Sistem Religi suku Asmat

SISTEM RELIGI MASYARAKAT

A.   Sistem Ide
Ø  Adat istiadat suku asmat mengakui dirinya sebagai anak dewa yang berasal dari dunia mistik atau gaib yang lokasinya berada di mana mentri tenggelam setiap sore hari. Nenek moyang suku asmat pada zaman dahulu melakukan pendaratan di buni di daerah pengunungan. Selain itu orang suku asmat juga percaya bila wilayahnya terdapat 3 macam roh yang masing-masing mempunyai sifat baik, jahat, dan yang jahat namun mati. Berdasarkan mitologi masyarakat asmat berdiam diteluk flamingo, dewa itu bernama fumuriptis. Orang Asmat percaya bahwa mereka berasal dari Sang Pencipta (Fumeripits). Pada suatu masa, Fumeripits terdampar di pantai dalam keadaan sekarat dan tidak sadarkan diri. Namun nyawanya diselamatkan oleh sekolompok burung sehingga ia kembali pulih. Kemudian ia hidup sendirian di sebeuah daerah yang baru. Karena kesepian, ia membangun sebuah rumah panjang yang diisi dengan patung-patung dari kayu hasil ukirannya sendiri. Namun ia masih merasa kesepian, kemudian ia membuat sebuah tifa yang ditabuhnya setiap hari. Tiba-tiba, bergeraklah patung-patung kayu yang sudah dibuatnya tersebut mengikuti irama tifa yang dimainkan. Sungguh ajaib, patung-patung itu pun kemudian berubah menjadi wujud manusia yang hidup. Mereka menari-nari mengikuti irama tabuhan tifa dengan kedua kaku agak terbuka dan kedua lutut bergerak-gerak ke kiri dan ke kanan.
 Semenjak itu, Fumeripits terus mengembara dan di setiap daerah yang disinggahinya, ia membangun rumah panjang dan menciptakan manusia-manusia baru yang kemudian menjadi orang-orang Asmat seperti saat ini. Semua itu ada di dalam dongeng suci Fumeripits. Selain itu ide dari panguyuan kepala orang. Awal mula pengayauan kepala orang dan kanibalisme di wilayah masyarakat Asmat adalah berdasarkan dari mitos yang hidup di dalam masyarakat Asmat sendiri mengenai kakak beradik Desoipits dan Biwiripits. Desoipits mendesak adiknya, Biwiripits untuk memenggal kepalanya. Pada mulanya Biwiripits enggan, tetapi karena terus didesak, ia pun memenggal kepala Desoipits. Sungguh aneh, kepala Desoipits yang putus itu tetap hidup dan berbicara menuyuruh adiknya untuk memisahkan bagian-bagian dari tubuhnya, untuk dibagikan sebagai makanan kepada para pahlawan yang kembali perang. Sejak saat itu, munculah kebiasaan memakan daging dan memenggal kepala manusia. Tengkorak manusia pun dihormati dan disimpan, terutama tengkorak orang yang sanagt dicintai. Tengkorak saudara atau kerabat terdekat selalu digunakan sebagai bantal kepala ataupun kalung, sedangkan tengkorak musuh dipajang untuk memperlihatkan kebesaran dan keperkasaan atau juga penolak bala.
Kehidupan orang Asmat banyak diisi oleh upacara-upacara. Upacara besar  menyangkut seluruh komuniti desa yang selalu berkaitan dengan penghormatan roh nenek moyang seperti berikut ini :
a. Mbismbu (pembuat tiang)
b. Yentpokmbu (pembuatan dan pengukuhan rumah yew)
c. Tsyimbu (pembuatan dan pengukuhan perahu lesung)
d. Yamasy pokumbu (upacara perisai)
e. Mbipokumbu (Upacara Topeng)

