Suku Dani – Lembah Baliem, Papua
-
System
Sosial Suku Dani
Suku
Dani adalah sebuah suku yang mendiami satu wilayah di Lembah Baliem yang
dikenal sejak ratusan tahun lalu sebagai petani yang terampil dan telah
menggunakan alat / perkakas yang pada awal mula ditemukan diketahui telah
mengenal teknologi penggunaan kapak batu, pisau yang dibuat dari tulang
binatang, bambu dan juga tombak yang dibuat menggunakan kayu galian yang
terkenal sangat kuat dan berat. Suku Dani masih banyak mengenakan “koteka”
(penutup penis) yang terbuat dari kunden kuning dan para wanita menggunakan
pakaian wah berasal dari rumput/serat dan tinggal di “honai-honai” (gubuk yang
beratapkan jerami/ilalang). Jayawi Jaya terletak di Pegunungan Tengah Papua.
Ibukota Kabupaten Wamena. Jayawi Jaya dimekarkan empat Kabupaten baru yakni :
Kabupaten Yahukimo, Kabupaten Tolikara, Kabupaten Punjak Jaya, dan Kabupaten
Pegunungan Bintang. Jayawi
Jaya beriklim tropic basah, hal ini dipengaruhi oleh letak ketinggian di
permukaan laut dengan temperatur udara bervariasi antara 80-200 celcius dengan
suhu rata-rata 17,50 celcius dengan hari hujan 152,42 hari pertahun tingkat
kelembaban diatas 80%, angin berhembus sepanjang tahun dengan kecepatan
rata-rata tertinggi 14 knot dan terendah 2,5 knot.
Topografi
Jayawi Jaya terdiri dari gunung-gunung yang tinggi dan lembah-lembah yang luas.
Diantara puncak-puncak gunung yang ada beberapa diantaranya selalu tertutup
salju misalnya Pucak Trikora 4750 m, Puncak Yamin 4595m dan Puncak Mandala
4760m. Tanah pada umumnya terdiri dari batu kapur/gamping dan granit terdapat
di daerah pegunungan sedangkan di sekeliling lembah merupakan percampuran
antara endapan Lumpur, tanah liat dan lempung.
a. System
Ide
Masyarakat dikota maupun
didesa pastilah membutuhkan seorang pemimpin untuk dapat mewujudkan hidup damai
dan serta Rukun, dengan menjunjung tinggi semangat kebersamaan. didalam suku
dani terdapat suatu bentuk organisasi yang dibuat oleh orang orang asli suku
dani, yang diketuai oleh kepala suku. dia dipilih secara turun temurun dan
mendapat sebuah panggilan didalam suku dani yaitu “Ap kain”
Didalam menjalankan tugas
tugas nya “Ap Kain” dibantu oleh tiga kepala suku yang lain dibawah
kedudukannya. Mereka mendapat julukan “Ap Menteg, Ap Horeg, dan Ap Ubaik.”Tugas mereka adalah mengurus
perawatan kebun dan binatang-binatang ternak (babi), selain itu juga menjadi
penengah sekaligus hakim ketika ada perselisihan antar suku dani. Walaupun jalur pemilihannya
melalui garis keturunan. Ketua suku yang terpilih tetap harus memenuhi beberapa
persyaratan. Persyaratan-persyaratannya meliputi, yaitu :
- Mengetahui
pengetahuan dasar tentang dunia pertanian (ilmu pertanian)
- -Ramah
dan juga rendah hati,
- -Terampil
berburu
- -Memiliki
nyali yang tinggi
- -Bisa
melakukan komunikasi dengan baik
- -Memiliki
keberanian yang tinggi untuk melakukan perang antar suku , apabila ada masalah/ permasalahan dengan suku yang lainnya.
b. System
Perilaku
System
perilaku didalam suku dani
Budaya
Suku dani dalam menjalani hubungan bermasyarakat terbagi dalam beberapa system
kekerabatan atau kekeluargaan , berikut system kekerabatan suku dani :
1. Hubungan
kekeluargaan yang paling kecil meliputi sebuah perkumpulan yang terdiri dari
dua sampai tiga keluarga yang secara bersama-sama tinggal disebuah komplek yang
ditutup dengan menggunakan pagar bambu atau tanaman tanaman kering. System ini
biasa dinamaka n ukul atau klan yang kecil
2. Hubungan
antar suku dani yang didalamnya terdapat
beberapa kelompok ukul. Kelompok atau system ini biasa disebut ukul oak atau
ukul besar.
