SUKU OSING
Terdapat sekelompok masyarakat yang cukup terkenal. yaitu suku osing, menurut ceritanya suku osing berasal dari orang-orang yang mengasingkan diri dari kerajaan majapahit setelah kerajaan ini mulai runtuh sekitar tahun 1478 masehi. keberadaan masyarakat osing dibanyuwangi dapat ditemui terutama didesa wisata kemiren, desa ini berpenduduk sekitar 2,4 ribu jiwa (data tahun 2006) dan mulai ditetapkan sebagai desa wisata sejak tahun 1993 oleh pemerintah setempat.
Dalam sejarahnya Kerajaan Mataram Islam tidak pernah menancapkan kekuasaanya atas Kerajaan Blambangan, hal inilah yang menyebabkan kebudayaan masyarakat Osing mempunyai perbedaan yang cukup signifikan dibandingkan dengan Suku Jawa. Suku Osing mempunyai kedekatan yang cukup besar dengan masyarakat Bali, hal ini sangat terluhat dari kesenian tradisional Gandrung yang mempunyai kemiripan dengan tari-tari tradisional bali lainnya, termasuk juga busana tari dan instrumen musiknya. Kemiripan lain tercermin dari arsitektur bangunan antar Suku Osing dan Suku Bali yang mempunyai banyak persamaan, terutama pada hiasan di bagian atap bangunan.
Suku Using adalah penduduk asli Banyuwangi atau juga disebut sebagai "wong Blambangan" dan merupakan penduduk mayoritas di beberapa kecamatan di Kabupaten Banyuwangi.
Deskripsi masyarakat
using
Using
merupakan nama bagi satu diantara lima cultur area yang terdapat di Jawa Timur
(Sariono dkk, 2002). Masyarakat osing tersebut
kurang lebih menempati wilayah kabupaten Jember. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan
Bappeda Banyuwangi, diketahui ada beberapa daerah yang masyarakatnya masih
dianggap memiliki budaya “asli osing”, yakni Desa Kemire, Kecamatan Glagah ,
Kabupaten Banyuwangi (Bappeda 2002).
Terdapat sekelompok masyarakat yang cukup terkenal. yaitu suku osing, menurut ceritanya suku osing berasal dari orang-orang yang mengasingkan diri dari kerajaan majapahit setelah kerajaan ini mulai runtuh sekitar tahun 1478 masehi. keberadaan masyarakat osing dibanyuwangi dapat ditemui terutama didesa wisata kemiren, desa ini berpenduduk sekitar 2,4 ribu jiwa (data tahun 2006) dan mulai ditetapkan sebagai desa wisata sejak tahun 1993 oleh pemerintah setempat.
SEJARAH SINGKAT BANYUWANGI
Merujuk data sejarah yang ada, sepanjang sejarah Blambangan kiranya tanggal 18 Desember 1771 merupakan peristiwa sejarah yang paling tua yang patut diangkat sebagai hari jadi Banyuwangi. Sebelum peristiwa puncak perang Puputan Bayu tersebut sebenarnya ada peristiwa lain yang mendahuluinya, yang juga heroik-patriotik, yaitu peristiwa penyerangan para pejuang Blambangan di bawah pimpinan Pangeran Puger ( putra Wong Agung Wilis ) ke benteng VOC di Banyualit pada tahun 1768.
Namun sayang peristiwa tersebut tidak tercatat secara lengkap pertanggalannya, dan selain itu terkesan bahwa dalam penyerangan tersebut kita kalah total, sedang pihak musuh hampir tidak menderita kerugian apapun. Pada peristiwa ini Pangeran Puger gugur, sedang Wong Agung Wilis, setelah Lateng dihancurkan, terluka, tertangkap dan kemudian dibuang ke Pulau Banda ( Lekkerkerker, 1923 ).
Berdasarkan data sejarah nama Banyuwangi tidak dapat terlepas dengan keajayaan Blambangan. Sejak jaman Pangeran Tawang Alun (1655-1691) dan Pangeran Danuningrat (1736-1763), bahkan juga sampai ketika Blambangan berada di bawah perlindungan Bali (1763-1767), VOC belum pernah tertarik untuk memasuki dan mengelola Blambangan ( Ibid.1923 :1045 ).
Pada tahun 1743 Jawa Bagian Timur ( termasuk Blambangan ) diserahkan oleh Pakubuwono II kepada VOC, VOC merasa Blambangan memang sudah menjadi miliknya. Namun untuk sementara masih dibiarkan sebagai barang simpanan, yang baru akan dikelola sewaktu-waktu, kalau sudah diperlukan. Bahkan ketika Danuningrat memina bantuan VOC untuk melepaskan diri dari Bali, VOC masih belum tertarik untuk melihat ke Blambangan (Ibid 1923:1046).
Namun barulah setelah Inggris menjalin hubungan dagang dengan Blambangan dan mendirikan kantor dagangnya (komplek Inggrisan sekarang) pada tahun 1766 di bandar kecil Banyuwangi ( yang pada waktu itu juga disebut Tirtaganda, Tirtaarum atau Toyaarum), maka VOC langsung bergerak untuk segera merebut Banyuwangi dan mengamankan seluruh Blambangan. Secara umum dalam peprangan yang terjadi pada tahun 1767-1772 ( 5 tahun ) itu, VOC memang berusaha untuk merebut seluruh Blambangan. Namun secara khusus sebenarnya VOC terdorong untuk segera merebut Banyuwangi, yang pada waktu itu sudah mulai berkembang menjadi pusat perdagangan di Blambangan, yang telah dikuasai Inggris.
