SISTEM PENGETAHUAN
A. WILAYAH HUNIAN
1.
Perwilayahan
Kawasan
hutan tempat bermukimnya kelompok suku ini memang masih berupa hutan lebat
dengan berbagai pepohonan. Hanya orang-orang yang memiliki kepentingann khusus
yang mau menempuh perjalanan untuk datang ketempat itu karena sulit dan
relative jauh. Apalagi mereka yang menganggap bahwa huutan merupakan tempat
yang menakutkan dan penuh bahaya, mungkin tidak ada yang mau datang ke tempat
ini. Akan tetapi anggapan itu berbeda bagi masyarakat Suku Anak Dalam. Bagi
kelompok ini, hutan adalah tempat mereka berteduh, sekaligus tempat untuk
mereka mencari makan. Hutan bukanlah tempat atau kawasan yang menakutkan dan
berbahaya seperti anggapan sebagian masyarakat umum, tetapi hutan adalah tempat
yang paling sesuai untuk kehidupan mereka. Dengan dasar pengetahuan itulah,
tidaklah mengherankan kalau kelompok masyarakat Suku Anak Dalam ini cenderung
bermukim dikawasan hutan.
Dilihat luas
wilayahnya yang diakui, tampaknya pengetahuan kelompok Suku Anak Dalam mengenai
hutan buruannya telah mengalami pergeseran. Perubahan konsep perwilayahan ini
kelihatan, berkaitan erat atau tidak terlepas dari perubahan luas hutan karena
adanya penguasahaan hutan oleh perusahaan HPH (hak pengusahaan hutan). Secara
garis besar, perkembangan pengetahuan tentang perwilayahan ini dapat
dikatagorikan menjadi 3 tahap. Pada tahap awal seluruh hutan dianggap sebagai
wilayahnya, kemudian wilayahnya itu hanya sebatas oleh hutan yang dibatasi oleh
beberapa sungai dan perbukitan, dan dewasa ini hanya mencangkup sebagian
kawasan hutan tertentu yang dalam hal ini adalah hutan disekitar Sungai Hitam.
a. Seluruh Hutan Adalah miliknya
Pada waktu
hutan belum banyak terjamah oleh tangan-tangan manusia, masyarakat suku anak
dalam menganggap bahwa seluruh hutan itu adalah miliknya. Pengetahuan dan
konsep tentang perwilayahan ini tertuang dalam satu ungkapan yang berbunyai “
pataling rongong hingga plai bapuncak”. Secara hafiah ungkapan itu berarti
“pepohonan yang masih hijau hingga batang kayu yang hanya tinggal cabang dan
ranting-rantingnya”. Menurut kelompok warga masyarakat suku anak dalam ,
ungkapan itu bermakna bahwa seluruh hutan adalah miliknya, atau disediakan
untuk hidupnya. Anggapan itu sudah berlaku lama, sejak nenek moyang dan para
orang tua mereka dulu. Berdasarkan anggapan dan atau pengetahuan itu, pola
kebiasaan hidup kelompok masyarakat ini tidak dapat terlepas dari hutan.
Ditambhan dengan pengalaman yang terbatas dan peralatan yang masih sederhana,
masyarakat suku ini mengembara dihuta, dari tempat satu ke tempat lain, hidup
bergantung pada kesemula dapat memerlukan waktu sangat lama, bahkan
kadang-kadang sampai bertahun-tahun.
Dalam pengembaraan ini suku anak dalam selalu melakukan dengan
berkelompok. Jumlah anggota dalam satu kelompok tidak tetap, biasanya terdiri
atas 20-30 orang, kadang-kadang lebih dan kadang-kadang kurang. Anggota
kelompok bukan hanya lelaki saja, tetepi juga perempuan, baik tua maupun muda,
besar atau kecil, dewasa atau anak-anak.
