Materi UAS " Kearifan Lokal Masyarakat Suku Gayo"

Kearifan Lokal Masyarakat Suku Gayo (UAS)
Sebagai identitas sosial yang dinamis, masyarakat Gayo mengkonstruksi kearifan lokal sebagai pandangan-dunia (world-view) dalam memaknai realitas (Bowen, 1991: 4). Kearifan lokal yang merupakan representasi budaya sebuah komunitas diartikulasikan baik dalam wujud kasat mata (tangible) maupun yang tidak kasat mata (intangible). Dalam klasifikasi sejumlah pakar, setidaknya terdapat lima kategori kearifan lokal: pertama, kearifan yang berupa pandangan hidup (filosofi); kedua kearifan berupa sikap hidup sosial, nasihat dan iktibar yang diungkap dalam bentuk pepatah, perumpamaan, pantun syair atau cerita rakyat (folklor); ketiga,  kearifan dalam seremoni atau upacara adat; keempat, kearifan berupa prinsip, norma, dan tata aturan yang berwujud menjadi sistem sosial; dan kelima, kearifan berupa kebiasaan, prilaku sehari-hari dalam pergaulan sosial (Rasyidin, Siregar dan Batubara, dalam Afif, Bahri dan Saeful, Ed., 2009: 236).
Di masa lalu masyarakat Gayo telah merumuskan prinsip – prinsip adat yang disebut kemalun ni edet. Prinsip adat ini menyangkut “harga diri” (malu) yang harus dijaga, diamalkan, dan dipertahankan oleh kelompok kerabat tertentu, kelompok satu rumah (sara umah), klen (belah), dan kelompok yang lebih besar lagi.
Prinsip adat meliputi empat hal berikut ini :
a)      Denie – terpancang adalah harga diri yang menyangkut hak – hak atas wilayah.
b)      Nahma teraku adalah harga diri yang menyangkut kedudukan yang sah.
c)      Bela mutan ialah harga diri yang terusik karena ada anggota kelompoknya yang disakiti atau dibunuh.
d)     Malu tertawan ialah harga diri yang terusik karena kaum wanita dari anggota kelompoknya diganggu atau difitnah pihak lain.
Seperti kebanyakan masyarakat dataran tinggi, karakter masyarakat Gayo cendrung lebih tenang dan tidak serlalu ekspresif dibandingkan masyarakat Aceh pesisir. Sehingga jangan khawatir bertanya atau memulai percakapan dengan masyarakat Gayo karena mereka sangat menyukai tamu , dengan catatan tetap memperhatikan kearifan budaya lokal setempat.
Masyarakat Gayo terkenal teguh melaksanakan Syariah Islam dengan kearifan lokal sendiri. Meskipun demikian penegakan hokum syari’ah secara massif tidak seketat di Banda Aceh atau daerah Pesisir Aceh lainnya. Sehingga, jangan heran kalao di Takengon atau di Bener Meriah anda tidak melihat polisi Syari’ah sebanyak di Banda Aceh, namun nuansa Islami sangat terasa di kota. Tidak ada aturan khusus untuk menikmati indahnya kota Takengon dan dataran tinggi gayo. Cukup berpakaian sopan , maka masyarakat Gayo akan menerima kehadiaran anda dengan ulasan senyum hangat dan bersahaja.
Dalam masyarakat Gayo, kearifan lokalnya terangkum dalam konsep ¨ed¨et atau adat, yang meliputi praktik, norma, dan tuntutan kehidupan sosial yang bersumber dari pengalaman yang telah melalui islamisasi. Wujud kearifan lokal yang terdapat dalam masyarakat Gayo meliputi bahasa Gayo, sistem tata kelola pemerintahan (sarakopat), norma bermasyarakat (sumang), ekspresi estetik (didong), konsep nilai dasar budaya Gayo, dan lain-lain.
