Sistem Religi
Upacara Pernikahan
Upacara adat pernikahan
Tionghoa identik dengan menyajikan teh. The memang banyak digunakan dalam
perayaan-perayaan masyarakat Tionghoa, salah satunya pernikahan. Teh dianggap
minuman rakyat dan menyajikan teh merupakan tanda penghormatan.
Pernikahan Tionghoa biasanya menggunakan biji bunga teratai yang memiliki makna tersendiri. Kata “teratai” dengan “tahun” memiliki bunyi yang hampir sama, walaupun dalam segi arti berbeda. Orang Tionghoa percaya dengan menaruh benda-benda, seperti biji bunga teratai akan membantu pasangan pengantin baru dapat melahirkan banyak anak, dan sang mertuapun akan memiliki banyak cucu.
Mengapa biji teratai dapat memberikan pengantin baru banyak anak? Hal ini berkaitan dengan silsilah kata biji teratai atau Lian Zi yang diibaratkan sebagai Nian Zi atau Nian You Zi. Yang artinya setiap tahun memiliki anak. Jika terdapat tunas yang muncul apda biji teratai tersebut, jangan lupa untuk mehilangkannya karena tunas memiliki rasa yang pahit.
Dalam tradisi Tionghoa menyajikan teh dengan memegang alas cangkir teh menggunakan kedua belah tangan, merupakan sebuah bentuk penghormatan. Di saat menyajikan teh, sang pengantin wanita berada di sebelah kanan pengantin pria.
Selain menyajikan teh pada kedua orangtua, kedua pengantin baru ini pun diharuskan menyajikan teh pada kerabat yang lebih tinggi lagi tingkatannya dan yang lebih tua dengan menyebutkan tingkatan. Misalnya paman pertama, bibi kedua, kakak pertama, dan lainnya. Penyajian teh pun dilakukan secara berurutan, mulai dari anggota keluarga tertinggi tingkatannya, misalnya mulai dari kakek, nenek dari ayah pengantin pria, lalu kakek dan nenek dari ibu pengantin pria, orangtua pengantin pria, dan lainnnya.
Jika tingkatan dari yang mendapat penghormatan yang lebih tinggi, seperti kakek, ayah, atau paman, maka kedua pengantin baru diharuskan berlutut. Sedangkan yang mendapatkan penghormatan dalam posisi duduk.
Berbeda jika yang mendapat penghormatan tidak lebih tinggi tingkatannya dari sang pengantin, namun tentunya masih lebih tua dari kedau pasangan tersebut, misalnya kakak. Maka kedua pengantin tidak perlu berlutut. Sebagai balasan telah menyajikan teh, kedua pengantin akan menerima Hong Bao atau Angpao berisi uang atau perhiasan.
Pernikahan Tionghoa biasanya menggunakan biji bunga teratai yang memiliki makna tersendiri. Kata “teratai” dengan “tahun” memiliki bunyi yang hampir sama, walaupun dalam segi arti berbeda. Orang Tionghoa percaya dengan menaruh benda-benda, seperti biji bunga teratai akan membantu pasangan pengantin baru dapat melahirkan banyak anak, dan sang mertuapun akan memiliki banyak cucu.
Mengapa biji teratai dapat memberikan pengantin baru banyak anak? Hal ini berkaitan dengan silsilah kata biji teratai atau Lian Zi yang diibaratkan sebagai Nian Zi atau Nian You Zi. Yang artinya setiap tahun memiliki anak. Jika terdapat tunas yang muncul apda biji teratai tersebut, jangan lupa untuk mehilangkannya karena tunas memiliki rasa yang pahit.
Dalam tradisi Tionghoa menyajikan teh dengan memegang alas cangkir teh menggunakan kedua belah tangan, merupakan sebuah bentuk penghormatan. Di saat menyajikan teh, sang pengantin wanita berada di sebelah kanan pengantin pria.
Selain menyajikan teh pada kedua orangtua, kedua pengantin baru ini pun diharuskan menyajikan teh pada kerabat yang lebih tinggi lagi tingkatannya dan yang lebih tua dengan menyebutkan tingkatan. Misalnya paman pertama, bibi kedua, kakak pertama, dan lainnya. Penyajian teh pun dilakukan secara berurutan, mulai dari anggota keluarga tertinggi tingkatannya, misalnya mulai dari kakek, nenek dari ayah pengantin pria, lalu kakek dan nenek dari ibu pengantin pria, orangtua pengantin pria, dan lainnnya.
