Kesenian
Kesenian Suku using sangat unik dan banyak mengandung
unsur mistik seperti kerabatnya suku bali dan suku tengger. Kesenian utamanya
antara lain Gandrung, Patrol, Seblang, Angklung, Tari Barong dan Jedor.Gamelan Banyuwangi khususnya yang dipakai dalam tari Gandrung
memiliki kekhasan dengan adanya kedua biola, yang salah satunya dijadikan
sebagai pantus atau pemimpin lagu. Menurut sejarahnya, pada sekitar abad ke-19,
seorang Eropa menyaksikan pertunjukan Seblang (atau Gandrung) yang diiringi
dengan suling. Kemudian orang tersebut mencoba menyelaraskannya dengan biola
yang dia bawa waktu itu, pada saat dia mainkan lagu-lagu Seblang tadi dengan
biola, orang-orang sekitar terpesona dengan irama menyayat yang dihasilkan
biola tersebut.
Sejak itu, biola mulai menggeser
suling karena dapat menghasilkan nada-nada tinggi yang tidak mungkin
dikeluarkan oleh suling.
Selain itu, gamelan ini juga
menggunakan “kluncing” (triangle), yakni alat musik berbentuk segitiga yang
dibuat dari kawat besi tebal, dan dibunyikan dengan alat pemukul dari bahan
yang sama.Kemudian terdapat “kendhang” yang jumlahnya bisa satu atau dua.
Kendhang yang dipakai di Banyuwangi hampir serupa dengan kendhang yang dipakai
dalam gamelan Sunda maupun Bali. Fungsinya adalah menjadi komando dalam musik, dan
sekaligus memberi efek musical di semua sisi.Alat berikutnya adalah “kethuk”.
Terbuat dari besi, berjumlah dua buah dan dibuat berbeda ukuran sesuai dengan
larasannya. “Kethuk estri” (feminine) adalah yang besar, atau dalam gamelan
Jawa disebut Slendro. Sedangkan “kethuk jaler” (maskulin) dilaras lebih tinggi
satu kempyung (kwint). Fungsi kethuk disini bukan sekedar sebagai instrumen
‘penguat atau penjaga irama’ seperti halnya pada gamelan Jawa, namun tergabung
dengan kluncing untuk mengikuti pola tabuhan kendang.
Sedangkan “kempul” atau gong,
dalam gamelan Banyuwangi (khususnya Gandrung) hanya terdiri dari satu instrumen
gong besi. Kadang juga diselingi dengan “saron bali” dan “angklung”.Selain
Gamelan untuk Gandrung ini, gamelan yang dipakai untuk pertunjukan Angklung
Caruk agar berbeda dengan Gandrung, karena ada tambahan angklung bambu yang
dilaras sesuai tinggi nadanya. Untuk patrol, semua alat musiknya terbuat dari
bambu. Bahkan untuk pertunjukan Janger, digunakan gamelan Bali, dan Rengganis
gamelan Jawa lengkap. Sedang khusus kesenian Hadrah Kunthulan, digunakan
rebana, beduk, kendhang, biola dan kadang bonang (atau dalam gamelan Bali
disebut Reong).
Modernisasipun tidak terelakkan
dalam seni musik Banyuwangi, muncul berbagai varian musik yang merupakan paduan
tradisional dan modern, seperti Kunthulan Kreasi, Gandrung Kreasi, Kendhang
Kempul Kreasi dan Janger Campursari yang memasukkan unsure elekton kedalam
musiknya, dan menjadi kesenian popular di kalangan masyarakat. Namun demikian,
sebagian pakar kebudayaan mengkhawatirkan seni kreasi ini akan menggeser
kesenian klasik yang sudah berkembang selama berratus-ratus tahun.
Kesenian Suku Using sangat unik
dan banyak mengandung unsur mistik seperti kerabatnya suku bali dan suku tengger.
Kesenian utamanya antara lain Gandrung, Patrol, Seblang, Angklung, Tari Barong,
Kuntulan, Kendang Kempul, Janger, Jaranan, Jaran Kincak, Angklung Caruk dan Jedor.
Suku Osing banyak memiliki
kesenian yang unik dan sarat akan magis. Kesenian suku Osing adalah kesenian
yang memiliki keaneragaman corak budaya, sebab dalam keseniannya suku Osing
banyak dipengaruhi oleh Bali, akan tetapi corak keseniannya juga dipengaruhi
oleh Madura dan Eropa. Kesenian suku Osing diantaranya adalah :
1. Tarian yaitu tari gandrung
door, tari jejer dawuh, tari jejer gandrung, tari sumber wangi, tari padang
wulan, tari jaran goyang, tari kunthulan, tari barong, tari seblang, tari jengger,
tari jaran kecak.
2. Lagu daerah yaitu padang wulan, jejer gandrung, jaran ucul.
3. Seni musik dan instrumen musik yaitu angklung caruk, angklung paglak, karawitan, selentem, peking, gong, ketuk, kluncing, biola, sason, saron, gamelan Osing.
2. Lagu daerah yaitu padang wulan, jejer gandrung, jaran ucul.
3. Seni musik dan instrumen musik yaitu angklung caruk, angklung paglak, karawitan, selentem, peking, gong, ketuk, kluncing, biola, sason, saron, gamelan Osing.
SENI BUDAYA BANYUWANGI
1. KEBO-KEBOAN
1. KEBO-KEBOAN
Ritual kebo-keboan digelar
setahun sekali pada bulan Muharam atau Suro (penanggalan Jawa). Bulan ini
diyakini memiliki kekuatan magis. Konon, ritual ini muncul sejak abad ke-18. Di
Banyuwangi, kebo-keboan dilestarikan di dua tempat yakni di Desa Alasmalang,
Kecamatan Singojuruh, dan Desa Aliyan, Kecamatan Rogojampi.
Munculnya ritual kebo-keboan di
Alasmalang berawal terjadinya musibah pagebluk ( epidemi – red ). Kala itu,
seluruh warga diserang penyakit. Hama juga menyerang tanaman. Banyak warga
kelaparan dan mati akibat penyakit misterius. Dalam kondisi genting itu,
sesepuh desa yang bernama Mbah Karti melakukan meditasi di bukit. Selama
meditasi, tokoh yang disegani ini mendapatkan wangsit. Isinya, warga disuruh
menggelar ritual kebo-keboan dan mengagungkan Dewi Sri atau yang dipercainya
sebagai simbol kemakmuran.
Keajaiban muncul ketika warga
menggelar ritual kebo-keboan. Warga yang sakit mendadak sembuh. Hama yang
menyerang tanaman padi sirna. Sejak itu, ritual kebo-keboan dilestarikan.
Mereka takut terkena musibah jika tidak melaksanakannya.
Persiapan Upacara
Ritual yang meminta berkah
keselamatan sebelum memulai musim tanam padi itu dimulai berbagai persiapan
seperti memasang pintu gerbang terbuat dari hasil bumi, hingga menanam segala
jenis pohon di tengah jalan. Tanaman inilah yang akan dilewati kerbau
jadi-jadian. Pohon ditanam di sepanjang jalan menuju empat arah mata angin yang
mengelilingi desa.
Bermacam tanaman hasil bumi
menghiasai di tiap jalan kampung, sebagai simbol ungkapan syukur kepada
penguasa alam Untuk mendapat kesan suasana persawahan, jalan desa pun dialiri
air yang berasal dari sungai setempat. 12 tumpeng, simbol waktu perputaran
kehidupan manusia yang disajikan dinikmati bersama-sama.
Berbagai pernik ornamen hiasan
sudah terpajang, umbul-umbul, killing (baling-baling kicir angin), paglak
(dangau tinggi di tengah sawah) terlihat megah di hamparan sawah dengan latar
belakang Pegunungan Raung, Ijen, dan Gunung Merapi. Semua warga desa sudah
siap dengan kue tradisional serta sesaji untuk upacara ritual. Hampir semua
orang tampak anggun dengan busana adatnya.
Warga menyambut ritual ini mirip
perayaan hari raya. Hari pelaksanaan upacara dihitung menggunakan kalender Jawa
kuno. Biasanya kepastian itu diputuskan para sesepuh adat. Pada hari
pelaksanaan, seluruh warga membuat tumpeng ayam.
Sesajen ini dimasak secara
tradisional khas suku Using, yakni pecel ayam, daging ayam dibakar dan dicampur
urap kelapa muda.
Menjelang siang hari, warga berkumpul
di depan rumah masing-masing. Beberapa orang bergerombol di pusat desa bersama
para pejabat dan undangan. Dipimpin sesepuh adat, warga berdoa menggunakan
bahasa Using kuno. Usai berdoa, warga berebut menyantap tumpeng yang diyakini
mampu memberikan berkah keselamatan.
Ritual Ider Bumi
Usai pesta tumpeng, ritual
Kebo-Keboan ini diawali dengan visualisasi Dewi Sri ( Dewi Padi ) yang ditandu
oleh beberapa pengawal dengan pakaian khas. Puluhan laki-laki bertubuh kekar
dengan dandanan dan bertingkah aneh seperti kerbau ( sekujur tubuh mereka
dilumuri arang plus rambut palsu warna hitam beserta tanduk, tidak lupa lonceng
kayu berwarna hitam tergantung di leher layaknya kerbau ) dan dihalau oleh para
petani yang membawa hasil panennya. Prosesi ini disebut sebagai ider
bumi ( prosesi mengelilingi kampung dari hilir hingga ke hulu
kampung ). Namun sebelumnya, pawang kerbau memberikan tapung tawar agar tidak
terjadi hal yang tidak diinginkan pada sikerbau jadi-jadian itu. Puluhan
manusia kerbau diarak keliling kampung. Layaknya kerbau, mereka berlari
dikendalikan seorang petani. Bau kemenyan dan bunga merebak. Sebelum keliling
kampung, seluruh manusia kerbau dikumpulkan dan diberi ritual khusus (
seluruh “kerbau” dimandikan di sumber air tak jauh dari desa setempat.