Dengan demikian jelas, bahwa lahirnya sebuah tempat yag kemudian menjadi terkenal dengan nama Banyuwangi, telah menjadi kasus-beli terjadinya peperangan dahsyat, perang Puputan Bayu. Kalau sekiranya Inggris tidak bercokol di Banyuwangi pada tahun 1766, mungkin VOC tidak akan buru-buru melakukan ekspansinya ke Blambangan pada tahun 1767. Dan karena itu mungkin perang Puputan Bayu tidak akan terjadi ( puncaknya ) pada tanggal 18 Desember 1771. Dengan demikian pasti terdapat hubungan yang erat perang Puputan Bayu dengan lahirnya sebuah tempat yang bernama Banyuwangi. Dengan perkataan lain, perang Puputan Bayu merupakan bagian dari proses lahirnya Banyuwangi. Karena itu, penetapan tanggal 18 Desember 1771 sebagai hari jadi Banyuwangi sesungguhnya sangat rasional
Merujuk data sejarah yang ada, sepanjang sejarah Blambangan kiranya tanggal 18 Desember 1771 merupakan peristiwa sejarah yang paling tua yang patut diangkat sebagai hari jadi Banyuwangi. Sebelum peristiwa puncak perang Puputan Bayu tersebut sebenarnya ada peristiwa lain yang mendahuluinya, yang juga heroik-patriotik, yaitu peristiwa penyerangan para pejuang Blambangan di bawah pimpinan Pangeran Puger ( putra Wong Agung Wilis ) ke benteng VOC di Banyualit pada tahun 1768.
Namun sayang peristiwa tersebut tidak tercatat secara lengkap pertanggalannya, dan selain itu terkesan bahwa dalam penyerangan tersebut kita kalah total, sedang pihak musuh hampir tidak menderita kerugian apapun. Pada peristiwa ini Pangeran Puger gugur, sedang Wong Agung Wilis, setelah Lateng dihancurkan, terluka, tertangkap dan kemudian dibuang ke Pulau Banda ( Lekkerkerker, 1923 ).
Berdasarkan data sejarah nama Banyuwangi tidak dapat terlepas dengan keajayaan Blambangan. Sejak jaman Pangeran Tawang Alun (1655-1691) dan Pangeran Danuningrat (1736-1763), bahkan juga sampai ketika Blambangan berada di bawah perlindungan Bali (1763-1767), VOC belum pernah tertarik untuk memasuki dan mengelola Blambangan ( Ibid.1923 :1045 ).
Pada tahun 1743 Jawa Bagian Timur ( termasuk Blambangan ) diserahkan oleh Pakubuwono II kepada VOC, VOC merasa Blambangan memang sudah menjadi miliknya. Namun untuk sementara masih dibiarkan sebagai barang simpanan, yang baru akan dikelola sewaktu-waktu, kalau sudah diperlukan. Bahkan ketika Danuningrat memina bantuan VOC untuk melepaskan diri dari Bali, VOC masih belum tertarik untuk melihat ke Blambangan (Ibid 1923:1046).
Namun barulah setelah Inggris menjalin hubungan dagang dengan Blambangan dan mendirikan kantor dagangnya (komplek Inggrisan sekarang) pada tahun 1766 di bandar kecil Banyuwangi ( yang pada waktu itu juga disebut Tirtaganda, Tirtaarum atau Toyaarum), maka VOC langsung bergerak untuk segera merebut Banyuwangi dan mengamankan seluruh Blambangan. Secara umum dalam peprangan yang terjadi pada tahun 1767-1772 ( 5 tahun ) itu, VOC memang berusaha untuk merebut seluruh Blambangan. Namun secara khusus sebenarnya VOC terdorong untuk segera merebut Banyuwangi, yang pada waktu itu sudah mulai berkembang menjadi pusat perdagangan di Blambangan, yang telah dikuasai Inggris.
Dengan demikian jelas, bahwa lahirnya sebuah tempat yag kemudian menjadi terkenal dengan nama Banyuwangi, telah menjadi kasus-beli terjadinya peperangan dahsyat, perang Puputan Bayu. Kalau sekiranya Inggris tidak bercokol di Banyuwangi pada tahun 1766, mungkin VOC tidak akan buru-buru melakukan ekspansinya ke Blambangan pada tahun 1767. Dan karena itu mungkin perang Puputan Bayu tidak akan terjadi ( puncaknya ) pada tanggal 18 Desember 1771. Dengan demikian pasti terdapat hubungan yang erat perang Puputan Bayu dengan lahirnya sebuah tempat yang bernama Banyuwangi. Dengan perkataan lain, perang Puputan Bayu merupakan bagian dari proses lahirnya Banyuwangi. Karena itu, penetapan tanggal 18 Desember 1771 sebagai hari jadi Banyuwangi sesungguhnya sangat rasional
SEJARAH
KERAJAAN BLAMBANGAN
Kerajaan Blambangan adalah kerajaan yang berpusat di kawasan Blambangan, sebelah selatan Banyuwangi. Raja yang terakhir menduduki singgasana adalah Prabu Minakjinggo. Kerajaan ini telah ada pada akhir era Majapahit. Blambangan dianggap sebagai kerajaan bercorak Hindu terakhir di Jawa.
Sebelum menjadi kerajaan berdaulat, Blambangan termasuk wilayah Kerajaan Bali. Usaha penaklukan kerajaan Mataram Islam terhadap Blambangan tidak berhasil. Inilah yang menyebabkan mengapa kawasan Blambangan (dan Banyuwangi pada umumnya) tidak pernah masuk pada budaya Jawa Tengahan, sehingga kawasan tersebut hingga kini memiliki ragam bahasa yang cukup berbeda dengan bahasa Jawa baku. Pengaruh Bali juga tampak pada berbagai bentuk kesenian tari yang berasal dari wilayah Blambangan.
Kerajaan Blambangan adalah kerajaan yang berpusat di kawasan Blambangan, sebelah selatan Banyuwangi. Raja yang terakhir menduduki singgasana adalah Prabu Minakjinggo. Kerajaan ini telah ada pada akhir era Majapahit. Blambangan dianggap sebagai kerajaan bercorak Hindu terakhir di Jawa.
