Sistem
Kesenian Suku Gayo
Kesenian
merupakan produk budaya suatu bangsa, semakin tinggi nilai kesenian satu bangsa
maka semakin tinggi nilai budaya yang terkandung di dalamnya. Sebagai salah
satu bagian yang penting dari kebudayaan, kesenian tidak pernah lepas dari
masyarakat, sebab kesenian juga merupakan salah satu sarana untuk mewujudkan
segala bentuk ungkapan cipta, rasa dan karsa manusia. Berikut ini adalah
kesenian-kesenian yang terdapat di suku Gayo:
1.
Didong
Didong |
Sebuah kesenian rakyat Gayo yang keseniannya
memadukan unsur
tari, vokal, dan sastra. Didong
dimulai sejak Pada awalnya didong digunakan sebagai sarana bagi penyebaran agama Islam melalui media syair. zaman Reje Linge
XIII. Kesenian ini diperkenalkan pertama kali oleh Abdul Kadir To`et.
Kesenian didong lebih digemari oleh masyarakat Takengon
dan Bener Meriah.
Kata “didong” mendekati pengertian kata “denang” atau “donang” yang artinya
“nyanyian sambil bekerja atau untuk menghibur hati atau bersama-sama dengan
bunyi-bunyian”. Dan, ada pula yang berpendapat bahwa Didong berasal dari kata
“din” dan “dong”. “Din” berarti Agama dan “dong” berarti Dakwah.
Para ceh didong (seniman didong) tidak
semata-mata menyampaikan tutur kepada penonton yang dibalut dengan nilai-nilai
estetika, melainkan di dalamnya bertujuan agar masyarakat pendengarnya dapat
memaknai hidup sesuai dengan realitas akan kehidupan para Nabi dan tokoh yang
sesuai dengan Islam. Dalam didong ada nilai-nilai religius, nilai-nilai
keindahan, nilai-nilai kebersamaan dan lain sebagainya. Jadi, dalam ber-didong
para ceh tidak hanya dituntut untuk mampu mengenal cerita-cerita religius
tetapi juga bersyair, memiliki suara yang merdu serta berperilaku baik. Pendek
kata, seorang ceh adalah seorang seniman sejati yang memiliki kelebihan di
segala aspek yang berkaitan dengan fungsinya untuk menyebarkan ajaran Islam.
Didong waktu itu selalu dipentaskan pada hari-hari besar Agama Islam.
Dalam perkembangannya, didong tidak
hanya ditampilkan pada hari-hari besar agama Islam, melainkan juga
dalam upacara-upacara adat
seperti perkawinan, khitanan, mendirikan rumah, panen raya, penyambutan tamu
dan sebagainya. Para pe-didong dalam mementaskannya biasanya memilih tema yang
sesuai dengan upacara yang diselenggarakan. Pada upacara perkawinan misalnya,
akan disampaikan teka-teki yang berkisar pada aturan adat perkawinan. Dengan
demikian, seorang pe-didong harus menguasai secara mendalam tentang seluk beluk
adat perkawinan. Dengan cara demikian pengetahuan masyarakat tentang adat dapat
terus terpelihara. Nilai-nilai yang hampir punah akan dicari kembali oleh para
ceh untuk keperluan kesenian didong.
Pemain dan
Peralatan
Satu
kelompok kesenian didong biasanya terdiri dari para “ceh” dan anggota lainnya
yang disebut dengan “penunung”. Jumlahnya dapat mencapai 30 orang, yang terdiri
atas 4-5 orang ceh dan sisanya adalah penunung. Ceh adalah orang yang dituntut
memiliki bakat yang komplit dan mempunyai kreativitas yang tinggi. Ia harus
mampu menciptakan puisi-puisi dan mampu menyanyi. Penguasaan terhadap lagu-lagu
juga diperlukan karena satu lagu belum tentu cocok dengan karya sastra yang
berbeda. Anggota kelompok didong ini umumnya adalah laki-laki dewasa. Namun,
dewasa ini ada juga yang anggotanya perempuan-perempuan dewasa. Selain itu, ada
juga kelompok remaja. Malahan, ada juga kelompok didong remaja yang campur
(laki-laki dan perempuan). Dalam kelompok campuran ini biasanya perempuan hanya
terbatas sebagai seorang Céh. Peralatan yang dipergunakan pada
mulanya bantal (tepukan bantal) dan tangan (tepukan tangan dari para
pemainnya). Namun, dalam perkembangan selanjutnya ada juga yang menggunakan
seruling, harmonika, dan alat musik lainnya yang disisipi dengan gerak
pengiring yang relatif sederhana, yaitu menggerakkan badan ke depan atau ke
samping.