3. Hubungan
territorial , yaitu suatu bentuk hubungan antar kekeluargaan disuku dani, yang
kesatuannya terdiri dari terirorial yang paling kecil suku dani. Merupakan
gabungan dari ukul besar / ukul oak yang diberi nama uma kelompok atau kesatuan
ini selalu dipimpin oleh laki – laki
Sistem
kekerabatan masyarakat Dani ada tiga yaitu kelompok kekerabatan, paroh
masyarakat, dan kelompok teritorial.
a. Kelompok kekerabatan yang
terkecil dalam masyarakat suku Dani adalah keluarga luas. Keluarga luas ini
terdiri atas tiga atau dua keluarga inti bersama – sama menghuni suatu kompleks
perumahan yang ditutup pagar (lima). Pernikahan orang Dani
bersifat poligami diantaranya poligini. Keluarga batih ini tinggal di satu –
satuan tempat tinggal yang disebut siimo. Sebuah desa Dani terdiri dari 3 &
ndash; 4 slimo yang dihuni 8 & ndash; 10 keluarga. Menurut mitologi suku
Dani berasal dari keuturunan sepasang suami istri yang menghuni suatu danau di
sekitar kampung Maina di Lembah Baliem Selatan. Mereka mempunyai anak bernama
Woita dan Waro. Orang Dani dilarang menikah dengan kerabat suku Moety sehingga
perkawinannya berprinsip eksogami Moety (perkawinan Moety / dengan orang di
luar Moety).
b. Paroh masyarakat.
Struktur masyarakat Dani merupakan gabungan beberapa ukul (klen kecil) yang
disebut ukul oak (klen besar)
c. Kelompok teritorial.
Kesatuan teritorial yang terkecil dalam masyarakat suku bangsa Dani adalah
kompleks perumahan (uma) yang dihuni untuk kelompok keluarga luas yang
patrilineal (diturunkan kepada anak laki-laki).
c. Wujud
Budaya
Pakaian
asli Suku dani sangatlah minim untuk yang lelaki hanya memakai kulit labu air
yang sudah kering yang mereka sebut sebagai koteka, sedangkan untuk kaum wanitanya
hanya menggunakan rok dari untaian-untaian serat rumput, koteka sendiri ada
beberapa macam, yang pendek mereka gunakan untuk kegiatan sehari-hari seperti
saat mencari rumput ataupun pergi ke ladang, sedangkan untuk acara resmi atau
upacara mereka menggunakan koteka yang panjang dengan hiasan-hiasan ataupun
motif-motif tertentu.
Laki-laki
dewasa dan laki-laki remaja tinggal di rumah yang berbeda dari ibu, wanita
dewasa, wanita remaja serta anak-anak. rumah untuk laki-laki sedikit lebih
besar dibandingkan untuk kaum wanita, sedangkan untuk bentuk rumahnya sendiri
tidak jauh berbeda. struktur rumahnya melingkar mempunyai diameter 4-5 meter
ditutup dengan atap kerucut dari rumput-rumput kering. dinding rumah terbuat
dari lembaran kayu atau kulit kayu, mereka menggunakan rotan untuk mengikat
antara kulit yang satu dengan yang lain. Setiap
komunitas kampung dani terbagi dalam dua masyarakat yang pertama disebut wida
yang kedua disebut waiya, pernikahan resmi suku dani biasanya terjadi diatara
dua kelompok masyarakat tersebut. satu kelompok masyarakat terdiri dari
beberapa klan patrilineal yang akhirnya system pernikahan mereka bersifat
eksogami patrilokal, para suami dan lelaki yang sudah remaja lebih senang
menghabiskan waktu di rumah bujang dibandingkan dengan rumah keluarga, hubungan
denga saudara laki-laki ayahnya sangat mempengaruhi kehidupan sosial mereka.
Politis
suku dani dipengaruhi oleh dua klan yang dominan di suku mereka, mereka akan
mengadakan rapat klan apabila ada sesuatu yang perlu dibicarakan terutama
menghadapi ancaman peperangan dari luar. Kepemimpinan kelompok dani barat
terbagi menjadi 3 tingkatan, antara lain pemimpin pedukuan (bagian dari
kampung) yang disebut nagawan, yang kedua pemimpin rapat (subkonfederasi) yang
disebut sebagai “ap nggowok” yang ketiga adalah pemimpin konfederasi yang
disebut “ap endage mbogot”.
Suku
dani juga memiliki tradisi yang cukup ekstrim apabila kita melihatnya. Tradisi yang sangat ekstrim di suku dani adalah tradisi “Potong Jari Tangan” Harapannya adalah dengan menggigit ibu jari kelingking,
bayi dapat berbeda dari yang lain dan diharapkan dapat hidup lebih lama
dibanding yang lainnya.
Mungkin
berikut ini adalah salah satu tradisi yang sangat ekstrim didengar, tradisi
potong jari ini terjadi di Suku Dani di Papua.
Tradisi potong jari ini
dilakukan oelh masyarakat suku dani dengan tujuan perwujudan dari rasa
kesedihan masyarakat suku dani itu sendiri , pada acara pemakaman, selain
memotong jari orang suku dani juga melumuri wajah mereka dengan abu dan tanah
liat. Sebagai ungkapan kesedihan mereka. Perlu
juga diketahui oleh kita semua , bahwa perwujudan potong jari ini banyak
dilakukan oleh kaum wanita suku dani sebagai ungkapan kesedihan mereka. Menurut
keyakinan suku dani, jika orang yang meninggal dianggap kuat, diyakini bahwa
roh roh mereka juga mengandung kekuatan yang sama juga. Dalam rangka untuk
menenangkan dan mengusir roh-roh beberapa praktek juga diikuti. Gadis yang
terkait dengan si mayat memiliki bagian atas jari-jari mereka dipotong. sebelum
dipotong jari jari akan terikat dengan string untuk lebih dari 30 menit.
