Suku Using Jawa Timur

                                                                  SUKU OSING


Suku Using adalah penduduk asli Banyuwangi atau juga disebut sebagai "wong Blambangan" dan merupakan penduduk mayoritas di beberapa kecamatan di Kabupaten Banyuwangi.



Deskripsi masyarakat using
                Using merupakan nama bagi satu diantara lima cultur area yang terdapat di Jawa Timur (Sariono dkk, 2002). Masyarakat osing tersebut  kurang lebih menempati wilayah kabupaten Jember.  Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Bappeda Banyuwangi, diketahui ada beberapa daerah yang masyarakatnya masih dianggap memiliki budaya “asli osing”, yakni Desa Kemire, Kecamatan Glagah , Kabupaten Banyuwangi (Bappeda 2002). 

Terdapat sekelompok masyarakat yang cukup terkenal. yaitu suku osing, menurut ceritanya suku osing berasal dari orang-orang yang mengasingkan diri dari kerajaan majapahit setelah kerajaan ini mulai runtuh sekitar tahun 1478 masehi. keberadaan masyarakat osing dibanyuwangi dapat ditemui terutama didesa  wisata kemiren, desa ini berpenduduk  sekitar 2,4 ribu jiwa (data tahun 2006) dan mulai ditetapkan sebagai desa wisata sejak tahun 1993 oleh pemerintah setempat.



SEJARAH SINGKAT BANYUWANGI

Merujuk data sejarah yang ada, sepanjang sejarah Blambangan kiranya tanggal 18 Desember 1771 merupakan peristiwa sejarah yang paling tua yang patut diangkat sebagai hari jadi Banyuwangi. Sebelum peristiwa puncak perang Puputan Bayu tersebut sebenarnya ada peristiwa lain yang mendahuluinya, yang juga heroik-patriotik, yaitu peristiwa penyerangan para pejuang Blambangan di bawah pimpinan Pangeran Puger ( putra Wong Agung Wilis ) ke benteng VOC di Banyualit pada tahun 1768.

Namun sayang peristiwa tersebut tidak tercatat secara lengkap pertanggalannya, dan selain itu terkesan bahwa dalam penyerangan tersebut kita kalah total, sedang pihak musuh hampir tidak menderita kerugian apapun. Pada peristiwa ini Pangeran Puger gugur, sedang Wong Agung Wilis, setelah Lateng dihancurkan, terluka, tertangkap dan kemudian dibuang ke Pulau Banda ( Lekkerkerker, 1923 ).

Berdasarkan data sejarah nama Banyuwangi tidak dapat terlepas dengan keajayaan Blambangan. Sejak jaman Pangeran Tawang Alun (1655-1691) dan Pangeran Danuningrat (1736-1763), bahkan juga sampai ketika Blambangan berada di bawah perlindungan Bali (1763-1767), VOC belum pernah tertarik untuk memasuki dan mengelola Blambangan ( Ibid.1923 :1045 ).

Pada tahun 1743 Jawa Bagian Timur ( termasuk Blambangan ) diserahkan oleh Pakubuwono II kepada VOC, VOC merasa Blambangan memang sudah menjadi miliknya. Namun untuk sementara masih dibiarkan sebagai barang simpanan, yang baru akan dikelola sewaktu-waktu, kalau sudah diperlukan. Bahkan ketika Danuningrat memina bantuan VOC untuk melepaskan diri dari Bali, VOC masih belum tertarik untuk melihat ke Blambangan (Ibid 1923:1046).

Namun barulah setelah Inggris menjalin hubungan dagang dengan Blambangan dan mendirikan kantor dagangnya (komplek Inggrisan sekarang) pada tahun 1766 di bandar kecil Banyuwangi ( yang pada waktu itu juga disebut Tirtaganda, Tirtaarum atau Toyaarum), maka VOC langsung bergerak untuk segera merebut Banyuwangi dan mengamankan seluruh Blambangan. Secara umum dalam peprangan yang terjadi pada tahun 1767-1772 ( 5 tahun ) itu, VOC memang berusaha untuk merebut seluruh Blambangan. Namun secara khusus sebenarnya VOC terdorong untuk segera merebut Banyuwangi, yang pada waktu itu sudah mulai berkembang menjadi pusat perdagangan di Blambangan, yang telah dikuasai Inggris.

Dengan demikian jelas, bahwa lahirnya sebuah tempat yag kemudian menjadi terkenal dengan nama Banyuwangi, telah menjadi kasus-beli terjadinya peperangan dahsyat, perang Puputan Bayu. Kalau sekiranya Inggris tidak bercokol di Banyuwangi pada tahun 1766, mungkin VOC tidak akan buru-buru melakukan ekspansinya ke Blambangan pada tahun 1767. Dan karena itu mungkin perang Puputan Bayu tidak akan terjadi ( puncaknya ) pada tanggal 18 Desember 1771. Dengan demikian pasti terdapat hubungan yang erat perang Puputan Bayu dengan lahirnya sebuah tempat yang bernama Banyuwangi. Dengan perkataan lain, perang Puputan Bayu merupakan bagian dari proses lahirnya Banyuwangi. Karena itu, penetapan tanggal 18 Desember 1771 sebagai hari jadi Banyuwangi sesungguhnya sangat rasional

SEJARAH KERAJAAN BLAMBANGAN

Kerajaan Blambangan adalah kerajaan yang berpusat di kawasan Blambangan, sebelah selatan Banyuwangi. Raja yang terakhir menduduki singgasana adalah Prabu Minakjinggo. Kerajaan ini telah ada pada akhir era Majapahit. Blambangan dianggap sebagai kerajaan bercorak Hindu terakhir di Jawa.