Seperti
jumlah anggota yang tidak tetap, lama tinggal disuatu tempat pun juga tidak
pasti. Hal ini sangat bergantung kepada hewan buruan dan atau hasil hutan lain
yang dapat menunjang kehidupannya ditempat tersebut. Mereka dapat tinggal
disuatu tempat tersebut. Mereka dapat tinggal disuatu tempat 1-2hari, tetapi
dapat huga 1-2minggu, dan bahkan berbulan-bulan atau bertahun. Dengan pola
hidup yang membentuk kelompok-kelompok kecil dalam ruang hunian (waktu itu)
yang masih relative luas, maka tersebarlah masing-masing kelompok ini dihuutan
belantara. Mereka bebas memilih lokasi ataupun lamanya waktu tinggal disuatu
hutan dalam pertahanan hidupnya.
Pengetahuan
tentang perwilayahan yang bersifat dalam ungkapan pataling rongong hingga plai
berpuncak seperti diatas, secara turun temurun disampaikan kepada generasi
selanutnya. Pemberitahuan pengetahuan ini tidak dilakukan secara langsung
tetapi dalam bentuk pemberdayaan atau sosialisasi. Sebagaimana diuraikan dibagian depan,
masyarakat suku anak dalam ini mengembara dari kawasan hutan satu ke hutan
lainnya dengan membentu kelomok-kelompok. Setiap kelompok dipimpin seorang
pemimpin yang disebut “ tumenggung”. Sebagai seorang pemimpin, temenggung
selalu dipatuhi oleh anggota kelompoknya. Tumenggung bertanggung jawab atas
keselamatan anggota kelompoknya dalam menyusuri hutan belantara yang menjadi
wilayah baruannya. Sementara itu, anggota kelompok tidak hanya laki-laki
dewasa, tetepi selalu bersama dengan seluruh anggota keluarganya, istri, anak,
serta para orangtuanya. Semua anggota
dalam kelompok ini selalu ikut dan
diajak mengembara ini dari satu tempat ke tempat lainnya. Karena anak dan
anggot6a lain, lama-lama akan tahu tentang wilayah yang menjadi lingkungan
hidupnya. Pertemuan anatara satu
kelompok suku anak dalam dengan kelompok suku anak dalam yang lain menimbulkan
suatu ketegangan atau peperangan. Diantara kelompok-kelompok suku ini tetap
menjaga hubungan karena mereka merasa tetap satu marga.
b. Di antara sungai dan perbukitan
Pengetahuan tentang wilayah hunian
masyarakat suku anak dalam seperti yang terurai diatas, ternyata dapat
dipertahanakan seterusnya. Pada tahun 1970an, dalam rangka pembangunan bangsa
dan Negara. Pemeerintah mulai berusaha untuk menggali berbagai sumber daya alam
yang tersedia. Diantaranya adalah memanfaatkan potensi kekayaan hutan. Hutan
mulai digarap untuk dapat menghasilkan devisa Negara.
Setahap demi setahap, hutan-hutan
yang ada mulai dijamah dan dirambah oleh perusahaan HPH, termasuk hutan
diwilayah Propinsi Sumatra Selatan. Ini berarti, wilayah hunian masyarakat suku
anak dalam, secara tidak langsung, menjadi berubah atau tepatnya berkurang,
hutan-huutan yang semulaseolah-olah berupa satu kesatuan menjadi berkotak-kotak
karena ada bagian-bagian yang telah diusahakan itu, secara tidak langsung, juga
menjadi pembatas wilayah kelompok masyarakat ini dalam mencari makanan.
Perubahan bentuk wilayah dan semakin sempitnya hutan ini membuat setiap
kelompok masyarakat suku anak dalam menjadi terdesak. Mereka hanya dapat hidup
dalam wilayah-wilayah yang “sempit” yang belum terjamah HPH. Diantaranya adalah dikawasan hutan Seioete,
Sungai Puring,Nuara Rengas, DUsun Anyar, Semangus dan Pendingan. Walaupun
demikian, pola kehidupan yang dilakukannya masih tetap melakukan lading
berpindah, disamping berburu, meramu dan mencari ikan.