Sebelum menjadi kerajaan berdaulat, Blambangan termasuk wilayah Kerajaan Bali. Usaha penaklukan kerajaan Mataram Islam terhadap Blambangan tidak berhasil. Inilah yang menyebabkan mengapa kawasan Blambangan (dan Banyuwangi pada umumnya) tidak pernah masuk pada budaya Jawa Tengahan, sehingga kawasan tersebut hingga kini memiliki ragam bahasa yang cukup berbeda dengan bahasa Jawa baku. Pengaruh Bali juga tampak pada berbagai bentuk kesenian tari yang berasal dari wilayah Blambangan.
Negeri ini sebenarnya tidak bisa dipisahkan dengan
Majapahit, karena seperti tercantum dalam Prasasti Gunung Butak,
(1294), menyebutkan adanya perjanjian antara Raden Wijaya sebagai pendiri
kerajaan Majapahit dengan Arya Wiraraja yang telah banyak membantu dalam
perintisan dan pembentukan kerajaan Majapahit bahwa “pulau Jawa akan dibagi
menjadi dua bagian dan masing-masing mendapat sebagian.” Dalam perjanjian itu
Arya Wiraraja diberi kekuasaan atas wilayah Lumajang Utara, Lumajang Selatan,
dan Tigang Juru . Arya Wiraraja kemudian diangkat secara resmi sebagai adipati
pertama (Lekkerkerker, 1923:220). Majapahit ibaratnya pinang dibelah dua,
sebelah barat disebut Majapahit Kedaton Kulon dan sebelah timur disebut
Majapahit Kedaton Wetan. Kedua bagian Majapahit memiliki keunggulan yang saling
melengkapi. Dan sejarah Majapahit ditentukan oleh hubungan dua bagian
ini. Ketika kedua sanak kadang ini bersatu maka Majapahit mencapai kejayaan ,
dan ketika terbelah maka suramlah Majapahit. Sejarahwan telah banyak mencatat
tentang Majapahit Kedaton Kulon, tetapi sedikit sekali yang menulis tentang
Majapahit Kedaton Wetan.Syukurlah karena pada akhir akhir ini perhatian
pada Majapahit Kedaton Wetan mulai ada.
Majapahit Kedaton Wetan memiliki banyak keistimewaan
maka pantaslah negeri ini mempunyai banyak julukan.Inilah julukan julukan
itu.
- 1.
BALUMBUNG : Negeri Yang makmur.
Majapahit Kedaton Wetan ternyata tumbuh menjadi
negeri yang subur dan makmur, dan menjadi lumbung pangan Majapahit.Tampilnya
Majapahit Kedaton Wetan sebagai lumbung pangan membuat Mpu
Prapanca dalam Kakawin Nagarakretagama , menyebut negeri ini sebagai Balumbun.
Dalam NAGARA KRTAGAMA , karya MPU PRAPANCA yang
ditulis pada abad ke 14 , pupuh 28 bait 1 ditulis;
Pira teki lawas nira patukanan…..Para mantri ri Bali
ri Madura ri Balumbun andalan ika karuhun …..sayawaksiti wetanumark
apuphul…….(Selama beliau (Prabu Hayamwuruk) hadir di Patukangan…..para menteri
dari Bali dari Madura dari Blambangan merupakan andalan Baginda….Dimana seluruh
daerah timur berkumpul)
Balumbung inilah kemudian ditafsirkan sebagai
Blambangan. Nama tempat Balumbung(an) merujuk Palumbungan yang mengandung
arti ‘tempat lumbung’ (Pigeaud via Darusupapta, 1984:12-13) Wong Using:
Sejarah Perlawanan dan Pewaris Menakjinggo Novi Anoegrajekti / Desantara
- 2.
BALABANG : Negeri Para Pemberani
Dalam pupuh 28, bait 1, Balumbun juga disebutkan
sebagai andalan Baginda, setara dengan Bali dan Madura.Suatu bukti bagaimana
pentingnya negeri ini bagi Majapahit.
Sebagai negeri andalan , Majapahit Kedaton Wetan
selain dikenal sebagai lumbung juga dikenal sebagai negeri para
pemberani. Keberanian prajurit Majapahit Kedaton Wetan terbukti sejak
masa berdirinya Majapahit, baik pada saat merebut Singhasari dari Jayakatwang
juga pada saat menghancurkan pasukan KUBILAI KHAN . Demikian juga pada
kisah keberanian dan ketangguhan prajurit Blambangan sudah menjadi buah
bibir sejak perselisihan Bre Wirabumi dan Raja Majapahit Wikrawardhana
mengakibatkan perang saudara pada 1404-1406 atau dikenal sebagai Perang
Paregreg. Penyebutan Perang Parereg menunjukan perang berlangsung berkali kali,
menang dan kalah silih berganti, Perang melawan Sultan Agung , maupun perang
Wong Agung Wilis, dan Pangeran Jagapati.
Inilah beberapa kutipan pendapat tentang
KEBERANIAN prajurit Majapahit Kedaton Wetan:
a.Thomas Stanford Rafless dalam bukunya Hystori
of Java menulis.
Sultan Agung mengingatkan , masih ada dua kerajaan
yang paling berbahaya belum terkalahkan yaitu Sumedang dan Blambangan ( hal :
509 ) . Pernyataan Sultan Agung mengisyaratkan bahwa usaha menaklukan
Blambangan yang dilakukan pada tahun 1639 M belum berhasil, meskipun Sultan
Agung telah mengerahkan 30.000 prajurit untuk menggempur Blambangan.
b. Novi Anoegrajekti / Desantara dalam Wong
Using: Sejarah Perlawanan dan Pewaris Menakjinggo mengutip pendapat sejarahwan
Cortesao, seperti yang dikutip oleh Herusantosa
(1987:13), dengan merujuk pada Tome Pires, menyebut “rakyat Blambangan sebagai
rakyat yang mempunyai sifat “warlike”, suka berperang dan selalu siap tempur,
selalu ingin dan berusaha membebaskan wilayahnya dari kekuasaan pihak lain”.
