Kesenian
Seni Bangunan
Bangunan untuk peribadatan berupa pura disebut punden, danyam, dan
poten. Poten adalah sebidang tanah dilautan pasir sebagai tempat berlangsungnya
upacara Kasada. Poten dibagi menjadi tiga mandala atau zone yaitu :
1. mandala utama disebut jeroan yaitu tempat pelaksanaan pemujaan yang
terdiri dari padma, bedawang, nala, bangunan sekepat, dan kori agung candi
bentar.
2. mandala madya atau zone tengah, disebut juga jaba tengah yaitu
tempat persiapan pengiring upacara yang terdiri dari kori agung candi bentar
bale kentongan, dan Bale Bengong.
3. mandala nista atau zone depan, disebut juga jaba sisi yaitu tempat
peralian dari luar kedalam pura yang terdiri dari bangunan candi bentar dan
bangunan penunjang lainnya.
Seni tari
Tari Ujung
Tari Ujung adalah salah satu tari traditional dan kombinasi dari olah
raga khas suku Tengger, di wilayah gunung Bromo. Tarian ini dimainkan oleh dua
orang pria yang silih berganti memukul lawan dengan menggunakan rotan.
Tari ini diadakan untuk merayakan pernikahan dan sebagai bentuk acara ritual ada Tengger, dan sebagai upacara ritual umat Hindu. Saat dua pemain saling memecuti, akan terdengar alunan musik traditional Tengger sebagai pengiring musik.
Atraksi ini umumnya diadakan setahun sekali dan diikuti oleh masyarakat sekitar Pasuruan. Atraksi ini terlihat begitu menakutkan saat rotan tersebut dipukulkan ke punggung para penari. Kita tidak akan menemukan atraksi yang sama di daerah lain kecuali di Pasuruan.
Tari Remo
Tarian ini pada awalnya merupakan tarian yang digunakan sebagai pengantar pertunjukan ludruk. Namun, pada perkembangannya tarian ini sering ditarikan secara terpisah sebagai sambutan atas tamu kenegaraan, ditarikan dalam upacara-upacara kenegaraan, maupun dalam festival kesenian daerah. Tarian ini sebenarnya menceritakan tentang perjuangan seorang pangeran dalam medan laga. Akan tetapi dalam perkembangannya tarian ini menjadi lebih sering ditarikan oleh perempuan, sehingga memunculkan gaya tarian yang lain: Remo Putri atau tari remo gaya perempuan.
Terdiri atas ikat kepala merah, baju
tanpa kancing yang berwarna hitam dengan gaya kerajaan pada abad ke-18, celana
sebatas pertengahan betis yang dikait dengan jarum emas, sarung batik Pesisiran
yang menjuntai hingga ke lutut, setagen yang diikat di pinggang, serta keris
menyelip di belakang. Penari memakai dua selendang, yang mana satu dipakai di
pinggang dan yang lain disematkan di bahu, dengan masing-masing tangan penari
memegang masing-masing ujung selendang. Selain itu, terdapat pula gelang kaki
berupa kumpulan lonceng yang dilingkarkan di pergelangan kaki.
Tari ini diadakan untuk merayakan pernikahan dan sebagai bentuk acara ritual ada Tengger, dan sebagai upacara ritual umat Hindu. Saat dua pemain saling memecuti, akan terdengar alunan musik traditional Tengger sebagai pengiring musik.
Atraksi ini umumnya diadakan setahun sekali dan diikuti oleh masyarakat sekitar Pasuruan. Atraksi ini terlihat begitu menakutkan saat rotan tersebut dipukulkan ke punggung para penari. Kita tidak akan menemukan atraksi yang sama di daerah lain kecuali di Pasuruan.
Tari Remo
Tarian ini pada awalnya merupakan tarian yang digunakan sebagai pengantar pertunjukan ludruk. Namun, pada perkembangannya tarian ini sering ditarikan secara terpisah sebagai sambutan atas tamu kenegaraan, ditarikan dalam upacara-upacara kenegaraan, maupun dalam festival kesenian daerah. Tarian ini sebenarnya menceritakan tentang perjuangan seorang pangeran dalam medan laga. Akan tetapi dalam perkembangannya tarian ini menjadi lebih sering ditarikan oleh perempuan, sehingga memunculkan gaya tarian yang lain: Remo Putri atau tari remo gaya perempuan.
Gerakan
Karakteristika yang paling utama dari
Tari Remo adalah gerakan kaki yang rancak dan dinamis. Lonceng dipasang juga pada pergelangan kaki penari. Lonceng ini
berbunyi saat penari melangkah atau menghentak di panggung. Selain itu,
karakteristika yang lain yakni gerakan selendang atau sampur, gerakan anggukan
dan gelengan kepala, ekspresi wajah, dan kuda-kuda penari membuat tarian ini
semakin atraktif.