Setalah amputasi, jari-jari diijinkan untuk kering, sebelum mereka dibakar dan
abunya dikuburkan dalam sebuah area khusus.
Penjelasan
lain adalah bahwa rasa sakit fisik melambangkan penderitaan dan rasa sakit atas
segala rasa kehilangan dari orang yang dicintainya. Dalam kasus tersebut , jari
tangan akan dipotong oleh keluarga terdekat sepeti ibu, ayah ataupun
saudara.dalam ritual aneh lainnya ibu jari kelingkking bayi juga digigit oleh
ibu mereka. Ini mungkin berasal dari waktu ketika bayi baru lahir kebanyakan
darinya meninggal.
Sumber Referensi:
-http://alanmn.wordpress.com/2011/05/10/dari-lembah-baliem-mengenal-lebih--dekat-suku-dani/
-http://indoculture.wordpress.com/2011/05/27/beberapa-ritual-sakral-nan-menarik-suku-sasak/
-http://suararakyatpapua.blogspot.com/2008/05/daftar-pustaka-bacaan.html?zx=a1e1b7bee4bb943d
-http://adirafacesofindonesia.com/article.htm/28/LEMBAH-BALIEM---LEMBAH-SUKU-PEGUNUNGAN
-http://hendrisansanminoritas.blogspot.com/2011/03/suku-dani-di-lembah-baliem-wamena-papua.html
-http://giraffesays.blogspot.com/2011/01/lembah-baliem-papua.html
-http://www.ramiblog.net/2011/08/suku-dani-papua.html
-http://beritaekstrim.blogspot.com/2011/12/tradisi-potong-jari-di-suku-dani-papua.html
Suku Dani, Lembah baliem – Papua
Sistem Tekhnologi Suku Dani
Suku Dani adalah salah
satu suku bangsa yang terdapat di Wamena, Papua, Indonesia yang membentang di
antara lekukan lekukan Pegunungan Tengah Jaya Wijaya. Di lembah inilah
masyarakat Suku Dani hidup Harmonis dan menyatu dalam pelukan pegunungan yang
mengelilinginya serta alam Papua yang indah dan menawan. Meskipun banyak orang menyebut mereka dengan sebutan Suku Dani,
namun orang Suku Dani sendiri menyebut mereka sebagai Suku Parim. Suku Dani
atau Suku Parim ini termasuk suku yang masih memegang teguh kepercayaan mereka.
Suku
Dani adalah Suatu suku yang mendiami satu wilayah di Lembah Baliem yang dikenal
sejak ratusan tahun lalu sebagai petani yang terampil dan juga dahulu terkenal
sudah menggunakan alat alat perkakas bahkan disaat diketemukan oleh para ahli,
warga suku dani telah mengenal penggunaan perkakas-perkakas seperti: kapak
batu, pisau yang terbuat dari tulang binatang dan lain sebagainya.
Di
pegunungan tengah Irian Jaya, terletak sebuah lembah besar dengan panjang 72
km dan
lebar 16 - 31 km, dihuni oleh
prajurit dan petani Neolitik. Suku Dani dan suku-suku sub lain seperti
Yali dan Lani dengan budaya mereka yang sangat kompleks dan primitif, yang
masih terlihat seperti "zaman batu".Lembah Baliem terletak di Kabupaten
Wamena, Irian Jaya, yang dikenal sebagai rumah dari suku asli Papua. Pada
decade terakhir ini suku yang paling
terisolasi oleh rawa dan pegunungan. Mereka hidup diantara belukar, masih
memelihara serta mengangkat babi sebagai hewan peliharaannya atau bisa
dikatakan hewan buruannya. Mereka masih menggunakan teknolo gi Neolitik dari
Dunia masa lalu. Ada sekitar kurang lebih
250.000 suku Dani yang hidup di pegunungan tengah. Lembah Baliem. Salah
satu suku tertua di dataran papua yang memiliki kepadatan penduduk
tertinggi di Provinsi Papua. Suku Dani membangun pondok mereka dalam suatu
senyawa yang baik, dimana
mengekspresikan adaptasi lingkungan dan karakter Dani. Suhu dari dataran
tinggi yang berkisar antara 26 derajat Celcius pada siang hari dan 12 derajat
pada malam hari. Hutan-hutan di mana suku Dani bermukim sangat kaya akan flora
dan fauna yang tak jarang bersifat endemic seperti cenderawasih, mambruk, nuri
bermacam-macam insect dan kupu-kupu yang beraneka ragam warna dan
coraknya.Untuk budaya dari Suku Dani sendiri, meskipun suku Dani penganut
Kristen, banyak diantara upacara-upacara mereka masih bercorak budaya lama yang
diturunkan oleh nenek moyang mereka. Suku Dani percaya terhadap rekwasi.
Seluruh upacara keagamaan diiringi dengan nyanyian, tarian dan persembahan
terhadap nenek moyang. Peperangan dan permusuhan biasanya terjadi karena
masalah pelintasan daerah perbatasan, wanita dan pencurian.