Sebelum menjadi kerajaan berdaulat, Blambangan termasuk wilayah Kerajaan Bali. Usaha penaklukan kerajaan Mataram Islam terhadap Blambangan tidak berhasil. Inilah yang menyebabkan mengapa kawasan Blambangan (dan Banyuwangi pada umumnya) tidak pernah masuk pada budaya Jawa Tengahan, sehingga kawasan tersebut hingga kini memiliki ragam bahasa yang cukup berbeda dengan bahasa Jawa baku. Pengaruh Bali juga tampak pada berbagai bentuk kesenian tari yang berasal dari wilayah Blambangan.
Negeri ini sebenarnya tidak bisa dipisahkan dengan Majapahit, karena seperti tercantum dalam Prasasti  Gunung Butak,  (1294), menyebutkan adanya perjanjian antara Raden Wijaya sebagai pendiri kerajaan Majapahit dengan Arya Wiraraja yang telah banyak membantu dalam perintisan dan pembentukan kerajaan Majapahit bahwa “pulau Jawa akan dibagi menjadi dua bagian dan masing-masing mendapat sebagian.” Dalam perjanjian itu Arya Wiraraja diberi kekuasaan atas wilayah Lumajang Utara, Lumajang Selatan, dan Tigang Juru . Arya Wiraraja kemudian diangkat secara resmi sebagai adipati pertama (Lekkerkerker, 1923:220). Majapahit ibaratnya pinang dibelah dua, sebelah barat disebut Majapahit Kedaton Kulon dan sebelah timur disebut Majapahit Kedaton Wetan. Kedua bagian Majapahit memiliki keunggulan yang saling melengkapi. Dan sejarah Majapahit ditentukan oleh hubungan  dua bagian ini. Ketika kedua sanak kadang ini bersatu maka Majapahit mencapai kejayaan , dan ketika terbelah maka suramlah Majapahit. Sejarahwan telah banyak mencatat tentang Majapahit Kedaton Kulon, tetapi sedikit sekali yang menulis tentang Majapahit Kedaton Wetan.Syukurlah karena pada akhir akhir ini  perhatian pada Majapahit Kedaton Wetan  mulai ada.
Majapahit Kedaton Wetan  memiliki banyak keistimewaan maka pantaslah  negeri ini mempunyai banyak julukan.Inilah julukan julukan itu.  
  1. 1.     BALUMBUNG : Negeri Yang makmur.
Majapahit Kedaton Wetan  ternyata tumbuh menjadi negeri yang subur dan makmur, dan menjadi lumbung pangan Majapahit.Tampilnya Majapahit Kedaton Wetan   sebagai lumbung pangan membuat  Mpu Prapanca dalam Kakawin Nagarakretagama , menyebut negeri ini sebagai Balumbun.
Dalam  NAGARA KRTAGAMA , karya MPU PRAPANCA yang ditulis pada abad ke 14 , pupuh 28 bait 1 ditulis;
Pira teki lawas nira patukanan…..Para mantri ri Bali ri Madura ri Balumbun andalan ika karuhun …..sayawaksiti wetanumark apuphul…….(Selama beliau (Prabu Hayamwuruk) hadir di Patukangan…..para menteri dari Bali dari Madura dari Blambangan merupakan andalan Baginda….Dimana seluruh daerah timur berkumpul)
Balumbung inilah kemudian ditafsirkan sebagai  Blambangan. Nama tempat Balumbung(an) merujuk Palumbungan yang mengandung arti ‘tempat lumbung’ (Pigeaud via Darusupapta, 1984:12-13) Wong Using: Sejarah Perlawanan dan Pewaris Menakjinggo Novi Anoegrajekti / Desantara
  1. 2.     BALABANG : Negeri Para Pemberani
Dalam pupuh 28, bait 1, Balumbun juga disebutkan sebagai andalan Baginda, setara dengan Bali dan Madura.Suatu bukti bagaimana pentingnya negeri ini bagi Majapahit.
Sebagai negeri andalan  , Majapahit Kedaton Wetan  selain dikenal sebagai lumbung juga dikenal sebagai negeri para pemberani. Keberanian prajurit Majapahit Kedaton Wetan  terbukti sejak masa berdirinya Majapahit, baik pada saat merebut Singhasari dari Jayakatwang juga pada saat menghancurkan pasukan KUBILAI KHAN . Demikian juga pada  kisah keberanian dan ketangguhan prajurit Blambangan sudah menjadi buah bibir sejak perselisihan Bre Wirabumi dan Raja Majapahit Wikrawardhana mengakibatkan perang saudara pada 1404-1406 atau dikenal sebagai Perang Paregreg. Penyebutan Perang Parereg menunjukan perang berlangsung berkali kali, menang dan kalah silih berganti, Perang melawan Sultan Agung , maupun perang Wong Agung Wilis, dan Pangeran Jagapati.
Inilah beberapa kutipan pendapat tentang KEBERANIAN  prajurit Majapahit Kedaton Wetan:

a.Thomas Stanford Rafless  dalam bukunya Hystori of Java   menulis.
Sultan Agung mengingatkan , masih ada dua kerajaan yang paling berbahaya belum terkalahkan yaitu Sumedang dan Blambangan ( hal : 509 ) . Pernyataan Sultan Agung mengisyaratkan bahwa usaha menaklukan Blambangan yang dilakukan pada tahun 1639 M belum berhasil, meskipun Sultan Agung telah mengerahkan 30.000 prajurit untuk menggempur Blambangan.

b. Novi Anoegrajekti / Desantara dalam  Wong Using: Sejarah Perlawanan dan Pewaris Menakjinggo mengutip pendapat sejarahwan
Cortesao, seperti yang dikutip oleh Herusantosa (1987:13), dengan merujuk pada Tome Pires, menyebut “rakyat Blambangan sebagai rakyat yang mempunyai sifat “warlike”, suka berperang dan selalu siap tempur, selalu ingin dan berusaha membebaskan wilayahnya dari kekuasaan pihak lain”.
Scholte (1927:146) menyatakan: “Sejarah Blambangan sangat menyedihkan. Suku bangsa Blambangan terus berkurang karena terbunuh oleh kekuatan-kekuatan yang berturut-turut melanda daerah tersebut, seperti kekuatan Mataram, Bali, Bugis dan Makassar, para perampok Cina, dan akhirnya VOC. Tetapi semangat rakyat Blambangan tidak pernah padam sama sekali, dan keturunannya yang ada sekarang merupakan suku bangsa yang gagah fisiknya dan kepribadian serta berkembang dengan pesat, berpegang teguh pada adat-istiadat, tetapi juga mudah menerima peradaban baru”.

c.TEMPO 13 September 2010 LASKAR TANGGUH dari Ujung Timur Jawa Ika Ningtyas , Mahbub Djunaidi
Prajurit Blambangan kemudian dipercaya tangguh dan sakti sehingga tidak terkalahkan. Bahkan, menurut sejarawan Sri Margana, mitos yang berkembang di Mataram saat itu: prajurit Blambangan kebal terhadap senjata, sehingga dijadikan ajang uji coba senjata-senjata baru yang dibuat Mataram, baik keris maupun tombak. Jika mampu membunuh orang Blambangan, senjata itu dianggap sakti dan layak dipakai perang oleh Mataram. Menurut sejarawan dari Universitas Gadjah Mada ini, fakta yang diperoleh dari hasil penelitiannya adalah prajurit Blambangan tangguh karena lebih menguasai medan peperangan. Mereka berperang secara gerilya: menyerang mendadak kemudian bersembunyi, serta membuat perangkap dan jebakan di jalan-jalan dan di atas pohon. “Musuh sering diarahkan ke suatu tempat di mana perangkap-perangkap telah disiapkan,” ujarnya.