Dalam menanggapi perubahan
lingkungan ini, kelompok suku anak dalam Semangus yang kini berada dikawasan
hutan sekitar Sungai Hitam menyatakan bahwa pada waktu itu wilayah yang
dianggap sebagai “miliknya” adalah hutan yang berada di antar Sungai Linsing
samapi Ulu Pangkul, Sungai Krukupu, Sungai penyalatn dan Bukit Pendapa. Menurut pengakuan kelompok ini, waktu itu
mereka sangat gelisah menghadapi perubahan ini. Hutan yang makin sempit membuat hewan buruan pun menjadi
berkurang dan sedikit. Menurut keterangan,
masa ini sebenernya merupakana masa peralihan dalam hal pola mencari makan.
Kelompok suku anak dalam ini mulai
diperkenalkan oleh seorang wrga desa Samangus yang sedang berusaha membuka
perladangan (kebun) karet dikawasan hutan. Orang itu adalah Sapari, warga Desa
Samangus tetapi suku Jawa, yaitu kelahiran Brebes, Propinsi Jawa Tengah.
Waktu kelompok masyarakat suku anak
dalam ini belum merasa tertarik terhadap ajakan dan nasehat Sapari untuk
bertanam menetap. Kelompok masyrakat ini masih lebih senang mempertahankan
cara-cara lama dalam mencari makan. Mereka memang tetap hidup dengan mencari
madu, rotan, dammar, mencari buah-buahan atau mencari bintang buruan.
c. Kawasan Hutan Sungai Hitam
Usaha Sapari
yang tidak ada bosan-bosannya untuk mengajarkan dan menasehati agar kelompoknya
ini mau hidup menetap dengan berladang dan membuka kepun para(karet) tampaknya
mulai menunjukan keberhasilan. Walaupun anggota kelompo masyarakat suku Anak
Dalam itu masih belum dapat meninggalkan sama sekali kebiasaan lamanya untuk
mencari hasil hutan atau berburu bintanang. Akhir-akhir kegiatan iini sudah
jarang dilakukan atau hanya sekali sewaktu-waktu tertentu kelompok masyarakat
ini, kini, lebih mementingkan kegiatan bertanam diladang atau berkebun karet
daripada mencari hasil hutan.
Menurut
keterangan dari beberapa anggota suku kelompok ini, mulai awal tahun 80an,
pengetahuan suku anak dalam berubah.
Kelompok masyarakat ini tidak lagi mengaku bahwa wilayahnya mencakup kawasan
hutan antar Sungai Penyalatan dan Bukit
Pendapa, tetapi hanya terbatas kawasan hutan disekitar Sungai Hitam. Dikawasan
hutan inilah mereka menggantungkan seluruh harapan dan kelangsungan hidupnya
untuk masa-masa yang akan datang. Pergeseran pandangan ini, tampaknya didasari
oleh kesadaran bahwa hutan yang selama ini menjadi wilayah hunian semakin
sempit, disamping itu mereka juga mempunyai keterampilan baru, yaitu bertanam
pohon para. Keterampilan yang sedikit demi sedikit dan dengan susah payah
diajarkan Supari.