Biasanya, usai dimandikan mereka itu akan tidak sadarkan diri karena kemasukan
makhluk gaib penunggu desa ). Puluhan kerbau jadi-jadian berjalan bergerombol.
Jalan yang dilalui arak-arakan sengaja dibanjiri air. Tujuannya, kerbau yang
lewat bisa berkubang. Polah tingkah mereka pun berubah layaknya kerbau.
Menyeruduk siapa saja yang ada di depannya. Penonton pun berlarian menghindari
serudukan “kerbau”. Penonton yang tertangkap harus rela dilumuri arang hitam
yang ada di sekujur tubuh “kerbau”. Dalam kondisi tak sadar, mereka diarak
diiringi gamelan angklung.
Iring-iringan berjalan pelan ke
arah empat penjuru desa. Di masing-masing arah, ditempatkan sesaji simbol
tolak-balak. Sesaji terdiri atas bunga dan berbagai jenis hasil bumi. Di
belakang gerombolan kerbau, sebuah kereta terbuat dari berbagai hasil bumi ikut
berjalan pelan. Ini adalah kereta yang ditumpangi Dewi Sri. Sesosok perempuan
cantik duduk dikelilingi beberapa petani. Di depannya, empat perempuan tua
membawa peralatan ke sawah. Ini simbol petani yang akan bekerja di sawah.
Selain iring-iringan kerbau dan
kereta Dewi Sri, acara ritual ini juga melibatkan seluruh elemen di
kampung, mulai dari laki-laki, perempuan, tua-muda, dan anak-anak sampai sanak
famili yang berada di luar kampung. Bahkan hampir seluruh kesenian adat suku
Using yang ada di Banyuwangi juga terlibat. Ada gandrung, barong, janger,
patrol, balaganjur, angklung paglak, jaranan, kuntulan, dan wayang kulit,ada
juga reog Ponorogo. Upacara ini tidak melulu seni pertunjukan terpadu tapi
juga sebagai seni instalasi komunal yang memperlihatkan energi kualitas dan
spiritual bersama.
Perjalanan arak-arakan berakhir
di pusat kampung. Di tempat ini, Dewi Sri turun dari kereta dan memberikan
berkah kepada petani. Sosok Dewi keberuntungan ini membagikan benih padi. Lagu
pujian berkumandang mengagungkan kebesaran dewi kemakmuran ini. Selama ritual
ini kerbau yang kesurupan berubah jinak. Mereka mendekat dan tunduk pada sosok
Dewi Sri yang tersenyum ramah.
Kebo-keboan diakhiri dengan
prosesi membajak sawah. Sepasang manusia kerbau menarik bajak di tengah sawah
berlumpur. Layaknya kerbau asli, mereka berkeliling di hamparan sawah yang siap
ditanami. Lalu, benih biji padi disebar. Warga langsung berebut biji yang baru
disebar. Benih itu diyakini memberikan kesuburan.
Setelah berebut benih, warga,
termasuk anak-anak, saling bergumul dengan manusia kerbau dalam lumpur. Mereka
menikmati suasana sawah yang siap ditanami. Uniknya, saat penonton mengambil
bibit padi itu, para “kerbau” mengamuk dan terus menyeruduk.
Kegiatan ini yang paling dinanti
warga. Mereka akan puas setelah mendapat benih dan ikut berkubang dalam lumpur,
papar Indra Gunawan yang mengaku keturunan ke-6 sesepuh Desa Alasmalang.
Nama Alasmalang berasal dari kata
alas (hutan) dan malang (melintang). Alasmalang berarti hutan yang melintang di
atas bukit panjang. Di tempat ini terdapat makam keluarga Mbah Karti dan
keturunannya. Di sini terdapat batu mirip tempat tidur yang dikenal dengan nama watukloso.
Batu ini dahulu tempat istirahat Mbah Karti. Hingga kini, sebagian besar warga
Alasmalang adalah keturunan Mbah Karti.
2.
JARANAN BUTHO
Menurut beberapa literatur,
kesenian jaranan butho berasal dari desa Cemetuk Kecamatan Cluring, Kabupaten
Banyuwangi. Kesenian ini adalah kesenian yang unik dan menarik. Istilah Jaranan
Butho mengadopsi nama tokoh legendaris Minakjinggo (terdapat anggapan bahwa
Minakjinggo itu bukan berkepala manusia, melainkan berkepala raksasa yang mana
dalam bahasa jawa disebut Butho). Jaranan butho dimainkan oleh 16-20 orang yang
dihimpun dalam 8 grup. Instrumen musik Jaranan Buto terdiri atas seperangkat
gamelan yang terdiri dari 2 bongan (musik perkusi), 2 gong (besar dan kecil)
atau kencur, sompret (seruling), kecer (instrumen musik berbentuk seperti
penutup gelas yang terbuat dari lempengan tembaga), dan 2 kedang. Sebagai
instrumen peraganya/utamanya adalah replika (penampang samping) kuda kepang
yang berbentuk kuda raksasa yang terbuat dari anyaman bambu. Wajah raksasa
(jaranan butho) didominasi warna merah menyala, dengan kedua mata yang besar
sedang melotot. Kesenian ini biasanya dilakukan pada pukul 10.00 – 16.00 WIB.
Pada puncak pertunjukan, biasanya penari jaranan butho mengalami kesurupan.
Penari tersebut tidak sadar dan akan mengejar orang yang menggodanya dengan
siulan. Selain itu, penari yang dalam keadaan kesurupan tersebut mampu memakan
kaca, api, ayam hidup dengan memakan kepalanya hingga mati dan sebagainya.
Dalam kesenian ini didukung oleh
seorang pawang yang bertanggung jawab terhadap penari-penari atau penonton yang
ikut kesurupan. Ia bertugas membantu untuk menyadarkan kembali penari jaranan
butho serta penonton yang ikut kesurupan.
Kesenian Jaranan Butho ini
merupakan salah satu mahkota yang harus dilestarikan, dipelihara dan
ditunjukkan kepada dunia luar, sehingga potensi ini dapat bermanfaat baik untuk
masyarakat maupun pemerintah, terutama dalam meningkatkan pendapatran asli
daerah.
Jaranan buto berarti “kuda
lumping raksasa”. Keberadaan kesenian Jaranan Buto di daerah Banyuwangi, tidak
terlepas dengan cerita rakyat yang melegenda yaitu Menak Jinggo. Menak Jinggo
seorang raja kerajaan Blambangan, Raja Menak Jinggo berperawakan besar kekar
bagaikan raksasa atau ”buto”.
Sesuai dengan namanya jaranan
buto, para pemain kesenian ini berperawakan tinggi besar dan kekar, dengan
memakai kostum mirip buto. Gerakan-gerakan tarinya juga mengekspresikan seperti
“raksasa”
Tari Jaranan Buto dimainkan oleh
16-20 orang. Peralatan yang mengiringi kesenian jaranan buto adalah kendang,
gong, terompet, kethuk dan kuda kepang dengan kepala berbentuk raksasa atau
bentuk babi hutan serta topeng berbentuk kepala binatang buas. Kesenian ini
biasanya dilakukan mulai pada Pukul 10.00 pagi sampai dengan – 16.00 sore.
3.
RENGGANIS
Rengganis adalah kesenian drama tadisional
yang berkembang di Banyuwangi, diperkirakan berasal dari Kerajaan Mataram Islam. Sebetulnya masalah nama kesenian
tersebut di Banyuwangi sangat beragam, ada yang menyebut Prabu Roro, ada yang
juga yang menyebut Umar Moyo. Namun ada benang merahnya, yaitu nama-nama
tersebut mengacu kepada nama tokoh yang diangkat dalam kesenian tersebut. Antara
lain Putri Rengganis dan Prabu Roro seorang raja putri dan adipati Umar Moyo
dari kerajaan
Guparman.
Namun hingga saat ini belum ada
penelitian yang mengakitkan dengan keberadaan kesenian serupa yang sampai
sekarang masih berkembang di daerah Bantul dan Sleman Yogyakarta. Sementara cerita yang diangkat dari kesenian
“Rengganis” diambil dari buku Serat Menak. Tokoh-tokoh yang populer dalam
kesenian Rengganis adalah Jemblung, abdi Umar Moyo, Lam Dahur (kalau dalam
pewayangan mirip Werkudoro) Pati Tejo Matal, Jayengrono.
Selain unsur-unsur Islam yang
sangat menonjol dalam kesenian tersebut, juga ada kalimat-kalimat mantra yang
sering diuncapkan Umar Moyo saat meminta kekuatan senjata pamungkasnya, yaitu Kasang Tirto Nadi. Umar Moyo
Selalu berucap “Laillah Hailalloh Nabi Ibrohim Kamilulloh. Mbal-Gambal Mustoko
malih. Sang Kasang Tirtyo Nadi, aku njaluk panguasamu kasang iso.”
Setiap tokoh mempunyai
karasteristik, seperti tokoh pewayangan. Teknik pentas dan jejer, atau sampa’an
seperti dalam wayang orang. Setiap adegan, tokoh suatu
kerajaan akan keluar bersama-sama. Kecuali permasuiri, Raja dan
para patik. Tari setiap tokoh juga mempunyai ciri khas tersendiri, begitu juga
gending musik pengiring.
Pada tahun 1960-an, atau ketika
pergolakan politik di negeri ini. Selain seni Drama yang
bersumber cerita dari penyebaran Islam di Persia, Rengganis juga sering
digunakan alat Propaganda oleh LESBUMI dari NU.
