ditambah dengan tokoh-tokoh lain seperti Raja dari Negeri Seberang,
Perompak, Jin, Kompeni dan tokoh-tokoh tambahan lain guna memperkaya cerita.
Musik
Salah
satu kesenian berupa musik tradisional khas Suku Banjar adalah Musik Panting. Musik ini disebut Panting karena didominasi oleh
alat musik yang dinamakan panting, sejenis gambus yang memakai senar (panting)
maka disebut musik panting. Pada awalnya musik panting berasal dari daerah
Tapin, Kalimantan Selatan. Panting merupakan alat musik yang dipetik yang
berbentuk seperti gabus Arab tetapi ukurannya lebih kecil. Pada waktu dulu
musik panting hanya dimainkan secara perorangan atau secara solo. Karena
semakin majunya perkembangan zaman dan musik panting akan lebih menarik jika
dimainkan dengan beberapa alat musik lainnya, maka musik panting sekarang ini
dimainkan dengan alat-alat musik seperti babun, gong,dan biola dan pemainnya
juga terdiri dari beberapa orang. Nama musik panting berasal dari nama alat
musik itu sendiri, karena pada musik panting yang terkenal alat musik nya dan
yang sangat berperan adalah panting, sehingga musik tersebut dinamai musik
panting. Orang yang pertama kali memberi nama sebagai musik panting adalah A.
Sarbaini. Dan sampai sekarang ini musik panting terkenal sebagai musik
tradisional yang berasal dari Kalimantan Selatan.
Selain
itu, ada sebuah kesenian musik tradisional Suku Banjar, yakni Musik Kentung. Musik ini berasal dari daerah Kabupaten Banjar yaitu di desa Sungai Alat, Astambul dan kampung Bincau, Martapura. Pada masa sekarang,
musik kentung ini sudah mulai langka. Masa dahulu alat musik ini
dipertandingkan. Dalam pertandingan ini bukan saja pada bunyinya, tetapi juga
hal-hal yang bersifat magis, seperti kalau dalam pertandingan itu alat musik
ini bisa pecah atau tidak dapat berbunyi dari kepunyaan lawan bertanding.
Tarian
Seni
Tari Banjar terbagi menjadi dua, yaitu seni tari yang dikembangkan di
lingkungan istana (kraton), dan seni tari yang dikembangkan oleh rakyat. Seni
tari kraton ditandai dengan nama "Baksa" yang berasal dari bahasa
Jawa (beksan) yang menandakan kehalusan gerak dalam tata tarinya. Tari-tari ini
telah ada dari ratusan tahun yang lalu, semenjak zaman hindu, namun gerakan dan
busananya telah disesuaikan dengan situasi dan kondisi dewasa ini. Contohnya,
gerakan-gerakan tertentu yang dianggap tidak sesuai dengan adab islam mengalami
sedikit perubahan.
Kuliner
Masakan
tradisional Banjar diantaranya: sate Banjar, soto Banjar, kue bingka dan
lain-lain.
Senjata Tradisional
Berdasarkan
hasil wawancara langsung dengan orang yang pernah memakainya, senjata
tradisional suku banjar yang biasa digunakan dalam kehidupan sehari-hari antara
lain :
- 1. Serapang
Serapang
adalah tombak bermata lima mata dimana empat mata mekar seperti cakar elang
dengan bait pengait di tiap ujungnya. Satu mata lagi berada di tengah tanpa
bait, yang disebut “besi lapar” yang di percaya dapat merobohkan orang yang memiliki
ilmu kebal sekuat apappun.
- 2. Tiruk
Tiruk
adalah tombak panjang lurus tanpa bait digunakan untuk berburu ikan haruan
(ikan gabus) dan toman di sungai.
- 3. Pangambangan
Pangambangan
adalah tombak lurus bermata satu dengan bait di kedua sisinya.
- 4. Duha
Duha
adalah pisau bermata dua yang sering digunakan untuk berburu babi.
Rumah Adat Banjar di Kalteng dan Kaltim
Rumah Baanjung tipe Balai
Bini di
Kecamatan Kumai, Kotawaringin Barat, Kalimantan
Tengah. Kemudian
bentuk bangunan rumah ba-anjung ini tidak saja menyebar di daerah Kalimantan
Selatan, tetapi juga menyebar sampai-sampai ke daerah Kalimantan Tengah dan
Kalimantan Timur.