Pada tahap
ini suku anak dama sudah bisa memulai membuat perladangan untuk berbagai jenis
tanaman disekitar rumahnya. Bahkan, mereka mulai menanam pohon para seperti
dianjurkan dan diajarkan oleh Sapari selama ini. Pada masa ini, muncul
pengetahuna-pengetahuan baru dalam hal pemilikan lahan garapannya. Sebelumnya,
suatu kawasan atau wialayah yang selalu dianggap milik bersama. Pembukaan
lading dan hasil buruan selalu dibagi rata kepada seluruh anggota kelompok,
akan tetapi dalam hal berladang an berkebun para ini, mereka memulai membedakan
anatara milik keluarga dengan milik orang lain. Walaupun masih dalam kelompok
masyarakat. Antara lahan perladangan dan kebun para seorang anggota kelompok
satu dengan kelompok lainnya kini selalu diberi pembatas. Batas lahan garapan
itu biasanya, berupa tanaman yang dirapatkan atau dapat pula batas itu ditanami
dengan jenis tumbuhan lain, antarnya jengkol, petai dan durian. Semakin beragam
jenis tumbuhan yang ditanam masyarakat suku anak dalam ini dan ditambah juga
mulai merasakan jerih payah kegiatan yang selama ini dilakukan, kelihatannya,
akan bertambah pula rasa pemilikan tersebut. Yang pada gilirannya akan mantap
pula keinginan kelompok masyarakat ini untuk tinggal dan menetap. Munculnya
perasaan untuk menetap, sebenernya karena dorongan untuk tetap mempertahankan
tanaman milik mereka itu.
Bangunan
rumah kelompok ini sudah berupa rumah panggung,
bukan tapas tanah seperti dulu. Sementara itu, bahan banguan atau kayu
kerangka bangunan pun dipilih yang relative kuat, walaupun atapnya tetap dari
daun serdang. Begitupula dengan dingingnya dari kulit kayu atau berangkas. Pemilihan tempat hunian, biasanya berada
disekitar sungai. Cirri ini sangat menonjol, walaupun dewasa ini terdapat beberapa
rumah yang mulai memakai sumur, tetepi pemilihan lokasi rumah didekat sungai-sungai kecil yang
mengalir disekitar hutan masih dipertahankan. Keadaan ini tidak terlepas pula
dari kebiasaan mereka yang mempertahankan sungai sebagai tempat mandi dan mencari
ikan. Selanjutnya, rumah tidak lagi hanya berfungsi sebagai tempat menjaga hak
miliknya, khususnya tanaman diladang atau kebun miliknya.
2.
Pengetahuan
Tentang Tumbuhan dan Hewan
Sebagai
kelompok masyarakat yang dapat dikatakan sudah menyatu dengan hutan, warga
masyarakat suku anak dalam ini umumnya sangat mengenal sekali berbagai jenis
tumbuhan dan hewan hutan diwilayah huniannya. Ada tumbuhan dan pepohonan yang
dijual, ada yang dipakai untuk obat, dan ada
pula jenis tanaman yang mengandung racun, ada pula jenis tumbuhan yang
dapat dimakan. Begitu pula mengenai hewan, kelompok ini juga mengetahui secara
rinci berbagai hewan yang ada. Menurut warga masyarakat suku ini, ada dianggap
keramat, ada yang diburu utuk dimakan, dan adapula yang dibunuh karena merusak
hama tanama. Batang-batang kayu ditebang untuk diperjual-belikan antara lain
kayu-kayu belian, balam, tembesu, kemudian kamper dan ulin. Jenis-jenis kayu
itu biasanya dibutuhkan untuk bahan bangunan. Sementara itu tumbuhan yang yang
biasa digunakan untuk pengobatan . bahkan tumbuh-tumbuhan suku anak dalam ini
bukan hanya diakui oleh anggota masyarakat saja, tetapi juga oleh sebagian
masyarakat diluar sukunya. Sering kali orang-orang dari tempat atau kota lain
datang untuk meminta pengobatan atau ramuan obat tradisional dari suku anak
dalam.