Pada
rekwasi ini, para prajurit biasanya akan membuat tanfa dengan lemak babi,
kerang, bulu-bulu, kus-kus, sagu rekat, getah pohon mangga, dan bunga-bungaan
di bagian tubuh mereka. Tangan mereka menenteng senjata-senjata tradisional
khas suku Dani seperti tombak, kapak, parang dan busur beserta anak panahnya. Salah
satu kebiasaan unik lainnya dari suku Dani sendiri adalah kebiasaan mereka
mendendangkan nyanyian-nyanyian bersifat heroisme dan atau kisah-kisah sedih
untuk menyemangati dan juga perintang waktu ketika mereka bekerja. Untuk alat
musik yang mengiringi senandung atau dendang ini sendiri adalah biasanya adalah
alat musik pikon, yakni satu alat yang diselipkan diantara lubang hidung dan
telinga mereka. Disamping sebagai pengiring nyanyian, alat ini pun berfungsi
ganda sebagai isyarat kepada teman atau lawan di hutan kala berburu. Jajaran
Pegunungan Trikora jadi benteng alami sekaligus penyedia kehidupan. Di lereng
pegunungan ini, mereka bercocok tanam dan beternak hewan. Tanah vulkanis yang
gembur pun ditanami umbi-umbian, jahe, pisang, dan timun.
Sebagai
suku yang masih terjaga keasliannya, masyarakat Dani membuat peralatan
sederhana berbahan batu dan tulang. Tulang-tulang itu mewakili gaharnya Suku
Dani, yang juga terkenal sebagai pejuang. Sedangkan batu menjadi basis tradisi
Bakar Batu, yakni memasak babi di atas batu panas.
- Sistem
Tekhnologi Suku Dani
a. Sistem
Ide
Modernisasi
Modernisasi mengandung
pengertian pembaharuan yang meliputi seluruh aspek kehidupan, pergantian cara
poduksi, pikiran dan perasaan yang mengarah kepada hal-hal yang baru:
nilai-nilai/norma-norma sosial, pola-pola perilaku, organisasi, lembaga-lembaga
kemasyarakatan, lapisan-lapisan dalam masyarakat, kekuasaan dan wewenang serta
interaksi sosial dan seterusnya untuk suatu kehidupann yang lebih baik dan
lebih layak. Modernisasi merupakan proses sistematik. Modernisasi melibatkan perubahan
pada hampir segala aspek tingkah laku sosial, termasuk didalamnya
industrialisasi, urbanisasi, sekularisasi, sentralisasi dan sebagainya. Dalam
rangka mencapai status modern, struktur dan nilai-nilai tradisional secara
total harus diganti dengan seperangkat sruktur dan nilai-nilai modern. Untuk
hal ini, Huntington , menyatakan, bahwa teori modernisasi melihat ‘modern’ dan
‘tradisional’ sebagai dua konsep yang pada dasarnya bertentangan (asimetris). Karena
itu ahli sejarah dunia Marshall Hodgson lebih cenderung tidak menamakan zaman
mutakhir umat manusia yang dikuasai oleh ilmu pengetahuan dan teknologi ini
sebagai ‘Zaman’ Modern’-karena konotasi perkataan ‘modern’ yang selalu positif-
melainkan ‘Zaman Teknik’ (teknik age) dengan konotasi yang netral, dapat baik
dan dapat pula buruk. Karena kenetralan ‘Zaman Teknik’ itu maka peran etika
amat penting.Bahkan Roger Garaudy (Muallaf, nama syahadatnya, Muhammad
Nuruddin), menyebut zaman teknik sebagai ‘agama piranti’; Yakni suatu zaman
yang didominasi oleh piranti, teknik atau instrumen, dan sedikit sekali
menjawab apa sebenarnya tujuan intrinsik dari semua itu. Piranti, teknik, dan
instrumen menjadi tujuan dalam dirinya sendiri sehingga menguasai hidup manusia
dan menjadi agama baru. Sampai bulan April 1954, waktu beberapa orang pendeta
Nasrani dari Amerika Serikat dari organasasi penyiaran agama Cristian and
Missionary Alliance (disingkat CAMA) tiba, orang Palim masih hdup terpencil
dari dunia luar. Mereka pada waktu itu masih menggunakan alat batu yang sama
bentuknya seperti oleh para ahli prasejarah diperkirakan berasal dari kala
Neolitik, sehingga mereka seakan-akan masih berada dalam Zaman Batu Neolitik. Para
pendeta itu kemudian beberapa pusat penyiaran agam di bagian selatan Lembah
Balim di daerah konfederasi Asso-Lokobal/Asso-Wetipo (sic). Dengan kehadiran
para pendeta itu sebahagian orang Dani tiba-tiba dihadapkan pada dunia luar
yang diwakili orang-orang bule, yang cara hdupnya dilengkapi peralatan yang
serba modern, dari yang berukuran kecil yang dipakai sehari-hari, sampai
pesawat terbang, yang mereka gunakan sebagai alat transportasi untuk keluar
masuk daerah Lembah Balim.
