sistem pengetahuan suku anak dalam


SISTEM PENGETAHUAN
A.     WILAYAH HUNIAN
1.     Perwilayahan
            Kawasan hutan tempat bermukimnya kelompok suku ini memang masih berupa hutan lebat dengan berbagai pepohonan. Hanya orang-orang yang memiliki kepentingann khusus yang mau menempuh perjalanan untuk datang ketempat itu karena sulit dan relative jauh. Apalagi mereka yang menganggap bahwa huutan merupakan tempat yang menakutkan dan penuh bahaya, mungkin tidak ada yang mau datang ke tempat ini. Akan tetapi anggapan itu berbeda bagi masyarakat Suku Anak Dalam. Bagi kelompok ini, hutan adalah tempat mereka berteduh, sekaligus tempat untuk mereka mencari makan. Hutan bukanlah tempat atau kawasan yang menakutkan dan berbahaya seperti anggapan sebagian masyarakat umum, tetapi hutan adalah tempat yang paling sesuai untuk kehidupan mereka. Dengan dasar pengetahuan itulah, tidaklah mengherankan kalau kelompok masyarakat Suku Anak Dalam ini cenderung bermukim dikawasan hutan.
            Dilihat luas wilayahnya yang diakui, tampaknya pengetahuan kelompok Suku Anak Dalam mengenai hutan buruannya telah mengalami pergeseran. Perubahan konsep perwilayahan ini kelihatan, berkaitan erat atau tidak terlepas dari perubahan luas hutan karena adanya penguasahaan hutan oleh perusahaan HPH (hak pengusahaan hutan). Secara garis besar, perkembangan pengetahuan tentang perwilayahan ini dapat dikatagorikan menjadi 3 tahap. Pada tahap awal seluruh hutan dianggap sebagai wilayahnya, kemudian wilayahnya itu hanya sebatas oleh hutan yang dibatasi oleh beberapa sungai dan perbukitan, dan dewasa ini hanya mencangkup sebagian kawasan hutan tertentu yang dalam hal ini adalah hutan disekitar Sungai Hitam.           
a.     Seluruh Hutan Adalah miliknya
            Pada waktu hutan belum banyak terjamah oleh tangan-tangan manusia, masyarakat suku anak dalam menganggap bahwa seluruh hutan itu adalah miliknya. Pengetahuan dan konsep tentang perwilayahan ini tertuang dalam satu ungkapan yang berbunyai “ pataling rongong hingga plai bapuncak”. Secara hafiah ungkapan itu berarti “pepohonan yang masih hijau hingga batang kayu yang hanya tinggal cabang dan ranting-rantingnya”. Menurut kelompok warga masyarakat suku anak dalam , ungkapan itu bermakna bahwa seluruh hutan adalah miliknya, atau disediakan untuk hidupnya. Anggapan itu sudah berlaku lama, sejak nenek moyang dan para orang tua mereka dulu. Berdasarkan anggapan dan atau pengetahuan itu, pola kebiasaan hidup kelompok masyarakat ini tidak dapat terlepas dari hutan. Ditambhan dengan pengalaman yang terbatas dan peralatan yang masih sederhana, masyarakat suku ini mengembara dihuta, dari tempat satu ke tempat lain, hidup bergantung pada kesemula dapat memerlukan waktu sangat lama, bahkan kadang-kadang sampai bertahun-tahun.  Dalam pengembaraan ini suku anak dalam selalu melakukan dengan berkelompok. Jumlah anggota dalam satu kelompok tidak tetap, biasanya terdiri atas 20-30 orang, kadang-kadang lebih dan kadang-kadang kurang. Anggota kelompok bukan hanya lelaki saja, tetepi juga perempuan, baik tua maupun muda, besar atau kecil, dewasa atau anak-anak.
            Seperti jumlah anggota yang tidak tetap, lama tinggal disuatu tempat pun juga tidak pasti. Hal ini sangat bergantung kepada hewan buruan dan atau hasil hutan lain yang dapat menunjang kehidupannya ditempat tersebut. Mereka dapat tinggal disuatu tempat tersebut. Mereka dapat tinggal disuatu tempat 1-2hari, tetapi dapat huga 1-2minggu, dan bahkan berbulan-bulan atau bertahun. Dengan pola hidup yang membentuk kelompok-kelompok kecil dalam ruang hunian (waktu itu) yang masih relative luas, maka tersebarlah masing-masing kelompok ini dihuutan belantara. Mereka bebas memilih lokasi ataupun lamanya waktu tinggal disuatu hutan dalam pertahanan hidupnya.