d. I Made Sudjana dalam buku Nagari Tawon Madu
Kerajaan Blambangan , juga menetapkan persyaratan kepemimpinan yang sangat ketat dalam memilih raja Blambangan . Syarat syarat raja yang ditetapkan oleh Prabu Tawangalun adalah.
KALOKA, PRAWIRA . WIBAWA. BAHASA.(37) SUMBER BABAD WILIS WINARSIH Aripin  pupuh 1.17:49.
Empat syarat itu menunjukan , syarat KEBERANIAN.
  1. 3.     BARANGBRANGAN : Negeri Penyeberangan
Data teksual dalam babad Buleleng tentang sebutan “Barangbrangan” (=tempat penyeberangan) dan Tirta Arum identik dengan nama Banyuwangi (Worsley, 1972:124;158).
Majapahit Kedaton wetan juga patut disebut negeri penyeberangan , tidak hanya menyeberang ke Bali, tetapi harus dipahami sebagai pelabuhan yang dikenal oleh pelaut dan pedagang Nusantara, China, Portugal ( zaman Pasuruan ) maupun  dikenal oleh pelaut dan pedagang Nusantara, China, Belanda dan Inggris ( The Great Britain ) pada zaman pelabuhan Ulupampang
Drs I Wayan Sudjana dalam Negeri Tawon Madu tentang pelabuhan kerajaan Blambangan sebagai berikut;

Tentang Panarukan                                                                               
 Jonno de Barros, Decada IV,buku I,bab 7 (Portugies). Yang menulis bahwa pada bulan Juli 1528, Don Garcia Henriquez, tampaknya berlabuh di pelabuhan Peneruca /Panarukan untuk mengisi perbekalan sebelum melanjutkan perjalanan ke Malaka. Dan nampaknya raja Panarukan mengirim dutanya pada Gubernur Portugies di Malaka.Tentang Peneruca dikemukakan bahwa sejak tahun 1526 telah dikunjungi 20 buah kapal Portugis untuk membeli perbekalan.Kerajaan Blambangan dianggap netral karena merupakan kerajaan Hindu, sedang kerajaan di Jawa adalah kerajaaan Islam , dan Portugis sedang berperang dengan kerajaan Islam ( Negeri Tawon Madu .22)