Kontak dengan dunia luar
menjadi lebih merata ketika pemerintah Belanda dalam tahun 1956 mendirikan pos
pemerintah di Wamena, yang dilengkapi dengan lapangan terbang yang dapat
didarati pesawat-pesawat sebesar Dakota dan ketika organisasi penyiaran agama
Katolik Minnebriders Fransiskanan membuka pusat kegiatannya di Wamena dua tahun
kemudian.
b. Sistem
Perilaku
Kontak awal suku Dani di
Balim terjadi pada tahun 1926, dengan kedatangan expedisi ilmiah Steerling.
Proses modernisasi pada masyarakat Balim seperti dicatat dalam buku
‘Kebuadayaan Jayawi Jaya’, disunting Astrid Susanto (1994) terjadi menurut
tahapan kurun waktu, sebagai berikut :
1). Masa kontak expedisi
Steerling pada tahun 1926;
2). Masa kontak budaya pada
tahun 1954-1962.
Kontak modernisasi disini
lebih pada budaya material (kapak, pembukaan pos-pos pemerintah/missi serta
pembukaan jalan-jalan raya (zaman pemerintahan kolonial Belanda).
3). Masa integrasi pada
tahun 1963-1969.
Pada masa ini Suku Dani
terintegrasi kedalam negara RI melalui Penpres 1 tahun 1963 dan pada tanggal 16
September 1969 dengan peristiwa Pepera.
4). Masa awal pembangunan
pada tahun 1970-1974.
Pada masa ini pembangunan
belum banyak tampak, banyak sekolah dibuka, komunikasi cukup lancar, perumahan
dikota Wamena makin bertambah, pos-pos di kecamatan dan jalan-jalan raya
dibangun, rumah sakit dan seterusnya.
5). Masa Adaptasi pada tahun
1975-1981. Pada masa ini banyak pendekatan pembangunan dilakukan sebagai
adaptasi sosial-budaya, Pemerintah Desa dibentuk menurut UU Mendagri No. 5 Thn
1974, kursus pelopor pembangunan desa dibuka (KPPD) sebagai tempat pengkaderan
dari wakil tiap desa yang dibentuk. Proses pembangunan diterima baik dalam
bernahasa Indonesia yang baik dan banyak hal mengalami penyesuaian dan
perubahan.
6.). Masa transisi pada
tahun 1982- sampai sekarang
Sebagaimana pada umumnya
daerah Pegunungan Tengah Papua, dalam tahun 1980-1990 awal, Suku Dani, banyak
di jumpai kaum prianya mengenakan busana Koteka dan rumbai bagi wanitanya.
Dikota kini tidak banyak dijumpai, namun daerah-daerah yang masih terisolasi
dan jauh dari pusat pemerintahan banyak terdapat penduduknya yang masih
mengenakan Koteka sebagai lambang ketertinggalan dan keterbelakangan. Usaha moderinisasi baru
dilakukan oleh oleh aparat militer Indonesia seperti dalam operasi task force
oleh Gubernur Aqub Zaenal pada tahun 1970-an awal. Tapi dalam pengertian
sesungguhnya usaha modernisasi dilakukan oleh Missionaris dan pemerintah
Indonesia.
c. Wujud
Budaya
Salah satu contohnya adalah
sebagai berikut:
Masyarakat Suku Dani di Lembah Baliem
(1.650 dpl) di Pegunungan Jaya Wijaya, Papua, sudah sejak lama hingga sekarang
ini telah menggunakan tongkat sederhana sebagai cangkul pengolah lahan kebun
ubi. Sadar atau tidak, penggunaan teknologi sederhana ini berfungsi dalam
konservasi tanah kebun di lereng bukit (yang memang senstif terhadap erosi dan
longsor). Cara lain yang mereka lakukan untuk mengkonservasi lahan di lereng
bukit adalah dengan sistem bera, yaitu mengistirahatkan lahan kebun
bertahun-tahun (bisa sampai 10 tahun) setelah digunakan selam dua siklus
penanaman secara berturut-turut. Dan masih terdapat beberapa tradisi yang
merupakan wujud sistem pengetahuan lokal terhadap lingkungan.
Sumber Referensi:
http://www.pwk-ugm.com/berita/37-perkotaan/64-sistem-pengetahuan-lokal.html
http://nugrahenipisc.blogspot.com/2012/04/contoh-makalah-suku-dani-papua.html
https://www.google.co.id/search?q=Sistem+Pengetahuan+Suku+Dani&hl=id&client=firefox-a&hs=f81&rls=org.mozilla:en-
http://www.facebook.com/note.php?note_id=415931708956
Suku Dani, Lembah baliem – Papua
v
Penutup
A. Kebudayaan
menghadapi masa depan.
Pergesaran
kebudayaan pastilah terjadi diseluruh Negara didunia,termasuk dinegara kita
Indonesia. Perkembangan serta pergeseran kebudayaan menunjukkan adanya
perubahan dalam tubuh suatu Negara dan bangsa. Perkembangan budaya dalam suatu
Negara biasanya tidak sebatas pada suatu objek atau aspek saja. Tetapi
perkembangan yang menyeluruh keseluruh atau hanya beberapa bagian saja.