            Pengetahuan tentang perwilayahan yang bersifat dalam ungkapan pataling rongong hingga plai berpuncak seperti diatas, secara turun temurun disampaikan kepada generasi selanutnya. Pemberitahuan pengetahuan ini tidak dilakukan secara langsung tetapi dalam bentuk pemberdayaan atau sosialisasi.  Sebagaimana diuraikan dibagian depan, masyarakat suku anak dalam ini mengembara dari kawasan hutan satu ke hutan lainnya dengan membentu kelomok-kelompok. Setiap kelompok dipimpin seorang pemimpin yang disebut “ tumenggung”. Sebagai seorang pemimpin, temenggung selalu dipatuhi oleh anggota kelompoknya. Tumenggung bertanggung jawab atas keselamatan anggota kelompoknya dalam menyusuri hutan belantara yang menjadi wilayah baruannya. Sementara itu, anggota kelompok tidak hanya laki-laki dewasa, tetepi selalu bersama dengan seluruh anggota keluarganya, istri, anak, serta para orangtuanya.  Semua anggota dalam kelompok ini selalu ikut  dan diajak mengembara ini dari satu tempat ke tempat lainnya. Karena anak dan anggot6a lain, lama-lama akan tahu tentang wilayah yang menjadi lingkungan hidupnya.  Pertemuan anatara satu kelompok suku anak dalam dengan kelompok suku anak dalam yang lain menimbulkan suatu ketegangan atau peperangan. Diantara kelompok-kelompok suku ini tetap menjaga hubungan karena mereka merasa tetap satu marga.
b.     Di antara sungai dan perbukitan
            Pengetahuan tentang wilayah hunian masyarakat suku anak dalam seperti yang terurai diatas, ternyata dapat dipertahanakan seterusnya. Pada tahun 1970an, dalam rangka pembangunan bangsa dan Negara. Pemeerintah mulai berusaha untuk menggali berbagai sumber daya alam yang tersedia. Diantaranya adalah memanfaatkan potensi kekayaan hutan. Hutan mulai digarap untuk dapat menghasilkan devisa Negara.
            Setahap demi setahap, hutan-hutan yang ada mulai dijamah dan dirambah oleh perusahaan HPH, termasuk hutan diwilayah Propinsi Sumatra Selatan. Ini berarti, wilayah hunian masyarakat suku anak dalam, secara tidak langsung, menjadi berubah atau tepatnya berkurang, hutan-huutan yang semulaseolah-olah berupa satu kesatuan menjadi berkotak-kotak karena ada bagian-bagian yang telah diusahakan itu, secara tidak langsung, juga menjadi pembatas wilayah kelompok masyarakat ini dalam mencari makanan. Perubahan bentuk wilayah dan semakin sempitnya hutan ini membuat setiap kelompok masyarakat suku anak dalam menjadi terdesak. Mereka hanya dapat hidup dalam wilayah-wilayah yang “sempit” yang belum terjamah HPH.  Diantaranya adalah dikawasan hutan Seioete, Sungai Puring,Nuara Rengas, DUsun Anyar, Semangus dan Pendingan. Walaupun demikian, pola kehidupan yang dilakukannya masih tetap melakukan lading berpindah, disamping berburu, meramu dan mencari ikan.
            Dalam menanggapi perubahan lingkungan ini, kelompok suku anak dalam Semangus yang kini berada dikawasan hutan sekitar Sungai Hitam menyatakan bahwa pada waktu itu wilayah yang dianggap sebagai “miliknya” adalah hutan yang berada di antar Sungai Linsing samapi Ulu Pangkul, Sungai Krukupu, Sungai penyalatn dan Bukit Pendapa.  Menurut pengakuan kelompok ini, waktu itu mereka sangat gelisah menghadapi perubahan ini. Hutan yang  makin sempit membuat hewan buruan pun menjadi berkurang dan sedikit.  Menurut keterangan, masa ini sebenernya merupakana masa peralihan dalam hal pola mencari makan. Kelompok suku  anak dalam ini mulai diperkenalkan oleh seorang wrga desa Samangus yang sedang berusaha membuka perladangan (kebun) karet dikawasan hutan. Orang itu adalah Sapari, warga Desa Samangus tetapi suku Jawa, yaitu kelahiran Brebes, Propinsi Jawa Tengah.