Scholte (1927:146) menyatakan: “Sejarah
Blambangan sangat menyedihkan. Suku bangsa Blambangan terus berkurang karena
terbunuh oleh kekuatan-kekuatan yang berturut-turut melanda daerah tersebut,
seperti kekuatan Mataram, Bali, Bugis dan Makassar, para perampok Cina, dan
akhirnya VOC. Tetapi semangat rakyat Blambangan tidak pernah padam sama sekali,
dan keturunannya yang ada sekarang merupakan suku bangsa yang gagah fisiknya
dan kepribadian serta berkembang dengan pesat, berpegang teguh pada
adat-istiadat, tetapi juga mudah menerima peradaban baru”.
c.TEMPO 13 September 2010 LASKAR TANGGUH dari Ujung
Timur Jawa Ika Ningtyas , Mahbub Djunaidi
Prajurit Blambangan kemudian dipercaya tangguh dan
sakti sehingga tidak terkalahkan. Bahkan, menurut sejarawan Sri Margana, mitos
yang berkembang di Mataram saat itu: prajurit Blambangan kebal terhadap
senjata, sehingga dijadikan ajang uji coba senjata-senjata baru yang dibuat
Mataram, baik keris maupun tombak. Jika mampu membunuh orang Blambangan,
senjata itu dianggap sakti dan layak dipakai perang oleh Mataram. Menurut
sejarawan dari Universitas Gadjah Mada ini, fakta yang diperoleh dari hasil
penelitiannya adalah prajurit Blambangan tangguh karena lebih menguasai medan
peperangan. Mereka berperang secara gerilya: menyerang mendadak kemudian
bersembunyi, serta membuat perangkap dan jebakan di jalan-jalan dan di atas
pohon. “Musuh sering diarahkan ke suatu tempat di mana perangkap-perangkap
telah disiapkan,” ujarnya.
d. I Made Sudjana dalam buku Nagari Tawon Madu
Kerajaan Blambangan , juga menetapkan persyaratan
kepemimpinan yang sangat ketat dalam memilih raja Blambangan . Syarat syarat
raja yang ditetapkan oleh Prabu Tawangalun adalah.
KALOKA, PRAWIRA . WIBAWA. BAHASA.(37) SUMBER BABAD
WILIS WINARSIH Aripin pupuh 1.17:49.
Empat syarat itu menunjukan , syarat KEBERANIAN.
- 3.
BARANGBRANGAN : Negeri Penyeberangan
Data teksual dalam babad Buleleng tentang sebutan
“Barangbrangan” (=tempat penyeberangan) dan Tirta Arum identik dengan nama
Banyuwangi (Worsley, 1972:124;158).
Majapahit Kedaton wetan juga patut disebut negeri
penyeberangan , tidak hanya menyeberang ke Bali, tetapi harus dipahami sebagai
pelabuhan yang dikenal oleh pelaut dan pedagang Nusantara, China, Portugal (
zaman Pasuruan ) maupun dikenal oleh pelaut dan pedagang Nusantara,
China, Belanda dan Inggris ( The Great Britain ) pada zaman pelabuhan
Ulupampang
Drs I Wayan Sudjana dalam Negeri Tawon Madu tentang
pelabuhan kerajaan Blambangan sebagai berikut;
Tentang
Panarukan
Jonno de Barros, Decada IV,buku I,bab 7 (Portugies).
Yang menulis bahwa pada bulan Juli 1528, Don Garcia Henriquez, tampaknya
berlabuh di pelabuhan Peneruca /Panarukan untuk mengisi perbekalan sebelum
melanjutkan perjalanan ke Malaka. Dan nampaknya raja Panarukan mengirim dutanya
pada Gubernur Portugies di Malaka.Tentang Peneruca dikemukakan bahwa sejak
tahun 1526 telah dikunjungi 20 buah kapal Portugis untuk membeli
perbekalan.Kerajaan Blambangan dianggap netral karena merupakan kerajaan Hindu,
sedang kerajaan di Jawa adalah kerajaaan Islam , dan Portugis sedang berperang
dengan kerajaan Islam ( Negeri Tawon Madu .22)
Tentang
Ulupampang
Disamping daerah yang sangat luas kerajaan Blambangan
juga memiliki pelabuhan Ulupampang /Muncar yang sangat ramai. Export Blambangan
meliputi sarang burung, beras, dan hasil hutan. Sejak tahun 1600 Pelabuhan
Ulupampang setiap tahun mengexport sarang burung seharga empat ribu found
sterling, 1 ton bahan lilin, dan 600 ton beras, dan hasil hutan lainnya.
Ulupampang dipenuhi perahu besar milik kerajaan, perahu besar bangsa
China, dan Bugis. Selain perahu tersebut, pelabuhan Ulupampang , setiap
setengah tahun disinggahi kapal Inggris yang berlayar ke Australia untuk
membeli perbekalan sejak tahun 1696. Tercatat yang mengunjungi Ulupampang
adalah Francis Drake , dengan membawa kapal The Paca berbobot 70 ton, dan
The Swan berbobot 50 ton.Juga Thomas Candish telah tinggal selama dua minggu di
Ulupampang , dengan membawa kapal “Pretty” dan” Wilhems (24.61)
- 4.
LAMBANG : Negeri Banyak Lambang
Konon kata Belambangan berasal dari kata
Lambang. Belambangan berarti mempunyai banyak lambang atau tempat lambang (Prof
DR. Ayu Santosa . Kamus Budaya dan Religi Using.36) . Hanya sayang Prof
DR Ayu Santosa , tidak menjelaskan lebih jauh.