Tata Busana
Busana dari penari Remo ada berbagai
macam gaya, di antaranya: Gaya Sawunggaling, Surabayan, Malangan, dan
Jombangan. Selain itu terdapat pula busana yang khas dipakai bagi Tari Remo
gaya perempuan.
Busana gaya Surabayan
Busana Gaya Sawunggaling
Pada dasarnya busana yang dipakai sama
dengan gaya Surabayan, namun yang membedakan yakni penggunaan kaus putih
berlengan panjang sebagai ganti dari baju hitam kerajaan.
Busana Gaya Malangan
Busana gaya Malangan pada dasarnya
juga sama dengan busana gaya Surabayan, namun yang membedakan yakni pada
celananya yang panjang hingga menyentuh mata kaki serta tidak disemat dengan
jarum.
Busana Gaya Jombangan
Busana gaya Jombangan pada dasarnya
sama dengan gaya Sawunggaling, namun perbedaannya adalah penari tidak
menggunakan kaus tetapi menggunakan rompi.
Busana Remo Putri
Remo Putri mempunyai busana yang
berbeda dengan gaya remo yang asli. Penari memakai sanggul, memakai mekak hitam
untuk menutup bagian dada, memakai rapak untuk menutup bagian pinggang sampai
ke lutut, serta hanya menggunakan satu selendang saja yang disemat di bahu
bahu.
Pengiring
Musik yang mengiringi Tari Remo
ini adalah gamelan,
yang biasanya terdiri atas bonang barung/babok, bonang penerus, saron, gambang,
gender, slentem siter, seruling, kethuk, kenong, kempul, dan gong. Adapun jenis
irama yang sering dibawakan untuk mengiringi Tari Remo adalah
Jula-Juli dan Tropongan, namun dapat pula berupa gending Walangkekek, Gedok
Rancak, Krucilan atau gending-gending kreasi baru.
kebudayaan
Upacara karo
Upacara Karo adalah sebuah upacara
hari raya terbesar masyarakat Tengger yang konon masih memiliki darah keturunan
dengan kerajaan Majapahit. Oleh karena itu, karena masih memiliki hubungan
darah dengan kerajaan Majapahit inilah agama yang dianut oleh hampir
keseluruhan masyarakat Tengger ini adalah Hindu Majapahit. Maka dari itu
sebagaimana halnya kebudayaan dari Hindu Majapahit pada umumnya, di wilayah
Tengger ini pun di percaya sebagai Hila-hila, yang dalam bahasa Tengger berarti
tanah yang suci. Masyarakat adat Tengger sendiri paling tidak memiliki 6 ritual
adat dalam setahunnya untuk memberikan pemujaan kepada Sang Hyang Widi Wasa dan
menghormati roh leluhur sekaligus meminta berkah dan keselamatan. Dan yang
terbesar dan tersohor dari keenam upacara adat itu diantaranya adalah Ritual
Adat Karo.
Ritual
upacara Adat Karo sendiri dipimpin oleh beberapa Ratu yang telah ditunjuk oleh masyarakat tengger sendiri. Kata Ratu sendiri
di mata masyarakat Tengger berarti pemimpin dan sama sekali tidak berkonotasi
perempuan. Jadi Ratu dalam hal ini adalah pemimpin yang bisa saja berkelamin
laki-laki. Ritual karo sendiri dibuka dengan pertemuan kedua orang Ratu dalam
sebuah tempat yang nantinya akan dipakai sebagai tempat berlangsungnya upacara.
Pertemuan kedua ratu ini menjadi tanda dimulainya Upacara Sodoran, salah satu
bagian dari rangkaian Karo. Perjumpaan tersebut melambangkan bersatunya roh
leluhur, cikal bakal manusia, yakni laki-laki dan perempuan.
Sambil bergandengan tangan, kedua ratu memasuki tempat tersebut. Dalam ritual ini yang boleh mengikuti jalannya upacara hanya kaum laki-laki saja dan kaum perempuan sama sekali tidak diperbolehkan mengikutinya. Dan setelah semua hadirin dipastikan telah hadir semua maka upacara ini pun dibuka dengan pembacaan mantera yang dilakukan oleh kedua Ratu mereka untuk mensucikan tempat dimana upacara itu berlangsung. Setelah itu barulah diadakan upacara memandikan Jimat Kelontongan diiringi dengan tarian sodor. Jimat kelontongan sendiri merupakan sekumpulan benda keramat. Sedangkan tarian sodor adalah sebuah tarian yang dilakukan oleh 4 orang secara bergiliran (dari semula hanya satu penari kemudian secara simultan bertambah hingga kemudian genap menjadi 4 penari dan saling berpasangan satu sama lain) yang melambangkan pertambahan generasi dari waktu ke waktu. upacara sodoran ini hampir usai di luar kaum ibu-ibu beserta anak mereka pun mulai berdatangan sambil membawa makanan buat suami dan ayah mereka yang sedang melakukan upacara sodoran. Inilah alasan kenapa selama berlangsungnya acara sodoran ini kaum perempuan tidak diperbolehkan ikut, karena mereka harus menyiapkan makanan yang akan di santap oleh para suami setelah upacara selsai.