Sementara LKN dengan Angklung Dwi Laras dan (Lekra?) PKI dengan
kesenian Genjer-Genjer.
4. JANGER
Teater Janger atau kadang disebut
Damarwulan atau Jinggoan, merupakan pertunjukan rakyat yang sejenis dengan
ketoprak dan ludruk. Pertunjukan ini hidup dan berkembang di wilayah
Banyuwangi, Jawa Timur serta mempunyai lakon atau cerita yang diambil dari kisah-kisah
legenda maupun cerita rakyat lainnya. Selain itu juga sama-sama dilengkapi
pentas, sound system, layar/ tirai, gamelan, tari-tarian dan lawak. Serta
pembagian cerita dalam babak-babak yang dimulai dari setelah Isya hingga
menjelang Subuh.
Sejarah Janger
Pada abad ke-19, di Banyuwangi
hidup suatu jenis teater rakyat yang disebut Ande-Ande Lumut karena lakon yang
dimainkan adalah lakon Andhe-Andhe Lumut. Dan dari sumber cerita dari mulut ke
mulut, pelopor lahirnya Janger ini adalah Mbah Darji, asal Dukuh Klembon,
Singonegaran, Banyuwangi kota. Mbah Darji ini adalah seorang pedagang sapi yang
sering mondar-mandir Banyuwangi-Bali, dan dari situ dia tertarik dengan
kesenian teater Arja dan dia pun berkenalan dengan seniman musik bernama
Singobali yang tinggal di Penganjuran, dari situlah kemudian terjadi pemaduan
antara teater Ande-Ande Lumut dengan unsure tari dan gamelan Bali, sehingga
lahirlah apa yang disebut Damarwulan Klembon atau Janger Klembon.
Semenjak itu, mulai lahir
grup-grup Damarwulan di seantero Banyuwangi. Mereka bukan hanya memberikan
hiburan, namun juga menyisipkan pesan-pesan perjuangan untuk melawan penjajah
dengan kedok seni. Di masa revolusi, kerap kali para pejuang kemerdekaan
menyamar sebagai seniman Janger untuk mengelabui Belanda dan para mata-matanya.
Menurut Dasoeki Nur, seorang
pelaku kesenian Janger, teater ini juga sempat berkembang hingga melampaui
wilayah Banyuwangi sendiri. Bahkan menurutnya lagi, pada tahun 1950an pernah
berdiri dua kelompok Janger yang berada di wilayah Samaan, dan Klojen, kota
Malang.
Pertentangan Karakter Minakjinggo
Dalam wacana masyarakat
Banyuwangi, karakter Minakjinggo digambarkan sangat berlawanan dengan apa yang
diyakini masyarakat Jawa pada umumnya (berdasarkan cerita-cerita seperti Serat
Damarwulan). Digambarkan Minakjinggo merupakan sosok yang bertemperamen buruk,
kejam dan sewenang-wenang. Disamping buruk rupa, pincang, suka makan daun sirih
dan lancing meminang Sri Ratu Kencanawungu (Ratu Majapahit).
Menurut pandangan masyarakat
Banyuwangi, Minakjinggo digambarkan sebagai sosok yang rupawan, digandrungi
banyak wanita, arif, bijaksana dan pengayom rakyatnya. Mengapa Minakjinggo
memberontak? Menurut para sesepuh Banyuwangi itu lebih dikarenakan dia menagih
janji Kencana Wungu untuk menjadikannya suami, setelah mampu mengalahkan Kebo
Marcuet, dan dimenangkan oleh Minakjinggo. Wajah Minakjinggo menjadi rusak
karena terluka pada saat bertarung dengan Kebo Marcuet, dan demi melihat wajah
Minakjinggo yang rusak, maka Kencana Wungu menolak dan akhirnya Minakjinggo
memberontak.
Pandangan inilah yang berupaya
diluruskan, mengingat citra Minakjinggo yang buruk dalam catatan legenda Serat
Damarulan. Keabsahan Serat Damarwulan dengan legenda-legendanyapun masih
simpang siur, dan data masih kurang lengkap.
Keunikan Teater Janger
Teater Janger Banyuwangi ini
merupakan salah satu kesenian hibrida, dimana unsure Jawa dan Bali bertemu jadi
satu didalamnya. Gamelan, kostum dan gerak tarinya mengambil budaya Bali, namun
lakon cerita dan bahasa justru mengambil dari budaya Jawa. Bahasa yang
dipergunakan dalam kesenian ini adalah bahasa Jawa Tengahan yang merupakan
bahasa teater ketoprak. Namun pada saat lawakan, digunakan bahasa Using sebagai
bahasa pengantar. Lakon ceritanya pun justru diambil dari Serat Damarwulan yang
dianggap penghinaan terhadap masyarakat Banyuwangi, yang anehnya malah
berkembang subur.
Lakon atau Cerita
Lakon atau cerita yang akan
dipentaskan, disesuaikan dengan permintaan penanggap atau scenario kelompok itu
sendiri. Lakon yang paling banyak dipentaskan antara lain, Cinde Laras,
Minakjinggo Mati, Damarulan Ngenger, Damarulan Ngarit, dan lain sebagainya.
Selain dari cerita panji, lakon juga diambil dari legenda rakyat setempat
seperti Sri Tanjung dan kadang cerita-cerita bernuansa Islam.
Busana
Busana pemain disesuaikan dengan
peran mereka. Pada peran prajurit, raja, panglima dan tokoh kalangan atas
biasanya menggunakan busana khas Bali yang biasa dipakai dalam pertunjukan
Arja. Sedangkan kaum wanita istana memakai busana Bali yang dimodifikasi, yakni
kuluk yang dihias bunga kamboja dengan manik-manik, ter atau penutup dada, dan
biasanya memakai kain jarit berwarna mengkilap. Yang unik, peran rakyat jelata
justru memakai busana khas Jawa.
Tari pengiring
Tari-tarian yang menjadi
pengiring dalam pertunjukan Janger ini bervariasi. Bisa dibuka dengan
tari-tarian khas Bali, seperti pendet, legong, baris , atau tari-tarian khas
Banyuwangi seperti Jejer Gandrung, Jaran Goyang, Seblang Lokento dan lain
sebagainya.
Perkembangan saat ini
Diperkirakan ada sekitar 60an
kelompok Janger yang masih eksis saat ini. Meski kondisinya memang senin-kamis,
sebagai dampak modernisasi yang makin marak. Kelompok Janger Banyuwangi yang
cukup popular di wilayah tersebut antara lain Temenggung Budoyo dari kota
Banyuwangi, Madyo Utomo dari desa Bubuk, Kec. Rogojampi, dan Patoman dari desa
Blimbingsari, Kec. Rogojampi.
5. ANGKLUNG CARUK
Seni Angklung Caruk
berasal dari jenis kesenian Legong Bali. ” Caruk ”
dalam bahasa Using berarti ” temu “. Kata dasar itu bisa
diucapkan ” Kecaruk ” atau ” Bertemu “.
Kata ” Angklung Caruk ” artinya adalah dua kelompok kesenian
angklung yang dipertemukan dalam satu panggung, saling beradu kepandaian
memainkan alat musik berlaras pelog itu, dengan iringan sejumlah tembang
Banyuwangian tujuannya untuk memperebutkan gelar sebagai group kesenian
angklung yang terbaik. Meski tidak ada aturan secara tertulis, kedua kelompok
kesenian itu sejak puluhan tahun sudah memahi aturan yang menjadi kesepakatan.
Sehingga, mereka tidak ada yang curang, tidak ada yang marah saat kurang
mendapatkan respon atau aplaus dari penonton. Kecepatan irama musik dan
lagu-lagu yang dimainkannya sangat dipengaruhi oleh nuansa musik angklungritmis
dari Bali. Namun dalam kesenian ini terdapat juga perpaduan antara nada dan
gamelan slendro dari Jawa yang melahirkan kreativitas estetik. Dalam
pertunjukan seni angklung caruk juga disajikan beberapa tarian yang biasanya
dimainkan oleh penari laki-laki. Jenis-jenis tarian tersebut antara lain tari
jangeran, tari gandrungan, cakilan, tari kuntulan, dan tari daerah Blambangan.
Instrumen musik angklung caruk terdiri dari seperangkat angklung ( dua unit
angklung ), kendang ( dua buah ), slenthem ( dua buah ), saron ( dua buah ),
peking ( dua buah ), kethuk ( dua buah ), dan gong ( dua buah ).
Tradisi Angklung Caruk adalah
gambaran betapa tingginya apresiasi warga Banyuwangi terhadap musik daerahnya.
Dalam angklung caruk itu, pertama setiap kelompok masing-masing membawakan ” larasan ”
yang menjadi andalan dengan seorang penari pria yang disebut BADUT.
Setelah selesai dan sesuai kesepakatan waktunya, maka giliran kelompok lain
melakukan hal yang sama. Pada sesi berikutnya adalah Adol Gending,
yaitu kelompok A misalnya, membawa intrumen beberapa ketukan dari sebuah lagu,
untuk ditebak kelompok B. Apabila kelompok B sudah tahu, maka diberi kesempatan
memotong dengan cara ” ngosek ” atau memukul gamelan secara
tidak beraturan. Jika itu sudah terjadi, maka kelompok A harus menghentikan
intrumennya dan memberikan kesempatan kepada kelompok B untuk meneruskan
intrumen itu. Jika ternyata masih salah, maka kelompok A akan mengambil kembali
dengan ” ngosek ” kemudian meneruskan hingga tuntas. Ini juga
berlaku kepada badut, mereka juga diadu variasi tariannya dengan lagu-lagu
andalan yang dimiliki kelompok. Dalam tempo cepat, baik tarian maupun pukulan
instrumennya tidak boleh ada yang salah.