- 5.
NEGERI TAWON MADU.
I Made Sudjana menyebut Belambangan
sebagai nagari Tawon Madu karena ibukota Blambangan pada abad ke 18 menjadi
simbol kekuasaan yang menentukan pasang surutnya eksistensi
Blambangan . Dalam tradisi Hindu rakyat akan selalu merujuk dan berteledan pada
perilaku raja .( Patrons client).Realitas sejarah mencatat bahwa kerajaan
Blambangan dapat bertahan selama lebih kurang karena ditunjang oleh satu faktor
utama , yakni keberhasilan para pewaris tahta Blambangand dalam mempertahankan
negeri. (Negeri Tawon Madu penerbit Sulanjari - Larasan
Sejarah 2001).
- 6.
NEGERI PARA MENAK
Negeri ini dicatat sebagai kerajaan Hindu , yang kuat
keyakinannya, ini terbukti gunung yang disucikan oleh penganut Hindu berada di
kawasan ini yaitu G. Semeru dan juga darah yang mengalir pada raja
rajanya adalah wangsa Sanggramawijaya, yaitu wangsa yang berasal dari keturunan
Ken Dedes dan Ken Arok ( wangsa Isyana) , dan apabila dilacak jauh ke abad ke
tujuh , maka inilah darah Arya yang mendirikan candi Prambanan. Oleh kareana
itu Hayamwuruk raja Agung Majapahit yang disucikan sebagai Syiwa di bumi, untuk
menjaga kemurnian darah Aryanya dikawinkan dengan putri adik kandungnya.
Sebagai negara Hindu yang sangat kuat maka tidak
mengherankan ketika Blambangan mencapai puncak kejayaan dibawah prabu
Tawangalun , ketika beliau wafat diikuti upacara Sati terbesar sepanjang
sejarah kerajaan Hindu di Indonesia yaitu 270 lebih orang istrinya dari
400 menerjunkan diri dalam upacara ngaben Prabu Tawangalun.
Tetapi anehnya raja besar di Blambangan mendapat
gelaran Menak. Bhree Wirabhumi mendapat gelaran Menak Jinggo. Putranya
Bhree Wirabhumi , Bhree Pakembangan mendapat gelar Menak Dadali Putih atau
Menak Sembuyu, Prabu Tawangalun mendapat gelaran Menak Kedawung. Dan gelaran
Menak dalam Serat Menak ( Betal Jemur, Menak Jambimambar) , adalah gelaran yang
diberikan pujangga Islam Jawa pada raja raja Islam ( Menak jayengrono). Ini
dapat diartikan bahwa meskipun Blambangan kerajaan Hindu raja rajanya
sangat dihormati oleh para wali .
Pemberian gelar ini dalam Babad Wali Sanga ternyata
tidak terlepas dari pengaruh Sunan Giri. Beliau adalah buyut Bhree Wirabhumi. (
Tulisan tentang Sunan Giri menyusul)
Tentu hal ini berbeda dengan kerajaan Surakarta , yang
Islamnya lebih dikenal Islam Abangan , yang sangat berbeda dengan Islamnya para
wali, sehingga gelaran Menak Jinggo dirubahnya menjadi bangsawan yang culas.
Sejarawan UGM Yogyakarta Dr. Sri Margana dalam
wawancaranya di Majalah Tempo (edisi 13 September 2010) mengemukakan, bahwa
cerita tentang Damarwulan vs Menakjingga ini merupakan Sinisme dan
delegimitasi terhadap Raja Blambangan
Cerita Damarwulan vs Menakjingga ini ditulis dalam
Serat Kanda atau Serat Damarwulan oleh sastrawan dari keraton Surakarta dan
dipentaskan dalam bentuk Langendrian oleh Mangkunegara IV (1853 sd 1881).
Cerita ini Kemudian dipopulerkan di Banyuwangi oleh penguasa Banyuwangi yang
masih berdarah Surakarta.
Apabila dikaitkan pada buku Serat Darmagandul yang
terbit tahun 1830 dari penulis ( Kalamwadi, nama samaran),yang menulis sinisme
terhadap Islam , maka sebenarnya serat Kanda juga menyiratkan adanya
sinisme kerajaan Surakarta kepada Islam karena ketakutan pada pengaruh perang
besar yang timbul di Jawa yaitu perang Diponegoro..
- 7.
NEGERI PARA WALI.
Negeri ini menjadi monumental karena dalam sejarah
perkembangan Islam negeri ini berkaitan langsung sentuhan langsung para wali (
seorang ulama yang mempunyai kedudukan tinggi dalam keyakinan ummat muslim
Jawa/Nusantara karena tingginya ilmu keagamaan dan ilmu tentang peradaban
Jawa/Nusantara. ) Beliau adalah ‘Ainul Yaqin/ Sunan Giri , putra
Syaich Wali Lanang Maulana Iskak /Syaich Sidik/putra Syaich Jamaludin Qubro,
beliau adalah keturunan Rasulullah yang mempersunting sang putri Sekar
Dalu/Sekar Dadu/ Dewi Kasihan, putri Bhree Pakembangan/Menak Dadali Petak/Menak
Sembuyu sebagai penyebar agama Islam di Blambangan .( Babad Blambangan(
versi Gancar), Babad Walisanga, terdapat juga dalam epitaf ( Prasasti pendek
pada nisan ) dari batu berangka tahun 1232(1310M) yang terdapat dalam situs
Troloyo Mojokerto . ( Seminar Hari jadi Banyuwangi 14).