Pada sore harinya secara marathon upacara sodoran ini pun dilanjutkan dengan upacara tumpeng gede untuk mengungkapkan perasaan syukur mereka dangan hasil panen yang melimpah dan dianugerahi tanah yang subur. Tumpeng-tumpeng ini dikumpulkan dari warga, lalu dimantrakan oleh dukun adat desa setempat. Tumpeng yang sudah dimantrai, dibagi-bagikan kepada warga untuk digunakan dalam ritual selanjutnya, Sesandingan. Ritual Sesandingan inilah yang diyakini masyarakat Tengger sebagai puncak dari acara. Begitu upacara tumpeng gedhe selesai pada keesokan harinya warga pun menggelar upacara Sesandingan di rumah masing-masing yang bertujuan untuk memberikan makanan atau dedaharan kepada leluhur mereka. Yang unik dari upacara ini adalah upacara itu harus dipimpin oleh dukun adat mereka masing-masing yang dalam satu desa atau Hila-hila biasanya hanya terdapat satu dukun adat saja. Bayangkan, ang dukun harus mendatangi rumah warganya satu persatu untuk memimpin upacara tersebut. Maka dari itu tak heran kiranya jika satu dukun dalam masyarakat Tengger dalam upacara ini harus berkeliling mendatangi rumah warganya satu persatu memakan waktu hingga 15 jam nonstop. Padahal tugasnya tidak berhenti pada ritual Sesandingan, tapi berlanjut hingga akhir acara Karo. Yang perlu anda tahu, untuk menjadi dukun adat ini seseorang setidaknya harus menghafal sekitar 90 bab mantra, yang berbahasa Jawa Kuno. Mungkin itulah sebabnya, sosok dukun adat yang begitu sentral perannya dalam masyarakat suku tengger yang banyak tak mampu melakukannya.
Baru setelah acara puncak sesandingan selesai, pada hari keempat dan kelima masyarakat Tengger berkeliling kampung untuk bersilaturahmi dengan sanak kerabat mereka layaknya hari lebaran pada agama-agama lainnya berikut sowan ke kuburan untuk nyekar kepada makam leluhur dan anggota keluarga mereka yang telah meninggal. Berziarah ke makam leluhur atau nyadran, adalah bagian dari ritual Karo yang dilakukan sehari sebelum ritual penutup, yakni hari ke-6. Makam pertama yang didatangi adalah makam kramat Sang Eyang Guru.Masyarakat Tengger percaya, doa dan harapan mereka akan dikabulkan, bila rajin memberikan sesajian kepada Sang Guru.Yang menarik dalam ritual tersebut adalah, saat dukun adat melemparkan uang logam dan ayam yang telah dimanterakan sebelumnya, untuk diperebutkan anak-anak dan remaja.
Dari makam Sang Guru, nyadran kemudian dilanjutkan ke makam keluarga. Ini bukanlah aksi gaya-gayaan warga Tengger. Ini adalah atraksi tarian Ujung-ujungan, yang mengawali rangkaian penutupan upacara Karo pada hari ketujuh. Disebut Ujung-ujungan karena para penari yang bertelanjang dada, secara bergantian memukul lawannya, menggunakan ujung rotan. Tarian ini sendiri merupakan ungkapan rasa syukur mereka karena telah berhasil dan lancar melaksanakan upacara Karo, oleh karenanya tak ada istilah kalah dan menang dalam kegiatan ini. Semuanya saling pukul dan begitu permainan usai tak ada dendam sama sekali di hati mereka.
Kemudian menjelang Magrib, sebagai penanda selesainya rangkaian upacara Karo warga berduyun-duyun mendatangi rumah dukun adat membawa kemenyan untuk dimantrakan oleh sang dukun adat. Kemenyan ini sendiri nantinya akan dipakai oleh keluarga masing-masing dalam upacara memulangkan arwah leluhur. Dengan ritual pemulangan roh leluhur atau biasa dikenal dengan istilah Mulehi Ping Pitu tersebut, maka rangkaian upacara Karo pun berakhir sudah.
Sambil bergandengan tangan, kedua ratu memasuki tempat tersebut. Dalam ritual ini yang boleh mengikuti jalannya upacara hanya kaum laki-laki saja dan kaum perempuan sama sekali tidak diperbolehkan mengikutinya. Dan setelah semua hadirin dipastikan telah hadir semua maka upacara ini pun dibuka dengan pembacaan mantera yang dilakukan oleh kedua Ratu mereka untuk mensucikan tempat dimana upacara itu berlangsung. Setelah itu barulah diadakan upacara memandikan Jimat Kelontongan diiringi dengan tarian sodor. Jimat kelontongan sendiri merupakan sekumpulan benda keramat. Sedangkan tarian sodor adalah sebuah tarian yang dilakukan oleh 4 orang secara bergiliran (dari semula hanya satu penari kemudian secara simultan bertambah hingga kemudian genap menjadi 4 penari dan saling berpasangan satu sama lain) yang melambangkan pertambahan generasi dari waktu ke waktu. upacara sodoran ini hampir usai di luar kaum ibu-ibu beserta anak mereka pun mulai berdatangan sambil membawa makanan buat suami dan ayah mereka yang sedang melakukan upacara sodoran. Inilah alasan kenapa selama berlangsungnya acara sodoran ini kaum perempuan tidak diperbolehkan ikut, karena mereka harus menyiapkan makanan yang akan di santap oleh para suami setelah upacara selsai.