Jika tingkatan dari yang mendapat penghormatan yang lebih tinggi, seperti kakek, ayah, atau paman, maka kedua pengantin baru diharuskan berlutut. Sedangkan yang mendapatkan penghormatan dalam posisi duduk.
Berbeda jika yang mendapat penghormatan tidak lebih tinggi tingkatannya dari sang pengantin, namun tentunya masih lebih tua dari kedau pasangan tersebut, misalnya kakak. Maka kedua pengantin tidak perlu berlutut. Sebagai balasan telah menyajikan teh, kedua pengantin akan menerima Hong Bao atau Angpao berisi uang atau perhiasan.
Barongsai
adalah tarian tradisional Cina dengan menggunakan sarung yang
menyerupai singa. Barongsai memiliki sejarah ribuan tahun. Catatan pertama
tentang tarian ini bisa ditelusuri pada masa Dinasti
Chin sekitar abad ke tiga sebelum
masehi
Kesenian barongsai diperkirakan
masuk di Indonesia pada abad-17, ketika terjadi migrasi besar dari Cina
Selatan.
Barongsai di Indonesia mengalami masa maraknya ketika zaman
masih adanya perkumpulan Tiong Hoa Hwe Koan. Setiap perkumpulan Tiong Hoa Hwe
Koan di berbagai daerah di Indonesia hampir dipastikan memiliki sebuah
perkumpulan barongsai. Perkembangan barongsai kemudian berhenti pada tahun 1965
setelah meletusnya Gerakan 30 S/PKI. Karena situasi politik pada waktu itu, segala macam bentuk
kebudayaan Tionghoa di Indonesia dibungkam. Barongsai dimusnahkan dan tidak
boleh dimainkan lagi. Perubahan situasi politik yang terjadi di Indonesia
setelah tahun 1998 membangkitkan kembali kesenian barongsai dan kebudayaan Tionghoa lainnya. Banyak perkumpulan barongsai
kembali bermunculan. Berbeda dengan zaman dahulu, sekarang tak hanya kaum muda
Tionghoa yang memainkan barongsai, tetapi banyak pula kaum muda pribumi
Indonesia yang ikut serta.
Pada zaman pemerintahan
Soeharto, barongsai sempat tidak diijinkan untuk dimainkan. Satu-satunya tempat
di Indonesia yang bisa menampilkan barongsai secara besar-besaran adalah di
kota Semarang, tepatnya di panggung besar kelenteng Sam Poo Kong atau dikenal
juga dengan Kelenteng Gedong Batu. Setiap tahun, pada tanggal 29-30 bulan enam
menurut penanggalan Tiong Hoa (Imlek), barongsai dari keenam perguruan di
Semarang, dipentaskan. Keenam perguruan tersebut adalah:
1. Sam Poo Tong, dengan
seragam putih-jingga-hitam (kaos-sabuk-celana), sebagai tuan rumah
2. Hoo Hap Hwee dengan
seragam putih-hitam
3. Djien Gie Tong (Budi
Luhur) dengan seragam kuning-merah-hitam
4. Djien Ho Tong (Dharma
Hangga Taruna) dengan seragam putih-hijau
5. Hauw Gie Hwee dengan
seragam hijau-kuning-hijau kemudian digantikan Dharma Asih dengan seragam
merah-kuning=merah
6. Porsigab (Persatuan Olah
Raga Silat Gabungan) dengan seragam biru-kuning-biru
Walaupun yang bermain
barongsai atas nama ke-enam kelompok tersebut, tetapi bukan berarti hanya oleh
orang-orang Semarang. Karena ke-enam perguruan tersebut mempunyai anak-anak
cabang yang tersebar di Pulau Jawa bahkan sampai ke Lampung. Di kelenteng
Gedong Batu, biasanya barongsai (atau di Semarang disebut juga dengan istilah
Sam Sie) dimainkan bersama dengan Liong (naga) dan Say (kepalanya terbentuk dari
perisai bulat, dan dihias menyerupai barongsai berikut ekornya).
Cap Go Meh
melambangkan hari ke-15
dan hari terakhir dari masa perayaan Tahun Baru Imlek bagi komunitas Tionghoa
di seluruh dunia. Istilah ini berasal dari dialek Hokkien dan secara harafiah berarti hari kelima
belas dari bulan pertama (Cap = Sepuluh, Go = Lima, Meh =
Malam). Ini berarti, masa perayaan Tahun Baru Imlek berlangsung selama lima
belas hari.
