kesenian yang ada dimasyarakat suku anak dlam


KESENIAN



BUDAYA MELANGUN
            Apabila ada Suku Anak Dalam / anggota keluarganya meninggal dunia maka peristiwa ini merupakan kejadian yang sangfat menyedihkan bagi seluruh warga Suku Anak Dalam terutama keluarganya. Kelompok mereka yang berada disekitar itu akan pergi karena menganggap bahwa tempat terjadinya orang meninggal itu dianggap sial, disamping mereka ingin melupakan sedihnya. Mereka meninggalkan tempat mereka tersebut dalam waktu yang cukup lama, biasanya 10 ? 12 tahun pada waktu dahulu, namun kini karena wilayah mereka sudah semakin sempit ( Taman Nasional Buki XII ) sudah banyak dijarah oleh orang, maka masa melangun mereka menjadi semakin singkat yaitu sekitar 4 bulan sampai satu tahun. Wilayah melangun merekapun semakin dekat, tidak sejauh dahulu.
Pada masa sekarang apabila terjadi kematian di suatu daerah juga tidak seluruh anggota Suku Anak Dalam tersebut yang pergi melangun. Hanya angota keluarga-keluarga mendiang saja yang pergi melangun.
            Pada saat kematian terjadi seluruh anggota Suku Anak Dalam yang meninggal dunia merasa sedih yang mendalam, mereka menangis dan meraung-raung selama satu minggu. Sebagian wanitanya sampai menghempas-hempaskan badannya ke pohon besar atau tanah, mereka ada yang berteriak dan berkata-kata laa illa hail, ya Tuhan kami kembalikan nyawo urang kami yang mati.
            Jenazah orang yang telah meninggal kemudian ditutup dengan kain dari mata kaki hingga menutupi kepala kemudian diangkat oleh sebanyak 3 orang dari sudung / rumah menuju peristirahatannya yang terakhir di sebuah pondok yang terletak lebih dari 4 Km ke dalam hutan.
Pondok jenazah ini jika orang dewasa tingginya 12 undukan dari tanah, jika anak-anak 4 undukan dari tanah. Pondok ini diberi alas dari batang-batang kayu bulat kecil dan diberi atap daun-daun kering. Jenazah Suku Anak Dalam tidak dimandikan dan dikuburkan dalam tanah. Menurut tradisi meraka, orang yang sudah meninggal masih mungkin hidup kembali, jika mereka dikuburkan dalam tanah, maka orang yang sudah meninggal tersebut tidak mempunyai kesempatan untuk bangkit kembali menemui kelompoknya.
            Setelah ditanya mengapa demikian, sebenarnya ini bermula dari peristiwa dahulu dimana orang yang sudah sekarat / sakit yang sangat berat ( mungkin pingsan dalam waktu yang lama ) ditinggalkan oleh kelompoknya di sebuah pondok di dalam hutan, ternyata ada diantara mereka yang dapat hidup dan sehat kembali serta berhasil kembali kepada kelompoknya. Kejadian ini yang mengilhami meraka untuk tidak menguburkan jenazah orang yang sudah meninggal.
Anggota kelompok meraka masih sesekali menengok pondok jenazah tersebut diletakan, mereke menengok dari jarak jauh untuk memastikan keadaan jenazah tersebut. Dalam hal ini yang menjadi tabu buat mereka, yaitu pelarangan menyebut rekan / keluarganya yang sudah meninggal dunia karena hal ini akan membuat mereka merasa kembali kepada kesedihan yang mendalam. Mereka mengatakan seperti janganlah kawan sebut-sebut lagi orang yang sudah mati.


SELOKO DAN MANTERA

            Kehidupan Suku Anak Dalam sangat dipengaruhi oleh aturan-aturan hukum yang sudah diterapkan dealam bentuk seloko-seloko yang secara tegas dijadikan pedoman hukum oleh para pemimpin Suku Anak Dalam, khususnya Tumenggung dalam membuat suatu keputusan. Seloko juga menjadi pedoman dalam bertutur kata dan bertingkah laku serta dalam kehidupan bermasyarakat Suku Anak Dalam. Bentuk seloko itu antara lain :
            - Bak emas dengan suasa
            - Bak tali berpintal tigo
            - Yang tersurat dan tersirat
            - Mengaji di atas surat
            - Banyak daun tempat berteduh
            - Meratap di atas bangkai.

Ada satu seloka yang bisa menjelaskan tentang Orang Rimba:
            Bertubuh onggok
            berpisang cangko
            beratap tikai
            berdinding baner
            melemak buah betatal
            minum air dari bonggol kayu.