Pada sore harinya secara marathon upacara sodoran ini pun dilanjutkan dengan upacara tumpeng gede untuk mengungkapkan perasaan syukur mereka dangan hasil panen yang melimpah dan dianugerahi tanah yang subur. Tumpeng-tumpeng ini dikumpulkan dari warga, lalu dimantrakan oleh dukun adat desa setempat. Tumpeng yang sudah dimantrai, dibagi-bagikan kepada warga untuk digunakan dalam ritual selanjutnya, Sesandingan. Ritual Sesandingan inilah yang diyakini masyarakat Tengger sebagai puncak dari acara. Begitu upacara tumpeng gedhe selesai pada keesokan harinya warga pun menggelar upacara Sesandingan di rumah masing-masing yang bertujuan untuk memberikan makanan atau dedaharan kepada leluhur mereka. Yang unik dari upacara ini adalah upacara itu harus dipimpin oleh dukun adat mereka masing-masing yang dalam satu desa atau Hila-hila biasanya hanya terdapat satu dukun adat saja. Bayangkan, ang dukun harus mendatangi rumah warganya satu persatu untuk memimpin upacara tersebut. Maka dari itu tak heran kiranya jika satu dukun dalam masyarakat Tengger dalam upacara ini harus berkeliling mendatangi rumah warganya satu persatu memakan waktu hingga 15 jam nonstop. Padahal tugasnya tidak berhenti pada ritual Sesandingan, tapi berlanjut hingga akhir acara Karo. Yang perlu anda tahu, untuk menjadi dukun adat ini seseorang setidaknya harus menghafal sekitar 90 bab mantra, yang berbahasa Jawa Kuno. Mungkin itulah sebabnya, sosok dukun adat yang begitu sentral perannya dalam masyarakat suku tengger yang banyak tak mampu melakukannya.
Baru setelah acara puncak sesandingan selesai, pada hari keempat dan kelima masyarakat Tengger berkeliling kampung untuk bersilaturahmi dengan sanak kerabat mereka layaknya hari lebaran pada agama-agama lainnya berikut sowan ke kuburan untuk nyekar kepada makam leluhur dan anggota keluarga mereka yang telah meninggal. Berziarah ke makam leluhur atau nyadran, adalah bagian dari ritual Karo yang dilakukan sehari sebelum ritual penutup, yakni hari ke-6. Makam pertama yang didatangi adalah makam kramat Sang Eyang Guru.Masyarakat Tengger percaya, doa dan harapan mereka akan dikabulkan, bila rajin memberikan sesajian kepada Sang Guru.Yang menarik dalam ritual tersebut adalah, saat dukun adat melemparkan uang logam dan ayam yang telah dimanterakan sebelumnya, untuk diperebutkan anak-anak dan remaja.
Dari makam Sang Guru, nyadran kemudian dilanjutkan ke makam keluarga. Ini bukanlah aksi gaya-gayaan warga Tengger. Ini adalah atraksi tarian Ujung-ujungan, yang mengawali rangkaian penutupan upacara Karo pada hari ketujuh. Disebut Ujung-ujungan karena para penari yang bertelanjang dada, secara bergantian memukul lawannya, menggunakan ujung rotan. Tarian ini sendiri merupakan ungkapan rasa syukur mereka karena telah berhasil dan lancar melaksanakan upacara Karo, oleh karenanya tak ada istilah kalah dan menang dalam kegiatan ini. Semuanya saling pukul dan begitu permainan usai tak ada dendam sama sekali di hati mereka.
Kemudian menjelang Magrib, sebagai penanda selesainya rangkaian upacara Karo warga berduyun-duyun mendatangi rumah dukun adat membawa kemenyan untuk dimantrakan oleh sang dukun adat. Kemenyan ini sendiri nantinya akan dipakai oleh keluarga masing-masing dalam upacara memulangkan arwah leluhur. Dengan ritual pemulangan roh leluhur atau biasa dikenal dengan istilah Mulehi Ping Pitu tersebut, maka rangkaian upacara Karo pun berakhir sudah.
Upacara Ritual Kasada
Upacara ritual kasada dilakukan setiap tahun pada tengah malam, pukul 00.00 wib sampai dengan 07.00 wib pada hari ke-15 bulan terakhir (bulan kedua belas) menurut kalender tahunan Tengger, ribuan orang Tengger berkumpul di Pura Poten yang terletak di pelataran pasir (poten) di kaki Gunung Bromo untuk merayakan upacara yang disebut Kasada, sesuai dengan nama bulan kedua belas. yaitu kasada.