Sekalipun bentuk rumah-rumah yang ditemui di daerah
Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur memiliki ukuran yang sedikit berbeda
dengan rumah Ba-anjung di daerah Banjar, namun bentuk bangunan pokok merupakan
ciri khas bangunan rumah adat Banjar tetap kelihatan. Di Kalimantan Tengah
bentuk rumah ba-anjung ini dapat dijumpai di daerah Kotawaringin Barat, yaitu di Pangkalan Bun, Kotawaringin Lama
dan Kumai.
Menyebarnya bentuk rumah adat Banjar ke daerah Kotawaringin
ialah melalui berdirinya Kerajaan Kotawaringin yang merupakan pemecahan dari wilayah
Kerajaan Banjar ketika diperintah oleh Sultan
Musta’inbillah. Sultan
Musta’inbillah memerintah sejak tahun 1650 sampai 1672, kemudian ia digantikan oleh Sultan Inayatullah. Kerajaan Kotawaringin yang merupakan pemecahan wilayah
Kerajaan Banjar tersebut diperintah oleh Pangeran Dipati Anta Kesuma sebagai
sultannya yang pertama.
Menyebarnya bentuk rumah adat Banjar sampai ke daerah Kalimantan Timur disebabkan oleh banyaknya penduduk
daerah Banjar yang merantau ke daerah ini, yang kemudian mendirikan tempat
tinggalnya dengan bentuk bangunan rumah ba-anjung sebagaimana bentuk rumah di tempat asal mereka. Demikianlah pada akhirnya bangunan
rumah adat Banjar atau rumah adat ba-anjung ini menyebar kemana-mana, tidak
saja di daerah Kalimantan Selatan, tetapi juga di daerah Kalimantan Tengah
dan Kalimantan Timur.
Kondisi Rumah Adat Banjar
Rumah Bubungan Tinggi dan Masjid bergaya tradisional
Banjar di Distrik
Negara.
Akan tetapi sekarang dapat dikatakan bahwa rumah
ba-anjung atau rumah Bubungan Tinggi yang merupakan arsitektur klasik Banjar itu tidak banyak dibuat lagi. Sejak
tahun 1930-an
orang-orang Banjar hampir tidak pernah lagi membangun rumah tempat tinggal
mereka dengan bentuk rumah ba-anjung. Masalah biaya pembangunan rumah dan masalah areal tanah serta masalah mode nampaknya telah menjadi pertimbangan
yang membuat para penduduk tidak mau membangun lagi rumah-rumah mereka dengan bentuk
rumah ba-anjung.
Banyak rumah ba-anjung yang dibangun pada tahun-tahun
sebelumnya sekarang dirombak dan diganti dengan bangunan-bangunan bercorak modern sesuai
selera zaman.Tidak
jarang dijumpai di Kalimantan Selatan si pemilik rumah ba-anjung justru tinggal
di rumah baru yang (didirikan kemudian) bentuknya sudah mengikuti mode
sekarang. Apabila sekarang ini di daerah Kalimantan Selatan ada rumah-rumah
penduduk yang memiliki gaya rumah adat ba-anjung, maka dapatlah dipastikan
bangunan tersebut didirikan jauh sebelum tahun 1930.
Untuk daerah Kalimantan Selatan masih dapat dijumpai
beberapa rumah adat Banjar yang sudah sangat tua umurnya seperti di Desa Sungai
Jingah, Kampung Melayu Laut di Melayu,
Banjarmasin Tengah, Banjarmasin, Desa Teluk Selong Ulu, Maratapura, Banjar, Desa Dalam Pagar),
Desa Tibung, Desa
Gambah (Kandangan), Desa Birayang (Barabai), dan
di Negara. Masing-masing rumah adat tersebut
sudah dalam kondisi yang amat memprihatinkan, banyak
bagian-bagian rumah tersebut yang sudah rusak sama sekali.