Perayaan ini dirayakan
dengan jamuan besar dan berbagai kegiatan. Di Taiwan ia dirayakan sebagai Festival Lampion. Di Asia Tenggara ia dikenal sebagai hari Valentine Tionghoa, masa ketika wanita-wanita
yang belum menikah berkumpul bersama dan melemparkan jeruk ke dalam laut - suatu adat yang
berasal dari Penang, Malaysia.
Perayaan Cap go Meh di Makassar diadakan secara rutin setiap setahun
sekali. Pada hari perayaan Cap Go Meh, daerah pecinaan kota Makassar akan
ditutup untuk kendaraan sejak pukul 10.00 WITA pagi, namun prosesi perarakan
Cap Go Meh atau yang biasa disebut Karnival
Budaya Nusantara akan dimulai
pukul 14.00 WITA dengan dilepaskannya puluhan ekor burung oleh Walikota
Makassar.
Perarakan Cap Go Meh
diawali dengan rombongan Bhineka Tunggal Ika yang antara lain terdiri atas
berbagai tokoh agama dan masyarakat serta juga diikuti oleh para Dara dan Daeng
Makassar, lalu Kelenteng Kwang Kong, masyarakat Kajang dari Bulukumba, Vihara
Dharma Loka, kelompok adat Aluk Tudolo dari Tana Toraja, Kelenteng Xian Ma,
kelompok adat Kabupaten Bone, Kelenteng Pan Ku Ong dari Galesong Kabupaten
Takalar, Vihara Dharma Agung, Komunitas Bissu dari Segeri, Kabupaten Pangkep,
Mapanbumi, Kelompok Adat Mappasili Pallawa serta Vihara Girinaga. Di barisan
terakhir ditutup oleh Yayasan
Budha Tzu Chi yang antara lain
membersihkan sampah yang memenuhi sepanjang jalan yang dilalui rombongan
prosesi tersebut. Hampir setiap klenteng mengarak dewa dan dewi. Seperti Klenteng Kwan Kong yang mengarak Dewa Kwan Kong sebagai dewa perang dan Dewi Kwan Im sebagai pembawa cinta kasih. Vihara
Dharma Loka mengarak Dewa Cho Sua
Kong atau dewa pengobatan, dan Klenteng Xian Ma yang membawa Dewi Xian Ma. Karnival ini berakhir
sekitar pukul
16.30 WITA.
Menggantung lentera merah
Pada masa akhir Dinasti
Ming, Li Zicheng, pemimpin pemberontak, bersama tentaranya sedang mempersiapkan
diri untuk menguasai kota Kaifeng.
Demi mendapatkan
informasi yang akurat, Li menyamar sebagai penjual beras masuk ke Kaifeng.
Setelah mendapat gambaran yang jelas, maka Li menyebarkan berita untuk kalangan
rakyat jelata bahwa tentara pemberontak tidak akan mengganggu setiap rumah yang
menggantung lentera merah di pintu depan.
Sekembalinya Li ke
markas, dia membuat rencana penyerangan. Para penjaga kota Kaifeng mulai
mendapat serangan gencar dari tentara Li dan membuat mereka kewalahan. Tidak
berdaya membuat pasukan penjaga kota Kaifeng mengambil jalan pintas membuka
bendungan dengan harapan tentara Li tersapu banjir dan hancur.
Namun banjir juga melanda
rumah penduduk.
Banyak orang yang
berusaha menyelamatkan diri naik ke atap rumah. Bagi rakyat jelata, mereka hanya
membawa lentera merah. Sedangkan kaum bangsawan dan pejabat berusaha
menyelamatkan harta benda.
Banjir terus meninggi dan
membuat orang-orang mulai putus asa.
Demi melihat penderitaan
yang akan dialami banyak rakyat jelata, Li memerintahkan anak buahnya
menyelamatkan rakyat dengan rakit dan perahu. Yang membawa lentera merah
tentunya.
Untuk memperingati
kebaikan hati Li dalam menyelamatkan rakyat jelata, maka bangsa Tionghoa selalu
menggantung lentera merah pada setiap perayaan penting, seperti Perayaan Tahun Baru Imlek.
/www.eocommunity.com/