Tentang Ulupampang         
Disamping daerah yang sangat luas kerajaan Blambangan juga memiliki pelabuhan Ulupampang /Muncar yang sangat ramai. Export Blambangan meliputi sarang burung, beras, dan hasil hutan. Sejak tahun 1600 Pelabuhan Ulupampang setiap tahun mengexport sarang burung seharga  empat ribu found sterling, 1 ton bahan lilin, dan 600 ton beras, dan hasil hutan lainnya. Ulupampang  dipenuhi perahu besar milik kerajaan, perahu besar bangsa China, dan Bugis.  Selain perahu tersebut, pelabuhan Ulupampang , setiap setengah tahun disinggahi kapal Inggris yang berlayar ke Australia untuk membeli perbekalan sejak tahun 1696. Tercatat yang mengunjungi Ulupampang adalah Francis Drake , dengan membawa kapal The Paca  berbobot 70 ton, dan The Swan berbobot 50 ton.Juga Thomas Candish telah tinggal selama dua minggu di Ulupampang , dengan membawa kapal “Pretty” dan” Wilhems (24.61)
  1. 4.     LAMBANG : Negeri Banyak Lambang
Konon kata Belambangan berasal dari kata  Lambang. Belambangan berarti mempunyai banyak lambang atau tempat lambang (Prof DR. Ayu Santosa . Kamus Budaya dan Religi Using.36) . Hanya  sayang Prof DR Ayu Santosa , tidak menjelaskan lebih jauh.
  1. 5.     NEGERI TAWON MADU.
I Made Sudjana   menyebut Belambangan sebagai nagari Tawon Madu karena ibukota Blambangan pada abad ke 18 menjadi simbol  kekuasaan yang menentukan pasang surutnya  eksistensi Blambangan . Dalam tradisi Hindu rakyat akan selalu merujuk dan berteledan pada perilaku raja .( Patrons client).Realitas sejarah mencatat bahwa kerajaan Blambangan dapat bertahan selama lebih kurang karena ditunjang oleh satu faktor utama , yakni keberhasilan para pewaris tahta Blambangand dalam mempertahankan negeri. (Negeri Tawon Madu  penerbit  Sulanjari -  Larasan Sejarah 2001).
  1. 6.     NEGERI PARA MENAK
Negeri ini dicatat sebagai kerajaan Hindu , yang kuat keyakinannya, ini terbukti gunung yang disucikan oleh penganut Hindu berada di kawasan ini yaitu G. Semeru  dan juga darah yang mengalir pada raja rajanya adalah wangsa Sanggramawijaya, yaitu wangsa yang berasal dari keturunan Ken Dedes dan Ken Arok ( wangsa Isyana) , dan apabila dilacak jauh ke abad ke tujuh , maka inilah darah Arya yang mendirikan candi Prambanan. Oleh kareana itu Hayamwuruk raja Agung Majapahit yang disucikan sebagai Syiwa di bumi, untuk menjaga kemurnian darah Aryanya  dikawinkan dengan putri adik kandungnya.
Sebagai negara Hindu yang sangat kuat maka tidak mengherankan ketika Blambangan mencapai puncak kejayaan dibawah prabu Tawangalun , ketika beliau wafat diikuti upacara Sati terbesar  sepanjang sejarah kerajaan Hindu di Indonesia yaitu 270 lebih  orang istrinya dari 400  menerjunkan diri dalam upacara ngaben Prabu Tawangalun.
Tetapi anehnya raja besar di Blambangan mendapat gelaran Menak.  Bhree Wirabhumi mendapat gelaran Menak Jinggo. Putranya Bhree Wirabhumi , Bhree Pakembangan mendapat gelar Menak Dadali Putih atau Menak Sembuyu, Prabu Tawangalun mendapat gelaran Menak Kedawung. Dan gelaran Menak dalam Serat Menak ( Betal Jemur, Menak Jambimambar) , adalah gelaran yang diberikan pujangga Islam Jawa pada raja raja Islam ( Menak jayengrono). Ini dapat diartikan bahwa meskipun Blambangan kerajaan Hindu  raja rajanya sangat dihormati oleh para wali .
Pemberian gelar ini dalam Babad Wali Sanga ternyata tidak terlepas dari pengaruh Sunan Giri. Beliau adalah buyut Bhree Wirabhumi. ( Tulisan tentang Sunan Giri  menyusul)
Tentu hal ini berbeda dengan kerajaan Surakarta , yang Islamnya lebih dikenal Islam Abangan , yang sangat berbeda dengan Islamnya para wali, sehingga gelaran Menak Jinggo dirubahnya menjadi bangsawan yang culas.
Sejarawan UGM Yogyakarta Dr. Sri Margana dalam wawancaranya di Majalah Tempo (edisi 13 September 2010) mengemukakan, bahwa cerita  tentang Damarwulan vs Menakjingga ini merupakan Sinisme dan delegimitasi terhadap Raja Blambangan
Cerita Damarwulan vs Menakjingga ini ditulis dalam Serat Kanda atau Serat Damarwulan oleh sastrawan dari keraton Surakarta dan dipentaskan dalam bentuk Langendrian oleh Mangkunegara IV (1853 sd 1881). Cerita ini Kemudian dipopulerkan di Banyuwangi oleh penguasa Banyuwangi yang masih berdarah Surakarta.
Apabila dikaitkan pada buku Serat Darmagandul yang terbit tahun 1830 dari penulis ( Kalamwadi, nama samaran),yang menulis sinisme terhadap  Islam , maka sebenarnya serat Kanda juga menyiratkan adanya sinisme kerajaan Surakarta kepada Islam karena ketakutan pada pengaruh perang besar yang timbul di Jawa yaitu perang Diponegoro..
  1. 7.     NEGERI PARA WALI.
Negeri ini menjadi monumental karena dalam sejarah perkembangan Islam negeri ini berkaitan langsung sentuhan langsung para wali ( seorang ulama yang mempunyai kedudukan tinggi dalam keyakinan ummat muslim Jawa/Nusantara karena tingginya  ilmu keagamaan dan ilmu tentang peradaban Jawa/Nusantara. ) Beliau adalah ‘Ainul Yaqin/ Sunan Giri , putra Syaich Wali Lanang Maulana Iskak /Syaich Sidik/putra Syaich Jamaludin Qubro, beliau adalah keturunan Rasulullah yang  mempersunting sang putri Sekar Dalu/Sekar Dadu/ Dewi Kasihan, putri Bhree Pakembangan/Menak Dadali Petak/Menak Sembuyu sebagai penyebar  agama Islam di Blambangan .( Babad Blambangan( versi Gancar), Babad Walisanga, terdapat juga dalam epitaf ( Prasasti pendek pada nisan ) dari batu berangka tahun 1232(1310M) yang terdapat dalam situs Troloyo Mojokerto . ( Seminar Hari jadi Banyuwangi  14).
Sunan Giri yang semasa kecil bernama R.Paku/R.Samudara  adalah putra Syaich Wali Lanang dengan putri Blambangan Sekar Dadu. Seorang Wali yang dikenal luas ilmu Agamanya dan Ilmu Kenegaraannya.Pendiri pesantren pertama sebagai model pendidikan Islam . Pemimpin Peralihan pada masa Majapapahit  ke Demak, King Maker Sultan di Nusantara, Pemimpin Para Wali  setelah Sunan Ampel mangkat, Paus Nusantara dan Tanah Melayu, karena hanya dengan persetujuannya raja Islam dapat dikukuhkan, Pendamai antara Mataram dan Penguasa Jawa Timur, Pendamai antara raja Hindu dan Islam.
Sunan Kalijaga, adalah seorang Wali yang menguasai ilmu agama dan peradaban Jawa, beliau menjadi utusan para wali untuk menghadap Prabu Brawijaya yang mengungsi ke Blambangan.Beliau berhasil meyakinkan Prabu Brawijaya bahwa Islam akan menghormati Prabu Brawijaya sebagai raja Majapahit. (SERAT Darmagandul, Ki Kalamwadi 1830).
  1. NEGERI DI JAWA PALING AKHIR DIKUASAI BELANDA.
Para penulis sejarah Indonesia/ Jawa  boleh saja menulis bahwa Indonesia/Jawa  telah dijajah oleh Belanda selama 350 tahun ( sejak 1662, ) tetapi itu hal  hanya mitos untuk rakyat Majapahit Kedaton Wetan, karena VOC baru dapat menundukan Majapahit Kedaton Wetan pada tahun 1771.
Suatu pernyataan yang tidak masuk akal karena  VOC  ternyata menguasai daratan Jawa lainnya atau pulau pulau lainnya yang jauh tidak berarti dari aspek perdagangan dan strategy daripada daerah Blambangan. Blambangan seperti tersebut diatas adalah pusat lumbung perbekalan Majapahit dan pusat perdagangan yang diakui oleh semua bangsa Nusantara, China, Portugal , dan Inggris.
Namun pada akhir ini mulai muncul pendapat yang berbeda ,yang lebih masuk akal , seperti tersebut dibawah ini;
Dalam bincang-bincang dengan,DR. Sri Margana menyatakan bahwa Blambangan yang sangat menentang dominasi asing itu, hanya bisa dikalahkan oleh VOC, disebabkan VOC yang melakukan politik ‘devida et impera’ itu berhasil merangkul kerajaan Islam Mataram untuk bersama-sama menaklukkan kerjaan Blambangan.Ibrahim Isa Alias Bramijn18 Des 2007,22.28:51WIB   Lokhorstkerk, Pieterstraat 1, Leiden.
Kenapa negeri Blambangan tidak cepat dikuasai oleh Belanda, jelaslah karena Blambangan adalah negeri para pemberani,( Seperti disebutkan diatas) yang hebat dalam strategi dan kukuh dalam persatuan. Dan untuk penaklukan Blambangan VOC harus mengeluarkan dana setara 80 ton Emas. (Ika Ningtyas, Mahbub Djunaidi , Laskar Tangguh dari Ujung Timur  Jawa Majalah Tempo edisi 13 -19 September 2010).
  1. 9.     NEGERI CINTA SUCI DAN ABADI
Negeri ini penuh dengan hikayat dengan pengorbanan seorang istri atau ibu yang luar biasa cintanya pada suami dan putranya.Apapun resiko yang harus dihadapi oleh wanita tangguh itu.
  • Sekar Dalu, lebih memilih tetap memelihara kehamilannya dan melahirkan putranya, meskipun kalangan istana mengancam membunuhny. Dan dengan kekuatan doa seorang ibu, R.Paku akhirnya selamat dan kemudian menjadi wali nusantara  yaitu Sunan Giri. Pengorbanan nya telah berbuah pada syiar Islam di Nusantara.
  • Sati terbesar sepanjang sejarah.
DR Sri Margana dalam disertasi Java ‘s Last Frontier : The Struggle for Hegemony of Blambangan menulis . Sebanyak 270 ISTRINYA  melakukan SATI (upacara berkabung  agama Hindu dimana istri  menerjunkan diri  ke api NGABEN   RAJA TAWANGALUN). Dan dalam sejarah tercatat sebagai SATI terbesar dalam sejarah Indonesia,malah mungkin sejarah kerajaan Hindu.
Ikut sertanya para istri prabu Tawangalun dalam upacara Sati menunjukkan betapa heibatnya putri putri negeri ini menjaga kesucian cintanya pada prabu Tawangalun.
  • Sri Tanjung dan  Sidopekso atau Dewi Surati dan R.Banterang.
Kedua legenda itu ,menunjukan betapa putri Blambangan adalah putri yang berhati suci dan berani membuktikan cinta abadinya pada suaminya.


Sejarah  II
Suku Osing adalah penduduk asli dari Banyuwangi yang telah menjadi penduduk mayoritas. Osing lahir akibat runtuhnya kerajaan Majapahit. Pada waktu itu orang-orang Majapahit mengungsi kebeberapa tempat, yaitu lereng gunung Bromo (suku Tengger), Blambangan (suku Osing) dan Bali, peristiwa ini terjadi sekitar tahun 1478 M. Kerajaan yang didirikan oleh masyarakat Osing adalah kerajaan terakhir yang bercorak Hindu-Budha. seperti halnya kerajaan Majapahit. Bahkan Mereka sangat percaya bahwa Taman Nasional Alas Purwo merupakan tempat pemberhentian terakhir rakyat Majapahit yang menghindar dari serbuan kerajaan Mataram.