            Waktu kelompok masyarakat suku anak dalam ini belum merasa tertarik terhadap ajakan dan nasehat Sapari untuk bertanam menetap. Kelompok masyrakat ini masih lebih senang mempertahankan cara-cara lama dalam mencari makan. Mereka memang tetap hidup dengan mencari madu, rotan, dammar, mencari buah-buahan atau mencari bintang buruan.

c.      Kawasan Hutan Sungai Hitam
            Usaha Sapari yang tidak ada bosan-bosannya untuk mengajarkan dan menasehati agar kelompoknya ini mau hidup menetap dengan berladang dan membuka kepun para(karet) tampaknya mulai menunjukan keberhasilan. Walaupun anggota kelompo masyarakat suku Anak Dalam itu masih belum dapat meninggalkan sama sekali kebiasaan lamanya untuk mencari hasil hutan atau berburu bintanang. Akhir-akhir kegiatan iini sudah jarang dilakukan atau hanya sekali sewaktu-waktu tertentu kelompok masyarakat ini, kini, lebih mementingkan kegiatan bertanam diladang atau berkebun karet daripada mencari hasil hutan.
            Menurut keterangan dari beberapa anggota suku kelompok ini, mulai awal tahun 80an, pengetahuan suku anak dalam  berubah. Kelompok masyarakat ini tidak lagi mengaku bahwa wilayahnya mencakup kawasan hutan antar  Sungai Penyalatan dan Bukit Pendapa, tetapi hanya terbatas kawasan hutan disekitar Sungai Hitam. Dikawasan hutan inilah mereka menggantungkan seluruh harapan dan kelangsungan hidupnya untuk masa-masa yang akan datang. Pergeseran pandangan ini, tampaknya didasari oleh kesadaran bahwa hutan yang selama ini menjadi wilayah hunian semakin sempit, disamping itu mereka juga mempunyai keterampilan baru, yaitu bertanam pohon para. Keterampilan yang sedikit demi sedikit dan dengan susah payah diajarkan Supari.
            Pada tahap ini suku anak dama sudah bisa memulai membuat perladangan untuk berbagai jenis tanaman disekitar rumahnya. Bahkan, mereka mulai menanam pohon para seperti dianjurkan dan diajarkan oleh Sapari selama ini. Pada masa ini, muncul pengetahuna-pengetahuan baru dalam hal pemilikan lahan garapannya. Sebelumnya, suatu kawasan atau wialayah yang selalu dianggap milik bersama. Pembukaan lading dan hasil buruan selalu dibagi rata kepada seluruh anggota kelompok, akan tetapi dalam hal berladang an berkebun para ini, mereka memulai membedakan anatara milik keluarga dengan milik orang lain. Walaupun masih dalam kelompok masyarakat. Antara lahan perladangan dan kebun para seorang anggota kelompok satu dengan kelompok lainnya kini selalu diberi pembatas. Batas lahan garapan itu biasanya, berupa tanaman yang dirapatkan atau dapat pula batas itu ditanami dengan jenis tumbuhan lain, antarnya jengkol, petai dan durian. Semakin beragam jenis tumbuhan yang ditanam masyarakat suku anak dalam ini dan ditambah juga mulai merasakan jerih payah kegiatan yang selama ini dilakukan, kelihatannya, akan bertambah pula rasa pemilikan tersebut. Yang pada gilirannya akan mantap pula keinginan kelompok masyarakat ini untuk tinggal dan menetap. Munculnya perasaan untuk menetap, sebenernya karena dorongan untuk tetap mempertahankan tanaman milik mereka itu.
            Bangunan rumah kelompok ini sudah berupa rumah panggung,  bukan tapas tanah seperti dulu. Sementara itu, bahan banguan atau kayu kerangka bangunan pun dipilih yang relative kuat, walaupun atapnya tetap dari daun serdang. Begitupula dengan dingingnya dari kulit kayu atau berangkas.  Pemilihan tempat hunian, biasanya berada disekitar sungai. Cirri ini sangat menonjol, walaupun dewasa ini terdapat beberapa rumah yang mulai memakai sumur, tetepi pemilihan lokasi  rumah didekat sungai-sungai kecil yang mengalir disekitar hutan masih dipertahankan. Keadaan ini tidak terlepas pula dari kebiasaan mereka yang mempertahankan sungai sebagai tempat mandi dan mencari ikan. Selanjutnya, rumah tidak lagi hanya berfungsi sebagai tempat menjaga hak miliknya, khususnya tanaman diladang atau kebun miliknya.



