Bahasa asli suku using
merupakan turunan langsung dari bahasa Jawa kuno.Suku using mempunyai Bahasa using yang merupakan turunan langsung dari Bahasa Jawa Kuno seperti halnya
Bahasa Bali.Suku Osing mempunyai Bahasa using yang merupakan
turunan langsung dari Bahasa Jawa Kuno seperti halnya Bahasa
Bali.Sebagian orang menyebutnya dengan bahasa “banyuwangen”. Bahasa Osing sangat berbeda dengan Bahasa
Jawa sehingga bahasa Osing bukan merupakan dialek dari bahasa Jawa seperti
anggapan beberapa kalangan. Bahasa Osing tidak mengenal
tingkatan seperti bahasa jawa yang mengenal tingkat yaitu “ngoko”,
“boso atau kromo madyo” dan “kromo inggil”.
· Bahasa Using tidak Mengenal Bahasa Kromo
bahasa
Jawa mengenal ragam yang disebut sebagai kromo, madya dan ngoko. Pembagian
semacam ini muncul pada masa awal Kerajaan Mataram pimpinan Sultan Agung,
dimana pada sebelumnya, bahasa JAwa tidak mengenal susunan semacam itu,
sebagaimana yang dipahami, bahasa Jawa Kuno tidak mengenal bentuk-bentuk
semacam ini. Dalam tingkat tutur ngoko, tidak ada perbedaan antara lawan bicara
disamping digunakan kepada org2 yang ada di lapisan sama ataupun sebaya.
Sedangkan kromo dicitrakan sebagai tingkatan sopan santun dalam berbicara,
menunjukkan ‘keanggunan’ dalam berbicara serta dianggap njawani . Tingkatan ini
dipakai oleh para bawahan atau orang-orang dibawah maupun dalam keadaan resmi.
Serta untuk orang yang belum dikenal.
· Menurut
Poedjosoedarsono dkk (1979), sebenarnya bahasa Ngoko adalah dasar dari semua
kosakata bahasa Jawa. Karena itulah, maka bahasa Kromo tidak dapat disamakan
atau disetarakan dengan ragam ngoko, karena terlalu banyaknya kata ngoko yang
tidak memiliki padanan kromonya. Jumlah kosakata Ngoko mencapai ratusan ribu,
sedangkan Kromo hanya berjumlah 850 kata, bahkan untuk Kromo Inggil hanya
berjumlah 250 kata.
mengapa terjadi Ngoko-Kromo?
Menurut Benedict Anderson (1990), hal tersebut disebabkan adanya krisis politik-budaya yang terjadi di tanah Jawa sejak abad ke-16, dan makin mendalam sejak penjajahan Belanda yang serempak memfosilkan penguasa Jawa dan memfeodalkan hubungan mereka dengan rakyat bawah. Menurut Anderson lagi, bentuk Kromo ini adalah bentuk kekuasaan Jawa yang secara nyata (de facto), telah hilang. Raja-raja Jawa dijadikan sebagai boneka hidup yang dikendalikan Belanda.
Menurut Benedict Anderson (1990), hal tersebut disebabkan adanya krisis politik-budaya yang terjadi di tanah Jawa sejak abad ke-16, dan makin mendalam sejak penjajahan Belanda yang serempak memfosilkan penguasa Jawa dan memfeodalkan hubungan mereka dengan rakyat bawah. Menurut Anderson lagi, bentuk Kromo ini adalah bentuk kekuasaan Jawa yang secara nyata (de facto), telah hilang. Raja-raja Jawa dijadikan sebagai boneka hidup yang dikendalikan Belanda.
Dari
sinilah akhirnya muncul hirarki dalam bahasa Jawa yang berakar dari feodalisme
dan dianggap sangat menguntungkan bagi penjajah pada waktu itu, karena dapat
memperlancar kepentingannya dengan bersembunyi dibalik raja-raja kecil tadi.