Dalam sejarahnya Kerajaan Mataram Islam tidak pernah menancapkan kekuasaanya atas Kerajaan Blambangan, hal inilah yang menyebabkan kebudayaan masyarakat Osing mempunyai perbedaan yang cukup signifikan dibandingkan dengan Suku Jawa. Suku Osing mempunyai kedekatan yang cukup besar dengan masyarakat Bali, hal ini sangat terluhat dari kesenian tradisional Gandrung yang mempunyai kemiripan dengan tari-tari tradisional bali lainnya, termasuk juga busana tari dan instrumen musiknya. Kemiripan lain tercermin dari arsitektur bangunan antar Suku Osing dan Suku Bali yang mempunyai banyak persamaan, terutama pada hiasan di bagian atap bangunan.

Sejarah Suku Using diawali pada akhir masa kekuasaan Majapahit  sekitar tahun 1478 M. Perang saudara dan pertumbuhan kerajaan-kerajaan islam terutama Kesultanan malaka mempercepat jatuhnya Majapahit. Setelah kejatuhannya, orang-orang majapahit mengungsi ke beberapa tempat, yaitu lereng Gunung Bromo (Suku Tengger),Blambangan (Suku Using) dan Bali. Kedekatan sejarah ini terlihat dari corak kehidupan Suku Using yang masih menyiratkan budaya Majapahit. Kerajaan Blambangan, yang didirikan oleh masyarakat osing, adalah kerajaan terakhir yang bercorak Hindu-Budha seperti halnya kerajaan Majapahit. Bahkan Mereka sangat percaya bahwa Taman Nasional Alas Purwo  merupakan tempat pemberhentian terakhir rakyat Majapahit yang menghindar dari serbuan kerajaan Mataram.
Dalam sejarahnya Kerajaan Mataram Islam tidak pernah menancapkan kekuasaanya atas Kerajaan Blambangan, hal inilah yang menyebabkan kebudayaan masyarakat Using mempunyai perbedaan yang cukup signifikan dibandingkan dengan suku jawa. Suku Using mempunyai kedekatan yang cukup besar dengan masyarakat Bali, hal ini sangat terluhat dari kesenian tradisional Gandrung  yang mempunyai kemiripan dengan tari-tari tradisional bali lainnya, termasuk juga busana tari dan instrumen musiknya. Kemiripan lain tercermin dari arsitektur bangunan antar Suku Using dan Suku Bali yang mempunyai banyak persamaan, terutama pada hiasan di bagian atap bangunan.Puputan adalah perang terakhir hingga darah penghabisan sebagai usaha terakhir mempertahankan diri terhadap serangan musuh yang lebih besar dan kuat. Tradisi ini pernah menyulut peperangan besar yang disebut Puputan Bayu pada tahun 1771 M. Sejarah Perang Bayu  ini jarang di ekspos oleh media sehingga sejarah ini seperti tenggelam.
Dalam perkembangan berikutnya, setelah para petinggi Majapahit berhasil hijrah ke Bali dan membangun kerajaan di sana, Blambangan, secara politik dan kultural, menjadi bagian dari Bali atau, seperti yang diistilahkan oleh beberapa sejarawan, “di bawah perlindungan Bali”. Tetapi, pada tahun 1639, kerajaan Mataram di Jawa Tengah menaklukkan Blambangan yang meskipun mendapat bantuan yang tidak sedikit dari Bali menelan banyak korban jiwa; rakyat Blambangan tidak sedikit yang terbunuh dan dibuang (G.D.E. Haal, seperti yang dikutip Anderson, 1982; 75). Di dalam kekuasaan Mataram inilah penduduk Blambangan mulai diislamisasi, suatu perkembangan kultural yang banyak pengaruhnya di kemudian hari dalam membentuk struktur sosial dan kebudayaan. Perebutan Blambangan oleh Mataram dan Bali terus berlangsung dan saling bergantian menguasai hingga berakhir ketika VOC berhasil menduduki Blambangan pada tahun 1765.
Blambangan tampak relatif kurang memperlihatkan kekuatannya, di masa penjajahan Belanda, ia justru menampilkan kegigihannya melawan dominasi VOC. Perang demi perang terjadi antara rakyat Blambangan melawan kolonial Belanda. Hingga akhirnya memuncak pada perang besar pada tahun 1771-1772 di bawah pimpinan Mas Rempeg atau Pangeran Jagapati yang dikenal dengan perang Puputan Bayu. Perang ini telah berhasil memporak-porandakan rakyat Blambangan dan hanya menyisakan sekitar 8.000 orang (Ali, 1993:20). Meski demikian, tampaknya rakyat Blambangan tetap pantang menyerah. Perang-perang perlawanan, meski lebih kecil, terus terjadi sampai berpuluh tahun kemudian (1810) yang dipimpin oleh pasukan Bayu yang tersisa, yaitu orang-orang yang oleh Belanda dijuluki sebagai ‘orang-orang Bayu yang liar’ (Lekkerker, 1926:401-402; Ali, 1997:9). Setelah dapat menghancurkan benteng Bayu, Belanda memusatkan pemerintahannya di Banyuwangi dan mengangkat Mas Alit sebagai bupati pertama Banyuwangi.
Blambangan memang tidak pernah lepas dari pendudukan dan penjajahan pihak luar, dan pada tahun 1765 tidak kurang dari 60.000 pejuang Blambangan terbunuh atau hilang untuk mempertahankan wilayahnya (Epp, 1849:247). Anderson (1982:75-76) melukiskan bahwa betapa kekejaman Belanda tak bertara sewaktu menguasai Blambangan terutama dalam tahun 1767-1781. Dengan merujuk catatan Bosch yang ditulis dari Bondowoso, Anderson mengatakan: “daerah inilah barangkali satu-satunya di seluruh Jawa yang suatu ketika pernah berpenduduk padat yang telah dibinasakan sama sekali…”.
Pendudukan dan penaklukan yang bertubi-tubi itu ternyata justru membuat rakyat Blambangan semakin patriotik dan mempunyai semangat resistensi yang sangat kuat. Cortesao, seperti yang dikutip oleh Herusantosa (1987:13), dengan merujuk pada Tome Pires, menyebut “rakyat Blambangan sebagai rakyat yang mempunyai sifat “warlike”, suka berperang dan selalu siap tempur, selalu ingin dan berusaha membebaskan wilayahnya dari kekuasaan pihak lain”. Scholte (1927:146) menyatakan:
“Sejarah Blambangan sangat menyedihkan. Suku bangsa Blambangan terus berkurang karena terbunuh oleh kekuatan-kekuatan yang berturut-turut melanda daerah tersebut, seperti kekuatan Mataram, Bali, Bugis dan Makassar, para perampok Cina, dan akhirnya VOC. Tetapi semangat rakyat Blambangan tidak pernah sama sekali padam, dan keturunannya yang ada sekarang merupakan suku bangsa yang gagah fisiknya dan kepribadian serta berkembang dengan pesat, berpegang teguh pada adat-istiadat, tetapi juga mudah menerima peradaban baru”. Rakyat Blambangan, seperti yang disebut-sebut dalam berbagai sumber di atas, itulah yang selama ini dinyatakan sebagai cikal-bakal wong Using atau sisa-sisa wong blambangan.