Kearifan lokal dalam masyarakat Gayo terangkum dalam nilai dasar budaya yang merepresentasikan filosofi, pandangan hidup dan karakter ideal yang hendak di capai. Merujuk klasifikasi Melalatoa terdapat tujuh nilai budaya Gayo, dimana terdapat satu nilai puncak yang merupakan representasi kearifan lokal yang berbasis nilai-nilai Islami.
Sistem nilai budaya Gayo menempatkan harga diri (mukemel) sebagai  nilai utama. Untuk mencapai tingkat harga diri tersebut, seseorang harus mengamalkan atau mengacu pada sejumlah nilai penunjang: tertip (tertib/patuh pada peraturan), setie (komitmen), semayang-gemasih (simpatik), mutentu (profesional), amanah (integritas), genap-mupakat (demokratis), alang-tulung (empatik). Untuk mewujudkan berkembangnya ke-tujuh nilai penunjang perlu nilai penggerak, yang menurut Melalatoa (1982) disebut semangat kompetitif melakukan kebaikan, bersikekemelen. Berikut dikemukakan penjelasan singkat mengenai sistem nilai ini.
  •   Mukemel
Konsep mukemel berkenaan dengan harga diri. Istiah kemel pada dasarnya berarti malu. Dalam aplikasinya malu dipahami dalam makna yang lebih luas, sehingga mencakup makna harga diri atau iffah dalam konsep studi akhlak. Konsep ini merujuk pada kemampuan menjaga diri agar tidak terjerumus pada pikiran dan tindakan yang dapat menyebabkan hilangnya harga diri. Seorang yang mempunyai sikap mukemel konsisten mempertahankan harga diri dengan mencegah diri atau keluarganya terjebak pada perbuatan-perbuatan tercela atau bertentangan dengan tuntunan agama (syariat) dan norma kebiasaan (adat).
  •   Tertib
Kata ini berasal dari bahasa Arab, tartib, artinya teratur atau berurutan. Dalam konsep fiqh, istilah tertib berkenaan dengan syarat dan rukun dalam pelaksanaan ibadah, di mana tidak terpenuhinya syarat ini dapat membatalkan atau paling tidak mengurangi kesempurnaan pelaksanaan ibadah. Dalam konteks masyarakat Gayo, tertib berkenaan dengan sikap hati-hati sehingga tindakan dan perlakukan dilakukan dengan memperhatikan konteks. Salah satu ungkapan bahasa Gayo menyatakan, tertib bermejelis, umet bermulie (artinya, keteraturan dalam kehidupan bersama merupakan prasyarat mewujudkan kemuliaan umat). Ungkapan ini menegaskan bahwa dalam sebuah komunitas yang beragam; baik ditinjau dari keahlian, minat, kecenderungan, pengalaman dan perbedaan usia diperlukan tata tertib yang dapat mengatur terwujudnya harmonisasi sosial.
  •   Setie
Setie artinya mempunyai komitmen, teguh pendirian atau setia. Kata ini merujuk pada sikap yang tidak mudah menyerah demi memperjuangkan kebenaran yang diyakini. Komitmen bersama yang disepakati dalam musyawarah misalnya, memerlukan keteguhan sikap dalam mewujudkannya. Dalam ungkapan Gayo disebutkan, setie murip, gemasih papa, yang menegaskan kesetiaan pada komitmen bersama merupakan kunci penyelesaian seberat apapun tantangan yang ada. Dalam ungkapan lainnya disebutkan, ike jema musara ate, ungke terasa gule. Ike gere musara ate, bawal terasa bangke, ungkapan ini bermakna, kalau hati sudah sepakat sepahit apapun tantangan yang menghadang mudah diselesaikan, sebaliknya apabila tidak terdapat komitmen bersama persoalan kecil dapat memicu munculnya masalah baru yang lebih besar.
  •   Semayang-gemasih