Masyarakat
suku naka dalam sangat yakin dan percaya bahwa segala penyakit yang datangnya
dari hutan obatnya pasti berada dihutan pula. Pengalaman yang sudah turun
temurun dari para orang tua mereka membuktikan hal yang sama. Mereka yakin
bahwa pengetahuan tentang obat-obatab alam yang didapat dari nenek moyang
mereka itu pasti mampu menyembuhkannya. Diantara tumbuhan yang bermanfaat bagi
kesehatan seseorang itu adalah pask bumi untuk menyembuhkan malaria atau penyakit
dalam lainnya. Kemudian tumbuhan singgogut yang menurut mereka sangat berguna
untuk wanita yang belum mempunyai anak
dan atau ingin mempunyai keturunan. Tumbuhan yang disebut “kersani” diyakini
sebagai obay kuat ata penambah tenaga para laki-laki dan kemudian masih ada
jenis tanaman yang digunkan sebagai pengobatan. Semua jenis tumbuhan
obat-obatan yang disebutkan ini umumnya berupa akar tumbuh-tumbuhan.
Menurut
warga masyarakat suku anak dalam, binatang yang termasuk haram boleh dibunuh
tetapi tidak boleh dimakan. Seandainya larangan ini dilanggar, emenurut
keteranagan, mereka akan kena amarah dewa, dan kehidupan mereka akan sengsara.
Binatang-binatang yang dianggap haram antara lain : telegu, anjing, kucing dan
kuskus. Binatang yang oleh masyarakat suku anak dalam dianggap sebagai titisan
nenek moyangnya adalah gajah dan macan. Binatang ii dilarang keras untuk
dibunuh. Walaupun ada gakah atau macan lewat didepannya, orang tidak boleh
mengganggu apalagi membunuhnya. Mereka yakin bintang itu juga tidak akan
menggangu. Seorang warga suku ini mengaku bahwa dalam sejarah kehidupan suku
anak dalam belum pernah ada yang mati
karena dimakan macan atau diinjak gajah. Atas dasar pengalaman itu, kepercayaan
tentang binaatang titisan nenek moyang itu tetap dipegang teguh hingga saat
ini. Selanjutnya, binatang-binatang yang dapat diburu dan dibunuh untuk
keperluan hidupnya. Jenis binatang yang termasuk kedalam binatang ini adalah
“labi-labi” (kura-kura) yang biasanya disebut kelompok ini dengan nama “iwak
bulan”, ular biawak dan ikan. Dulu warga
masyarakat berburu jenis binatang ini hanya untuk keperluan sendiri atau
kelompoknya. Akan tetapi, sekarang ini binatang labi-labi ini digunakan sebagai
hiasan sehingga binatang ini menjadi prioritas dalam berburu.
Hidup
dilingkungan hutan sangatlah rentan terhadap berbagai penyakit, tidak
mengherankan bila kelompok masyarakat suku anak dalam yang selalu bergelut
didalam hutan menggembangkan pengetahuan obat-obatan tradisional ini dengan
berbagai bahan disekitarnya, termasuk dari binatang. Disamping obat-obatan yang
menggunakan tanaman, kelompok masyarakat ini juga mengenal berbagai pengobatan dengan bahan binatang.
Sebagian obat-obatannya dengan bahan hewan yang terjaring, antara lain bulu
beruang bila diusapkan pada badan seorang anak akan membuat anak tidak menangis
terus menerus, kelamin binatang yang disebut Simon bils diikatkan pada punggung
seorang akan mampu menolak penyakit serta air mani gajah yang mampu untuk
menarik dan mendekatkan hubungan antara pri dan wanita.
B.
RUANG
PRODUKSI
Walaupun
banyak kelompok suku anak dalam diDusun Kabuan sudah mengenal perladangan dan
perkebunan tetepi berburu dan meramu tetap mereka lakuka. Berburu dilakukan
terutama unhtuk mendapatkan lauk dan kadang-kadang mereka jual, sedangkan
meramu dilakukan untuk mendapatkan sayur-sayuran, buah-buahan, serta
mengumpulkan kayu-kayu bakar, rotan, dammar dan hasil lainnya, seperti nahan
bakar untuk obat-obatan.
1.