Pemerintah sudah mengusahakan subsidi buat
perawatan bangunan-bangunan tersebut. Namun tidak jarang anggota keluarga
pemilik rumah menolak subsidi tersebut karena alasan-alasan tertentu , seperti
malu atau gengsi. Karena merasa dianggap tidak mampu merawat rumahnya sendiri.
Bagaimanapun keadaan rumah-rumah tersebut, dari sisa-sisa
yang masih bisa dijumpai dapat dibayangkan bagaimana artistiknya bangunan
tersebut yang penuh dengan berbagai ornamen menarik.
Rumah Banjar yang lapuk dimakan zaman
Bagian dan Konstruksi Rumah Tradisonal Banjar
Pondasi, Tiang dan Tongkat
Keadaan alam yang berawa-rawa di tepi sungai sebagai
tempat awal tumbuhnya rumah tradisional
Banjar, menghendaki bangunan dengan lantai yang tinggi. Pondasi, tiang dan
tongkat dalam hal ini sangat berperan. Pondasi sebagai konstruksi paling dasar,
biasanya menggunakan kayu Kapur Naga atau kayu Galam. Tiang dan tongkat menggunakan kayu ulin, dengan jumlah mencapai 60 batang untuk tiang dan 120 batang untuk tongkat.
Kerangka
Kerangka rumah ini biasanya menggunakan ukuran
tradisional depa atau tapak kaki dengan ukuran ganjil yang dipercayai
punya nilai magis / sakral. Bagian-bagian rangka tersebut
adalah :
- susuk dibuat dari kayu Ulin.
- Gelagar dibuat dari kayu Ulin, Belangiran, Damar Putih.
- Lantai dari papan Ulin setebal 3 cm.
- Watun Barasuk dari balokan Ulin.
- Turus Tawing dari kayu Damar.
- Rangka pintu dan jendela dari papan dan balokan Ulin.
- Balabad dari balokan kayu Damar Putih. Mbr>
- Titian Tikus dari balokan kayu Damar Putih.
- Bujuran Sampiran dan Gorden dari balokan Ulin atau Damar Putih.
- Tiang Orong Orong dan Sangga Ributnya serta Tulang Bubungan dari balokan kayu Ulin, kayu Lanan, dan Damar Putih.
- Kasau dari balokan Ulin atau Damar Putih.
- Riing dari bilah-bilah kayu Damar putih.
Lantai
Di samping lantai biasa, terdapat pula lantai yang
disebut dengan Lantai Jarang atau Lantai Ranggang. Lantai Ranggang
ini biasanya terdapat di Surambi Muka, Anjung Jurai dan Ruang Padu, yang
merupakan tempat pembasuhan atau pambanyuan. Sedangkan yang di Anjung Jurai untuk
tempat melahirkan dan memandikan jenazah.
Biasanya bahan yang digunakan untuk lantai adalah papan ulin selebar 20 cm, dan untuk Lantai Ranggang dari papan Ulin selebar 10 cm.
Dinding
Dindingnya terdiri dari papan yang dipasang dengan posisi berdiri,
sehingga di samping tiang juga diperlukan Turus Tawing dan Balabad untuk menempelkannya. Bahannya dari
papan Ulin sebagai dinding muka. Pada bagian samping dan belakang serta dinding
Tawing Halat menggunakan kayu Ulin atau Lanan. Pada bagian Anjung Kiwa, Anjung
Kanan, Anjung Jurai dan Ruang Padu, kadang-kadang dindingnya menggunakan Palupuh.
Atap
Atap bangunan biasanya menjadi ciri yang paling menonjol dari suatu
bangunan. Karena itu bangunan ini disebut Rumah Bubungan Tinggi. Bahan atapnya
terbuat dari sirap dengan bahan kayu Ulin atau atap rumbia.
Ornamentasi (Ukiran)
Penampilan rumah tradisional Bubungan Tinggi juga
ditunjang oleh bentuk-bentuk ornamen berupa ukiran. Penempatan ukiran tersebut biasanya
terdapat pada bagian yang konstruktif seperti tiang, tataban, pilis, dan tangga. Sebagaimana pada
kesenian yang berkembang dibawah pengaruh Islam, motif yang digambarkan adalah motif floral (daun dan bunga). Motif-motif
binatang seperti pada ujung pilis yang menggambarkan burung enggang dan
naga juga distilir dengan motif floral. Di samping itu juga terdapat ukiran
bentuk kaligrafi.