Nilai budaya Gayo dalam konsep semayang-gemasih, artinya kasih sayang. Konsep ini berkaitan dengan prilaku terpuji dalam Islam, bahkan dua nama Allah yang baik (asmaul husna) dalam al-Qur’an adalah Maha Pengasih (al-Rahman) dan Maha Penyayang (al-Rahim). Dalam ungkapan bahasa Gayo, nilai semayang-gemasih ini tercantum dalam pribahasa; kasih enti lanih, sayang enti lelang, yang berkaitan dengan pentingnya kemampuan bertindak proporsional dalam berkasih sayang. Kasih sayang yang tidak diiringi pengetahuan dapat merusak, misalnya terlalu memanjakan anak atau memberi disertai sikap merendahkan, pamer atau penyesalan tidak akan mencapai taraf kesempurnaan kasih sayang (Ibrahim dan Pinan, 2010: 28).
  •   Mutentu
Nilai budaya mutentu berarti rajin, ulet, bekerja keras atau melaksanakan sesuatu sesuai aturan (rapi). Nilai ini memberi penekanan pada pembentukan sikap tidak terburu-buru atau ceroboh, tetapi berdasarkan perenungan dan perencanaan yang matang. Sifat ini merupakan indikator sangat penting dalam menilai karakter dan mempengaruhi kepercayaan orang lain. Seseorang yang terlanjur melakukan perbuatan yang mencederai kepercayaan yang diberikan kepadanya akan cacat status sosialnya dalam pergaulan.
  •   Amanah
Amanah berasal dari bahasa Arab, yang artinya terpercaya, jujur dan bertanggungjawab. Amanah berkaitan dengan kesesuaian antara ucapan dan perbuatan, keselarasan antara idealitas dan realitas. Sifat amanah dibuktikan oleh kemampuan seseorang menunaikan tugas atau kepercayaan yang diembankan secara bertanggungjawab, persesuaian ucapan dan perbuatan, menegakkan keadilan, ikhlas dan jujur, mengendalikan hawa nafsu (Ibrahim dan Pinan, 2010).
  •   Genap-Mupakat
Genap-mupakat atau keramat-mupakat merupakan nilai budaya Gayo yang berkaitan dengan perwujudan harmoni sosial. Genap-mupakat merupakan pengejewantahan prinsip musyawarah untuk mencari solusi terbaik. Hurgronje (1992: iv) menyatakan bahwa masyarakat Gayo mempunyai karakteristik sebagai orang republik yang bebas dan berani mengungkapkan pendapat tanpa terlalu terikat hierarki kekuasaan, sebagaimana berlaku dalam masyarakat feodal. Dalam perspektif masyarakat Gayo, penggunaan musyawarah merupakan bagian penting yang harus dipertimbangkan dalam memutuskan persoalan-persoalan yang menyangkut hajat hidup publik.
  •   Alang-Tulung
Nilai budaya Gayo lainnya adalah sikap tolong-menolong, sebagaimana tercermin dalam ungkapan alang-tolong berat-berbantu. Nilai ini menegaskan eksistensi manusia sebagai makhluk sosial, manusia memerlukan interaksi sosial yang memungkinan proses memberi dan menerima (give and take, bukan take and give sebagaimana sering disebut)  sebagai perekat kohesi sosial.
  •   Bersikekemelen
Untuk mengaktualisasi sitim nilai-nilai budaya Gayo, Melalatoa (1982) mengungkapkan kemestian adanya nilai penggerak, bersikekemelen atau sikap kompetitif dalam mengamalkan  ke tujuh nilai penunjang, dalam bahasa agama dikenal dengan prinsip berlomba-lomba dalam kebaikan, fastabiqul khairat. Melalui nilai bersikekemelen, nilai-nilai lain akan lebih kokoh keberadaannya. Prinsip perlombaan dalam melakukan kebaikan ini mencakup pada upaya untuk meningkatkan martabat kehidupan, misalnya dalam pengembangan ilmu pengetahuan, perbaikan taraf ekonomi dan bahkan dalam mengamalkan ajaran agama.