Perkembangan
kebudayaan di Indonesia sebenarnya sejalan dengan perkembangan IPTEK (Ilmu
Pengetahuan Dan Tekhnologi) yang berkembang pesat saat ini. Tingkatan
ekonomi,pendidikan dan sosiologi turut mempengaruhi budaya diIndonesia. Budaya
Indonesia yang sifatnya heterogen tentunya dapat kita bagi menjadi kelompok
besar yaitu: budaya Indonesia klasik dan budaya Indonesia modern(masa kini).
Perkembangan
budaya Indonesia kini tidak lah terlepas dari peran budaya klasik. Para ahli
budayawan Indonesia pun setuju dengan pada kesimpulan kesimpulan tersebut.
Kebudayaan klasik bangsa Indonesia adalah sebuah kebudayaan yang berkembang
pada zaman kerajaan kuno. Dari kebudayaan klasik kita dapat mengutip beberapa
pelajaran tentang contohnya kearifan local dalam suatu tempat atau objek
budaya.
Belajar
dari kearifan local maka kita akan mempelajari berbagai dimensi kebudayaan.
Dimensi tersebut mencakup kesenian,filsafat, sastra dan agama. Misalnya saja
kita dapat mengapresiasikan sastra
klasik sehingga kita dapat dapat
mencermati seperti apa kehidupan masa
lalu bangsa Indonesia. Dimensi agama,tarian,lukisan,nyanyian,wayang. Bahkan
filsafat perang sekalipun merupakan bagian dari cipta dan karya bangsa
Indonesia dimasa lampau. Dengan demikian kita dapat mengetahui dan dapat
mengenal kebudayaan bangsa kita sendiri pada masa lalu, juga serta dapat
menghargai dan mengapresiasikannya kembali dengan cara-cara yang dapat dikenal
orang lain serta mengajak untuk bisa mempertahankannya salah satu contohnya
dibidang pariwisata kita dapat mengenalkan kembali itu semua kepada turis-turis
asing agar mereka pun mengenal, mengetahui dan akhirnya dapat menghargai juga
membantu mempertahankannya agar tidak tenggelam dimakan perubahan zaman yang
kian pesat oleh majunya dunia tekhnologi dan lain sebagainya.
Kearifan
lokal yang dimiliki kebudayaan klasik memang terbilang agak tua atau bahkan
terdengar sekarang kuno. Namun dari hal itulah terbukti mampu bertahan lama dan tidak
menyebabkan kerusakan terhadap hal
apapun. Sebagai contohnya, lihatlah bagaimana masyarakat baduy atau masyarakat
kampung pulo di Tasikmalaya dapat mampu menjaga kelestarian alam serta
mempertahankan keasriannya sebagai warisan budaya atau warisan nenek moyang
mereka yang mereka jaga dengan teguhnya sampai saat ini juga.
Maju
mundurnya atau timbul tenggelamnya satu budaya termasuk budaya lokal tergantung
pada perubahan yang terjadi dalam masyarakatnya. Ini dipengaruhi oleh
nilai-nilai dan pandangan hidup atau sistem kehidupan yang tumbuh subur dalam
masyarakatnya. Perubahan dalam masyarakat merupakan hasil dari 'pertemuan' nilai-nilai.
Ada 'interaksi' antara nilai yang satu dan nilai yang lain'; ada 'dialog'
antara pandangan hidup yang satu dan pandangan hidup yang lain. Ada ujian
terhadap masing-masing sistem kehidupan.
Masyarakat
akan berpikir dan bertindak sesuai dengan nilai, pandangan hidup atau sistem
kehidupan yang diterima. Tindakannya merupakan pancaran dari nilai, pandangan
hidup dan sistem kehidupan yang diterima. Bagaimana masyarakat berpikir,
bertindak, bekerja, menggunakan waktu, berkeluarga, berkehidupan sosial,
bertetangga, dan melakukan aktifitas lainnya- ini semua merupakan gambaran dari
nilai-nilai yang diterima masyarakat.
Namun,
perubahan dalam masyarakat tidak dapat lepas dari perubahan yang terjadi dalam
unit masyarakat yang terkecil, yaitu keluarga. Bila dirinci, ini tidak lepas
dari perubahan dalam tiap individu. Perubahan dalam individu merupakan induk
dari perubahan masyarakat. Bila individu berubah- ini bisa memicu perubahan
dalam masyarakat dan perubahan budaya termasuk budaya lokal. Individu yang terus
berubah ke arah yang lebih baik akan menjadi manusia yang utuh. Ia menjadi
sosok manusia yang bekerja dengan rasa tanggungjawab, mengerjakan pekerjaan
sesuai bakat, bekerja secara rasional, bekerja secara sistematis, bekerja
efisien, bekerja keras, bekerja dengan rajin, bekerja dengan tekun, bekerja
dengan pengharapan, dan bekerja dengan rasa cinta kepada Tuhan dan sesama.
Lambat laun ia mempengaruhi orang-orang di sekelilingnya bahkan berpotensi
untuk mempengaruhi masyarakat. Jadi, perubahan individulah sebagai dasar
perubahan masyarakat.