Sunan Giri yang semasa kecil bernama R.Paku/R.Samudara adalah putra Syaich Wali
Lanang dengan putri Blambangan Sekar Dadu. Seorang Wali yang dikenal luas ilmu
Agamanya dan Ilmu Kenegaraannya.Pendiri pesantren pertama sebagai model
pendidikan Islam . Pemimpin Peralihan pada masa Majapapahit ke Demak,
King Maker Sultan di Nusantara, Pemimpin Para Wali setelah Sunan Ampel
mangkat, Paus Nusantara dan Tanah Melayu, karena hanya dengan persetujuannya
raja Islam dapat dikukuhkan, Pendamai antara Mataram dan Penguasa Jawa Timur,
Pendamai antara raja Hindu dan Islam.
Sunan Kalijaga, adalah seorang Wali yang menguasai ilmu agama dan
peradaban Jawa, beliau menjadi utusan para wali untuk menghadap Prabu Brawijaya
yang mengungsi ke Blambangan.Beliau berhasil meyakinkan Prabu Brawijaya bahwa
Islam akan menghormati Prabu Brawijaya sebagai raja Majapahit. (SERAT
Darmagandul, Ki Kalamwadi 1830).
- NEGERI
DI JAWA PALING AKHIR DIKUASAI BELANDA.
Para penulis sejarah Indonesia/ Jawa boleh saja
menulis bahwa Indonesia/Jawa telah dijajah oleh Belanda selama 350 tahun
( sejak 1662, ) tetapi itu hal hanya mitos untuk rakyat Majapahit Kedaton
Wetan, karena VOC baru dapat menundukan Majapahit Kedaton Wetan pada tahun
1771.
Suatu pernyataan yang tidak masuk akal karena
VOC ternyata menguasai daratan Jawa lainnya atau pulau pulau
lainnya yang jauh tidak berarti dari aspek perdagangan dan strategy daripada
daerah Blambangan. Blambangan seperti tersebut diatas adalah pusat lumbung
perbekalan Majapahit dan pusat perdagangan yang diakui oleh semua bangsa
Nusantara, China, Portugal , dan Inggris.
Namun pada akhir ini mulai muncul pendapat yang
berbeda ,yang lebih masuk akal , seperti tersebut dibawah ini;
Dalam bincang-bincang dengan,DR. Sri Margana
menyatakan bahwa Blambangan yang sangat menentang dominasi asing itu, hanya
bisa dikalahkan oleh VOC, disebabkan VOC yang melakukan politik ‘devida et
impera’ itu berhasil merangkul kerajaan Islam Mataram untuk bersama-sama
menaklukkan kerjaan Blambangan.Ibrahim Isa Alias Bramijn18 Des
2007,22.28:51WIB Lokhorstkerk, Pieterstraat 1, Leiden.
Kenapa negeri Blambangan tidak cepat dikuasai oleh
Belanda, jelaslah karena Blambangan adalah negeri para pemberani,( Seperti
disebutkan diatas) yang hebat dalam strategi dan kukuh dalam persatuan. Dan
untuk penaklukan Blambangan VOC harus mengeluarkan dana setara 80 ton Emas.
(Ika Ningtyas, Mahbub Djunaidi , Laskar Tangguh dari Ujung Timur Jawa
Majalah Tempo edisi 13 -19 September 2010).
- 9.
NEGERI CINTA SUCI DAN ABADI
Negeri ini penuh dengan hikayat dengan pengorbanan
seorang istri atau ibu yang luar biasa cintanya pada suami dan putranya.Apapun
resiko yang harus dihadapi oleh wanita tangguh itu.
- Sekar
Dalu, lebih
memilih tetap memelihara kehamilannya dan melahirkan putranya, meskipun
kalangan istana mengancam membunuhny. Dan dengan kekuatan doa seorang ibu,
R.Paku akhirnya selamat dan kemudian menjadi wali nusantara yaitu
Sunan Giri. Pengorbanan nya telah berbuah pada syiar Islam di Nusantara.
- Sati
terbesar sepanjang sejarah.
DR Sri Margana dalam disertasi Java ‘s Last Frontier :
The Struggle for Hegemony of Blambangan menulis . Sebanyak 270 ISTRINYA
melakukan SATI (upacara berkabung agama Hindu dimana istri
menerjunkan diri ke api NGABEN RAJA TAWANGALUN). Dan dalam
sejarah tercatat sebagai SATI terbesar dalam sejarah Indonesia,malah mungkin
sejarah kerajaan Hindu.
Ikut sertanya para istri prabu Tawangalun dalam
upacara Sati menunjukkan betapa heibatnya putri putri negeri ini menjaga
kesucian cintanya pada prabu Tawangalun.
- Sri
Tanjung dan Sidopekso atau Dewi Surati dan R.Banterang.
Kedua legenda itu ,menunjukan betapa putri Blambangan
adalah putri yang berhati suci dan berani membuktikan cinta abadinya pada
suaminya.
Sejarah II
Suku Osing adalah penduduk asli dari Banyuwangi yang telah
menjadi penduduk mayoritas. Osing lahir akibat runtuhnya kerajaan Majapahit.
Pada waktu itu orang-orang Majapahit mengungsi kebeberapa tempat, yaitu lereng
gunung Bromo (suku Tengger), Blambangan (suku Osing) dan Bali, peristiwa ini
terjadi sekitar tahun 1478 M. Kerajaan yang didirikan oleh masyarakat Osing
adalah kerajaan terakhir yang bercorak Hindu-Budha. seperti halnya kerajaan Majapahit. Bahkan Mereka sangat
percaya bahwa Taman Nasional Alas Purwo merupakan tempat pemberhentian terakhir
rakyat Majapahit yang menghindar dari serbuan kerajaan Mataram.