2.     Pengetahuan Tentang Tumbuhan dan Hewan
            Sebagai kelompok masyarakat yang dapat dikatakan sudah menyatu dengan hutan, warga masyarakat suku anak dalam ini umumnya sangat mengenal sekali berbagai jenis tumbuhan dan hewan hutan diwilayah huniannya. Ada tumbuhan dan pepohonan yang dijual, ada yang dipakai untuk obat, dan ada  pula jenis tanaman yang mengandung racun, ada pula jenis tumbuhan yang dapat dimakan. Begitu pula mengenai hewan, kelompok ini juga mengetahui secara rinci berbagai hewan yang ada. Menurut warga masyarakat suku ini, ada dianggap keramat, ada yang diburu utuk dimakan, dan adapula yang dibunuh karena merusak hama tanama. Batang-batang kayu ditebang untuk diperjual-belikan antara lain kayu-kayu belian, balam, tembesu, kemudian kamper dan ulin. Jenis-jenis kayu itu biasanya dibutuhkan untuk bahan bangunan. Sementara itu tumbuhan yang yang biasa digunakan untuk pengobatan . bahkan tumbuh-tumbuhan suku anak dalam ini bukan hanya diakui oleh anggota masyarakat saja, tetapi juga oleh sebagian masyarakat diluar sukunya. Sering kali orang-orang dari tempat atau kota lain datang untuk meminta pengobatan atau ramuan obat tradisional dari suku anak dalam.
            Masyarakat suku naka dalam sangat yakin dan percaya bahwa segala penyakit yang datangnya dari hutan obatnya pasti berada dihutan pula. Pengalaman yang sudah turun temurun dari para orang tua mereka membuktikan hal yang sama. Mereka yakin bahwa pengetahuan tentang obat-obatab alam yang didapat dari nenek moyang mereka itu pasti mampu menyembuhkannya. Diantara tumbuhan yang bermanfaat bagi kesehatan seseorang itu adalah pask bumi untuk menyembuhkan malaria atau penyakit dalam lainnya. Kemudian tumbuhan singgogut yang menurut mereka sangat berguna untuk wanita  yang belum mempunyai anak dan atau ingin mempunyai keturunan. Tumbuhan yang disebut “kersani” diyakini sebagai obay kuat ata penambah tenaga para laki-laki dan kemudian masih ada jenis tanaman yang digunkan sebagai pengobatan. Semua jenis tumbuhan obat-obatan yang disebutkan ini umumnya berupa akar tumbuh-tumbuhan.
            Menurut warga masyarakat suku anak dalam, binatang yang termasuk haram boleh dibunuh tetapi tidak boleh dimakan. Seandainya larangan ini dilanggar, emenurut keteranagan, mereka akan kena amarah dewa, dan kehidupan mereka akan sengsara. Binatang-binatang yang dianggap haram antara lain : telegu, anjing, kucing dan kuskus. Binatang yang oleh masyarakat suku anak dalam dianggap sebagai titisan nenek moyangnya adalah gajah dan macan. Binatang ii dilarang keras untuk dibunuh. Walaupun ada gakah atau macan lewat didepannya, orang tidak boleh mengganggu apalagi membunuhnya. Mereka yakin bintang itu juga tidak akan menggangu. Seorang warga suku ini mengaku bahwa dalam sejarah kehidupan suku anak dalam belum pernah ada yang  mati karena dimakan macan atau diinjak gajah. Atas dasar pengalaman itu, kepercayaan tentang binaatang titisan nenek moyang itu tetap dipegang teguh hingga saat ini. Selanjutnya, binatang-binatang yang dapat diburu dan dibunuh untuk keperluan hidupnya. Jenis binatang yang termasuk kedalam binatang ini adalah “labi-labi” (kura-kura) yang biasanya disebut kelompok ini dengan nama “iwak bulan”, ular biawak dan ikan.  Dulu warga masyarakat berburu jenis binatang ini hanya untuk keperluan sendiri atau kelompoknya. Akan tetapi, sekarang ini binatang labi-labi ini digunakan sebagai hiasan sehingga binatang ini menjadi prioritas dalam berburu.