Itulah gambaran sedikit tentang
Angklung Caruk Banyuwangi yang penuh sportivitas. Selain masing-masing membawa
supporter ( pendukung ), ada juga penonton netral yang siap memberikan aplus
jika memang penampilan kelompok itu bagus dan memukau. Namun bagi mereka yang
kurang beruntung, caci makian dan ejekan penonton tetap diterimanya, sebagai
pemicu agar terus melakukan latihan dan meningkatkan insting/ kepekaan
bermusiknya.
Berdasarkan cerita para penabuh
tua , dulu pentas Angklung Caruk sering melibatkan kekuatan supranatural untuk
saling menjatuhkan lawan. Tetapi sekarang sudah makin positif sebab para
supporter sudah sportif menghadapi kekalahan dan kemenangan. Disana juga selalu
dihadirkan ahli-ahli angklung yang berwibawa. Dengan kehadiran para ahli ini
maka kelompok-kelompok angklung dan supporternya tidak berani curang.
Semangat ” caruk ”
dalam kehidupan sehari-hari, seharusnya menjadi contoh bagi Wong Using
kebanyakan. Selalu mempersiapkan segala sesuatu, seperti layaknya para ” panjak ”
angklung yang latihan setiap hari, menjelang pentas ” caruk “. Sehingga,
saat berlaga di panggung tidak akan mengecewakan. Jika itu semua sudah
dilakukan maksimal, maka harus menerima apapun hasilnya. Cacian atau ” gojlokan ”
penonton, bukan sebagai hinaan. Melainkan sebagai cambuk, agar usaha dan
persiapan dilakukan lebih baik lagi. Kita juga harus menerima kenyataan, jika
lawan caruk ( orang lain ) ternyata lebih unggul dan patut mendapatkan
pernghargaan. Sakit hati dan iri terhadap kelebihan yang dimilki orang lain,
bukan sikap orang Using. Bersaing boleh, tetapi harus dilakukan secara sportif.
Sepeti sikap para Panjak, Badut dan penonton Angklung Caruk pada waktu mereka
tampil.
Dulu di Banyuwangi ada kelompok
Angklung yang terkenal, yaitu Angklung Pasinan Singojuruh, Angklung Mangir,
Rogojampi dan Angklung Badas, juga Rogojampi. Apabila kedua kelompok Angklung
itu dipertemukan dalam satu panggung, bisa dipastikan penontonnya membludak.
Mereka kebanyakan penonton netral, tidak mewakili kelompok manapun. Namun
mereka akan memberikan aplaus, apabila penampilan salah satu dari mereka yang
terlibat ” caruk ” itu memang bagus. Cacian dan ” pisuhan ”
khas Banyuwangi, meluncur untuk mengomentari penampilan dari peserta ” caruk ”
yang tidak maksimal atau sering melakukan kesalahan. Namun tidak ada yang
marah, apalagi bereaksi berlebihan.
Angklung Caruk Banyuwangi sering
mengikuti acara dan festival budaya nasional, salah satunya mengikuti
Pawai Budaya Nusantara yang diselenggarakan di Istana Merdeka yang
prosesinya dari depan panggung kehormatan halaman depan Istana Merdeka ( Jalan
Merdeka Utara ) menuju Jalan Medan Merdeka Barat dan berakhir di kawasan Monas.
6. HADRAH
KUNTULAN
Hadrah Kuntulan yang juga disebut
kundaran, merupakan salah satu dari sekian seni tradisi yang masih bertahan
hingga kini. Berbagai perubahan yang mewarnai perjalanan kuntulan menunjukan
kecerdasannya dalam menghadapi setiap perubahan. Identifikasi sebagai karya
seni bernuansa Arab – Islam melekat pada kesenian ini pada masa awal
kemunculanya. Sperti halnya Ujrat, Tunpitujat dan pembacaan al-Barjanji dengan
diiringi alat musik Gembrung yang pernah ada Banyuwangi seperti catatan seorang
antropolog pada tahun 1926, John Scholte. Karena itulah pada mulanya
pertunjukan seni ini di dominasi oleh laki-laki. Pertemuanya dengan kesenian
asli banyuwangi seperti Gandrung, Damarwulan, dan Trengganis serta tarian
lainnya merubah hadrah kuntulan menjadi kesenian yang unik dan khas.
Tidak hanya gerakan tarinya,
musik dan tembang-tembang yang dibawakan pun merupakan kolaborasi unik kesenian
tradisi daerah Banyuwangi dan kesenian gurun. Kehadirannya juga menambah
perbendaharaan dan warna kesenian tradisional di tanah air. Persinggunganya
dengan berbagai realitas sosial dan kebudayaan masyarakat banyuwangi membawa
kesenian ini ke dalam dinamisasi yang khas dan sekaligus persoalan yang
komplek.
Filosofi Burung Kuntul
Sebutan Kuntul sebagai simbol,
menurut Sutedjo HN, budayawan Banyuwangi, merupakan representasi dari gaya
hidup sosial yang lebih mementingkan kebersamaan, serasa dan sepenanggungan di
antara sesamanya. Hal ini di ilhami dari cara hidup burung Kuntul/Bangau yang
selalu memanggil teman-temannya dikala mendapatkan makanan.
Pendapat ini ditunjang kondisi
pertanian yang ada di Banyuwangi. Kesuburan tanah yang terhampar memberikan
kemudahan para petani dalam bercocok tanam. Sambil menunggu tanaman padi
memasuki musim panen, para petani di Banyuwangi terbiasa memanjakan diri mereka
dengan memainkan Angklung.
Perjalanan hidup yang sulit
membangkitkan para seniman daerah merespon dalam bentuk kesenian. Maka Kuntulan
sebagai perlambang dari kerukunan masyarakat memberi kesadaran baru pada
seluruh masyarakat Banyuwangi agar hidup dalam kebersamaan untuk mewujudkan
Banyuwangi yang senasib dan sepenanggungan tanpa ada rasa ingin menguasai tanah
warisan leluhur sebagai milik individual.
Nama kesenian yang diambil dari
hal-hal di sekitar kehidupan masyarakat ini juga bisa ditemukan dalam beberapa
kesenian di Banyuwangi lainnya, seperti Genjer-genjer. Ketika Jepang masuk
Banyuwangi, kehidupan masyarakat Banyuwangi mengalamai kekurangan pangan yang
cukup parah. Banyak dari penduduk tidak bisa hidup layak seperti sebelumnya.
Gambaran kesulitan ini bisa dilihat dari hasil karya seniman setempat, lagu
Genjer-genjer yang muncul pada tahun 1942 karya Moh. Arif, memberikan gambaran
kesulitan pangan penduduk Banyuwangi sebagai imbas pendudukan Jepang di wilayah
Banyuwangi, sehingga tumbuhan Genjer yang tumbuh liar di area persawahan dan
tidak menjadi perhatian penduduk, akhirnya dijadikan bahan makanan yang
dikonsumsi setiap hari
Busana Dan Alat Musik
Pengaruh busana penari gandrung
dapat dilihat pada beberapa bagian busana penari kuntulan bersangkutan. Hanya
saja ditambahkan kerudung, baju celana tertutup serta ada pengaruh Bali
didalamnya. Tangan sang penari juga ditutup kaus tangan berwarna putih, dan
kakinyapun tertutup kaus kaki putih. Sekarang busananya banyak mengalami
modifikasi alias ubahsuai dari busana semula yang sebenarnya serba putih
seperti warna bulu burung kuntul (bangau). Terkadang ada pengaruh Bali yang
tercermin dari adanya untaian bunga kamboja ditelinga pemain Kuntulan ini.
Perangkat musik kuntulan sendiri
sangat dipengaruhi oleh budaya sekitarnya dan tak dapat dipungkiri musik dan
gerak tari Gandrung (tari rakyat setempat yang menjadi lambang Banyuwangi) juga
ikut masuk. Namun irama dasarnya tetaplah sama dengan hadrah lainnya. Selain
enam buah rebana sebagai alat musik utamanya (dalam kuntulan baku), ada
penambahan-penambahan seperti jidor (semacam drum), beduk besar, beduk kecil,
kenong, kluncing (triangle), gong, biola dan kadang keyboard (saat ini) sebagai
penguat nada. Selain itu bonang Bali kadang juga dipakai dalam kesenian
kuntulan ini. Serta dalam beberapa kesempatan sering ditambahkan angklung caruk
sebagai pemanis, dan lagi-lagi sesuai permintaan penonton. Sedangkan irama yang
digunakan menurut Rizaldi Siagian seorang pakar etnomusikologi adalah irama
silang (cross rhythm) dan poly rhythm atau irama banyak sebagaimana pada
gamelan Bali. Ini dimungkinkan karena letak Banyuwangi yang berdekatan dengan
Bali.
Kekhasan lain dalam kesenian
hadrah kuntulan atau kundaran ini ialah iramanya yang mempunyai karakter
keras,agresif dan menyentak bahkan saat tampil, para pemain musiknya terlihat
seolah bahu membahu menciptakan nada yang dinamis dan penuh semangat sehingga
wajar kalau disebut musik cadas khas Banyuwangi bahkan sesekali kita harus
menutup telinga karena saking begitu keras suaranya, ditambah para pemain
jidornya yang kadang seperti kesurupan saat bermain… Lagu-lagunyapun tidak
selalu Islami, namun juga banyak memasukkan lagu-lagu daerah dan kadang lagu
pop yang sedang populer saat ini.