ASAL USUL 
Predikat Using dilekatkan kepada masyarakat Blambangan karena kecenderungan mereka menarik diri dari pergaulan dengan masyarakat pendatang pasca perang Puputan Bayu. Pendudukan VOC di Blambangan tentu saja memerlukan banyak tenaga kerja untuk menjalankan usaha-usaha eksploitasi di Blambangan. Oleh karena itu, kemudian VOC mendatangkan banyak pekerja dari Jawa Tengah dan Madura dalam jumlah besar,sementara sisa-sisa masyarakat Blambangan /wong osing yang mayoritas telah memilih untuk mengucilkan diri di pegunungan.
Sesekali interaksi terjadi, antara masyarakat asli dan pendatang. Dalam interaksi tersebut, masyarakat asli acapkali menggunakan istilah “sing” atau “hing” yang berarti “tidak”. Dari sanalah penamaan Wong Using berasal. Sementara masyarakat asli menyebut kaum pendatang dengan istilah “Wong Kiye”. Selain perkataan “tidak” yang mencirikan penolakan interaksi dengan pendatang, masyarakat Using juga menggunakan peristilahan yang “kasar” seperti asu, celeng, luwak, bajul atau bojok. Menurut Hasnan Singodimayan, peristilahan itu selain sebagai bahasa sandi juga mempertegas penolakan masyarakat Using terhadap berbagai bentuk “penjajahan” yang dialami dalam perjalanan sejarah mereka.
Penduduk sisa-sisa rakyat Blambangan yang mendiami wilayah Kabupaten Banyuwangi, sebagian Jember, Bondowoso, Situbondo dan Lumajang disebut masyarakat Using. Dulu sebelum dibakukan, banyak menulis dengan kata “Osing” kadang juga “Oseng”, namun setelah diurai secara fonetis oleh pakar Linguisitik dari Universitas Udayana Bali (Prof Heru Santoso), diperoleh kesepakatan resmi dengan menulis kata “Using” yang berarti “Tidak”. Pertanyaannya, kenapa orang asli Blambangan disebut Using? Penyebutan itu, sebetulnya bukan permintaan orang-orang Blambangan. Ini lebih merupakan ungkapan prustasi dari penjajah Belanda saat itu, karena selalu gagal membunjuk orang-orang sisa Kerajaan Blambangan untuk bekerja sama. Kendati pimpinan mereka sudah dikalahkan, tetapi tidak secara otomatis menyerah kepada musuh. Sikap yang sama, juga ditujukkan saat awal-awal Orde Baru berkuasa, orang Banyuwangi paling susah diajak kerja sama, atau menjadi pegawai Negeri. Mereka masih menganggap, pemerintahan yang ada tidak jauh berbeda dengan penjajah Belanda.
Meski akhirnya sikap “Sing” ini berangsur-angsur melunak, dengan banyaknya orang Using yang menjadi pegawai negeri, atau masuk ranah-ranah publik yang sebelumnya tidak pernah dilakukan, namun nama “Using” sudah terlanjur melekat. Bahkan tumbuh kebanggan kolektif, bila disebut sebagai orang Using. Setelah generasi-generasi muda itu, tahu sejarah bagaimana nenek moyangnya berjuang mati-matian, mempertahankan wilayah dan harga diri.
Perang “Puputan” atau juga dikenal perang habis-habisan, akhirnya dijadikan tonggak hari lahirnya Kabupaten Banyuwangi. Pertimbangannya, semangat heroik dari tentara Blambangan ini diharapkan bisa menjadi tauladan. Bahkan seorang penulis asal Belanda menyebutkan, jika rakyat Blambangan hanya tinggal berapa ribu saja. Sebagai bentuk penekanan terhadap warkat Blambangan, kepala laskar Blambangan yang kalah perang, ditancapkan di sepanjang jalan. Meski demikian, sisa rakyat Blambangan tidak langsung menyerah dan tunduk kepada musuh. Mereka memilih mengungsi ke gunung atau membentuk kelompok-kelompok kecil. Mereka berkomunikasi menggunakan bahasa-bahasa sandi, berupa nama-nama bintang. Kelang bahasa sandi ini menjadi umpatan khas wong Using. Selain itu, bahasa Using dikenal mempunyai ratusan dialek. Setiap kampung-kampung Using, bisa diidentifikasi dari cara mereka berbicara dan berpakaian. Misalnya dalam satu pertemuan besar di sebuah lapangan, maka mereka akan mudah mengenali orang Using dari daerah mana, dari cara mereka berbicara.
Selain itu, ternyata kampung-kampung Using tidak ada yang menghadap jalan raya. Umumnya kampung Using itu merupakan jalan kecil dari sebuah jalan raya beraspal, kemudian di kawasan itu berjubel pemukiman. Meski berada di pedesaan, namun kampung-kampung Using terkenal padat. Ini ternyata tidak lepas dari sejarah masa lalu wong Using yang selalu dilanda ketakutan, pasca kekalahan laskar Blambangan pada Perang Puputan Bayu. Mereka selalu berkelompok dan selalu mewaspadai kedatangan orang asing.
Akibat tidak mau bekerja sama dengan Belanda, praktis Wong Using mengkonsentrasikan hidupnya di sektor pertanian. Sementara sentra-sentra perekonomian lain di Banyuwangi, justru banyak ditempati orang di luar Banyuwangi. Sektor perkebunan yang rata-rata saat itu milik Belanda dan Inggris, banyak dikerjakan orang Madura. Saat itu, wong Using sangat menolak keras kerja sama dengan Belanda dan pemilik kebun. Sektor laut, justru banyak dilakukan orang-orang dari Madura, seperti di Muncar. Sektor pemerintahan bisa ditebak, tidak ada orang-orang Using yang mau bekerja di sektor ini. Meski diantara mereka ada yang sekolah hingga perguruan tinggi, namun tidak begitu saja orang-orang Using mengijinkan anaknya menjadi pegawai negeri. Mereka masih beranggapan, pemerintahan itu adalah penjajah, karena melanjutkan pemerintahan yang dibentuk Belanda. Sikap menolak bekerjasama dengan musuh ini, bisa dilihat dari keberadaan Pabrik Gula. Meski Banyuwangi merupakan wilayah pertanian yang subur, namun Belanda saat itu tidak berhasil memaksa warga Banyuwangi untuk menanam tebu sebagai pemasok pabrik gula. Padahal di Jember dan Situbondo, bertengger sejumlah pabrik gula. Nyaris kehidupan feodal hanya tumbuh di perkebunan, seperti di wilayah Glenmore dan Kalibaru.