            Hidup dilingkungan hutan sangatlah rentan terhadap berbagai penyakit, tidak mengherankan bila kelompok masyarakat suku anak dalam yang selalu bergelut didalam hutan menggembangkan pengetahuan obat-obatan tradisional ini dengan berbagai bahan disekitarnya, termasuk dari binatang. Disamping obat-obatan yang menggunakan tanaman, kelompok masyarakat ini juga mengenal  berbagai pengobatan dengan bahan binatang. Sebagian obat-obatannya dengan bahan hewan yang terjaring, antara lain bulu beruang bila diusapkan pada badan seorang anak akan membuat anak tidak menangis terus menerus, kelamin binatang yang disebut Simon bils diikatkan pada punggung seorang akan mampu menolak penyakit serta air mani gajah yang mampu untuk menarik dan mendekatkan hubungan antara pri dan wanita.
B.     RUANG PRODUKSI
            Walaupun banyak kelompok suku anak dalam diDusun Kabuan sudah mengenal perladangan dan perkebunan tetepi berburu dan meramu tetap mereka lakuka. Berburu dilakukan terutama unhtuk mendapatkan lauk dan kadang-kadang mereka jual, sedangkan meramu dilakukan untuk mendapatkan sayur-sayuran, buah-buahan, serta mengumpulkan kayu-kayu bakar, rotan, dammar dan hasil lainnya, seperti nahan bakar untuk obat-obatan.
1.     Berladang
            Hamper semua keluarga dan kelompok masyarakat suku anak dalam di Dusun Kubuan sekarang ini, sudah mempunyai lading. Bahkan, kehidupan keluarga mereka mengandalkan pada hasil kegiatan berladan. Hutan yang selama ini menjadi tumpuan harapannya dan menjadi lahan garapannya sudahb semakin sempit. Salah satu akibatnya bagi masyarakat suku anak dalam adalah makin sulit pula mendapatkan binatang buruan dan ruang untuk berladang. Kondisi seperti inilah telah memaksa kelompok suku ini mengadakan penyesuaian-penyesuaian untuk dapat mempertahankan hidupnya. Mula-mula mereka mencoba, mencontoh atau bahkan meniru cara berladang menetap. Kemudian lama-lama merreka memanfaatkan hasilnya, dan akhirnya pengetahuan baru itu menjadi kegiatan utama pengganti kegiatan yang di geluti.  Kini masyarakat suku anak dalam di Dusun Kubuan telah memiliki beberapa pengetahuan dalam pembuatn lading. Misalnya, mereka menyatakan bahwa ada beberapa persyaratan yang harus dipertimbangkan agar lading itu hasilnya baik menurut mereka, lahan untuk lading itu (1) bagian tersebut tidak tergenang air bila musim penghujan. Jadi, tempat itu harus agak miring. (2) tetapi hal itu harus dekat dengan sungai. Maksudnya, disamping ada aliran pembuangan air, bila musim kemarau, mereka gampang mencari air untuk tanaman yang kekeringan. Dan yang terakhir (3) hutan tersebut tidak terlalu banyak semak  belukarnya. Hutan yang banyak belukarnya kurang subur dan sulit untuk membuka dan membersikannya
            Hasil panen dari tanaman lading disimpan di lumbung. Biasnya, dilumbung ini dibagun disamping rumah. Bangunan lumbung ini 3x4m . bahkan bangunannya tidak berbeda dengan yang digunakan untuk bangunan rumah tempat tinggal.  Peralatan yang digunakan dalam kegiatan bertani diladang ini masih terbatas dan sederhana. Peralatan utama yang dilakukan adalah parang. Parang semacam golok terutama digunakan ketika  membuka ladang,  antara lain untuk menebang pohon, membersikan dahan dan rantingnya. Kemudian alat pemantiknya atau korek yang diperlukan ketika membakar dahan dan ranting yang telah kering.  Selanjutnya tunggal yang terbuat dari batang kayu lurus sebesar genggaman tangan. Panjangnya sekitar 1,5 meter dan disalah satu ujungnya dibuat runcing. Guna alat ini terutama sewaktu menanam padi, yaitu untuk melobangi tanah yang akan diberi pupuk padi.