Dalam sejarahnya Kerajaan Mataram Islam tidak pernah menancapkan kekuasaanya atas Kerajaan Blambangan, hal inilah yang menyebabkan kebudayaan masyarakat Osing mempunyai perbedaan yang cukup signifikan dibandingkan dengan Suku Jawa. Suku Osing mempunyai kedekatan yang cukup besar dengan masyarakat Bali, hal ini sangat terluhat dari kesenian tradisional Gandrung yang mempunyai kemiripan dengan tari-tari tradisional bali lainnya, termasuk juga busana tari dan instrumen musiknya. Kemiripan lain tercermin dari arsitektur bangunan antar Suku Osing dan Suku Bali yang mempunyai banyak persamaan, terutama pada hiasan di bagian atap bangunan.
Sejarah Suku Using diawali pada akhir masa kekuasaan Majapahit sekitar tahun 1478 M. Perang
saudara dan pertumbuhan kerajaan-kerajaan islam terutama Kesultanan malaka mempercepat jatuhnya Majapahit.
Setelah kejatuhannya, orang-orang majapahit mengungsi ke beberapa tempat, yaitu
lereng Gunung Bromo (Suku Tengger),Blambangan (Suku Using) dan Bali. Kedekatan sejarah ini terlihat dari corak kehidupan
Suku Using yang masih menyiratkan budaya Majapahit. Kerajaan Blambangan, yang
didirikan oleh masyarakat osing, adalah kerajaan terakhir yang bercorak
Hindu-Budha seperti halnya kerajaan Majapahit. Bahkan Mereka sangat percaya
bahwa Taman Nasional Alas Purwo merupakan tempat pemberhentian terakhir rakyat
Majapahit yang menghindar dari serbuan kerajaan Mataram.
Dalam sejarahnya Kerajaan Mataram Islam tidak pernah
menancapkan kekuasaanya atas Kerajaan Blambangan, hal inilah yang menyebabkan
kebudayaan masyarakat Using mempunyai perbedaan yang cukup signifikan
dibandingkan dengan suku jawa. Suku Using
mempunyai kedekatan yang cukup besar dengan masyarakat Bali, hal ini sangat
terluhat dari kesenian tradisional Gandrung yang mempunyai kemiripan dengan tari-tari tradisional
bali lainnya, termasuk juga busana tari dan instrumen musiknya. Kemiripan lain
tercermin dari arsitektur bangunan antar Suku Using dan Suku Bali yang
mempunyai banyak persamaan, terutama pada hiasan di bagian atap
bangunan.Puputan adalah perang terakhir hingga darah penghabisan sebagai usaha
terakhir mempertahankan diri terhadap serangan musuh yang lebih besar dan kuat.
Tradisi ini pernah menyulut peperangan besar yang disebut Puputan Bayu pada
tahun 1771 M. Sejarah Perang Bayu ini jarang di ekspos oleh media
sehingga sejarah ini seperti tenggelam.
Dalam perkembangan berikutnya, setelah para petinggi
Majapahit berhasil hijrah ke Bali dan membangun kerajaan di sana, Blambangan,
secara politik dan kultural, menjadi bagian dari Bali atau, seperti yang
diistilahkan oleh beberapa sejarawan, “di bawah perlindungan Bali”. Tetapi,
pada tahun 1639, kerajaan Mataram di Jawa Tengah menaklukkan Blambangan yang
meskipun mendapat bantuan yang tidak sedikit dari Bali menelan banyak korban
jiwa; rakyat Blambangan tidak sedikit yang terbunuh dan dibuang (G.D.E. Haal,
seperti yang dikutip Anderson, 1982; 75). Di dalam kekuasaan Mataram inilah
penduduk Blambangan mulai diislamisasi, suatu perkembangan kultural yang banyak
pengaruhnya di kemudian hari dalam membentuk struktur sosial dan kebudayaan.
Perebutan Blambangan oleh Mataram dan Bali terus berlangsung dan saling
bergantian menguasai hingga berakhir ketika VOC berhasil menduduki Blambangan
pada tahun 1765.
Blambangan tampak relatif kurang memperlihatkan
kekuatannya, di masa penjajahan Belanda, ia justru menampilkan kegigihannya
melawan dominasi VOC. Perang demi perang terjadi antara rakyat Blambangan
melawan kolonial Belanda. Hingga akhirnya memuncak pada perang besar pada tahun
1771-1772 di bawah pimpinan Mas Rempeg atau Pangeran Jagapati yang dikenal
dengan perang Puputan Bayu. Perang ini telah berhasil memporak-porandakan
rakyat Blambangan dan hanya menyisakan sekitar 8.000 orang (Ali, 1993:20).
Meski demikian, tampaknya rakyat Blambangan tetap pantang menyerah.
Perang-perang perlawanan, meski lebih kecil, terus terjadi sampai berpuluh
tahun kemudian (1810) yang dipimpin oleh pasukan Bayu yang tersisa, yaitu
orang-orang yang oleh Belanda dijuluki sebagai ‘orang-orang Bayu yang liar’
(Lekkerker, 1926:401-402; Ali, 1997:9). Setelah dapat menghancurkan benteng
Bayu, Belanda memusatkan pemerintahannya di Banyuwangi dan mengangkat Mas Alit
sebagai bupati pertama Banyuwangi.
Blambangan memang tidak pernah lepas dari pendudukan
dan penjajahan pihak luar, dan pada tahun 1765 tidak kurang dari 60.000 pejuang
Blambangan terbunuh atau hilang untuk mempertahankan wilayahnya (Epp,
1849:247). Anderson (1982:75-76) melukiskan bahwa betapa kekejaman Belanda tak
bertara sewaktu menguasai Blambangan terutama dalam tahun 1767-1781. Dengan
merujuk catatan Bosch yang ditulis dari Bondowoso, Anderson mengatakan: “daerah
inilah barangkali satu-satunya di seluruh Jawa yang suatu ketika pernah
berpenduduk padat yang telah dibinasakan sama sekali…”.