Kaligrafi Arab merupakan ragam hias yang muncul belakangan yang memperkaya
ragam hias suku Banjar.
Filosofi Rumah Adat Banjar
Pemisahan jenis dan bentuk rumah Banjar sesuai dengan
filsafat dan religi yang bersumber pada kepercayaan Kaharingan pada
suku Dayak bahwa alam semesta
yang terbagi menjadi 2 bagian, yaitu alam atas dan alam bawah.Rumah Bubungan Tinggi merupakan lambang mikrokosmos dalam makrokosmos yang besar.Penghuni seakan-akan
tinggal di bagian dunia tengah yang diapit oleh dunia atas dan dunia
bawah. Di rumah mereka hidup dalam keluarga besar, sedang kesatuan dari dunia atas dan dunia bawah
melambangkan Mahatala dan Jata (suami dan isteri).
Dwitunggal Semesta
Pada peradaban agraris, rumah dianggap keramat karena
dianggap sebagai tempat bersemayam secara ghaib oleh para dewata seperti pada
rumah Balai suku Dayak Bukit
yang berfungsi sebagai rumah ritual. Pada masa Kerajaan Negara Dipa sosok nenek moyang diwujudkan dalam
bentuk patung pria dan wanita yang disembah dan ditempatkan dalam istana. Pemujaan
arwah nenek moyang yang berwujud pemujaan Maharaja
Suryanata dan Puteri Junjung Buih merupakan simbol perkawinan
(persatuan) alam atas dan alam bawah Kosmogoni Kaharingan-Hindu. Suryanata
(surya= matahari; nata= raja) sebagai manifestasi dewa Matahari dari unsur
kepercayaan Kaharingan-Hindu, matahari yang menjadi orientasi karena terbit
dari ufuk timur (orient) selalu dinantikan kehadirannya sebagai sumber
kehidupan, sedangkan Puteri Junjung Buih berupa lambang air, sekaligus lambang
kesuburan tanah berfungsi sebagai Dewi Sri di Jawa. Pada masa
tumbuhnya kerajaan Hindu, istana raja merupakan citra kekuasaan bahkan dianggap
ungkapan berkat dewata sebagai pengejawantahan lambang Kosmos Makro ke dalam
Kosmos Mikro. Puteri Junjung Buih sebagai perlambang "dunia bawah"
sedangkan Pangeran Suryanata perlambang "dunia atas". Pada arsitektur
Rumah Bubungan Tinggi pengaruh unsur-unsur tersebut masih dapat ditemukan.
Bentuk ukiran naga yang
tersamar/didestilir (bananagaan) melambangkan "alam bawah"
sedangkan ukiran burung enggang gading
melambangkan "alam atas".
Pohon Hayat
Wujud bentuk rumah Banjar Bubungan Tinggi dengan atapnya
yang menjulang ke atas merupakan citra dasar dari sebuah "pohon
hayat" yang merupakan lambang kosmis. Pohon Hayat merupakan pencerminan
dimensi-dimensi dari satu kesatuan semesta. Ukiran tumbuh-tumbuhan yang subur
pada Tawing Halat (Seketeng) merupakan perwujudan filosofi "pohon
kehidupan" yang oleh orang Dayak disebut Batang Garing dalam kepercayaan Kaharingan yang
pernah dahulu berkembang dalam kehidupan masyarakat Kalimantan Selatan pada
periode sebelumnya.
Payung
Wujud bentuk rumah Banjar Bubungan Tinggi dengan atapnya
yang menjulang ke atas merupakan sebuah citra dasar sebuah payung yang
menunjukkan suatu orientasi kekuasaan ke atas. Payung juga menjadi perlambang
kebangsawanan yang biasa menggunakan "payung kuning" sebagai
perangkat kerajaan. Payung kuning sebagai tanda-tanda kemartabatan kerajaan
Banjar diberikan kepada para pejabat kerajaan di suatu daerah.