2.     Berkebun
            Usaha perkebunan suku anak dalam ini sudah dilakukan sejak 13tahun lalu. Tanaman untuk perkebunan ini sangat sederhana dan belum begitu teratur. Cara pengolahannya pun bisa dikatakan masih sangat tradisional, tanpa dipersiapkan dengan matang.  Pohon para atau karet ini hanya ditanam begitu saja dihutan, disela-sela pepohonan yang lain. Tanaman disekitarnya tidak dibersikan terlebih dahulu. Akibatnya, tanaman pohon para itupun seolah tumbuh liar dan tidak mencerminkan suatu tanaman perkebunan yang dibudidayakan oleh seseorang.  Orang luar yang tidak  biasa datang ketempat itu dan tidak menyangka bahwa areal itu adalah perkebunan para milik sesorang. Walaupun dengan system tanah yang  demikian, suatu kenyataan bahwa tanaman para ini telah memberikan sumbangan yang berarti bagi kehidupan suku anak dalam di Dusun Kubuan.
            Sebagai mana peralatan yang digunakan pada kegiatan berladang, peralatan yang digunakan untuk berkebun inipun sangat terbatas dan sederhana. Peralatan yang digunakan itu antara lain : linggis dan parang. Linggis digunakan untuk membuat lubang pada tempat yang akan ditanami pohon. Sementara itu, parang digunakan untuk sekedar membersikan beberapa tumbuhan sekitar tempat yang akan ditanami pohon para itu. Hasil kebun para  ini biasanya di jual ke Desa Semangus. Getah para diangkut dengan perahu melalui sungai. Di Desa Semangus biasanya telah ada pedagang   dari Lubuk Linggau atau agennya yang menampung getah para kebun rakyat yang dijual , termasuk hasil kebun para masyarakat suku anak dalam. Dalam hal penjualan getah ini, masyarakat suku anak dalam dari dusun kubuan mempercayakan kepada orang lain. Dalam hal ini Sapari yang seolah-olah telah menjadi bagian dari masyarakat tersebut. System penjulan yang mereka lakuakan masalahnya berdasarkan rasa saling percaya pihak pedagang. Hasil penjualan yang diperoleh per bulan rata-rata Rp 150.000- Rp. 200.000,- untuk setiap kepalaa keluarga.

3.     Berburu
            Berburu merupakan pekerjaan Suku anak Dalam yang telah lama dilakukan, secara turun-temurun. Kegiatan ini ternyata tetap dan masih dilakukan sampai sekarang. Akan tetapi, karena adanya masukan penggunaan kawasan hutan dari luar sukunya, maka ruang berburu semakin sempit. Mereka sadar bahwa pekerjaan ini semakin sulit dilakukan. Kini kegiatan itu hanya sekali-sekali saja dilakukan. Biasanya mereka berburu Berburu binatang seperti Babi, Kera, Beruang, Monyet, Ular, Labi-labi, Rusa, Kijang dan berbagai jenis unggas, merupakan salah satu bentuk mata pencaharian mereka. Kegiatan berburu dilaksanakan secara bersama-sama dengan membawa anjing. Alat yang digunakan adalah Tombak dan Parang. Di samping itu untuk mendapatkan binatang buruan juga menggunakan sistem perangkap dan jerat.
            Ruang perburuan masyarakat suku Anak Dalan ini tidak seluas dulu semasa hutan belum banyak terjamah perusahaan HPH. Menurut pengakuan warga masyarakat suku ini, mereka sekarang ini hanya berburu di kawasan hutan sekitar tempat tinggalnya, tempatnya dibagian hulu Sungai Hitam. “kurang lebih sehari dua perjalan dari rumah”, kata seorang warga suku Anak Dalam yang ditemui. Sementara itu, lamanya berburu kini hanya sekitar 7 hari. Tidak seperti dulu yang kadang-kadang sampai berminggu-minggu atau berbulan-bulan.
4.     Meramu
            meramu didalam hutan, yaitu mengambil buah-buahan dedaunan dan akar-akaran sebagai bahan makanan. Lokasi tempat meramu sangat menentukan jenis yang diperoleh. Jika meramu dihutan lebat, biasanya mendapatkan buah-buahan, seperti cempedak, durian, arang paro, dan buah-buahan lainnya. Di daerah semak belukar dipinggir sungai dan lembah mereka mengumpulkan pakis, rebung, gadung, enau, dan rumbia. Barang-barang hasil meramu ini pada dasarnya adalah untuk memnuhi kebutuhan sehari-hari beserta keluarga. Baru bila jumlahna berlebih, sebagian hasil meramu itu dijual atau dituker dengan bahan-bahan kebutuhan lain kepada pedagang.  Akan tetapi meramu kini lebih sering dijual atau ditukar dengan bahan lain di “kalang” (pasar) terdekat.

0 Responses