Berladang
Hamper semua keluarga dan kelompok
masyarakat suku anak dalam di Dusun Kubuan sekarang ini, sudah mempunyai
lading. Bahkan, kehidupan keluarga mereka mengandalkan pada hasil kegiatan
berladan. Hutan yang selama ini menjadi tumpuan harapannya dan menjadi lahan
garapannya sudahb semakin sempit. Salah satu akibatnya bagi masyarakat suku
anak dalam adalah makin sulit pula mendapatkan binatang buruan dan ruang untuk
berladang. Kondisi seperti inilah telah memaksa kelompok suku ini mengadakan
penyesuaian-penyesuaian untuk dapat mempertahankan hidupnya. Mula-mula mereka
mencoba, mencontoh atau bahkan meniru cara berladang menetap. Kemudian
lama-lama merreka memanfaatkan hasilnya, dan akhirnya pengetahuan baru itu
menjadi kegiatan utama pengganti kegiatan yang di geluti. Kini masyarakat suku anak dalam di Dusun
Kubuan telah memiliki beberapa pengetahuan dalam pembuatn lading. Misalnya,
mereka menyatakan bahwa ada beberapa persyaratan yang harus dipertimbangkan
agar lading itu hasilnya baik menurut mereka, lahan untuk lading itu (1) bagian
tersebut tidak tergenang air bila musim penghujan. Jadi, tempat itu harus agak
miring. (2) tetapi hal itu harus dekat dengan sungai. Maksudnya, disamping ada
aliran pembuangan air, bila musim kemarau, mereka gampang mencari air untuk
tanaman yang kekeringan. Dan yang terakhir (3) hutan tersebut tidak terlalu
banyak semak belukarnya. Hutan yang
banyak belukarnya kurang subur dan sulit untuk membuka dan membersikannya
Hasil panen dari tanaman lading
disimpan di lumbung. Biasnya, dilumbung ini dibagun disamping rumah. Bangunan
lumbung ini 3x4m . bahkan bangunannya tidak berbeda dengan yang digunakan untuk
bangunan rumah tempat tinggal. Peralatan
yang digunakan dalam kegiatan bertani diladang ini masih terbatas dan
sederhana. Peralatan utama yang dilakukan adalah parang. Parang semacam golok
terutama digunakan ketika membuka
ladang, antara lain untuk menebang
pohon, membersikan dahan dan rantingnya. Kemudian alat pemantiknya atau korek
yang diperlukan ketika membakar dahan dan ranting yang telah kering. Selanjutnya tunggal yang terbuat dari batang
kayu lurus sebesar genggaman tangan. Panjangnya sekitar 1,5 meter dan disalah
satu ujungnya dibuat runcing. Guna alat ini terutama sewaktu menanam padi,
yaitu untuk melobangi tanah yang akan diberi pupuk padi.
2.
Berkebun
Usaha perkebunan suku anak dalam ini
sudah dilakukan sejak 13tahun lalu. Tanaman untuk perkebunan ini sangat
sederhana dan belum begitu teratur. Cara pengolahannya pun bisa dikatakan masih
sangat tradisional, tanpa dipersiapkan dengan matang. Pohon para atau karet ini hanya ditanam
begitu saja dihutan, disela-sela pepohonan yang lain. Tanaman disekitarnya
tidak dibersikan terlebih dahulu. Akibatnya, tanaman pohon para itupun seolah
tumbuh liar dan tidak mencerminkan suatu tanaman perkebunan yang dibudidayakan
oleh seseorang. Orang luar yang tidak biasa datang ketempat itu dan tidak menyangka
bahwa areal itu adalah perkebunan para milik sesorang. Walaupun dengan system
tanah yang demikian, suatu kenyataan
bahwa tanaman para ini telah memberikan sumbangan yang berarti bagi kehidupan
suku anak dalam di Dusun Kubuan.