Simetris
Wujud bentuk rumah Banjar Bubungan Tinggi yang simetris,
terlihat pada bentuk sayap bangunan atau anjung yang terdiri atas Anjung Kanan
dan Anjung Kiwa. Hal ini berkaitan dengan filosofi simetris (seimbang) dalam
pemerintahan Kerajaan Banjar, raja sebagai kepala negara dibantu oleh
mangkubumi sebagai kepala pemerintahan, sedangkan mangkubumi dibantu oleh dua
orang asisten yaitu Mantri Panganan (Asisten Kanan) dan Mantri Pangiwa (Asisten
Kiri). Mangkubumi juga membawahi 2 kelompok menteri utama yang terdiri 4 orang
menteri (Mantri Ampat= menteri berempat) yang bergelar Patih dan 4
menteri lainnya yang bergelar Sang, sehingga terdapat 8 menteri utama
(menteri berdelapan), dimana setisp menteri tersebut memiliki pasukan
masing-masing. Konsep simetris ini tercermin pada rumah bubungan tinggi.
Kepala-Badan-Kaki
Bentuk rumah Bubungan Tinggi diibaratkan tubuh manusia
terbagi menjadi 3 bagian secara vertikal yaitu kepala, badan dan kaki.
Sedangkan anjung diibaratkan sebagai tangan kanan dan tangan kiri yaitu anjung
kanan dan anjung kiwa (kiri).
Tata Nilai Ruang
Pada rumah Banjar Bubungan Tinggi (istana) terdapat ruang
Semi Publik yaitu Serambi atau surambi yang berjenjang letaknya secara
kronologis terdiri dari surambi muka, surambi sambutan, dan terakhir surambi
Pamedangan sebelum memasuki pintu utama (Lawang Hadapan) pada dinding depan
(Tawing Hadapan ) yang diukir dengan indah. Setelah memasuki Pintu utama akan
memasuki ruang Semi Private. Pengunjung kembali menapaki lantai yang berjenjang
terdiri dari Panampik Kacil di bawah, Panampik Tangah di tengah dan Panampik
Basar di atas pada depan Tawing Halat atau "dinding tengah" yang
menunjukkan adanya tata nilai ruang yang hierarkis. Ruang Panampik Kecil tempat
bagi anak-anak, ruang Panampik Tangah sebagai tempat orang-orang biasa atau
para pemuda dan yang paling utama adalah ruang Panampik Basar yang
diperuntukkan untuk tokoh-tokoh masyarakat, hanya orang yang berpengetahuan
luas dan terpandang saja yang berani duduk di area tersebut. Hal ini
menunjukkan adanya suatu tatakrama sekaligus mencerminkan adanya
pelapisan sosial masyarakat Banjar tempo dulu yang terdiri dari lapisan atas
adalah golongan berdarah biru disebut Tutus Raja (bangsawan) dan lapisan bawah
adalah golongan Jaba (rakyat) serta di antara keduanya adalah golongan rakyat
biasa yang telah mendapatkan jabatan-jabatan dalam Kerajaan beserta kaum
hartawan.
Tawing Halat/Seketeng
Ruang dalam rumah Banjar Bubungan Tinggi terbagi menjadi
ruang yang bersifat private dan semi private. Di antara ruang Panampik Basar yang bersifat semi private dengan
ruang Palidangan yang bersifat private dipisahkan oleh Tawing Halat
artinya "dinding pemisah", kalau di daerah Jawa
disebut Seketeng. Jika ada selamatan maupun menyampir (nanggap) Wayang Kulit Banjar maka pada Tawing Halat ini bagian
tengahnya dapat dibuka sehingga seolah-olah suatu garis pemisah transparan
antara dua dunia (luar dan dalam) menjadi terbuka. Ketika dilaksanakan
"wayang sampir" maka Tawing Halat yang menjadi pembatas antara
"dalam" (Palidangan) dan luar (Paluaran/Panampik Basar) menjadi
terbuka. Raja dan keluarganya serta dalang berada pada area "dalam"
menyaksikan anak wayang dalam wujud aslinya sedangkan para penonton berada di
area "luar" menyaksikan wayang dalam bentuk bayang-bayang.