Perubahan
yang terjadi pada masyarakat akan mempengaruhi budaya. Ini akan mempengaruhi
aspek-aspek kehidupan yang lain. Tidak mengherankan bila budaya-budaya lokal
mengalami perubahan. Ini saya lihat sendiri dalam masyarakat Batak. Ada banyak
perubahan terjadi dalam masyarakat dan budayanya. Salah satu contoh yang
terjadi di kota adalah bahwa mayoritas putra-putri Batak yang lahir dan besar
di kota tidak bisa berbahasa daerah. Tulisan-tulisan dalam bahasa Batak minim dan
kalah bersaing dengan tulisan-tulisan dalam bahasa Indonesia atau bahasa
Inggris. Itu fakta. Apakah budaya lokal akan bertahan di masa-masa mendatang?
Apakah budaya Jawa, budaya Batak, budaya Sunda, dan budaya lainnya akan
bertahan?
Putra-putri
Indonesia tidak perlu mengkwatirkan perubahan dalam budaya nasional.
Bahkan kalaupun budaya daerah tergusur, kita tidak perlu kuatir selama
nilai-nilai yang unggul diterima dan berkembang dalam masyarakat lokal. Tidak
ada hukum bahwa budaya 'kecil'l harus terus bertahan atau dipelihara.
Masyarakat yang menerima nilai-nilai yang lebih tinggi akan menghadirkan
budaya-budaya yang sesuai dengan nilai-nilai yang diterima. Ini prinsip yang
tidak dapat dibantah. Masyarakat yang mau maju akan semakin terbuka terhadap
nilai-nilai yang tinggi. Masyarakat yang demikian lambat laun akan meninggalkan
nilai-nilai yang 'kurang bermutu'. Dengan kata lain, budaya yang berdasarkan
pada nilai-nilai 'kebenaran yang parsial' tidak dapat bertahan dalam jangka
waktu yang lama. Perubahan budaya - apakah itu budaya besar ataupun budaya
lokal- merupakan konsekuensi dari benturan nilai-nilai antara budaya yang
'lebih tinggi' dengan 'budaya yang lebih rendah.' Hal yang perlu direnungkan
adalah sejauh mana kita mau menerima nilai-nilai dari budaya yang lebih tinggi
dan memprakttekannya dalam kehidupan sehari-hari. Ini merupakan sebuah
'petualangan.' Ada tiga unsur budaya yang penting: ide atau gagasan, tindakan,
dan produk.
Benturan
Budaya Nasional dengan Budaya Luar
Benturan
budaya tak terelakkan. Diperlukan jiwa yang besar bila suatu saat nilai-nilai
budaya kecil akan tersisih oleh karena hadirnya nilai-nilai dari budaya luar.
Bagaimana
Menilai Budaya
Ada
tiga opsi untuk menilai budaya. Pertama adalah dengan menggunakan dasar negara
kita, yaitu Pancasila.
B. Kebudayaan
sebagai Aset Pariwisata
Pariwisata
merupakan salah satu sektor pembangunan yang saat ini sedang digalakkan oleh
pemerintah. Hal ini disebabkan pariwisata mempunyai peran yang sangat penting
dalam pembangunan Indonesia khususnya sebagai penghasil devisa negara di
samping sektor migas.
Pariwisata
merupakan suatu fenomena yang terdiri dari berbagai aspek, seperti: ekonomi,
teknologi, politik, keagamaan, kebudayaan, ekologi, dan pertahanan dan
keamanan. Melalui pariwisata berkembang keterbukaan dan komunikasi secara
lintas budaya, melalui pariwisata juga berkembang komunikasi yang makin meluas
antara komponen-komponen lain dalam kerangka hubungan yang bersifat saling
mempengaruhi Kebudayaan sebagai salah satu aspek dalam pariwisata dapat
dijadikan sebagai suatu potensi dalam pengembangan pariwisata itu. Hal ini
disebabkan, dalam pengembangan pariwisata pada suatu negara atau suatu daerah
sangat terkait dengan potensi yang dimiliki oleh suatu daerah atau suatu
negara. Indonesia, misalnya dengan bermodalkan kekayaan kebudayaan nasional
yang dilatari oleh keunikan berbagai kebudayaan daerah bisa menggunakan
kebudayaan sebagai salah satu daya tarik wisatawan.Pengembangan kepariwisataan
yang bertumpu pada kebudayaan lebih lanjut diistilahkan dengan pariwisata
budaya. Dengan kata lain, pariwisata budaya adalah satu jenis kepariwisataan
yang dikembangkan bertumpu pada kebudayaanPariwisata sebagai suatu fenomena
yang terdiri dari berbagai aspek tentu akan berpengaruh terhadap aspek-aspek tersebut,
termasuk kebudayaan yang merupakan salah satu aspek pariwisata. Apalagi
pengembangan pariwisata di Indonesia bertumpu pada kebudayaan nasional
Indonesia, tentu perkembangan pariwisata akan berdampak bagi kebudayaan
nasional IndonesiaDampak yang ditimbulkan oleh pariwisata terhadap kebudayaan
tidak terlepas dari pola interaksi di antaranya yang cenderung bersifat
dinamika dan positif. Dinamika tersebut berkembang, karena kebudayaan memegang
peranan yang penting bagi pembangunan berkelanjutan pariwisata dan sebaliknya
pariwisata memberikan peranan dalam merevitalisasi kebudayaan. Ciri positif
dinamika tersebut diperlihatkan dengan pola kebudayaan mampu meningkatkan
pariwisata dan pariwisata juga mampu memajukan kebudayaan.Perkembangan
pariwisata yang sangat pesat dan terkosentrasi dapat menimbulkan berbagai
dampak.