Sejarah Perjuangan
Pada masa penjajahan Belanda,
Islam masuk ke Blambangan (sekarang Banyuwangi). Kedatangan Islam sarat dengan
nuansa politik. Tujuan masuknya agama Islam ke Blambangan adalah untuk meredam
gerakan masyarakat Blambangan yang terkenal sulit ditaklukan. Ketika Belanda berhasil
merebut Blambangan, kebijakan pertama yang diberlakukan adalah mendirikan
wilayah kekuasan yang bisa disetir oleh Belanda, lebih halusnya lagi
dinormalisisasi dengan serangkaian aturan agama yang menguntungkan
kepenguasaannya.
Hasilnya, Raden Mas Alit sebagai
bupati pertama beserta para punggawa yang diangkat sekitar tahun 1770-an oleh
Belanda diharuskan memeluk agama Islam. Pesan misionaris agama bisa dilacak
pula pada sejarah perjalanan kesenian gandrung yang awal-awalnya ditarikan atau
dimainkan oleh orang laki-laki. John Scholte, salah seorang antropolog yang
pernah meneliti Banyuwangi, menjelaskan bahwa para penari Gandrung setiap saat
mengelilingi desa dengan membawa buntalan tas yang dibuat sebagai tempat beras
hasil panen-an. Burda, selatun, wak aji, santri molih, tombo ati, ayun-ayun dan
tembang lainnya adalah tembang bernuansa agama yang dibawakan. Dengan demikian,
disamping membawa misi mempersatukan kembali rakyat Blambangan, Gandrung juga
digunakan sebagai alat penyampaian dakwah.
Sekitar tahun 1950 kesenian
hadrah muncul. Pada awalnya, Hadrah sangat kental nuansa Islam. Instrumen musik
yang mengiringinya adalah Rebana dan Kendang. Penarinya laki-laki dengan bentuk
tarian menyerupai tarian Saman dari Aceh. Sedangkan tembang yang dilantunkan adalah
baid-baid Burdah.
Pada masa bersamaan arus kesenian
Banyuwangi mulai bermunculan, seolah-olah bangkit kembali dari tradisi yang
sudah lama diwariskan oleh leluhur, seperti Angklung, Damarwulan, dan
Rengganis. Kebangkitan seni ditandai dengan berdirinya organisasi kesenian yang
memberikan peluang dan tempat berapresiasi. Pada kepemimpinan presiden
Soekarno, Lembaga Kesenian Rakyat (Lekra) memberikan perhatian pada
kesenian-kesenian rakyat sebagai muatan perpolitikannya. Seniman-seniman daerah
yang bergabung dengan Lekra merasa mendapat angin segar. Mereka kemudian
berbondong-bondong mengabadikan dirinya dengan sejumlah karya seni
masing-masing dengan mengusung unsur bahasa daerah sebagai ciri khas kesenian
Lekra.Kedekatan Lekra berdampingan dengan kesenian yang timbul dari masyarakat
Banyuwangi tidak dibarengi oleh lembaga-lembaga kesenian lainnya. Lembaga
Kesenian seperti LKN (Lembaga Kesenian Nasional), Lesbumi, dan yang lainnya
tidak sekental apa yang telah dilakukan oleh para seniman Lekra. Nasionalisme
kedaerahan dengan mengusung bahasa daerah sebagai unsur utama merupakan visi
dari seniman Lekra, puluhan lagu berbahasa daerah diciptakan oleh para seniman
untuk merespon kondisi sosial saat itu
Hadrah yang bernuansa Islam
sebagai perwujudan dari kesenian agama yang dikembangkan kalangan santri, tidak
terlalu mendapat simpati dihati masyarakat, dikarenakan bahasa daerah yang saat
itu menjadi sentral perubahan sosial tidak diadopsi sepenuhnya oleh kalangan
santri. Faktor lain yang menyebabkan seni Hadrah kurang diminati adalah pola
eksklusif kaum santri dengan penduduk di luar golongan santri. Masa kejayaan
Lekra mulai pudar menyusul terjadinya tragedi G 30/S PKI tahun 1965. Tragedi
ini tak pelak berimplikasi hebat pada seniman-seniman daerah yang bergabung
dalam organisasi Lekra. Setelah peristiwa G 30/S PKI tersebut ketakutan dan
kebimbangan menyelimuti kehidupan mereka. Lembaga-lembaga yang bernuansa agama
berada diposisi atas angin. Para aktivis seni yang keluar dari Lekra paska 1965
diinternalisasi oleh Lembaga Kesenian Nasional (LKN) untuk melanjutkan kembali
apa yang pernah mereka lakukan di Lekra.
Peralihan kekuasaan dari masa
Orde Lama (Orla) ke Orde Baru (Orba) juga membawa dampak pada kesenian daerah.
Jika pada masa Orla kesenian Banyuwangi lebih menonjolkan fisinya untuk
mengkritisi kondisi sosial dan menjadi milik rakyat sepenuhnya, maka yang
terjadi pada masa Orba adalah sebaliknya. Setelah tahun 1970-an kesenian daerah
diupayakan pada politik estetik semata. Seni kemudian lebih banyak divisualisasi
dalam bentuk gerak tari. Hal ini dilakukan dengan tujuan bahwa kesenian akan
mendapat medan artistiknya manakala peraga tubuh bisa dinikmati secara langsung
oleh para penonton. Kecenderungan estetika kesenian daerah ini mengarahkan
massa untuk selalu menikmati kesenian daerah dimana tanpa sadar masyarakat yang
menghadiri kesenian tersebut telah mengadopsi dan meyakini pendidikan
pembangunan yang dilancarkan oleh kebijakan Orba. Dengan demikian aparatus
Negara dalam tujuannya mendisiplinkan masyarakat dengan seperangkat ideologi
disusupkan pada kesenian daerah. Ironisnya pada masa ini kesenian juga
mempunyai ketergantungan yang tinggi pada insentif pemerintah.
Kuntulan Saat Ini
Sejarah Hadrah memasuki babak
baru pada sekitar tahun 1980-an. Kesenian ini bertransformasi pada bentuknya
yang baru yang disebut sebagai Hadrah Kuntulan. Nuansa Arab – Islam yang
terkandung di dalamnya berubah mengikuti alur komposisi kedaerahan, isinya pun
50-50 menyesuaikan minat dari masyarakat saat itu. Bukan hanya komposisi isi
saja, aransment musikalnya juga ditambahi dengan beberapa alat lainnya. Ada
gendang, bonang Bali dan kluncing (triangle) memperjelas nuansa daerah dan
agama dalam unsur kesenian kuntulan.
Metamorfosis Hadrah kuntulan
masih terus berlanjut. Kundaran kepanjangan dari Kuntulan yang didadar (seni
Kuntulan yang diperlebar) merupakan sebutan bagi perkembangan kuntulan pada
tahap selanjutnya. Sebenarnya Kundaran hanya sebuah garapan artistik untuk
menyempurnakan tampilan hadrah tersebut. “Kundaran itu seperti pertunjukan
Jejer Gandrung yang merupakan bagian dari pertunjukan Gandrung. Jadi, Kundaran
masih bersifat perbaruan gerak dan isi dari Kuntulan saja, belum bisa dikatakan
kesenian tersendiri”, tutur Sayun salah satu seniman yang memprakarsai
munculnya hadrah Kuntulan. Kundaran sebagai tahapan terakhir perkembangan
Kuntulan, mengusung kepentingan bagaimana agar kesenian tersebut makin
dinikmati dan dimiliki oleh masyarakat sekaligus memperluas kesadaran beragama
yang diapresiasikan pada kepemilikan kesenian itu sendiri.
Menepis ekslusifitas terlepas
dari berbagai gesekan dan kontroversi yang mengiringinya, Hadarah Kuntulan kini
telah berkembang cukup luas, utamanya di Banyuwangi. “Dulu di Banyuwangi
Selatan yang mayoritas masyarakatnya dari suku Jawa, hampir tidak ditemui
kesenian hadrah Kuntulan, namun sekarang kondisi tersebut berbalik, wilayah
seperti Gambiran dan Bango yang ditempati komunitas Jawa yang dulunya tidak
memiliki kelompok kesenian tradisi, malah kemarin mendaftarkan 60 peserta pada
festival tari. Songgon, daerah gunung mendaftarkan 300 peserta Kuntulan”, jelas
Sayun.
Hal ini juga menandakan bahwa
Hadrah kuntulan telah diterima oleh masyarakat diluar masyarakat asli
Banyuwangi atau Osing/Using. Memang hadrah kuntulan tidak di maksudkan sebagai
kesenian eksklusif yang hanya diidentikan dengan daerah Banyuwangi atau suku
Osing. Namun, diluar Banyuwangi, kesenian Hadrah Kuntulan lebih dipresepsikan
hanya sebagai milik suku Osing.
Bahkan pada sebuah acara di
Jakarta, Aekanu Hariyono sebagai Ketua Dewan Pariwisata Banyuwangi, sebagaimana
di ceritakanya pada suatu rapat di Dewan Kesenian Blambangan (DKB), merasa
perlu menegaskan bahwa kesenian Hadrah Kuntulan yang ada di Banyuwangi tidak
semata-mata milik masyarakat Osing. Hanya kebetulan yang tampil kebanyakan
keturunan Osing tapi bukan Osing minded. Hadrah Kuntulan bisa dimainkan oleh
lintas agama serta lintas etnik. “Sewaktu penampilan Hadrah Kuntulan di Jakarta
kemaren komposisi penari sudah lintas agama dan mereka tidak risih” , kata
Aekanu.
Pada tahun 1970-an kesenian
hadrah Kuntulan muncul dengan keseniannya yang baru berupa Hadrah Kuntulan
Caruk, yaitu dua kelompok grup hadrah Kuntulan saling bertemu dan berunjuk
kebolehan, baik bidang tari, melantunkan syi’iran, dan permainan alat musiknya.
Dari seni Caruk ini, kelompok mana yang dapat mengambil perhatian massa paling
banyak, maka kelompok tersebutlah pemenangnya.