B.    Sistem Perilaku

Ø  Adanya system perilaku yang dikemukakan dari peilaku suku asmat  yaitu dengan adanya symbol manusia dan burung perahu. Ukiran ini di buat langsung oleh suku asmat. Ukiran tersebut berbentuk manusia itu melambangkan keluarga yang sudah meninggal. Mereka percaya bahwa almarhum akan senang karena diperhatikan, dan kemanapun perahu dan penumpangnya pergi akan selalu dilindunginya. Ukiran burung dan binatang terbang lainnya dianggap melambangkan orang yang gagah berani dalam pertempuran dan lambang burung juga digunakan sebagai lambang pengayauan, terutama burung atau binatang terbang yang berwarna gelap atau hitam. Untuk hiasan kepala, menggunakan simbol burung kasuari atau kuskus. Sekeliling matanya diwarnai merah bagaikan mata burung kakatua hitam bila sedang marah. Hiasan dahi yang terbuat dari kulit kuskus merupakan lambang dari si pengayau kepala yang perkasa. Orang Asmat menyebut dirinya Asmat-ow, yang berarti manusia pohon. Pohon merupakan benda yang amat luhur dalam pandangan orang Asmat. Dalam pandangan mereka, pohon adalah manusia dan manusia adalah pohon. Akar pohon melambangkan kaki manusia, batangnya adalah tubuh manusia, dahan-dahannya adalah tangan manusia, dan daun-daun adalah kepala manusia. Semua anggapan itu memiliki alasan yang mendasar. Keadaan lingkungan alam yang ganas, berawa-rawa dan berlumpur menyebabkan pohon atau kayu menjadi penting bagi kehidupan orang Asmat. Orang Asmat menyebut dirinya Asmat-ow, yang berarti manusia pohon. Pohon merupakan benda yang amat luhur dalam pandangan orang Asmat.

Dalam pandangan mereka, pohon adalah manusia dan
manusia adalah pohon. Akar pohon melambangkan kaki manusia, batangnya adalah tubuh manusia, dahan-dahannya adalah tangan manusia, dan daun-daun adalah kepala manusia. Semua anggapan itu memiliki alasan yang mendasar. Keadaan lingkungan alam yang ganas, berawa-rawa dan berlumpur menyebabkan pohon atau kayu menjadi penting bagi kehidupan orang Asmat. Selain itu Sagu dijadikan bahan makan oleh masyarakat Asmat, sagu juga memilki arti khusus tersendiri bagi orang Asmat. Sagu diibaratkan sebagai wanita. Suatu kehidupan dipercaya oleh orang Asmat keluar dari pohon sagu sebagaimana kehidupan keluar dari rahim seorang ibu. Dari uraian diataslah masyarakat asmat berperilaku dalam system religinya.


C.    Wujud Budaya

Ø  Perwujudan budaya suku asmat dalam religinya berbagai macam mulai dari wujud upacara/ritual sampai menggunakan kekutan magis/roh-roh. Suku asmat berbeda dengan suku lainnya, dimana apabila salah satu suku asmat meninngal mereka tidak melakukan upacara apapun. Suku asmat lebih meyakini sihir hitam yang dipercayai penyebab meninngalnya seorang penduduk tersebut. Bayi yang baru lahir apabila meninggal dianggap biasa karena mereka percaya bahwa roh bayi tersebut akan pergi kea lam roh-roh. Bagi suku asmat meninggalnya orang dewasa di naggap lebih mendatangkan suka cita yang amat mendalam. Apabila ada orang tua yang sakit, maka keluarga terdekat akan berkumpul.

System suku asmat pada seseorang yang sakit sangat berbeda dengan prinsip kebanyakan orang. Dimana suku asmat apabila menemukan orang sakit tidak akan diobati maupun dirawat, menurut mereka seseorang yang sakit berate menunjukkan bahwa orang tersebut hanya menunggu waktu ajal yang ,menjemputnya. Selain itu orang yang sakit tyersebut akan di biarkan sendiri tanpa ditemani karena mereka mereka mempercayai bahwa orang yang dicintainya akan “membawa” salah seorang. Di sinilah mereka membuat semacam ritual dimana orang yang sakit tyersebut dibaringkan di sisi rumah. Masyarakat suku asmat akan membuat semavam pagar dari pohon nipah. Orang yang sakit tersebut akan diletakan dengan pagar tersebut, Ketika diketahui bahwa si sakit meninggal maka ratapan dan tangisan menjadi-jadi. Keluarga yang ditinggalkan segera berebut memeluk si sakit dan keluar rumah mengguling-gulingkan tubuhnya di lumpur. Sementara itu, orang-orang di sekitar rumah kematian telah menutup semua lubang dan jalan masuk (kecuali jalan masuk utama) dengan maksud menghalang-halangi masuknya roh-roh jahat yang berkeliaran pada saat menjelang kematian. Orang-orang Asmat menunjukkan kesedihan dengan cara menagis setiap hari sampai berbulan-bulan, melumuri tubuhnya dengan lumpur dan mencukur habis rambutnya. Yang sudah menikah berjanji tidak akan menikah lagi (meski nantinya juga akan menikah lagi) dan menutupi kepala dan wajahnya dengan topi agar tidak menarik bagi orang lain.
Mayat orang yang telah meninggal biasa diletakkan di atas para (anyaman bambu), yang telah disediakan di luar kampung dan dibiarkan sampai busuk. Kelak, tulang belulangnya dikumpulkan dan disipan di atas pokok-pokok kayu.


