Bab I
Lokasi,
demografi,lingkungan alam, sejarah
1. Tionghoa
atau tionghwa, adalah istilah yang dibuat sendiri oleh orang keturunan Cina di
Indonesia, yang berasal dari kata zhonghua dalam Bahasa mandarin. Zhonghua dalam dialek
Hokkian dilafalkan sebagai Tionghoa.
Wacana Cung Hwa setidaknya sudah dimulai sejak tahun
1880, yaitu adanya keinginan dari orang-orang di Cina untuk terbebas dari
kekuasaan dinasti kerajaan dan membentuk suatu negara yang lebih demokratis dan
kuat. Wacana ini sampai terdengar oleh orang asal Cina yang bermukim di Hindia Belanda yang ketika itu dinamakan Orang Cina.
Sekelompok
orang asal Cina yang anak-anaknya lahir di Hindia Belanda, merasa perlu
mempelajari kebudayaan dan bahasanya. Pada tahun 1900, mereka mendirikan sekolah di
Hindia Belanda, di bawah naungan suatu badan yang dinamakan "Tjung Hwa Hwei Kwan",
yang bila lafalnya diindonesiakan menjadi Tiong
Hoa Hwe Kwan (THHK). THHK dalam
perjalanannya bukan saja memberikan pendidikan bahasa dan kebudayaan Cina, tapi
juga menumbuhkan rasa persatuan orang-orang Tionghoa di Hindia Belanda, seiring
dengan perubahan istilah "Cina" menjadi "Tionghoa" di Hindia
Belanda
2. Berdasarkan Volkstelling (sensus) pada masa Hindia
Belanda, populasi Tionghoa-Indonesia mencapai 1.233.000 (2,03%) dari penduduk
Indonesia pada tahun 1930. Tidak ada data resmi mengenai jumlah populasi
Tionghoa di Indonesia dikeluarkan pemerintah sejak Indonesia merdeka. Namun
ahli antropologi Amerika, G.W. Skinner, dalam risetnya pernah memperkirakan
populasi masyarakat Tionghoa di Indonesia mencapai 2.505.000 (2,5%) pada tahun
1961.
Dalam sensus penduduk pada tahun 2000, ketika untuk pertama
kalinya responden sensus ditanyai mengenai asal etnis mereka, hanya 1% dari
jumlah keseluruhan populasi Indonesia mengaku sebagai Tionghoa. Perkiraan kasar
yang dipercaya mengenai jumlah suku Tionghoa-Indonesia saat ini ialah berada di
antara kisaran 4% - 5% dari seluruh jumlah populasi Indonesia
3. Ramainya
interaksi perdagangan di daerah pesisir tenggara Cina, menyebabkan banyak sekali orang-orang yang juga
merasa perlu keluar berlayar untuk berdagang. Tujuan utama saat itu adalah Asia
Tenggara. Karena pelayaran sangat tergantung pada angin musim, maka setiap
tahunnya para pedagang akan bermukim di wilayah-wilayah Asia Tenggara yang
disinggahi mereka. Demikian seterusnya ada pedagang yang memutuskan untuk
menetap dan menikahi wanita setempat, ada pula pedagang yang pulang ke Cina
untuk terus berdagang.
Orang-orang
Tionghoa di Indonesia, umumnya berasal dari tenggara Cina. Mereka termasuk
suku-suku:
•
Hakka
•
Hainan
•
Hokkien
•
Kantonis
•
Hokchia
•
Tiochiu
Daerah
asal yang terkonsentrasi di pesisir tenggara ini dapat dimengerti, karena dari
sejak zaman Dinasti Tang kota-kota pelabuhan di pesisir
tenggara Cina memang telah menjadi bandar perdagangan yang ramai. Quanzhou pernah tercatat sebagai bandar
pelabuhan terbesar dan tersibuk di dunia pada zaman tersebut.