Prestasi Hadrah Kuntulan telah
mengharumkan Banyuwangi dan propinsi Jawa Timur. Tercatat dalam pentas kesenian
nasional Hadrah Kuntulan pernah menjadi pemenang dalam lomba Festival Nasional
di Masjid Istiqlal Jakarta.
Kesenian hadrah Kuntulan juga
sudah menancapkan kukunya di tingkat Internasional. Beberapa kali kesenian ini
tampil di luar negeri. Beberapa waktu yang lalu, Hadrah Kuntulan tampil di
Jepang dengan membawakan tembang rodad syi’iran, rodad tontonan dan
berkolaborasi dengan Barongan.
7.
GANDRUNG
Menurut catatan sejarah, gandrung
pertama kalinya ditarikan oleh para lelaki yang didandani seperti perempuan
dan, menurut laporan Scholte (1927), instrumen utama yang mengiringi tarian
gandrung lanang ini adalah kendang. Pada saat itu, biola telah digunakan. Namun
demikian, gandrung laki-laki ini lambat laun lenyap dari Banyuwangi sekitar
tahun 1890an, yang diduga karena ajaran Islam melarang segala bentuk
transvestisme atau berdandan seperti perempuan. Namun, tari gandrung laki-laki
baru benar-benar lenyap pada tahun 1914, setelah kematian penari terakhirnya,
yakni Marsan. Menurut sejumlah sumber, kelahiran Gandrung ditujukan untuk
menghibur para pembabat hutan, mengiringi upacara minta selamat, berkaitan
dengan pembabatan hutan yang angker.
Tradisi gandrung yang dilakukan
Semi ini kemudian diikuti oleh adik-adik perempuannya dengan menggunakan nama
depan Gandrung sebagai nama panggungnya. Kesenian ini kemudian terus berkembang
di seantero Banyuwangi dan menjadi ikon khas setempat. Pada mulanya gandrung hanya
boleh ditarikan oleh para keturunan penari gandrung sebelumnya, namun sejak
tahun 1970-an mulai banyak gadis-gadis muda yang bukan keturunan gandrung yang
mempelajari tarian ini dan menjadikannya sebagai sumber mata pencaharian di
samping mempertahankan eksistensinya yang makin terdesak sejak akhir abad
ke-20.
Tata busana penari Gandrung Banyuwangi khas, dan berbeda dengan tarian bagian Jawa lain. Ada pengaruh Bali (Kerajaaan Blambangan) yang tampak. Busana untuk tubuh terdiri dari baju yang terbuat dari beludru berwarna hitam, dihias dengan ornamen kuning emas, serta manik-manik yang mengkilat dan berbentuk leher botol yang melilit leher hingga dada, sedang bagian pundak dan separuh punggung dibiarkan terbuka. Di bagian leher tersebut dipasang ilat-ilatan yang menutup tengah dada dan sebagai penghias bagian atas. Pada bagian lengan dihias masing-masing dengan satu buah kelat bahu dan bagian pinggang dihias dengan ikat pinggang dan sembong serta diberi hiasan kain berwarna-warni sebagai pemanisnya. Selendang selalu dikenakan di bahu.
Tata busana penari Gandrung Banyuwangi khas, dan berbeda dengan tarian bagian Jawa lain. Ada pengaruh Bali (Kerajaaan Blambangan) yang tampak. Busana untuk tubuh terdiri dari baju yang terbuat dari beludru berwarna hitam, dihias dengan ornamen kuning emas, serta manik-manik yang mengkilat dan berbentuk leher botol yang melilit leher hingga dada, sedang bagian pundak dan separuh punggung dibiarkan terbuka. Di bagian leher tersebut dipasang ilat-ilatan yang menutup tengah dada dan sebagai penghias bagian atas. Pada bagian lengan dihias masing-masing dengan satu buah kelat bahu dan bagian pinggang dihias dengan ikat pinggang dan sembong serta diberi hiasan kain berwarna-warni sebagai pemanisnya. Selendang selalu dikenakan di bahu.
Kepala dipasangi hiasan serupa
mahkota yang disebut omprok yang terbuat dari kulit kerbau
yang disamak dan diberi ornamen berwarna emas dan merah serta diberi ornamen
tokoh Antasena, putra Bima]
yang berkepala manusia raksasa namun berbadan ular serta menutupi seluruh
rambut penari gandrung. Pada masa lampau ornamen Antasena ini
tidak melekat pada mahkota melainkan setengah terlepas seperti sayap burung.
Sejak setelah tahun 1960-an, ornamen ekor Antasena ini kemudian dilekatkan pada
omprok hingga menjadi yang sekarang ini.
Selanjutnya pada mahkota tersebut
diberi ornamen berwarna perak yang berfungsi membuat wajah sang penari seolah
bulat telur, serta ada tambahan ornamen bunga yang disebut cundhuk
mentul di atasnya. Sering kali, bagian omprok ini dipasang hio yang
pada gilirannya memberi kesan magis.
Penari gandrung menggunakan kain
batik dengan corak bermacam-macam. Namun corak batik yang paling banyak dipakai
serta menjadi ciri khusus adalah batik dengan corak gajah oling,
corak tumbuh-tumbuhan dengan belalai gajah pada dasar kain putih yang menjadi
ciri khas Banyuwangi. Sebelum tahun 1930-an, penari gandrung tidak memakai kaus
kaki, namun semenjak dekade tersebut penari gandrung selalu memakai kaus kaki
putih dalam setiap pertunjukannya.
Pada masa lampau, penari gandrung
biasanya membawa dua buah kipas untuk pertunjukannya. Namun kini penari
gandrung hanya membawa satu buah kipas dan hanya untuk bagian-bagian tertentu
dalam pertunjukannya, khususnya dalam bagian seblang subuh.
Musik pengiring untuk gandrung
Banyuwangi terdiri dari satu buah kempul atau gong,
satu buah kluncing (triangle),
satu atau dua buah biola, dua buah kendhang, dan sepasang kethuk. Di samping
itu, pertunjukan tidak lengkap jika tidak diiringi panjak atau
kadang-kadang disebut pengudang (pemberi semangat) yang
bertugas memberi semangat dan memberi efek kocak dalam setiap pertunjukan
gandrung. Peran panjak dapat diambil oleh pemain kluncing.
Selain itu kadang-kadang
diselingi dengan saron Bali, angklung, atau rebana sebagai
bentuk kreasi dan diiringi electone.
Pertunjukan Gandrung yang asli terbagi
atas tiga bagian:
- jejer
- maju atau ngibing
- seblang subuh
Jejer
Bagian ini merupakan pembuka
seluruh pertunjukan gandrung. Pada bagian ini, penari menyanyikan beberapa lagu
dan menari secara solo, tanpa tamu. Para tamu yang umumnya laki-laki hanya menyaksikan.
Maju atau ngibing
Setelah jejer selesai, maka sang
penari mulai memberikan selendang-selendang untuk diberikan kepada tamu.
Tamu-tamu pentinglah yang terlebih dahulu mendapat kesempatan menari
bersama-sama. Biasanya para tamu terdiri dari empat orang, membentuk bujur
sangkar dengan penari berada di tengah-tengah. Sang gandrung akan mendatangi
para tamu yang menari dengannya satu persatu dengan gerakan-gerakan yang
menggoda, dan itulah esensi dari tari gandrung, yakni tergila-gila atau hawa
nafsu.
Setelah selesai, si penari akan
mendatang rombongan penonton, dan meminta salah satu penonton untuk memilihkan
lagu yang akan dibawakan. Acara ini diselang-seling antara maju dan repèn (nyanyian
yang tidak ditarikan), dan berlangsung sepanjang malam hingga menjelang subuh.
Kadang-kadang pertunjukan ini menghadapi kekacauan, yang disebabkan oleh para
penonton yang menunggu giliran atau mabuk, sehingga perkelahian tak terelakkan
lagi.
Seblang subuh
Bagian ini merupakan penutup dari
seluruh rangkaian pertunjukan gandrung Banyuwangi. Setelah selesai melakukan
maju dan beristirahat sejenak, dimulailah bagian seblang subuh. Dimulai dengan
gerakan penari yang perlahan dan penuh penghayatan, kadang sambil membawa kipas
yang dikibas-kibaskan menurut irama atau tanpa membawa kipas sama sekali sambil
menyanyikan lagu-lagu bertema sedih seperti misalnya seblang lokento. Suasana
mistis terasa pada saat bagian seblang subuh ini, karena masih terhubung erat
dengan ritual seblang, suatu ritual penyembuhan atau penyucian dan masih
dilakukan (meski sulit dijumpai) oleh penari-penari wanita usia lanjut. Pada
masa sekarang ini, bagian seblang subuh kerap dihilangkan meskipun sebenarnya
bagian ini menjadi penutup satu pertunjukan pentas gandrung.
Perkembangan terakhir
Kesenian gandrung Banyuwangi
masih tegar dalam menghadapi gempuran arus globalisasi, yang dipopulerkan melalui media elektronik dan
media cetak. Pemerintah Kabupaten Banyuwangi pun bahkan mulai mewajibkan setiap
siswanya dari SD hingga SMA untuk mengikuti ekstrakurikuler kesenian
Banyuwangi. Salah satu di antaranya diwajibkan mempelajari tari Jejer yang
merupakan sempalan dari pertunjukan gandrung Banyuwangi. Itu merupakan salah
satu wujud perhatian pemerintah setempat terhadap seni budaya lokal yang
sebenarnya sudah mulai terdesak oleh pentas-pentas populer lain seperti dangdut dan campursari.
8.