Dari aspek seni-budaya, orang luar banyak menyatakan. jika budaya dan kesenian Banyuwangi merupakan perpaduan Jawa-Madura dan Bali. Pernyataan ini memang tidak terbantahkan, karena letak geografis Banyuwangi yang berdekatan dengan Bali. Namun ada yang menarik dari catatan Sejarawan asal Belanda TG. Pigeaud dalam bukunya Runtuhkan Kerajaan Mataram Islam. Dalam buku itu disebutkan. jika wilayah Kerajaan Blambangan saat itu, menjadi rebutan antara Kerajaan Mataram di bawah Sultan Agung dengan kerajaan Mengwi di Bali. Dr. Theodoor Gautier Thomas Pigeaud menyatakan, suatusaat pengaruh Bali sangat kuat dalam segala aspek kehidupan rakyat Blambangan, maka saat itu pula pengaruh Mataram melemah. Namun apabila Mataram sudah bisa mengusai kembali sendi-sendi kehidupan di Blambangan, saat itu juga pengarusnya secara sosial kemasyarakat juga akan kuat. Dalam proses inilah, lahir kesenian semacam Janger yang mirip dengan langedrian yang ada di Yogyakarta, dengan cerita diambil dari Serat Damarwulan yang ditulis Pujangga di Kerajaan Mataram. Atau Kesenian Praburoro yang mengabil cerita Hikayat Amir Hamzah (Kata orang Using: Amir Ambyah), kesenian ini juga bisa ditemukan di Sleman DIY. Janger bentuk sampaan seperti Ketoprak, sedang Praburoro seperti Wayang Orang. Namun mocopat yang berkembang di Banyuwangi, bukan berasal dari kalangan Keraton, melainkan mocopat pesisiran. Nama-nama pupuhnya hampir sama, hanya ada penekanan pada pupuh-pupuh tertentu.
Setelah itu, orang-orang Mataraman atau bisa disebut Jowo Kulon mulai masuk Banyuwangi, trerutama daerah selatan. Mereka juga membawa kesenian, seperti wayang, Reog Ponorogo dan kesenian Jawa lainnya. Namun dalam perkembangannya, terjadi asimilasi. Misalnya, secara teknis seniman Banyuwangi itu mempunyai ciri khas dalam memukul alat musik, yaitu tekhnik timpalan. Ini terjadi baik cara memukul gamelan, maupun rebana (terbang).
Namun dalam kehidupan sosial, kadang orang-orang pendatang ini merasa lebih tinggi dibanding orang asli Banyuwangi. Mereka memang mengusai sektor-sektor formal. Misalnya pegawai Negeri di Kabupaten hingga Kecamatan, banyak dijabat orang pendatang. Mereka yang masih selaran dengan perjuangan Mataram ini, kadang memandang orang asli Banyuwangi sebelah mata. Padangan orang terbelakang dan tidak mau diajak maju, kadang sulit dihilangkan. Apalagi pada saat jaman pergolakan poilitik, kesenian dan senimam Banyuwangi yang yang tergabung dan digunakan propaganda oleh PKI. Lengkap sudah penderitaan sisa-sisa Laskar Blambangan ini.
Sebagai pemilik syah atas warisan leluhurnya,ternyata orang-orang Using sangat sulit memperjuangkan Bahasa Using sebagai materi ajar di sejumlah sekolah dasar. Ini tidak heran, karena para pejabat di Pemkab Banyuwangi dan Dinas Pendidikan saat itu, memang dijabat orang Jowo Kulonan. Mereka masih beragapan sebagai penjajah, karena menganggap Bahasa using sebagai sub-dealek dari Bahasa Jawa. Padahal berdasarkan penelitian Profersor Heru Santoso, Using bukan sebagai dialek-Jawa,tetapi sudah merupakan bahasa sendiri. Tentu kaidah-kaidah menetukan suatu bahasa disebut bahasa sendiri, bukan sebagai dialek, sudah dikupas panjang lebar oleh Pakar Linguistik dari Udayana Bali ini.
Bahkan peneliti dari Balai Bahasa Yogyakarta, Wedawaty menyebutkan, jika bahasa Using dan Bahasa Jawa itu kedudukannya sama sebagai turunan dari Bahasa Jawa Kuno ayau Bahasa Kawi. Bahasa Jawa sekarang lebih berkembang, terutama adanya strata atau tingkatan bahasa sesuai kasta dan umur. Namun bahasa Using terlihat lebih statis, karena tidak mengenal tingkatan tutur, seperti Bahasa kawi induknya. Bahkan Budayawan using, Hasan Ali menduga, kota kata Bahasa Bali dalam Balines-Nederland yang disusun seorang misionaris Belanda adalah kota kata Bahasa using, karena penyusunlan puluhan tahun tinggal di Blambangan, sebelum bisa menyebrang ke Bali.
Alahmdullah, setelah puluhan tahun perjuangan, akhirnya Bahasa Using diajarkan di tingkat SD dan SMP. Ini tidak lepas dari uapaya keras dari Budayan yang tergabung dalam Dewan Kesenian Blambangan (DKB) dan Budayawan Hasan Ali yang menyusun Kamu Using. Berngasur-angsur wong Using juga mulai menunjukkan eksistensi dalam berbagai aspek kehidupan. Bahkan sempat menempatkan Syamsul Hadi yang orang Using sebagai Bupati, meski akhirnya terjerat sejumlah kasus korupsi. Sebelumnya, Bupati Banyuwangi selalu dijabat orang dari luar dan tentara tentunya. Saat Orde Lama pernah dijabat M Yusuf, itupun sementara setelah Bupati aslinya terlibat PKI. Saat Orde Baru, ternyata meneruskan Mataram. Bisa percaya bisa tidak, dua pejabat Bupati banyuwangi berasal dari Mojokerto (dulu Majapahit), yaitu Djoko Supaat dan T. Pornomo Sidik. Saat Mataram menguasai Blambangan, juga menggunakan backgorund Majahit dalam cerita Damarwulan untuk mendiskreditkan Raja Blambangan.