Sebagian
besar dari orang-orang Tionghoa di Indonesia menetap di pulau Jawa. Daerah-daerah lain di mana
mereka juga menetap dalam jumlah besar selain di daerah perkotaan adalah: Sumatera Utara, Bangka-Belitung, Sumatera Selatan, Lampung, Lombok, Kalimantan Barat, Banjarmasin dan beberapa tempat di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Utara.
•
Hakka - Jakarta, Aceh, Sumatera Utara, Batam, Sumatera Selatan, Bangka-Belitung, Lampung, Jawa, Kalimantan Barat, Banjarmasin, Sulawesi Selatan, Manado, Ambon dan Jayapura.
•
Hainan - Pekanbaru, Batam, dan Manado.
•
Hokkien - Sumatera Utara, Riau ( Pekanbaru, Selatpanjang, Bagansiapiapi, dan Bengkalis), Padang, Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu, Jawa, Bali (terutama di Denpasar dan Singaraja), Banjarmasin, Kutai, Sumbawa, Manggarai,Kupang, Makassar, Kendari, Sulawesi Tengah, Manado, dan Ambon.
•
Kantonis - Jakarta, Medan , Makassar dan Manado.
•
Hokchia - Jawa (terutama di Bandung, Cirebon, Banjarmasin dan Surabaya).
•
Tiochiu - Sumatera Utara, Riau, Riau Kepulauan, Sumatera Selatan, dan Kalimantan Barat (khususnya di Pontianak dan Ketapang).
Di
Tangerang Banten, masyarakat Tionghoa telah menyatu dengan penduduk setempat
dan mengalami pembauran lewat perkawinan, sehingga warna kulit mereka kadang-kadang lebih gelap dari
Tionghoa yang lain. Istilah buat mereka disebut Cina Benteng. Keseniannya
yang masih ada disebut Cokek, sebuah tarian lawan jenis
secara bersama dengan iringan paduan musik campuran Cina, Jawa, Sunda dan
Melayu.
4. Orang
dari Tiongkok daratan telah ribuan tahun mengunjungi dan mendiami kepulauan Nusantara.
Beberapa
catatan tertua ditulis oleh para agamawan, seperti Fa
Hien pada abad ke-4 dan I Ching pada abad ke-7. Fa Hien melaporkan
suatu kerajaan di Jawa ("To lo mo") dan I Ching ingin datang ke India untuk mempelajari agama Buddha dan singgah dulu di Nusantara untuk
belajar bahasa Sanskerta. Di Jawa ia berguru pada seseorang bernama Jñânabhadra.
Dengan
berkembangnya kerajaan-kerajaan di Nusantara, para imigran Tiongkok pun mulai
berdatangan, terutama untuk kepentingan perdagangan. Pada prasasti-prasasti dari Jawa orang Cina disebut-sebut
sebagai warga asing yang menetap di samping nama-nama sukubangsa dari
Nusantara, daratan Asia Tenggara dan anakbenua India. Dalam
suatu prasasti perunggu bertahun 860 dari Jawa Timur disebut
suatu istilah, Juru Cina, yang
berkait dengan jabatan pengurus orang-orang Tionghoa yang tinggal di sana.
Beberapa motif relief di Candi Sewu diduga juga mendapat pengaruh dari
motif-motif kain sutera Tiongkok.
Catatan Ma Huan, ketika turut serta
dalam ekspedisi Cheng Ho, menyebut secara
jelas bahwa pedagang Cina muslim menghuni ibukota dan kota-kota bandar Majapahit (abad ke-15) dan membentuk satu dari
tiga komponen penduduk kerajaan itu. Ekspedisi Cheng Ho juga meninggalkan jejak
di Semarang, ketika orang keduanya, Wang
Jinghong, sakit dan memaksa rombongan melepas sauh di Simongan (sekarang
bagian dari Kota Semarang). Wang
kemudian menetap karena tidak mampu mengikuti ekspedisi selanjutnya. Ia dan
pengikutnya menjadi salah satu cikal-bakal warga Tionghoa Semarang. Wang
mengabadikan Cheng Ho menjadi sebuah patung (disebut "Mbah Ledakar Juragan
Dampo Awang Sam Po Kong"), serta membangun kelenteng Sam Po Kong atau Gedung Batu. Di komplek ini Wang
juga dikuburkan dan dijuluki "Mbah Jurumudi Dampo Awang".