Jalannya
Pementasan
Pementasan
didong ditandai dengan penampilan dua kelompok
(Didong Jalu) pada suatu
arena pertandingan. Biasanya dipentaskan di tempat terbuka yang kadang-kadang
dilengkapi dengan tenda. Semalam suntuk kelompok yang bertanding akan saling
mendendangkan teka-teki dan menjawabnya secara bergiliran. Dalam hal ini para
senimannya akan saling membalas “serangan” berupa lirik yang dilontarkan olah
lawannya. Lirik-lirik yang disampaikan biasanya bertema tentang pendidikan,
keluarga berencana, pesan pemerintah (pada zaman Orba), keindahan alam maupun
kritik-kritik mengenai kelemahan, kepincangan yang terjadi dalam masyarakat.
Benar atau tidaknya jawaban akan dinilai oleh tim juri yang ada, yang biasanya
terdiri dari anggota masyarakat yang memahami ddidong ini secara mendalam.
2.
Tari Bines
Tari Bines ditarikan oleh para wanita dengan cara
duduk berjajar sambil menyanyikan syair yang berisikan dakwah atau informasi
pembangunan. Para penari melakukan gerakan dengn perlahan kemudian berangsur-angsur
menjadi cepat dan akhirnya berhenti seketika secara serentak. Perkembangan
Tari Bines sudah meluas di daerahnya, dengan perkembangannya yang dulunya Tari
Bines ditarikan hanya pada upacara pemotongan padi sekarang dapat dilakukan
pada acara apapun, baik itu pada acara perkawinan maupun acara besar lainnya.
Tetapi seiring dengan perkembangan zaman Tari Bines ini juga sudah mulai banyak
yang mengkreasikannya, sehingga yang tadinya tarian ini merupakan tarian yang
baku, tetapi sekarang sudah banyak yang mengkreasikan Tari Bines ini.
Dalam peranan Tari Bines pada masyarakat Gayo Lues tersebut, yang
mana Tari Bines disini memiliki suatu unsur budaya yang tidak pernah lesu
dikalangan masyarakat Gayo, dan hampir tidak pernah mengalami kemandekan bahkan
cenderung berkembang. Selain untuk hiburan dan rekreasi, Tari Bines juga
memiliki peran dalam masyarakat Gayo Lues sebagai sarana pendidikan, sekaligus
sebagai sarana untuk mempertahankan keseimbangan dan struktur sosial
masyarakat.
Dalam pelestarian Tari Bines, yang mana Tari Bines ini, harus lebih
dilestarikan dengan menjaganya agar tidak hilang begitu saja, dan tetap selalu
berkembang didaerah gayo Lues tersebut. Pada dasarnya Tari Bines ini dulunya
termasuk kedalam tari tradisi tetapi setelah perkembangan sudah mulai pesat dan
dilestarikan oleh masyarakatnya, Tari Bines kini menjadi tari hiburan yang
dapat dinikmati.
3.
Tari Guel
Tari Guel |
Tari Guel adalah salah
satu khasanah budaya
Gayo di NAD. Guel berarti
membunyikan. Khususnya di daerah dataran tinggi gayo, tarian ini memiliki kisah
panjang dan unik. Para peneliti dan koreografer tari
mengatakan tarian ini bukan hanya sekedar tari. Dia merupakan gabungan dari
seni sastra,
seni musik dan
seni tari
itu sendiri.
Dalam perkembangannya, tari Guel timbul tenggelam, namun Guel menjadi
tari tradisi terutama dalam upacara adat tertentu. Guel sepenuhnya apresiasi terhadap wujud alam,
lingkkungan kemudian dirangkai begitu rupa melalui gerak simbolis dan hentakan
irama. Tari ini adalah media informatif. Kekompakan dalam padu padan antara
seni satra, musik/suara, gerak memungkinkan untuk dikembangkan (kolaborasi)
sesuai dengan semangat zaman, dan perubahan pola pikir masyarakat setempat.
Guel tentu punya filosofi berdasarkan sejarah kelahirannya. Maka rentang 90-an
tarian ini menjadi objek penelitian sejumlah surveyor dalam dan luar negeri.
4.
Tari Saman
Tari Saman |
Tari Saman adalah sebuah tarian suku Gayo
(Gayo Lues)
yang biasa ditampilkan untuk merayakan peristiwa-peristiwa penting dalam adat.
Syair dalam tarian Saman mempergunakan bahasa Arab
dan bahasa Gayo.
Selain itu biasanya tarian ini juga ditampilkan untuk merayakan kelahiran Nabi Muhammad
SAW. Tari saman merupakan salah satu media untuk pencapaian pesan (dakwah). Tarian
ini mencerminkan pendidikan, keagamaan, sopan santun, kepahlawanan, kekompakan
dan kebersamaan.
Tari Saman
telah diakui sebagai kekayaan budaya Indonesia sejak lama bahkan dunia
internasional melalui UNESCO telah mengakui Tarian Saman sebagai warisan budaya
dunia. Kebanyakan orang hanya tahu bahwa Tari Saman berasal dari Aceh. Tarian
yang memiliki keunikan berupa kekompakan penari yang luar biasa ini sebenarnya sangat
beragam di Aceh. Jika di hari peringatan kebangkitan nasional beberapa tahun
lalu kita melihat tarian ini banyak ditarikan oleh wanita, maka pada daerah
asalnya hal ini malah dilarang.