Upacara ini diawali dengan pengambilan air suci dari Sumber Widodaren, yang terletak di dalam sebuah gua di Puncak Gunung Bromo, kemudian di simpan di Pura Poten pada hari sebelumnya. Pada saat yang sama para pembantu atau asisten Dukun (legen) mempersiapkan persembahan sesajen yang bakal dipesembahkan kepada para dewa. Pada hari H, duduk berdampingan di atas alas semen di dasar gunung, 28 pemimpin upacara (dukun) berdoa kepada roh pegunungan dan memberi persembahan sesaji berupa daging matang, nasi, uang, dan sejumlah persedian makanan yang dibawa orang-orang desa. Setelah dukun-dukun itu menyelesaikan doanya dan mempersembahkan bahan-bahan kurban, penduduk desa mulai naik ke bagian utara dari puncak Gunung Bromo ke arah kawah dimana mereka melemparkan persembahan mereka ke kedalaman kawah. Sementara itu, di saat matahari telah naik beberapa jam sesudahnya, sebagian peserta upacara telah pulang karena telah menyelesaikan kewajiban ritual tahunan mereka.
Menurut , upacara ini sangat penting bagi masyarakat Suku Tengger karena upacara ini diyakini oleh masyarakat setempat memiliki nilai sakral yang sangat penting bagi kehidupan mereka Mereka beranggapan bahwa hidup itu harus selaras dengan irama alam. Segala peristiwa negatif yang terjadi di dunia ini adalah akibat rusaknya keharmonisan manusia dengan alam. Oleh karena itu perlulah menjalin hubungan yang harmonis dengan alam melalui ritual dan upacara yang ada.
Upacara ritual kasada dilakukan setiap tahun pada tengah malam, pukul 00.00 wib sampai dengan 07.00 wib pada hari ke-15 bulan terakhir (bulan kedua belas) menurut kalender tahunan Tengger, ribuan orang Tengger berkumpul di Pura Poten yang terletak di pelataran pasir (poten) di kaki Gunung Bromo untuk merayakan upacara yang disebut Kasada, sesuai dengan nama bulan kedua belas. yaitu kasada.
Upacara ini diawali dengan pengambilan air suci dari Sumber Widodaren, yang terletak di dalam sebuah gua di Puncak Gunung Bromo, kemudian di simpan di Pura Poten pada hari sebelumnya. Pada saat yang sama para pembantu atau asisten Dukun (legen) mempersiapkan persembahan sesajen yang bakal dipesembahkan kepada para dewa. Pada hari H, duduk berdampingan di atas alas semen di dasar gunung, 28 pemimpin upacara (dukun) berdoa kepada roh pegunungan dan memberi persembahan sesaji berupa daging matang, nasi, uang, dan sejumlah persedian makanan yang dibawa orang-orang desa. Setelah dukun-dukun itu menyelesaikan doanya dan mempersembahkan bahan-bahan kurban, penduduk desa mulai naik ke bagian utara dari puncak Gunung Bromo ke arah kawah dimana mereka melemparkan persembahan mereka ke kedalaman kawah. Sementara itu, di saat matahari telah naik beberapa jam sesudahnya, sebagian peserta upacara telah pulang karena telah menyelesaikan kewajiban ritual tahunan mereka.
Menurut , upacara ini sangat penting bagi masyarakat Suku Tengger karena upacara ini diyakini oleh masyarakat setempat memiliki nilai sakral yang sangat penting bagi kehidupan mereka Mereka beranggapan bahwa hidup itu harus selaras dengan irama alam. Segala peristiwa negatif yang terjadi di dunia ini adalah akibat rusaknya keharmonisan manusia dengan alam. Oleh karena itu perlulah menjalin hubungan yang harmonis dengan alam melalui ritual dan upacara yang ada.