Denah Cacak Burung
Denah Rumah Banjar Bubungan Tinggi berbentuk "tanda
tambah" yang merupakan perpotongan dari poros-poros bangunan yaitu dari
arah muka ke belakang dan dari arah kanan ke kiri yang membentuk pola denah Cacak Burung
yang sakral. Di tengah-tengahnya tepat berada di bawah konstruksi rangka Sangga Ribut di bawah atap Bubungan Tinggi
adalah Ruang Palidangan yang merupakan titik perpotongan poros-poros tersebut.
Secara kosmologis maka disinilah bagian paling utama dari Rumah Banjar Bubungan
Tinggi. Begitu pentingnya bagian ini cukup diwakili dengan penampilan Tawing
Halat (dinding tengah) yang penuh ukiran-ukiran (Pohon Hayat) yang subur
makmur. Tawing Halat menjadi fokus perhatian dan menjadi area yang terhormat.
Tawang Halat melindungi area "dalam" yang merupakan titik pusat
bangunan yaitu ruang Palidangan (Panampik Panangah).
Kerajinan Tangan
Maysayrakat suku Banjar kaya akan khazanah seni
dan budaya. Mereka sangat menyukai keindahan, tidak heran jika masyarakat yang
tersebar di Kalsel ini memiliki beragam karya seni yang bersifat tradisional.
Salah satu jenis seni yang berkembang dalam masyarakat
Banjar adalah seni menganyam. Seni membuat sesuatu dengan cara dianyam ini,
juga termasuk dalam kategori kerajinan rumah tangga. Seni menganyam ini
berkembang dari dalam lingkup keluarga.
Bukan hanya itu. Biasanya hasil seni berbentuk anyaman ini diterapkan untuk berbagai perabot rumah tangga dan keperluan masyarakat Banjar lainnya.
Bukan hanya itu. Biasanya hasil seni berbentuk anyaman ini diterapkan untuk berbagai perabot rumah tangga dan keperluan masyarakat Banjar lainnya.
Ada banyak bahan baku yang bisa dijadikan sebuah produk
rumah tangga. Namun umumnya yang digunakan dalam masyarakat Banjar adalah bahan
yang berasal dari tumbuh-tumbuhan, seperti rotan, purun, daun nipah, jangang
dan lain sebagainya. Produk rumah tangga yang dihasilkan dari beragam bahan
tersebut antara lain berupa tikar yang bisa terbuat dari rotan dan juga purun,
bakul purun, topi purun, atap rumah dari nipah, kopiah yang terbuat dari akar
jangang, dan masih banyak lagi.
Bahkan seiring dengan perkembangan zaman dan juga
meningkatnya kreativitas pelaku seni menganyam ini, karya yang mereka hasilkan
pun kini semakin beragam. Misalnya ada beberapa pengrajin membuat tas, sendal,
tempat sampah dan lain sebagainya yang terbuat dari eceng gondok. Namun dari
beragam jenis produk yang dihasilkan dari seni menganyam ini juga ada
dihasilkan di berbagai daerah lainnya di Indonesia.
Untuk produk tertentu, seperti tikar, masyarakat Banjar
memiliki motif khas pada hasil anyamannya. Tikar khas Banjar biasanya memiliki
motif capak catur, saluang mudik, dan ramak sahang. Hal lain yang menjadi ciri
khas hasil anyaman masyakat Banjar, biasanya pada bagian akhir anyaman dijahit
dengan benang agar anyamannya kuat dan tidak terbuka.
Untuk tikar purun, sentra pembuatannya ditempat yang
banyak ditumbuhi tanaman purun, yakni Batola. Ada juga seni menganyam yang
sentra pembuatannya ada di Banjarmasin, salah satunya di Sungai Baru, yaitu
tempat pembuatan urung ketupat. Meski sekarang zaman serba modern dan segala
produk rumah tangga banyak dihasilkan dengan mesin industri, namun ada beberapa
kelebihan pada produk yang dibuat dari tangan ini.
Salah satu kelebihannya, tentunya mempunyai nilai seni dan
artistik yang tinggi, lebih rapi, ramah lingkungan dan juga tidak semua mesin
bisa mengerjakannya. Namun mutu serta kualitas hasil anyaman, tentunya
tergantung dari kreativitas pembuatnya, seperti yang disampaikan oleh salah
seorang Budayawan
Kalsel, Drs H Syamsiar Seman.