Motif Emun Berangkat
Kearifan lokal atau falsafah juga dapat terlihat pada motif Batik Gayo. Pertama, motif emun berangkat (beriring) yaitu motif geometrik yang merupakan lingkaran memusat dengan berbagai ragam hias. Motif emun berangkat (awan yang berarak) adalah lambang ketinggian cita-cita dengan harapan bahwa manusia akan mampu mengarungi cobaan hidup di dunia ini.

Kedua, motif puter tali (tali berpilin) berangkat dari makna tali yang berasal dari sejumlah lembaran serabut yang kecil dan rapuh, tetapi begitu disatukan maka serabut itu menjadi seutas tali yang sangat kuat. Motif puter tali menggambarkan kekokohan dapat diwujudkan dengan adanya persatuan dan kesatuan.

Motif tapak sleman dan puter tali
Ketiga, pucuk rebung (tuwis) adalah bambu muda yang berbentuk piramid. Bagian bawah dari rebung ini lebar dan bagian atasnya runcing. Maknanya, semakin hebat seorang manusia maka dia akan menyadari bahwa manusia itu sesungguhnya kecil dibandingkan alam semesta. Jadi, falsafah pucuk rebung ini menegaskan manusia harus berpendirian teguh, iman yang kuat, taqwa, rendah hati dan berakhlak mulia.

Motif Pucuk Rebung
Keempat, tapak seleman mempertegas bahwa dalam kehidupan masyarakat Gayo terdapat empat unsur yang menaungi sistem adat dan pemerintahan yang dikenal dengan sebutan Sarak Opat. Keempat unsur itu adalah “Reje Musuket Sipet” (Raja harus bersikap adil), “Petue musidik sasat” (Petue adalah petugas pengadil yang melihat/menyelidiki berbagai persoalan sebelum memutuskan), “Imem muperlu sunet” (Imam harus mengetahui, mana yang hukumnya wajib dan mana yang sunat), “Rakyat genap mupakat” (rakyat harus seiya sekata dan searah sehaluan sesuai dengan kesimpulan yang sudah disepakati).
Begitu tingginya nilai-nilai kearifan lokal dalam motif Batik Gayo dapat dijadikan suatu pengenalan pariwisata yang berbasis kearifan daerah.
Sumber : http://www.lintasgayo.com/24888/kearifan-lokal-masyarakat-gayo-sebagai-basis- pendidikan-karakter-bagian-2.html
http://botsosani.wordpress.com
                   http://id.wikipedia.org/wiki/Budaya_Gayo
http://wisata.kompasiana.com/jalan-jalan/2012/02/28/batik-gayo-seni-menyulam-falsafah/      

4 Responses
  1. utari kusuma Says:

    saya berharap kearifan lokal masyarakat suku Gayo tetap terpelihara. sebab tanpa adanya kearifan lokal suatu suku, maka suku tersebut akan terkesan kurang populer. saya sangat salut dengan prinsip adat yang ada di Gayo. dengan prinsip itu suku Gayo dapat mempertahankan keaslian budaya yang telah ada sejak dulu.


  2. Menarik membaca atau mempelajari berbagai suku di Indonesia, salah satunya adalah suku Gayo. Banyak masyarakat yang tidak mengetahui keberadaan suku gayo padahal suku gayo memiliki kearifan lokal yang sangat menarik untuk di kaji. Suku gayo bercita - cita untk menjadi suku yang maju dan dapat menjawab tantangan zaman sehingga dapat membangun masa depan yang gemilang dan suku gayo menjadi suku yang harus di perhitungkan untuk membangun bangsa, salah satu upayanya adalah dengan menggali potensi budaya sehingga dapat menumbuhkan kepribadian yang utuh.
    Saya berharap masyarakat Indonesia mengetahui beragamnya keberadaan suku di tanah air ini dengan tetap mempertahankan kearifan lokal yang dimiliki oleh setiap suku tersebut terutama suku gayo sehingga keberadaan suku dan kebudayaan daerah tetap terpelihara.


  3. saya sangat setuju dengan pendapat anda, setiap kearifan lokal yang ada di setiap suku, seperti di suku gayo Wajib kita lestarikan supaya kebudayaan kita tidak hilang di hapus zaman dan tidak berganti menjadi budaya yang mengikuti kiblat kebarat-baratan.


  4. FD ISLAMY Says:

    saya setuju dengan pembahasan kearifan lokal dari suku gayo.. bagaimana menurut anda (Si penulis) untuk memperkenalkan suku gayo ke Mancanegara?