SISTEM SOSIAL
A.
Sistem Ide
Ø Pada masa lampau sistem
kepemimpinan masyarakat Asmat sangat ditentukan oleh kondisi keamanan masa itu
yang selalu penuh dengan peperangan antar kampung, karena itu kedudukan para
pemimpin perang lebih penting daripada posisi pemimpin lain. Para panglima itu
disebut tesmaipitsy. Pada tahun 1960-19
80an sistem desa mulai
diberlakukan di Asmat. Pada masa itu banyak kepala desa yang berasal dari
mantan tesmaipitsy. Gejala ini sekarang berhenti setelah ada syarat bahwa
setiap Kepala Desa harus bisa tulis dan baca. Orang Asmat terbagi dalam
beberapa sub kelompok suku bangsa yang timbul karena adanya federasi-federasi
desa dalam zaman peperangan antar kampung dan kelompok dulu. Federasi adat ini
ditandai oleh adanya kesamaan dialek dan simbol-simbol kesatuan sosial
mitologis. Sub kelompok tersebut antara lain : Unisirau, Bismam, Simai,
Emai-Ducur, Betch-Mbuo, Kaimo, Safan, Brazza, dan Joerat. Kehidupan dalam setiap
suku berbeda-beda. Suku asmat sendiri mempunyai sistem sosial yang mempunyai
peran tersendiri. Perbedaan pada pola tradisional, Pola kepemimpinan dan
kekuasaan saat ini tidak berada pada satu orang secara pribadi saja. Kepala
desa, di dalam penyelenggaraan ketertiban hukum dibantu oleh beberapa orang
pembantu. Kepala desa dan pembantu-pembantunya juga bertanggungjawab atas
pemeliharaan kebersihan kampung, pemeliharaan jalan-jalan dan juga menjaga agar
warga desa memelihara rumahnya dengan sebaik-baiknya. Struktur organisasi pada
suku asmat bebeda dengan masyarakat umum. Jabatan kepala desa diserahkan kepada
orang muda yang telah mendapatkan pendidikan dari misi agama pada akhir lima
puluhan.
Dibantu oleh seorang asisten kepala desa yang
biasanya adalah seorang yang sudah berumur dan dihormati oleh warga desa.
Seorang kepala distrik yang membawahi para “polisi” desa yang mengatur hansip
setempat. Kepala distrik inilah yang memutuskan hukuman apabila terjadi
pelanggaran yang cukup serius. Tampak adanya suatu pembagian kekuasaan dalam
penyelenggaraan pemerintahan desa. Di satu pihak, terdapat kepala desa beserta
pembantu-pembantunya dan di pihak lain terdapat kepala distrik yang menangani
pelangaran-pelanggaran khusus.
B.
Sistem Perilaku
Ø Kehidupan suku bangsa Asmat dulunya adalah Semi Nomad,
namun sekarang sudah ditinggalkan.
Mereka tinggal di pegunungan yang saling berjauhan karena perasaan takut diserang musuh. Rumah Bujang merupakan tempat semua kegiatan desa dan upacara adat terpusat.
Dasar organisasi sosial masyarakat suku bangsa Asmat adalah keluarga inti monogamy kadang-kadang poligini.
Kesatuan keluarga yang lebih luas yaitu uxorilokal yakni pasangan pengantin sesudah menikah berada di rumah keluarga yang lebih luas, atau avunkulokal, yaitu pasangan pengantin setelah menikah akan bertempat tinggal di rumah istri dari keluarga ibu.
Mereka tinggal di pegunungan yang saling berjauhan karena perasaan takut diserang musuh. Rumah Bujang merupakan tempat semua kegiatan desa dan upacara adat terpusat.
Dasar organisasi sosial masyarakat suku bangsa Asmat adalah keluarga inti monogamy kadang-kadang poligini.
Kesatuan keluarga yang lebih luas yaitu uxorilokal yakni pasangan pengantin sesudah menikah berada di rumah keluarga yang lebih luas, atau avunkulokal, yaitu pasangan pengantin setelah menikah akan bertempat tinggal di rumah istri dari keluarga ibu.
Di setiap kampung biasanya terdapat dua yew. Sekaligus menandakan ada dua paroh masyarakat di
kampung itu. Yew pertama milik kelompok ciawi, yaitu keluarga-keluarga
penghuni asal kampung itu.
Yew kedua milik kelompok amis, yaitu keluarga-keluarga
pendatang yang bergabung dengan penghuni kampung itu. Antara kedua yew ini sering terikat hubungan sosial
karena perkawinan. Karena itu juga saling tolong menolong, misalnya ketika ada
peperangan dengan kampung lain. Mereka sering membentuk konfederasi beberapa
kampung untuk menghadapi kampung-kampung musuh. Dalam kehidupan orang Asmat,
peran kaum laki-laki dan perempuan adalah berbeda. Kaum laki-laki memiliki
tugas menebang pohon dan membelah batangnya. Pekerjaan selanjutnya, seperti
mulai dari menumbuk sampai mengolah sagu dilakukan oleh kaum perempuan. Secara
umumnya, kaum perempuan yang bertugas melakukan pencarian bahan makanan dan
menjaring ikan di laut atau di sungai. Sedangkan kaum laki-laki lebih sibuk
dengan melakukan kegiatan perang antara clan atau antar kampung. Kegiatan kaum
laki-laki juga lebih terpusat di rumah bujang.