SEBLANG
Upacara kesenian ritual Seblang
adalah salah satu bentuk tradisi tari sakral yang bermotivaskan agraris
sprtual. Bertujuan untuk kemakmuran masyarakat, dengan mengupayakan kesuburan
tanah atau mengusir penyakit. Dengan mengadakan Seblang, masyarakat setempat
akan terhindar dari malapetaka.
Pada awalnya kesenian Seblang
merupakan bentuk kesenian berdasarkan mithologi, konon seblang adalah sisa dari
kebudayaan para Hindu yang banyak dianut oleh masyarakat Indonesia pada masa
lampau. Menurut cerita dahulu Seblang dilakukan di setiap desa di Banyuwangi,
sekarang penyelenggaranya hanya terdapat di 2 (dua) tempat : Kelurahan Bakungan
dan di Desa Olehsari. Walaupun ada beberapa perbedaan diantara keduanya, tetapi
pada dasarnya berintikan sama, yaitu : memanggil Roh Halus untuk menari melalui
wadag seorang perempuan.
Upacara Seblang biasa dilakukan
di pedesaan, konon pada abad ke XVI pernah dipindahkan ke istana oleh seorang
bangsawan Blambangan yang bernama LOKENTO. Tetapi Seblang yang dilakukan di
Pendopo Kadipaten dan dikenal orang dengan nama “Seblang Lokento” itu kini
telah musnah.
Menurut catatan di buku historis
di Desa Olehsari, Seblang pernah tidak diselenggarakan antara tahun 1943 s/d
1956. Bagi masyarakat Olehsari ketiadaan acara Seblang seperti merasa
kehilangan sesuatu. Pageblug terjadi, panen banyak gagal dan serangan penyakit
terhadap ternak dan manusia tak terhindarkan. Maka pada tahun 1957 acara
tersebut dimulai lagi. Konon suasana jadi pulih.
Isyu klasik tentang terseoknya
dana panitia disetiap tahun penyelengaraan, masih saja selalu berhembus. Hasil
penjualan Kembang Dirmo, pendapatan jasa parkir, tampaknya
kurang mengcover cost yang dikeluarkan. Hanya karena dilambari rasa tanggung
jawab kepada leluhur mereka, maka tiap tahunnya penduduk bahu-membahu
mengupayakan terselengaranya acara ini. Akankah Seblang akan bernasib sama
dengan Seblang Lokento ?
Menonton Seblang di Olehsari
Masih dalam suasana Lebaran, di
Desa Olehsari (sekitar 5 km sebelah barat Kota Banyuwangi) diselengarakan acara
adat tahunan Seblang. sebenarnya tak begitu sulit mencari lokasi karena arena,
karena dari kejauhan sudah terdengar musik gamelan yang “ngelangut’
sekakan-akan memanggil siapa saja untuk datang.
Walaupun siang itu cukup terik,
disekeliling arena telah berjubel masyarakat yang akan mengikuti acara Seblang.
Dahulu diantara kerumunan penonton itu selalu dibuka jalur yang disediakan
untuk jalan tamu gaib yang naik kuda. Juga disediakan kursi-kursi kosong.
Siapapun tak berani menginjak jalur atau menduduki kursi tersebut, karena untuk
tamu-tamu gaib.
Di pusat upacara tampak sebuah
tonggak berupa tongkat panjang yang ditempel batang tebu segar. Disisi tonggak
tertanam kokoh sebuah Payung Agung. Selain berfungsi sebagai
sebagai tempat Pemain Musik, sepertinya juga merupakan ekspresi Yoni, yaitu
sentral kegiatan upacara yang bersifat metafisic tersebut.
Di sebelah barat, tak kurang 8
(delapan) orang wanita setengah baya yang bertindak sebagai penyanyi (sinden)
duduk di sebuah gubuk tak berdinding, siap mengiringi Penari Seblang. Pada
gubuk yang beratapkan daun nyiur tersebut, bergelantungan puluhan buah-buahan
dan Poro-Bungkil (hasil bumi) yang merupakan simbolis
kemakmuran desa.
Tak lama muncullah seorang gadis
yang berpakaian aneh. Dengan wajah bercadarkan rumbai-rumbai daun pisang muda
dituntun oleh seorang wanita setengah baya, seraya diiringi oleh puluhan orang
menuju ke pusat kegiatan upacara. Salwati (16 tahun), gadis penari seblang itu
pelan-pelan dituntun dan didudukkan di dekat “prapen” empat asap kemenyan
mengepul…
Seorang dukun atau pawang paling
tua, Mbah Asnan (70 tahun), tampak membolak-balikan nyiru kecil diatas pedupaan
seraya berkomat-kamit mebacakan mantra. Mendadak nyiru kecil tersebut
disorongkan ke arah Salwati. Saat Salwati menerima Nyiru itu, seketika itu
iapun terkulai lemas tak sadarkan diri.
Diiringi oleh para pawang
sebanyak 5 (lima) orang, terdiri dari 3 (tiga) pria dan 2 (dua) wanita
kesemuanya berusia lanjut. Salwati menjadi ‘kejimen’ (baca
: in-trance) dan menari gontai dengan indahnya. Terdengar mengalun gending
pembuka ‘Seblang Lokento’ Salwati terus menari mengelilingi arena yang luasnya
7 x 7 meter mengitari tonggak dan payung. “Seblang yo Lokento sing dadi
encakono …” berulang-ulang dinyanyikan oleh para pesinden dengan antusias
penuh riang.
Dengan mata terpejam,penari
seblang sesekali seperti mengajak bercanda para penonton dengan
mengibas-ngibaskan selendangnya.Ketika itu pula penonton memberi semangat
dengan seloroh-seloroh bernada canda.Sang penaripun menyambut canda manis itu
dengan goyangan pinggulnya yang indah.
Disaat rombongan koor
mendendangkan tembang ‘Kembang Dirmo’ saat itu pula susunan bunga-bungaan aneka
warna yang terdiri dari 5 (lima)sampai 7 (tujuh) kembang yang disusun dalam
tusukan lidi mirip sate, dijajakan kepada penonton. Maka berebutlah para muda
mudi membelinya. Karena kabarnya cukup bertuah untuk urusan cinta asmara.Adegan
lain yang juga tak kurang menarik adalah atraksi ‘Ngibing’. Ini terjadi di hari
ketiga dan seterusnya dari 7 (tujuh) hari pementasan seblang. Sang penari
seblang oleh para pawang tubuhnya diangkat dan ditempatkan diatas sebuah meja
yang tersedia,sehingga tampak lebih tinggi dari penonton. Mendadak penari
tersebut melemparkan sampur ke arah penonton. Siapa saja yang tertimpa
selendang (biasanya laki-laki), haruslah bersedia menari bersama dengan sang
penari Seblang. Pada acara yang cukup atraktif tersebut, begitu seseorang
selesai ‘ngibing’ dengan penari Seblang, maka dliemparlah berulang kepada yang
lain. Sehingga berkesan bergiliran.
Anehnya saat senja turun, terjadi
adegan yang cukup mengharukan hati. Penari Seblang tampak memperlihatakan
kegirangannya tatkala gending “Chondro Dewi” dinyanyikan. Dengan suka citanya,
penari Seblang mencapai puncak orgasme tariannya. Karenanya, ia menjadi
kelelahan dan kemudian terkulai pingsan
Tetapi ajaib, begitu lagu
“Erang-erang” berkumandang, secara fantastic kekuatan lagu sendu itu seakan
membangkitkan kembali sang penari dari pingsannya. Mnurut beberapa sumber,
membangkitkan kembali dari pingsannya adalah pekerjaan sulit bagi “Pengutuk”
(pawang) yang merupakan mediator dengan mahluk halus tersebut. Hrus dilakukan
extra hati-hati, karena merupakan pekerjaan yang sulit dan berbahaya. Khabarnya
jika tidak berhasil maka sang penari bisa kehilangan nyawa.
Akhirnya ketika Matahari nyaris
lenyap di balik Pegunungan Ijen, berkumandanglah tembang penutup yang berbunyi
: “Sampun Mbah Ktut sare sampun osan, yang kundangan yang muleh-muleh”. Artinya
kurang lebih demikian : “Sudahlah Mbah Ketut, acara sudah berakhir, pengunjung
sudah akan pulang”. Begitu usai diulang-ulang sebayak 10 (sepuluh) kali, sang penari
Seblang tampak sadar kembali layaknya orang bangun dari tidurnya. Terbersit
raut kebingungan di rona penari. Sesekali ia mnyingkap rumbai-rumbai daun yang
menatap wajahnya, Salwati tampak pucat pasi. Padahal keesokan harinya ia harus
bertugas menari lagi sampai genap 7 (tujuh) hari.
Menonton Seblang di Olehsari
tahun ini, ada satu hal yang sangat menarik. Seperti diketahui, prosesi
penunjukkan kandidat penari Seblang juga tak luput dari aspek kekuatan
supranatural. Setiap bulan puasa menjelang hari raya Lebaran, gergiliran salah
satu ibu rumah tangga yang biasanya berusia 30 (tiga puluh) tahun ketas
kesurupan. Tahun ini adalah Mbok Sutrinah, yang diluar kesadarannya
menyebut-neyebut nama Wiwin berulang-ulang. Itu berarti Wiwin adalah anak
perawan yang tiba bergiliran menjadi penari Seblang tahun ini.
Tetapi diluar dugaan, Wiwin yang
ditunjuk oleh Roh Halus sebagai penari Seblang tahun ini justru tidak bersedia.
Mengapa sampai demikian ? Tidak takutkah dia terhadap Roh Halus ? Seorang
pemuda yang saya temui di arena pertunjukkan mengatakan : “Wiwin, heng oleh
ambi sir-siranek !!”. “Wiwin tidak boleh (menari) sama pacarnya” demikian
ujarnya sambil menikmati pertunjukan Seblang.