Mitos
Upacara ini bermula dari adanya kepercayaan yang diyakini dan diwariskan oleh nenek moyang mereka secara turun-temurun, yaitu “kekeramatan Gunung Bromo” dan daerah sekitarnya. Kekeramatan itu adalah berawal dari sejarah dan mitos masyarakat tentang sepasang suami istri : Roro Anteng dengan Joko Seger, yang merupakan asal-usul pertama penghuni daerah ini. Perkawinan mereka telah lama belum membuahkan keturunan sehingga mereka memutuskan untuk bersemedi memohon kepada Sang Hyang Widi agar memberikan mereka anak dan berjanji bahwa kelak anak terakhir akan mereka persembahkan kepada para dewa di Gunung Bromo. Setelah semedi permohonan mereka dikabulkan sehingga setelah beberapa waktu lamanya mereka mempunyai 25 anak. Namun, mereka tidak rela menyerahkan anak terakhir, Raden Kusuma kepada para dewa di Gunung Bromo, hingga pada suatu saat kawah Gunung Bromo mengeluarkan lava dan cuaca menjadi mendung gelap dan petir terus menerus bergemuruh. Melihat hal ini, mereka yakin bahwa para dewa sedang marah karena mereka telah ingkar janji. Kemudian mereka membawa semua anaknya ke lautan pasir Gunung Bromo dan berdoa di sana. Tiba-tiba anak terakhir tersambar petir dan jatuh ke dalam kawah Gunung Bromo. Setelah suasana agak stabil, terdengarlah suara gaib dari Gunung Bromo yang diyakini sebagai suara Raden Kusuma:
“Wahai ayah dan ibuku serta saudara-saudaraku semua, hidupku sudah tenteram, aku berkorban demi kamu semua. Oleh karena itu hiduplah dengan rukun serta berbaktilah kepada Sang Hyang Widhi. Kalian jangan memikirkan aku, pesanku satu jangan dilupakan: kirimkanlah sebagian hasil ladaang tanah ini ke kawah dan lakukanlah di saat bulan purnama setiap bulan Kasada”.
Sejak saat itu setiap bulan Kasada ditetapkan upacara ritual Kasada.
Urutan
Inti sebenarnya dari upacara ritual ini adalah sesuai dengan pola umum, yaitu melalui doa pemimpin upacara (dukun), para dewa diundang ke dalam dunia dan diberikan penghormatan dengan persembahan yang dibawa oleh para peserta ritual yang telah disucikan terlebih dahulu dengan air suci oleh pemimpin upacara. Tujuan umum dari upacara ini adalah untuk mendatangkan berkat bagi seluruh penduduk Tengger. Berkat tersebut dapat diperoleh hanya melalui kehadiran para dewa dan para dewa tersebut dapat dihadirkan hanya melalui tata urutan upacara yang sudah diatur secara berhati hati oleh dukun.
Persembahan yang dibawa adalah bagian penting dari upacara ini karena sungguh tidak sakral apabila mengundang para dewa tanpa persembahan makanan. Persembahan khusus yang disediakan bagi para dewa adalah berupa sajenan dari daging matang, nasi, dan makanan-makanan yang berasa manis. Persembahan itu harus disiapkan oleh asisten dukun. Persembahan ini harus disucikan terlebih dahulu oleh dukun dengan air suci. Setelah mengucapkan doa penyucian, dukun tersebut mengundang para dewa untuk makan sari dari makanan-makanan itu. Sisa makanan persembahan tersebut tidak dihancurkan, melainkan diberikan kepada para peserta setelah upara ritual ini selesai.
Setelah mengundang para dewa untuk menikmati persembahan tersebut, dukun menutup tata urutan ritual tersebut dengan ritual resmi sembah hati . tangannya dalam posisi doa dan mendaraskan sebuah doa, kemudian mengayunkan kedua tangannya ke pinggangnya sebanyak tiga kali. Hal ini dilakukan untuk memberi salam hormat kepada para dewa kapan pun dan di mana pun ketika para dewa dipanggil. Jika ada ritual tambahan yang harus dilakukan, seperti pernikahan atau pemberkatan orang mati, atau pelantikan kepada dukun (ketua adat) baru, ritual tambahan tersebut harus dilakukan setelah upacara inti, yaitu mengundang para dewa, acara makan, dan penghormatan kepada para dewa.
Menurut Hefner ada beberapa ritual yang mendahului hari upacara ritual Kasada yang dilaksanakan dirumah seorang dukun secara pribadi dengan bantuan kehadiran asistennya beberapa hari sebelum hari H. Dukun tersebut memulai ritual yang mengarah ke Gunung Bromo tersebut dengan membakar sebuah kemenyan untuk memberitahu para dewa akan keberangkatan mereka ke Gunung Bromo. Ritual pemberitahuan ini disebut semeninga. Hari berikutnya ada sebuah ritual pemberitahuan yang serupa kepada para dewa. Ritual ini dilakukan di atas tebing di atas lautan pasir. Upacara ini tidak ada upacara penghormatan.
Baru beberapa tahun belakangan ini, tujuh sesepuh Hindu dari masing-masing desa berkumpul untuk menentukan upacara pendahuluan macam apa yang akan dilakukan oleh masing-masing individu dukun. Baru kemudian disempurnakan ke dalam upacara besar yang disaksikan oleh ribuah penduduk dari tujuh desa.
Menurut Hefner, Kasada adalah sebuah ritual besar yang berskala sosial namun sederhana dan tidak ada tarian maupun pesta. Tidak ada ritus lain yang mampu menggerakkan orang dari seluruh daerah pegunungan dalam ritual umum. Gunung Bromo diyakini oleh masyarakat Suku Tengger adalah pusat dari dunia mereka.