Sebagai mana peralatan yang
digunakan pada kegiatan berladang, peralatan yang digunakan untuk berkebun
inipun sangat terbatas dan sederhana. Peralatan yang digunakan itu antara lain
: linggis dan parang. Linggis digunakan untuk membuat lubang pada tempat yang
akan ditanami pohon. Sementara itu, parang digunakan untuk sekedar membersikan
beberapa tumbuhan sekitar tempat yang akan ditanami pohon para itu. Hasil kebun
para ini biasanya di jual ke Desa
Semangus. Getah para diangkut dengan perahu melalui sungai. Di Desa Semangus
biasanya telah ada pedagang dari Lubuk Linggau atau agennya yang menampung
getah para kebun rakyat yang dijual , termasuk hasil kebun para masyarakat suku
anak dalam. Dalam hal penjualan getah ini, masyarakat suku anak dalam dari
dusun kubuan mempercayakan kepada orang lain. Dalam hal ini Sapari yang
seolah-olah telah menjadi bagian dari masyarakat tersebut. System penjulan yang
mereka lakuakan masalahnya berdasarkan rasa saling percaya pihak pedagang.
Hasil penjualan yang diperoleh per bulan rata-rata Rp 150.000- Rp. 200.000,-
untuk setiap kepalaa keluarga.
3.
Berburu
Berburu
merupakan pekerjaan Suku anak Dalam yang telah lama dilakukan, secara
turun-temurun. Kegiatan ini ternyata tetap dan masih dilakukan sampai sekarang.
Akan tetapi, karena adanya masukan penggunaan kawasan hutan dari luar sukunya,
maka ruang berburu semakin sempit. Mereka sadar bahwa pekerjaan ini semakin
sulit dilakukan. Kini kegiatan itu hanya sekali-sekali saja dilakukan. Biasanya
mereka berburu Berburu binatang seperti Babi, Kera, Beruang,
Monyet, Ular, Labi-labi, Rusa, Kijang dan berbagai jenis unggas, merupakan
salah satu bentuk mata pencaharian mereka. Kegiatan berburu dilaksanakan secara
bersama-sama dengan membawa anjing. Alat yang digunakan adalah Tombak dan
Parang. Di samping itu untuk mendapatkan binatang buruan juga menggunakan
sistem perangkap dan jerat.
Ruang
perburuan masyarakat suku Anak Dalan ini tidak seluas dulu semasa hutan belum
banyak terjamah perusahaan HPH. Menurut pengakuan warga masyarakat suku ini,
mereka sekarang ini hanya berburu di kawasan hutan sekitar tempat tinggalnya,
tempatnya dibagian hulu Sungai Hitam. “kurang lebih sehari dua perjalan dari
rumah”, kata seorang warga suku Anak Dalam yang ditemui. Sementara itu, lamanya
berburu kini hanya sekitar 7 hari. Tidak seperti dulu yang kadang-kadang sampai
berminggu-minggu atau berbulan-bulan.
4.
Meramu
meramu
didalam hutan, yaitu mengambil buah-buahan dedaunan dan akar-akaran sebagai
bahan makanan. Lokasi tempat meramu sangat menentukan jenis yang diperoleh.
Jika meramu dihutan lebat, biasanya mendapatkan buah-buahan, seperti cempedak,
durian, arang paro, dan buah-buahan lainnya. Di daerah semak belukar dipinggir
sungai dan lembah mereka mengumpulkan pakis, rebung, gadung, enau, dan rumbia.
Barang-barang hasil meramu ini pada dasarnya adalah untuk memnuhi kebutuhan
sehari-hari beserta keluarga. Baru bila jumlahna berlebih, sebagian hasil
meramu itu dijual atau dituker dengan bahan-bahan kebutuhan lain kepada
pedagang. Akan tetapi meramu kini lebih
sering dijual atau ditukar dengan bahan lain di “kalang” (pasar) terdekat.