Ada lagi:
            berkambing kijang
            berkerbau tenu
            bersapi ruso

            Mereka sehari-harinya tanpa baju, kecuali cawat penutup kemaluan. Rumahnya hanyalah beratap rumbia dan dinding dari kayu.

            Cara hidup dengan makan buah-buahan di hutan, berburu, dan mengonsumsi air dari sungai yang diambil dengan bonggol kayu. Makanan mereka bukan hewan ternak, tetapi kijang, ayam hutan, dan rusa.
            Identitas Orang Rimba yang tertuang lewat seloka, membedakannya dari orang terang – sebutan untuk masyarakat di desa.
Mereka membuat seloka tentang orang terang:
            berpinang gayur
            berumah tanggo
            berdusun beralaman
            beternak angso

            Seloka yang muncul lewat mimpi juga memberi panduan mengenai hidup sosial di rimba. Aturan-aturan Orang Rimba memang tidak jauh dari Pucuk Undang Nang Delapan, yang dibawa dari minang. Aturan rimba sendiri melarang adanya pembunuhan, pencurian, dan pemerkosaan. Inilah larangan terberat, yang jika dilanggar akan dikenai hukuman 500 lembar kain. Jumlah kain sebanyak itu dinilai sangat berat, dan sangat sulit disanggupi, karenanya Orang Rimba berusaha untuk mematuhi.

            Seloko-seloko adat ini menurut mereka tidak hilang dan tidak bias ( berubah ). Seloko-

seloko adat dan cerita asal usul mereka adalah cerita Tumenggung Kecik Pagar Aalam Ngunci Lidah yang usianya pada saat ini sekitar 80 tahun lebih, padahal Tumenggung yang kami wawancarai merupakan anak Tumenggung Berambai yang sebelumnya sangat berwibawa di kalangan Suku Anak Dalam.
            Keadaan semacam ini menjadikan bahwa sebagian dari para Tumenggung telah kehilangan kewibawaannya di mata kelompok atau masyarakat luas. Hasil pengamatan kami terhadap beberapa matera yang mereka ucapkan ternyata terdapat dalam mantera-mantera yang diperkirakan sudah mengalami persentuhan dengan agama Islam dimasa lalu. Hal ini antara lain terdapatnya pengucapan kalimat mantera di bagian awalnya yang berbunyi ?Bismillah Ahim? serta penyebutan nama Nabi Adam dalam beberapa manteranya


BESALE
            Asal kata besale sampai saat ini belum diketahui, namun demikian dapat diartikan secara harafiah duduk bersama untuk bersama-sama memohon kepada Yang Kuasa agar diberikan kesehatan, ketentraman dan dihindarkan dari mara bahaya. Besale dilaksanakan pada malam hari yang dipimpin oleh seorang tokoh yang disegani yang disebut dukun. Tokoh ini harus memiliki kemampuan lebih dan mampu berkomunikasi dengan dunia ghaib/arwah. Sesajian disediakan untuk melengkapi upacara. Pada intinya upacara besale merupakan kegiatan sakral yang bertujuan untuk mengobati anggota yang sakit atau untuk menolak bala. Pelengkap besale lainnya berupa bunyi-bunyian dan tarian yang mengiringi proses pengobatan.
            Suku Anak Dalam meyakini bahwa penyakit yang diderita sisakit merupakan kemurkaan dari dewa atau roh jahat oleh sebab itu perlu memohon ampunan agar penyakit yang diderita dapat disembuhkan. Properti yang digunakan dalam upacara besale sangat sarat dengan simbol-simbol.Dari proses adaptasinya dengan lingkungan, Suku Anak Dalam juga memilki pengetahuan tentang bahan pengobatan yang berasal dari tumbuh-tumbuhan dan hewan. Melalui panca indranya mampu membedakan tumbuhan beracun dan tidak beracun termasuk mengolahnya. Pengetahuannya tentang teknologi sangat sederhana, namun memiliki kemampuan mendeteksi masalah cuaca, penyakit dan mencari jejak.



Ciri-ciri fisik dan non fisik
Suku anak dalam termasuk golongan ras mongoloid yang termasuk dalam migrasi pertama dari manusia proto melayu. kulit sawo matang, rambut agak keriting, telapak kaki tebal, laki-laki dan perempuan yang dewasa banyak makan sirih. Ciri fisik lain yang menonjol adalah penampilan gigi mereka yang tidak terawat dan berwarna kecoklatan. Hal ini terkait dengan kebiasaan mereka yang dari kecil nyaris tidak berhenti merokok serta rambut yang terlihat kusut karena jarang disisir dan hanya dibasahi saja
.
.





0 Responses