Sejumlah
sejarawan juga menunjukkan bahwa Raden Patah, pendiri Kesultanan Demak,
memiliki darah Tiongkok selain keturunan Majapahit. Beberapa wali penyebar
agama Islam di Jawa juga memiliki darah Tiongkok, meskipun mereka memeluk Islam
dan tidak lagi secara aktif mempraktekkan kultur Tionghoa.
Kitab
Sunda Tina Layang Parahyang menyebutkan kedatangan rombongan
Tionghoa ke muara Ci Sadane (sekarang Teluknaga) pada
tahun 1407, pada masa daerah itu masih di bawah kekuasaan Kerajaan Sunda (Pajajaran). Pemimpinnya adalah Halung dan mereka terdampar sebelum mencapai
tujuan di Kalapa.
Era
kolonial
Di
masa kolonial, Belanda pernah mengangkat beberapa pemimpin komunitas dengan
gelar Kapiten Cina, yang
diwajibkan setia dan menjadi penghubung antara pemerintah dengan komunitas
Tionghoa. Beberapa di antara mereka ternyata juga telah berjasa bagi masyarakat
umum, misalnya So Beng Kong dan Phoa Beng Gan yang membangun kanal
di Batavia. Di Yogyakarta, Kapiten Tan Djin Sing sempat menjadi Bupati
Yogyakarta.
Pembantaian
orang Tionghoa tanggal 9 Oktober 1740 di Batavia
Sebetulnya
terdapat juga kelompok Tionghoa yang pernah berjuang melawan Belanda, baik
sendiri maupun bersama etnis lain. Bersama etnis Jawa, kelompok Tionghoa
berperang melawan VOC tahun 1740-1743. Di Kalimantan Barat,
komunitas Tionghoa yang tergabung dalam "Republik" Lanfong berperang dengan pasukan Belanda pada
abad XIX.
Dalam
perjalanan sejarah pra kemerdekaan, beberapa kali etnis Tionghoa menjadi
sasaran pembunuhan massal atau penjarahan, seperti pembantaian di Batavia 1740 dan pembantaian masa perang Jawa 1825-1830. Pembantaian di Batavia
tersebut melahirkan gerakan perlawanan dari etnis Tionghoa yang bergerak di
beberapa kota di Jawa Tengah yang dibantu pula oleh etnis Jawa. Pada gilirannya
ini mengakibatkan pecahnya kerajaan Mataram. Orang Tionghoa tidak
lagi diperbolehkan bermukim di sembarang tempat. Aturan Wijkenstelsel ini menciptakan pemukiman etnis
Tionghoa atau pecinan di sejumlah kota besar di Hindia
Belanda.
Reformasi yang digulirkan pada 1998 telah banyak menyebabkan perubahan
bagi kehidupan warga Tionghoa di Indonesia. Walau belum 100%
perubahan tersebut terjadi, namun hal ini sudah menunjukkan adanya tren perubahan
pandangan pemerintah dan warga pribumi terhadap masyarakat Tionghoa. Bila pada
masa Orde Baru aksara, budaya, ataupun atraksi Tionghoa dilarang dipertontonkan
di depan publik, saat ini telah menjadi pemandangan umum hal tersebut
dilakukan. Di Medan, Sumatera Utara,
misalnya, adalah hal yang biasa ketika warga Tionghoa menggunakan bahasa Hokkien ataupun memajang aksara Tionghoa di
toko atau rumahnya. Selain itu, pada Pemilu 2004 lalu, kandidat presiden dan
wakil presiden Megawati-Wahid Hasyim menggunakan aksara Tionghoa dalam
selebaran kampanyenya untuk menarik minat warga Tionghoa.