Tengkorak kepala diambil dan dipergunakan sebagai bantal petanda cinta kasih pada yang meninggal. Orang Asmat percaya bahwa roh-roh orang yang telah meninggal tersebut masih tetap berada di dalam kampung, terutama kalau orang itu diwujudkan dalam bentuk patung mbis, yaitu patung kayu yang tingginya 5-8 meter. Cara lain yaitu dengan meletakkan jenazah di perahu lesung panjang dengan perbekalan seperti sagu dan ulat sagu untuk kemudian dilepas di sungai dan seterusnya terbawa arus ke laut menuju peristirahatan terakhir roh-roh. Suku asmat menggubur seseorang tanpa menggunakan nisan dan dikuburkan di hutan,di pinggir sungai atau semak-semak. Ketetapan hal tersebut tidak membuat masyarakat suku asmat kehilangan jejak akan kuburan sanak saudara meraka karena, dimanapun letaknya keluarga akan tetap menemui kuburan tersebut.

Ø  Upacara Bis
Upacara ini merupakan salah satu kejadian penting di dalam kehidupan suku asmat. Upacara ini berhubungan dengan pengukiran patung leluhur (bis) apabila ada permintaan dalam suatu keluarga. Upacara ini diadakan untuk memperingati keluarga yang telah meninggal karena terbunuh. Peringtan ini dibuta agar pembalasan terhadap pembunuh akan segera dibalas. Patung yang di buat memerlukan waktu selama 6-8 minggu di buat oleh kaum wanita. Dalam proses pembuatan patung biasanya terjadi tukar-menukar istri yang di sebut papis. Hal ini di lakukan untuk mempererat hubungan persahabatan karena, pada waktu upacara peperangan antara wanita dan pria diadakan tiap sore.


Patung bis menggambarkan rupa dari anggota keluarga yang telah meninggal. Yang satu berdiri di atas bahu yang lain bersusun dan paling utama berada di puncak bis. Setelah itu diberikan warna dan diberikan hiasan-hiasan.Usai didandani, patung bis ini diletakkan di atas suatu panggung yang dibangun dirumah panjang. Pada saat itu, keluarga yang ditinggalkan akan mengatakan bahwa pembalasan dendam telah dilaksanakan dan mereka mengharapkan agar roh-roh yang telah meninggal itu berangkat ke pulau Sirets dengan tenang. Mereka juga memohon agar keluarga yang ditinggalkan tidak diganggu dan diberikan kesuburan. Biasanya, patung bis ini kemudian ditaruh dan ditegakkan di daerah sagu hingga rusak. Suku asmat juga mempunayat tempat khusus bagi pelaksanaan upacara-upacara maupun peta yang disebut yew. Yew dibangun di pinggir sungai, dekat dengan tempat penambatan perahu lesung orang Asmat. Dapat dimaklumi karena bagi orang Asmat sungai adalah sarana transportasi utama.

Daftar pustaka :
-      Dailjoeni, N, 1978, manusia penghuni bumi, bandung : alumni
-      Hidayah zulfani, 1997, ekslopedisi suku bangsa Indonesia, Jakarta : PT. putaka lp3s
-      Koetjaraningrat, 2002, pengatantar ilmu antripologi, Jakarta : PT. Rineka    Cipta
-       www.cookies.web.id
-      www.melancong.com
0 Responses