C.
Wujud Budaya
Ø
Sebagai wujud budaya, suku asmat mengenal istilah
sistem clan. Clan merupakan wujud budaya asmat yang telah mereka lakukan. Dengan prinsip pernikahan yang mengharuskan
orang mencari jodoh di luar lingkungan sosialnya,
seperti
di luar lingkungan kerabat, golongan sosial, dan lingkungan pemukiman (adat
eksogami clan). Garis keturunan ditarik secara patrilineal (garis keturunan
pria), dengan adat menetap sesudah menikah yang virilokal. Adat virilokal
adalah yang menentukan bahwa sepasang suami-istri diharuskan menetap di sekitar
pusat kediaman kaum kerabat suami. Dalam masyarakat Asmat, terjadi juga sistem
pernikahan poligini yang disebabkan adanya pernikahan levirat.
Pernikahan levirat adalah pernikahan antara
seorang janda dengan saudara kandung bekas suaminya yang telah meninggal dunia
berdasarkan adat-istiadat yang berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.
Pernikahan seorang anak dalam masyarakat Asmat, biasanya diatur oleh kedua
orang tua kedua belah pihak, tanpa diketahui oleh sang anak. Peminangan
biasanya dilakukan oleh pihak kerabat perempuan. Namun, dalam hal pencarian
jodoh, mereka juga mengenal kawin lari, yang artinya seorang laki-laki
melarikan gadis yang disenanginya. Kawin lari ini biasanya berakhir dengan
pertikaian dan pembunuhan.
Perkawinan dalam masyarakat Asmat sebanyak lebih dari 25% adalah poligini, dan di antara perkawinan-perkawinan poligini itu hampir separuhnya adalah perkawinan yang telah diatur
Perkawinan dalam masyarakat Asmat sebanyak lebih dari 25% adalah poligini, dan di antara perkawinan-perkawinan poligini itu hampir separuhnya adalah perkawinan yang telah diatur
(perse
tsyem). Masyarakat suku asmat juga mengenal sistem kekerabatan dimana sudah
menjadi pola wujud budaya mereka yaitu budaya keluarga inti monogami, atau kadang-kadang
poligini. Mereka tinggal bersama-sama dalam rumah panggung (rumah keluarga)
seluas 3 m x 5 m x 4 m yang sering disebut dengan tsyem. Walaupun demikian, ada
kesatuan-kesatuan keluarga yang lebih besar, yaitu keluarga luas uxorilokal
(keluarga yang sesudah menikah menempati rumah keluarga istri), atau
avunkulokal (keluarga yang dudah menikah menempati rumah keluarga istri dari
pihak ibu). Karena itu, keluarga-keluarga seperti itu, biasanya terdiri dari 1
keluarga inti senior dan 2-3 keluarga yunior atau 2 keluarga senior, apabila
ada 2 saudara wanita tinggal dengan keluarga inti masing-masing dalam satu
rumah. Jumlah anggota keluarga inti masyarakat Asmat biasanya terdiri dari 4-5
atau 8-10 orang.
Suku asmat juga mempunyai struktur sosial yang disebut
keluarga batih asmat biasa disebut cem
atau tsyem. Rumah Cem didirikan berderet-deret
dibelakang rumah
panjang/rumahkomunal/ rumah bujang/laki-laki yang
disebut yew. Jadi dapat
dikatakan pusat pemukiman orang Asmat adalah yew. Semua laki-laki remaja dan dewasa harus berdiam di Yew.
Sedangkan wanita dan anak-anak berdiam di Cem atau Tsyem. Perbandingan
umur juga menentukan masyarakat asmat beradaptasi dengan lingkungannya.
Semakin seorang anak meningkat dewasa, semakin dekat ia dengan keluarga luasnya
yang senior, terutama dengan saudara kandung ibunya. Sejak umur tujuh tahun
seorang anak laki-laki akan berdiam di youse keluarga luasnya
Daftar Pustaka :
-
A.ibrahim peyon, 2006, manusia papua, Jakarta :
gramedia.
-
Boelaars, Jan, 1986, Dahulu, Sekarang, Masa Depan.
Jakarta: Gramedia.
-
Hidayah zulyani, 1997, ensiklopedi bangsa di
Indonesia, Jakarta : PT. Gramedia.
-
Sudarman dea, 1984, menyingkap budaya suku pendalaman
irian jaya, Jakarta : sinar harapan