SITUS-SITUS BUMI BLAMBANGAN

- Makam-Makam Bupati Banyuwangi
Barat pengimaman masjid Baiturrohman terdapat makam-makam bupati Banyuwangi antara lain : Wiroguno II (1782-1818), Suronegoro (1818-1832), Wiryodono Adiningrat (1832-1867), Pringgokusumo (1867-1881), Astro Kusumo (1881-1889), sedangkan Bupati pertama Banyuwangi Mas Alit (1773-1781) gugur dan dimakamkan di Karang Asem Sedayu. Hanya bajunya saja yang dikebumikan di taman pemakaman tersebut.

- Masjid Jami’ Baiturrohman
Tanah wakaf dari masa (Wiroguno I) yang direhap pertama kali pada masa Raden Tumenggung Pringgokusumo. Dulu terdapat kaligrafi bertuliskan Allah Muhammad yang ditulis oleh Mas Muhammad Saleh dengan pengikutnya Mas Saelan. Mulai tahun 2005 sampai sekarang Masjid ini masih dalam tahap renovasi dan akan menjadi salah satu aikon Banyuwangi setelah selesai di renovasi.

- Sumur Sri Tanjung
Ditemukan pada masa Raden Tumenggung Notodiningrat (1912-1920). Terletak di timur Pendopo Kabupaten. Sri tanjung dan Sidopekso merupakan legenda turun-menurun yang merupakan kisah asmara dan kesetiaan yang merupakan cikal bakal Banyuwangi.
Konon jika sewaktu-waktu air sumur berubah bau menjadi wangi maka itu akan menjadi suatu pertanda baik / buruk yang akan menimpa suatu daerah ataupun bangsa ini.


- Musium Blambangan
Berlokasi di Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Banyuwangi. Awalnya didirikan oleh Bupati Banyuwangi Djoko Supaat Selamet yang berkuasa pada tahun (1966-1978) di kompleks pendopo Kabupaten Banyuwangi namun pada tahun 2004 Musium direlokasikan di Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Banyuwangi hingga sekarang.
Koleksi yang dimiliki oleh museum antara lain: Berbagai macam kain batik, contoh rumah adat using Banyuwangi, kain-kain dari masa lampau, replica seni musik angklung, aneka macam senjata perang, alat-alat musik peninggalan Belanda, dan yang paling menarik perhatian pengunjung untuk melihat replica Barong dan penari Gandrong yang menjadi simbol Kota Banyuwangi

- Sonangkaryo
Sonangkaryo adalah umbul-umbul kerajinan Blambangan, menurut Mishadi hasil wawancara dengan Sayu Darmani (Tumenggungan) bahwa ibunya yang bernama Sayu Suwarsih telah lama menyimpan Sonangkaryo tersebut, namun ketika dirasa tidak kuat lagi mengemban amanah tersebut, maka dibuanglah satu kotak pusaka yang berisi umbul-umbul Sonangkaryo, Cemeti, dan Lebah penari musuh.

- Tugu TNI 0032
Taman Makam pahlawan yang terletak di bibir pantai Boom merupakan pertempuran tentara laut NKRI yang dipimpin oleh Letnan Laut Sulaiman melawan AL, AD, dan AU Belanda pada tanggal 21 Juli 1947. Tugu tersebut disahkan oleh Presiden RI yang pertama yaitu Bung Karno.

- Benteng Ultrech (Kodim)
Berada di batas selatan markas Kodim, dulu terdapat rumah nuansa Portugis yang dijadikan sebagai tempat pengintaian Balanda terhadap gerak-gerik orang Blambangan di pendopo pada masa pemerintahan Mas Alit.

- Inggrisan
Dibangun oleh Belanda sekitar tahun 1766-1811, yang luasnya sekitar satu hektar, merupakan markas yang dulunya bernama Singodilaga, kemudian diganti dengan nama Loji (Inggris = Lodge, artinya penginapan / pintu penjagaan) yang disekitarnya dibangun lorong-lorong terhubung dengan Kali Lo (Selatan), dan Boom (Timur) akhirnya diserahkan kepada Inggris setelah Belanda kalah perang (Sumber Java’s Last Frontier, Margono. 2007),selatan berupa perkantoran yang disebut Bire (Sekarang Telkom) dan kantor pos, di daerah tersebut pernah terjadi peristiwa yang hamper mirip dengan peristiwa di hotel Yamato, Surabaya, yaitu orang-orang Blambangan dengan berani merobek bendera belanda yang berwarna merah putih biru menjadi merah putih saja.
Depan Inggrisan terdapat Tegal Loji, selatannya adalah perkampungan Belanda (Kulon dam), timurnya adalah Benteng Ultrech dan tempat penimbunan kayu gelondongan (sekarang Gedung Wanita) sebelah utara dulu sebagai kantor regent dan garasi kuda mayat (sekarang Bank Jatim) dan perumahan Kodim sekarang, dulu adalah markas polisi Jepang / kompetoi lalu jaman Belanda dijadikan perumahan svout.

- Makam Datuk Malik Ibrahim
Salah satu Waliyullah keturunan Arab Saudi yang banyak di kunjungi peziarah dari dalam dan luar Banyuwangi terletak di Desa Lateng Banyuwangi.

- Konco Hoo Tong Bio<
Terletak di Pecinan kecamatan kota Banyuwangi pada waktu terjadi pembantaian orang-orang Cina oleh VOC di Batavia, seorang yang bernama Tan Hu Cin Jin dari dratan Cina yang menaiki perahu bertiang satu.
Perahu tersebut kandas di sekitar pakem dan Tan Hu Cin Jin memutuskan menetap di wilayah Banyuwangi. Untuk mengenang peristiwa tersebut, didirikanlah klenteng Hoo Tong Bio.
Setiap tanggal 1 bulan Ciu Gwee (kalender cina), pada tengah malam sebelum tahun baru diadakan sembahyang bersama. Dalam acara tahun baru Imlek kesenian barong Said an Kong-kong ditampilkan, kemudian ada sebuah acara yang disebut Cap Go Mee dirayakan pada hari ke 15 sesudah tahun baru Imlek, dengan mengarak patung yang Maha Kong Co Tan Hu Cin Jin keliling disekitar kampung pecinan. Hal ini dimaksud kan untuk menolak bala’ dan mengharap berkah kepada Tuhan. Acara ini dimiriahkan dengan tarian barongsai dan berbagai kesenian daerah lainnya. Makanan khas yang disajikan adalah lontong Cap Go Mee.

Tak hanya itu, Hari ulang tahun tempat ibadah Tri Dharma “Hoo tong Bio” yang dibangun pada tahun 1781, ucapan itu bertujuan untuk memperingati kebesaran yang mulia Kong Co Tan Hu Cin Jin dan biasanya doadakan pd tanggal 27 Agustus.

- Watu Dodol
Sebuah batu besar terletak di daerah ketapang yang pernah ditarik oleh kapal Jepang, pernah dijadikan benteng pertahanan Jepang pada masa perang dunia II, dan pada maa setelah kemerdekaan dijadikan tempat pendaratan Belanda antara lain 14 April 1946 yang mendapatkan perlwanan orang Banyuwangi dibawah kepemimpinan Pak Musahra (orang tua dari Lurah Astroyu), 20 Juli 1946 Belanda mendapatkan perlawanan dari Yon Macan Putih yang dipimpin oleh Raden Abdul Rifa’I dan Letnan Ateng Yogasana, 21 Juli 1947, Yon Macan Putih yang berhasil menenggelamkan&nbsp; kapal dan tengker milik Belanda.
Sejak dahulu kala tempat ini dijadikan tempat Upacara Agama Hindu yaitu Jala Dipuja / Melasti / Melayis yang di maksud untuk memohon anugerah dari penguasa laut, pelaksanaannya bertepatan pada saat mentari bergeser ke Utara khatulistiwa sebelum datangnya hari raya Nyepi.
Upacara ini dipimpin oleh seorang pendeta yang memberkati umatnya dengan cara mencipratkan “Tirta Suci” yaitu air suci yang diambil dari sumur pitu (tujuh sumber air). Beberapa sesaji diarak ke laut atau di mata air.




0 Responses