Secara
umum dampak yang ditimbulkan adalah dampak positif dan dampak negatif. Dampak
positif dari pengembangan pariwisata meliputi;
(1)
memperluas lapangan kerja;
(2)
bertambahnya kesempatan berusaha;
(3)
meningkatkan pendapatan;
(4)
terpeliharanya kebudayaan setempat;
(5)
dikenalnya kebudayaan setempat oleh wisatawan.
Sedangkan
dampak negatifnya dari pariwisata tersebut akan menyebabkan;
(1)
terjadinya tekanan tambahan penduduk akibat pendatang baru dari luar daerah;
(2)
timbulnya komersialisasi;
(3)
berkembangnya pola hidup konsumtif;
(4)
terganggunya lingkungan;
(5)
semakin terbatasnya lahan pertanian;
(6)
pencernaan budaya; dan
(7)
terdesaknya masyarakat setempat (Spillane, 1989:47)
Dampak
positif dari kegiatan pariwisata terhadap budaya masyarakat lokal antara lain;
munculnya kreativitas dan inovasi budaya, akulturasi budaya, dan revitalisasi
budaya. Sedangkan dampak negatif yang sering dikawatirkan terdapat budaya
masyarakat lokal antara lain; proses komodifikasi, peniruan, dan profanisasi
(Shaw and Williams, dalam Ardika 2003:25). Lebih lanjut dijelaskan bahwa dampak
pariwisata terhadap budaya masyarakat lokal sebagaimana tersebut di atas disebabkan
oleh tiga hal yakni:
(1)
masyarakat lokal ingin memberikan hasil karya seni atau kerajinan yang bermutu
tinggi kepada pembeli (wisatawan);
(2)
untuk menjaga citra dan menunjukkan identitas budaya masyarakat lokal kepada
dunia luar;
(3)
masyarakat ingin memperoleh uang akibat meningkatnya komersialisasi (Graburn
2000 dalam Ardika 2003).Di samping terjadinya komersialisasi, tampaknya yang
perlu juga menjadi pemikiran kita bersama, yaitu pola pembinaan kebudayaan
dalam arti luas sebagai pendukung kepariwisataan. Sudah menjadi kenyataan
devisa yang dihasilkan dari pengembangan pariwisata, digunakan oleh negara
untuk melaksanakan pembangunan di segala bidang. Devisa itu dibagi-bagi ke
semua aspek pembangunan, sehingga dirasakan sangat kecil kembali pada bidang
kebudayaan. Padahal secara nyata kebudayaan itulah sebagai penopang paling
besar dalam pariwisata untuk mendatangkan devisa. Oleh karena itu, ada kesan
“budaya untuk pariwisata”. Dengan demikian, kebudayaan di sini tereksploitasi
secara besar-besar dan hanya digunakan sebagai bahan promosi tanpa adanya usaha
untuk menjaga dan melestarikannya. Kini banyak objek wisata yang tidak tertata
akibat dana pemeliharaan yang terbatas. Salah satu contoh konkret adalah Museum
Subak yang ada di Kabupaten Tabanan, Bali. Museum ini meruapakan aset budaya
Bali yang tak ternilai harganya. Sayang, kini museum itu sepertinya hanya
tinggal kenangan
Sumber Referensi:
http://www.anneahira.com/perkembangan-budaya.htm
http://www.putra-putri-indonesia.com/budaya-lokal.html
http://subadra.wordpress.com/2007/03/14/hubungan-dan-permasalahan-antara-pariwisata-kebudayaan-dan-bahasa/
- Yoeti, Oka A. 1983. Komersialisasi Seni Budaya dalam Pariwisata. Bandung:
- Yoeti, Oka A. 1983. Komersialisasi Seni Budaya dalam Pariwisata. Bandung:
Angkasa.
- Yoeti, Oka A. 1996. Pengantar Ilmu Pariwisata. Bandung: Angkasa.
- Geriya, Wayan. 1996. Pariwisata dan Dinamika Kebudayaan Lokal, Nasional,
- Spillane, James J. 1989. Ekonomi Pariwisata Sejarah dan Prospeknya. Cetakan II. Yogyakarta: Kanisius
- Yoeti, Oka A. 1996. Pengantar Ilmu Pariwisata. Bandung: Angkasa.
- Geriya, Wayan. 1996. Pariwisata dan Dinamika Kebudayaan Lokal, Nasional,
- Spillane, James J. 1989. Ekonomi Pariwisata Sejarah dan Prospeknya. Cetakan II. Yogyakarta: Kanisius
informasi di blog ini cukup lengkap,ka..
kalo boleh tanya ada suku di dalam indonesia atau luar indonesia yang mempunyai kesamaan adat upacara kematian?