Hal yang menarik di sela-sela upacara adalah adanya para pedagang dari dataran rendah Tengger yang menjual minuman, makanan, dan barang-barang kebutuhan rumah tangga. Mereka hanya mendapat penerangan dari lentera yang mereka bawa. Selain itu, ada juga sekelompok orang Cina, orang jawa dari dataran rendah, dan beberapa dari daerah yang jauh mengikuti upacara ritual ini dengan membawa persembahan. Kehadiran mereka menandakan bahwa upacara ritual Kasada telah tersebar luas. Namun, belakangan ini, kehadiran mereka malah mengurangi kesakralan suasana upacara tersebut karena di antara mereka ada yang membawa loud speaker yang mengeluarkan bunyi dari sebuah musik dengan suara yang memecah keheningan selama upacara.
Pusat perhatian selama upacara adalah para dukun pemimpin upacara. Menurut Muhamat Hayat, dukun adalah tokoh adat yang sangat dihormati dan berkarisma bagi masyarakat suku Tengger. Mereka begitu dihormati karena dipercaya masih merupakan keturunan cucu dari Majapahit. Selain itu mereka telah memenuhi beberapa kriteria tertentu antara lain 1) pernah menjadi legen selama beberapa tahun, 2) hafal sebagian besar mantra-mantra yang dibacakan pada bermacam-macam jenis upacara adat, 3) telah memenuhi sebagian syarat lain yang harus dipenuhi oleh pemangku adat Tengger, dan 4) seseorang dapat diangkat menjadi calon dukun apabila di tahun sebelumnya (dalam 44 hari sebelum Kasada) di desa tempat calon dukun tersebut tidak ada orang meninggal dunia.
Selain itu, menurut Muslimin Machmud, masyarakat suku Tengger memandang kesakralan Gunung Bromo sebagai suatu hal yang harus dijunjung tinggi dan penuh resiko karena penuh dengan bahaya gaib. Oleh karena itu, kepala dukun dianggap sebagai penghubung antara alam gaib dengan masyarakat pengikutnya, oleh karena itu petunjuk dan arahan pemuka agama atau pemimpin kegiatan tersebut sangat dihargai dan diikuti.
Upacara ini bermula dari adanya kepercayaan yang diyakini dan diwariskan oleh nenek moyang mereka secara turun-temurun, yaitu “kekeramatan Gunung Bromo” dan daerah sekitarnya. Kekeramatan itu adalah berawal dari sejarah dan mitos masyarakat tentang sepasang suami istri : Roro Anteng dengan Joko Seger, yang merupakan asal-usul pertama penghuni daerah ini. Perkawinan mereka telah lama belum membuahkan keturunan sehingga mereka memutuskan untuk bersemedi memohon kepada Sang Hyang Widi agar memberikan mereka anak dan berjanji bahwa kelak anak terakhir akan mereka persembahkan kepada para dewa di Gunung Bromo. Setelah semedi permohonan mereka dikabulkan sehingga setelah beberapa waktu lamanya mereka mempunyai 25 anak. Namun, mereka tidak rela menyerahkan anak terakhir, Raden Kusuma kepada para dewa di Gunung Bromo, hingga pada suatu saat kawah Gunung Bromo mengeluarkan lava dan cuaca menjadi mendung gelap dan petir terus menerus bergemuruh. Melihat hal ini, mereka yakin bahwa para dewa sedang marah karena mereka telah ingkar janji. Kemudian mereka membawa semua anaknya ke lautan pasir Gunung Bromo dan berdoa di sana. Tiba-tiba anak terakhir tersambar petir dan jatuh ke dalam kawah Gunung Bromo. Setelah suasana agak stabil, terdengarlah suara gaib dari Gunung Bromo yang diyakini sebagai suara Raden Kusuma:
“Wahai ayah dan ibuku serta saudara-saudaraku semua, hidupku sudah tenteram, aku berkorban demi kamu semua. Oleh karena itu hiduplah dengan rukun serta berbaktilah kepada Sang Hyang Widhi. Kalian jangan memikirkan aku, pesanku satu jangan dilupakan: kirimkanlah sebagian hasil ladaang tanah ini ke kawah dan lakukanlah di saat bulan purnama setiap bulan Kasada”.
Sejak saat itu setiap bulan Kasada ditetapkan upacara ritual Kasada.
Urutan
Inti sebenarnya dari upacara ritual ini adalah sesuai dengan pola umum, yaitu melalui doa pemimpin upacara (dukun), para dewa diundang ke dalam dunia dan diberikan penghormatan dengan persembahan yang dibawa oleh para peserta ritual yang telah disucikan terlebih dahulu dengan air suci oleh pemimpin upacara. Tujuan umum dari upacara ini adalah untuk mendatangkan berkat bagi seluruh penduduk Tengger. Berkat tersebut dapat diperoleh hanya melalui kehadiran para dewa dan para dewa tersebut dapat dihadirkan hanya melalui tata urutan upacara yang sudah diatur secara berhati hati oleh dukun.