UNESCO bukan
hanya mengakui bahwa Saman merupakan warisan budaya dunia, tapi juga mengakui
bahwa asal muasal Tarian Saman adalah dari Kabupaten Gayo Lues. Pengakuan dunia
ini tidak lepas dari usaha banyak pihak yang mempromosikan Tarian Saman Gayo
Lues ke seluruh kota di dunia. Termasuk terlibat di dalamnya seorang pemerhati
budaya dan artis terkenal, Christien Hakim. Beberapa tahun yang lalu, Beliau
bersama rombongan tari Saman Gayo Lues melakukan tour promosi budaya tari
saman. Tanggapan luar biasa ditunjukkan oleh para penonton. Sehingga pengakuan
dunia memang sepantasnya didapatkan oleh rombongan Tari Saman Gayo Lues ini.
Gayo Lues
terpilih sebagai asal daerah kesenian tari saman. Hal ini berdasarkan tradisi
masyarakat untuk mempertahankan keaslian tradisi dalam menarikan Saman. Saman
Gayo Lues berhasil membuktikan bahwa tarian asli, yang tetap menjaga
ketentuan-ketentuan dalam menari lebih dihargai dibanding tarian saman yang
agak dimodern-kan. Tarian Saman di Gayo Lues hanya ditarikan oleh laki-laki.
Berbeda dengan yang kita ketahui, bahwa penari pada Tarian Saman yang sering
kita tonton di TV local adalah wanita.
Selain itu,
Saman gayo Lues tidak menggunakan peralatan seperti rebana. Lantunan music yang
diperdengarkan berasal dari nyanyian para penarinya. Selain itu, para penari
Saman Gayo Lues memiliki rambut yang panjangnya sebahu. Fungsinya adalah
menambah keindahan puncak tarian. Dimana pada awalnya rambut itu akan dirapikan
dengan ikat kepala berkain kerawang (kain khas Gayo) dan pada pertengahan
tarian ikat kepala itu akan dilepas dan rambut penari terurai sehingga terlihat
ikut menari bersama gerakan para penarinya. Bahasa yang digunakan dalam tarian
saman di Gayo Lues juga bukan bahasa Arab seperti pada saman yang lain,
melainkan murni bahasa daerah Gayo Lues.
Tarian Saman
di Gayo Lues bukan hanya sebagai tarian penghibur hati atau hanya dipentaskan
di panggung hiburan saja. Bagi masyarakat Gayo Lues, tarian saman adalah
rutinitas harian yang selalu ditanggapi dengan antusias. Menjadi penari saman
gayo lues merupakan cita-cita yang lumrah bagi anak laik-laki di Gayo Lues.
Uniknya disana jarang sekali terdapat sanggar tari, sehingga anak-anak belajar
menari dengan sendirinya tanpa dipandu siapa pun dalam beragam kesempatan.
Tidak jarang di atas punggung kerbau yang berderetan mereka mencoba menarikan
2-3 gerakan Saman.
Saman bukan
hanya dilakukan di pentas seni. Setiap kesempatan, ketika telah duduk
berbarengan penari-penari saman, kadang mereka menarikan saman tanpa
diinstruksikan. Bahkan ketika upacara kematian. Lagu yang dinyanyikan dalam Saman,
dapat diadaptasikan dalam kondisi Saman ditarikan, dapat berupa doa, syukur
bahkan keharuan. Ketika Saman ditarikan saat menyambut pejabat, maka lagu yang
dinyanyikan pun merupakan ucapan selamat datang, terimakasih bahkan pujian
terhadap pejabat tersebut.
Untuk menjaga
kelestarian Saman di hati masyarakat, setiap saat diadakan pentas tarian saman,
baik antar kecamatan maupun antar sekolah. Pemerintah juga ikut ambil peranan
dalam penggalakan tradisi ini dengan pemberian insentif bagi setiap kelompok tarian
dalam setiap pentasnya. Herannya, walaupun sering sekali menonton tarian Saman,
masyarakat Gayo Lues tetap terlihat antusias setiap kali ada pertunjukan Saman.
Bahkan ketika ada video Saman yang diputar, masyarakat menyempatkan diri untuk
berhenti dari aktivitasnya dan menonton.
5. Dabus
Dabus
merupakan atraksi budaya yang memperlihatkan kekebalan tubuh, seperti halnya
Debus di Banten dan Jawa Barat. Pelaksanaan Dabus ini menggunakan beragam benda
tajam yang ditusukkan, digoreskan, diiriskan bahkan dipukulkan ke seluruh
tubuh. Dalam mempertontonkan Dabus, para pemain harus memiliki keterampilan
spiritual terlebih dahulu.
Sumber
: http://id.wikipedia.org/wiki/Didong
http://id.wikipedia.org/wiki/Tari_Bines
http://zairifblog.blogspot.com
http://id.wikipedia.org/wiki/Tari_Saman
http://www.akparmedan.ac.id