Dari sinilah mengapa bahasa Kromo sangat sedikit kosakatanya itu disebabkan
oleh pengendalian atas apa yang hendak dikatakannya. Ditunjang dengan sistem
kebangsawanan.
· Mengapa
Bentuk Kromo-Inggil tidak dikenal di Banyuwangi?
jarang sekali masyarakat Using di Banyuwangi menggunakan ragam kromo-ngoko sebagaimana masyarakat Jawa lainnya. Sebagaimana mereka tidak begitu menyukai kesenian-kesenian dari Jawa Tengahan. Mereka hanya berbahasa seperti ‘kromo’ pada hal-hal yang bersifat keagamaan atau hal-hal kegaiban, bukan dalam kehidupan sehari-hari.
jarang sekali masyarakat Using di Banyuwangi menggunakan ragam kromo-ngoko sebagaimana masyarakat Jawa lainnya. Sebagaimana mereka tidak begitu menyukai kesenian-kesenian dari Jawa Tengahan. Mereka hanya berbahasa seperti ‘kromo’ pada hal-hal yang bersifat keagamaan atau hal-hal kegaiban, bukan dalam kehidupan sehari-hari.
·
masyarakat Using Banyuwangi hanya mengenal 2 ragam wicara, yakni : Cara Using
dan Cara Besiki. Cara Using ini dipakai setara antara tua-muda, kaya-miskin,
pintar-bodoh dan semua lapisan masyarakatnya. Tidak ada jarak antara tua-muda
dalam hal ini. Pembedanya hanya pada kata ganti atau pronomina belaka
· Bentuk
siro dipakai sebagai tanda hormat kepada yang lebih tua dan yang tidak dikenal.
Hanya itu saja pembatasnya, selebihnya tetap, meski kerap dianggap orang Jawa
tidak Njawani. Penyebab utamanya adalah, hilangnya sistem kebangsawanan di
Banyuwangi sejak abad ke-18, dan hubungan antara penguasa kolonial dengan
desa-desa sangat longgar tidak seperti di tanah Jawa lainnya. Sehingga pada
hakikatnya desa di Banyuwangi waktu itu sifatnya mandiri, dan penguasa pusat
hanya berperan sebagai “Lebah Ratu”, berbeda sekali, sehingga pola kekuasaan
ala Jawa tidak dapat .meresap sempurna di ujung timur Jawa.
Sedangkan Cara Besiki adalah ragam Jawa yang ‘diterima’
masyarakat Using Banyuwangi sebagai bentuk ideal dalam berbahasa. Namun hanya
bentuk ideal, bukan dalam percakapan sehari-hari. Cara Besiki ini dipakai pada
acara perkawinan, kematian, lamaran (tegoran) dan acara-acara bersifat
keagamaan. Dalam artian mereka menganggap Cara Besiki ini sebagai bentuk
sakral, bukan hirarkis.
namun dialek bahasa
Osing berbeda dengan bahasa Jawa. Bahasa Osing mengenal sisem ajaran yang khas
yaitu kata-kata yang didahului dengan konsonan (B, D, G) serta di beri sisipan
(Y), contohnya : abang menjadi abyang, abah menjadi abyah.
Beberapa Kata Bahasa
Osing Yang Hilang
- Maradian : Elek’an
- Banget : Temenanan
- Puter Kayun : Munyeng2 kutho
- Pesamaan : Buri (Mburi koyone)
- Puldrah : Sambutan
- Lakar : Kepingin ngising (Kebelet)
- Kampiun : Juara
- Ketebang-tebong : Lelet
- Angtegno : Pengarepno
- Balene : Nang ngarep
- Kelangsut : Kebabas
- Genderan : Padang temenenanan
- Padusan : Tempat mandi
- Hing Entjos : Hing biso
- Kelukur : Nang duwur
- Welangketen : Kewaregen
- Welangkugen : Muntah-muntah
- Kemarang : Wadae Sego