Persembahan yang dibawa adalah bagian penting dari upacara ini karena sungguh tidak sakral apabila mengundang para dewa tanpa persembahan makanan. Persembahan khusus yang disediakan bagi para dewa adalah berupa sajenan dari daging matang, nasi, dan makanan-makanan yang berasa manis. Persembahan itu harus disiapkan oleh asisten dukun. Persembahan ini harus disucikan terlebih dahulu oleh dukun dengan air suci. Setelah mengucapkan doa penyucian, dukun tersebut mengundang para dewa untuk makan sari dari makanan-makanan itu. Sisa makanan persembahan tersebut tidak dihancurkan, melainkan diberikan kepada para peserta setelah upara ritual ini selesai.
Setelah mengundang para dewa untuk menikmati persembahan tersebut, dukun menutup tata urutan ritual tersebut dengan ritual resmi sembah hati . tangannya dalam posisi doa dan mendaraskan sebuah doa, kemudian mengayunkan kedua tangannya ke pinggangnya sebanyak tiga kali. Hal ini dilakukan untuk memberi salam hormat kepada para dewa kapan pun dan di mana pun ketika para dewa dipanggil. Jika ada ritual tambahan yang harus dilakukan, seperti pernikahan atau pemberkatan orang mati, atau pelantikan kepada dukun (ketua adat) baru, ritual tambahan tersebut harus dilakukan setelah upacara inti, yaitu mengundang para dewa, acara makan, dan penghormatan kepada para dewa.
Menurut Hefner ada beberapa ritual yang mendahului hari upacara ritual Kasada yang dilaksanakan dirumah seorang dukun secara pribadi dengan bantuan kehadiran asistennya beberapa hari sebelum hari H. Dukun tersebut memulai ritual yang mengarah ke Gunung Bromo tersebut dengan membakar sebuah kemenyan untuk memberitahu para dewa akan keberangkatan mereka ke Gunung Bromo. Ritual pemberitahuan ini disebut semeninga. Hari berikutnya ada sebuah ritual pemberitahuan yang serupa kepada para dewa. Ritual ini dilakukan di atas tebing di atas lautan pasir. Upacara ini tidak ada upacara penghormatan.
Baru beberapa tahun belakangan ini, tujuh sesepuh Hindu dari masing-masing desa berkumpul untuk menentukan upacara pendahuluan macam apa yang akan dilakukan oleh masing-masing individu dukun. Baru kemudian disempurnakan ke dalam upacara besar yang disaksikan oleh ribuah penduduk dari tujuh desa.
Menurut Hefner, Kasada adalah sebuah ritual besar yang berskala sosial namun sederhana dan tidak ada tarian maupun pesta. Tidak ada ritus lain yang mampu menggerakkan orang dari seluruh daerah pegunungan dalam ritual umum. Gunung Bromo diyakini oleh masyarakat Suku Tengger adalah pusat dari dunia mereka.
Hal yang menarik di sela-sela upacara adalah adanya para pedagang dari dataran rendah Tengger yang menjual minuman, makanan, dan barang-barang kebutuhan rumah tangga. Mereka hanya mendapat penerangan dari lentera yang mereka bawa. Selain itu, ada juga sekelompok orang Cina, orang jawa dari dataran rendah, dan beberapa dari daerah yang jauh mengikuti upacara ritual ini dengan membawa persembahan. Kehadiran mereka menandakan bahwa upacara ritual Kasada telah tersebar luas. Namun, belakangan ini, kehadiran mereka malah mengurangi kesakralan suasana upacara tersebut karena di antara mereka ada yang membawa loud speaker yang mengeluarkan bunyi dari sebuah musik dengan suara yang memecah keheningan selama upacara.
Pusat perhatian selama upacara adalah para dukun pemimpin upacara. Menurut Muhamat Hayat, dukun adalah tokoh adat yang sangat dihormati dan berkarisma bagi masyarakat suku Tengger. Mereka begitu dihormati karena dipercaya masih merupakan keturunan cucu dari Majapahit. Selain itu mereka telah memenuhi beberapa kriteria tertentu antara lain 1) pernah menjadi legen selama beberapa tahun, 2) hafal sebagian besar mantra-mantra yang dibacakan pada bermacam-macam jenis upacara adat, 3) telah memenuhi sebagian syarat lain yang harus dipenuhi oleh pemangku adat Tengger, dan 4) seseorang dapat diangkat menjadi calon dukun apabila di tahun sebelumnya (dalam 44 hari sebelum Kasada) di desa tempat calon dukun tersebut tidak ada orang meninggal dunia.
Selain itu, menurut Muslimin Machmud, masyarakat suku Tengger memandang kesakralan Gunung Bromo sebagai suatu hal yang harus dijunjung tinggi dan penuh resiko karena penuh dengan bahaya gaib. Oleh karena itu, kepala dukun dianggap sebagai penghubung antara alam gaib dengan masyarakat pengikutnya, oleh karena itu petunjuk dan arahan pemuka agama atau pemimpin kegiatan tersebut sangat dihargai dan diikuti.