Semenjak dahulu, penari Seblang
selalu memiliki garis keturunan dengan penari-penari Seblang sebelumnya.
Sehingga, karena warga takut dengan batalnya acara sakral tersebut, Salwati
(yang masih bersaudara dengan Wiwin) dibujuk menggantikannya. Dengan penuh
kesadaran Salwati akhirnya bersedia. Ditanya tentang konsekwensi ketidak sediaan
WIwin sebagai penari tahun ini, seorang tetua mengatakan : “Kadung ono
paran-paran, ison heng ero jawanek !!” Artinya : “Jika ternyata terjadi
sesuatu, saya tidak tahu menahu !!’ Belakangan ada isyu yang terdengar, Wiwin
mengalami “Stress dan depresi yang aneh”.
Perbedaan dengan Seblang di
Bakungan
Secara awam jika kita perhatikan
sepintas, prosesi penyelenggaraan Seblang di Bakungan tidaklah jauh berbeda
dengan di Olehsari. Meskipun jelas banyak sekali terdapat perbedaan jika kita
tinjau lebih mendalam.
Di Bakungan persiapan Seblang
dimulai dengan mempersiapkan sesaji dan membersihkan benda-benda pusaka di
“Balai Tajuk”. Disusul dengan pawai obor “Ider bumi” dengan mengumandangkan
Adzan, Istigfar dan doa Qunut. Tak ketinggalan “selamatan kampung” dengan
sajian berupa Nasi Putih dengan lauk Ayam Panggang yang dicampur kukuran kelapa
dengan sayuran terung, pakis dan kacang panjang yang tidak boleh
dipotong-potong.
Waktu penyelenggaraan tidaklah sama, di Olehsari dilakukan disekitar 3 (tiga) hari setelah Hari Raya Lebaran, dan pertunjukan dilakukan sejak Mentari diatas kepala sampai dengan lenyap dari pandangan mata. Tetapi di Kelurahan Bakungan, upacara dilaksanakan malam hari, selepas magrib sampai pukul 24.00 tengah malam, dimalam Senin atau malam Jum’at pertama bulan Haji (Besar).
Waktu penyelenggaraan tidaklah sama, di Olehsari dilakukan disekitar 3 (tiga) hari setelah Hari Raya Lebaran, dan pertunjukan dilakukan sejak Mentari diatas kepala sampai dengan lenyap dari pandangan mata. Tetapi di Kelurahan Bakungan, upacara dilaksanakan malam hari, selepas magrib sampai pukul 24.00 tengah malam, dimalam Senin atau malam Jum’at pertama bulan Haji (Besar).
Penunjukkan Siapa bakal penari
Seblang di Kelurahan Bakungan dilakukan atas dasar ‘wisik gaib’ yang diterima
Sang Pawang, bukan lewat seorang ibu setengah baya yang kesurupan sepertihalnya
di Desa Olehsari. Dan penari Seblang di Bakungan dilakukan oleh seorang janda
tua, bukan seorang anak perawan yang baru akil balik.
Beberapa hal yang berbeda lagi
antara keduanya adalah mengenai “Omprok” (mahkota) dan Gamelan. Di Kelurahan
Bakungan, Omprok penari dibuat secara permanen dari tahun ke tahun. Berlainan
di Desa Olehsari, setiap penampilan selalu dibuatkan Omprok baru, sebab
bahannya terbuat dari daun pisang yang cepat layu.
Sedangkan untuk instrumen musik
pendukung pada Seblang Bakungan menggunakan perangkat Gamelan Jawa laras Selendro
dan terkadang ditambahkan Biola. namun berlainan dengan di Olehsari yang
mempergunakan ‘Instrumen banyuwangi’ yamg terdiri dari : Kendang, Gong, Peking,
Slenthem dan Biola.
Kemudian karena penari Seblang di
Bakungan menari dengan membawa keris yang terhunus, sehingga di acara penutup
terdapat prosesi “Manjer Keling” yaitu penari Seblang menari seraya mengadu dua
Keris yang dipegangnya. Seblang di Olehsari tidak terdapat fase prosesi ini.
Macam-Macam
Puisi Lisan Osing Banyuwangi
Wangsalan Osing :
adalah ragam puisi
lisan osing berupa ungkapan atau pernyataan tidak langsung dengan cara
memanfaatkan persamaan bunyi akhir atau sebagian bunyi jawaban atas frase yang
disampaikan sebelumnya. Dengan kata lain, Wangsalan Osing adalah teka-teki yang
memiliki jawaban secara tersamar pada ungkapan …yang telah disampaikan dengan
ciri-ciri memiliki persamaan bunyi.
Basanan Osing :
adalah ragam puisi
lisan osing yang di dalamnya mengandung unsur SAMPIRAN dan ISI.
SAMPIRAN adalah semacam ungkapan pengantar dengan menggunakan kata atau frase yang memiliki kemiripan bunyi akhir dengan isi basanan.
Sementara itu, ISI adalah pesan atau arti yang disampaikan dalam basanan.
Secara garis besar basanan osing dapat dipilah menjadi dua,yakni BASANAN DUA LARIK dan BASANAN EMPAT LARIK.
SAMPIRAN adalah semacam ungkapan pengantar dengan menggunakan kata atau frase yang memiliki kemiripan bunyi akhir dengan isi basanan.
Sementara itu, ISI adalah pesan atau arti yang disampaikan dalam basanan.
Secara garis besar basanan osing dapat dipilah menjadi dua,yakni BASANAN DUA LARIK dan BASANAN EMPAT LARIK.
Batêkan / Byatakan :
adalah merupakan
ragam puisi lisan osing yang berupa teka-teki.
Batêkan berbeda dengan wangsalan. Wangsalan merupakan bentuk pertanyaan tidak langsung (teka-teki) yang unsur jawabannya telah termuat secara implisit dalam bentuk persamaan bunyi dengan jawaban denotatif dari pertanyaan yang bersangkutan.
Semantara itu, batêkan merupakan teka-teki yang bersifat murni karena jawabannya harus dicari atau dicocokan dengan fenomena atau kejadian sehari-hari. Meskipun demikian, batêkan seringkali menjengkelkan karena teka-teki tersebut cenderung menggiring seseorang untuk berpikir serius ( menguras logika ), sedangkan jawabannya bersifat sederhana atau remeh.
Batêkan berbeda dengan wangsalan. Wangsalan merupakan bentuk pertanyaan tidak langsung (teka-teki) yang unsur jawabannya telah termuat secara implisit dalam bentuk persamaan bunyi dengan jawaban denotatif dari pertanyaan yang bersangkutan.
Semantara itu, batêkan merupakan teka-teki yang bersifat murni karena jawabannya harus dicari atau dicocokan dengan fenomena atau kejadian sehari-hari. Meskipun demikian, batêkan seringkali menjengkelkan karena teka-teki tersebut cenderung menggiring seseorang untuk berpikir serius ( menguras logika ), sedangkan jawabannya bersifat sederhana atau remeh.
MANTRA :
adalah juga merupakan
ragam puisi lisan Osing yang berbentuk puisi bebas dan berpotensi memiliki
kekuatan gaib. Mantra tidak memiliki bait. Banyak kajian tentang puisi lisan
osing yang tidak menyentuh mantra sebagai objek karena ada kesan yang
mengandaikan bahwa mantra bukan merupakan puisi.
Mantra yang notabene merupakan do’a kesukuan adalah salah satu ekspresi kelisanan yang dari struktur tekstualnya dikategorikan sebagai puisi lisan.
Mantra Osing merupakan satu-satunya jenis puisi lisan osing yang sarat dengan unsur sakralitas. Dengan dominannya unsur sakralitas tersebut, menimbulkan citra bahwa mantra identik dengan dukun. Padahal kenyataannya tidak selalu demikian. Sebab, dalam masyarakat using, orang yang memiliki mantra tidak hanya dukun, tetapi juga orang-orang biasa atau orang-orang yang tidak berprofesi sebagai dukun.
Secara garis besar, mantra Osing dapat dipilah menjadi tiga jenis, yaitu mantra untuk penyembuhan ( Tombo ) , mantra untuk pengasihan ( Santèt ) , dan mantra untuk pembunuhan ( Sihir ). Mantra penyembuhan ( Tombo ) mengandung magi putih, mantara Santèt mengandung magi kuning dan merah, sedangkan mantra Sihir mengandung magi hitam.
Mantra yang notabene merupakan do’a kesukuan adalah salah satu ekspresi kelisanan yang dari struktur tekstualnya dikategorikan sebagai puisi lisan.
Mantra Osing merupakan satu-satunya jenis puisi lisan osing yang sarat dengan unsur sakralitas. Dengan dominannya unsur sakralitas tersebut, menimbulkan citra bahwa mantra identik dengan dukun. Padahal kenyataannya tidak selalu demikian. Sebab, dalam masyarakat using, orang yang memiliki mantra tidak hanya dukun, tetapi juga orang-orang biasa atau orang-orang yang tidak berprofesi sebagai dukun.
Secara garis besar, mantra Osing dapat dipilah menjadi tiga jenis, yaitu mantra untuk penyembuhan ( Tombo ) , mantra untuk pengasihan ( Santèt ) , dan mantra untuk pembunuhan ( Sihir ). Mantra penyembuhan ( Tombo ) mengandung magi putih, mantara Santèt mengandung magi kuning dan merah, sedangkan mantra Sihir mengandung magi hitam.
Sumber tulisan diambil dari mana, tidak disebutkan... Padahal itu hasil tulisan beberapa orang dirangkung jadi satu. Tolong yang sportif menyebutkan sumbernya..
Sumber tulisan diambil dari mana, tidak disebutkan... Padahal itu hasil tulisan beberapa orang dirangkung jadi satu. Tolong yang sportif menyebutkan sumbernya..