Pendudukan dan penaklukan yang bertubi-tubi itu
ternyata justru membuat rakyat Blambangan semakin patriotik dan mempunyai
semangat resistensi yang sangat kuat. Cortesao, seperti yang dikutip oleh
Herusantosa (1987:13), dengan merujuk pada Tome Pires, menyebut “rakyat
Blambangan sebagai rakyat yang mempunyai sifat “warlike”, suka berperang dan
selalu siap tempur, selalu ingin dan berusaha membebaskan wilayahnya dari
kekuasaan pihak lain”. Scholte (1927:146) menyatakan:
“Sejarah Blambangan sangat menyedihkan. Suku bangsa
Blambangan terus berkurang karena terbunuh oleh kekuatan-kekuatan yang
berturut-turut melanda daerah tersebut, seperti kekuatan Mataram, Bali, Bugis
dan Makassar, para perampok Cina, dan akhirnya VOC. Tetapi semangat rakyat
Blambangan tidak pernah sama sekali padam, dan keturunannya yang ada sekarang
merupakan suku bangsa yang gagah fisiknya dan kepribadian serta berkembang
dengan pesat, berpegang teguh pada adat-istiadat, tetapi juga mudah menerima
peradaban baru”. Rakyat Blambangan, seperti yang disebut-sebut dalam berbagai
sumber di atas, itulah yang selama ini dinyatakan sebagai cikal-bakal wong
Using atau sisa-sisa wong blambangan.
ASAL USUL
Predikat Using dilekatkan kepada
masyarakat Blambangan karena kecenderungan mereka menarik diri dari pergaulan
dengan masyarakat pendatang pasca perang Puputan Bayu. Pendudukan VOC di
Blambangan tentu saja memerlukan banyak tenaga kerja untuk menjalankan usaha-usaha
eksploitasi di Blambangan. Oleh karena itu, kemudian VOC mendatangkan banyak
pekerja dari Jawa Tengah dan Madura dalam jumlah besar,sementara sisa-sisa
masyarakat Blambangan /wong osing yang mayoritas telah memilih untuk
mengucilkan diri di pegunungan.
Sesekali
interaksi terjadi, antara masyarakat asli dan pendatang. Dalam interaksi
tersebut, masyarakat asli acapkali menggunakan istilah “sing” atau “hing” yang
berarti “tidak”. Dari sanalah penamaan Wong Using berasal. Sementara masyarakat
asli menyebut kaum pendatang dengan istilah “Wong Kiye”. Selain perkataan
“tidak” yang mencirikan penolakan interaksi dengan pendatang, masyarakat Using
juga menggunakan peristilahan yang “kasar” seperti asu, celeng, luwak, bajul
atau bojok. Menurut Hasnan Singodimayan, peristilahan itu selain sebagai bahasa
sandi juga mempertegas penolakan masyarakat Using terhadap berbagai bentuk
“penjajahan” yang dialami dalam perjalanan sejarah mereka.
Penduduk
sisa-sisa rakyat Blambangan yang mendiami wilayah Kabupaten Banyuwangi,
sebagian Jember, Bondowoso, Situbondo dan Lumajang disebut masyarakat Using.
Dulu sebelum dibakukan, banyak menulis dengan kata “Osing” kadang juga “Oseng”,
namun setelah diurai secara fonetis oleh pakar Linguisitik dari Universitas
Udayana Bali (Prof Heru Santoso), diperoleh kesepakatan resmi dengan menulis
kata “Using” yang berarti “Tidak”. Pertanyaannya, kenapa orang asli Blambangan
disebut Using? Penyebutan itu, sebetulnya bukan permintaan orang-orang
Blambangan. Ini lebih merupakan ungkapan prustasi dari penjajah Belanda saat
itu, karena selalu gagal membunjuk orang-orang sisa Kerajaan Blambangan untuk
bekerja sama. Kendati pimpinan mereka sudah dikalahkan, tetapi tidak secara
otomatis menyerah kepada musuh. Sikap yang sama, juga ditujukkan saat awal-awal
Orde Baru berkuasa, orang Banyuwangi paling susah diajak kerja sama, atau
menjadi pegawai Negeri. Mereka masih menganggap, pemerintahan yang ada tidak
jauh berbeda dengan penjajah Belanda.
Meski akhirnya
sikap “Sing” ini berangsur-angsur melunak, dengan banyaknya orang Using yang
menjadi pegawai negeri, atau masuk ranah-ranah publik yang sebelumnya tidak
pernah dilakukan, namun nama “Using” sudah terlanjur melekat. Bahkan tumbuh
kebanggan kolektif, bila disebut sebagai orang Using. Setelah generasi-generasi
muda itu, tahu sejarah bagaimana nenek moyangnya berjuang mati-matian,
mempertahankan wilayah dan harga diri.
Perang
“Puputan” atau juga dikenal perang habis-habisan, akhirnya dijadikan tonggak
hari lahirnya Kabupaten Banyuwangi. Pertimbangannya, semangat heroik dari
tentara Blambangan ini diharapkan bisa menjadi tauladan. Bahkan seorang penulis
asal Belanda menyebutkan, jika rakyat Blambangan hanya tinggal berapa ribu
saja. Sebagai bentuk penekanan terhadap warkat Blambangan, kepala laskar Blambangan
yang kalah perang, ditancapkan di sepanjang jalan. Meski demikian, sisa rakyat
Blambangan tidak langsung menyerah dan tunduk kepada musuh. Mereka memilih
mengungsi ke gunung atau membentuk kelompok-kelompok kecil. Mereka
berkomunikasi menggunakan bahasa-bahasa sandi, berupa nama-nama bintang. Kelang
bahasa sandi ini menjadi umpatan khas wong Using. Selain itu, bahasa Using
dikenal mempunyai ratusan dialek. Setiap kampung-kampung Using, bisa
diidentifikasi dari cara mereka berbicara dan berpakaian. Misalnya dalam satu
pertemuan besar di sebuah lapangan, maka mereka akan mudah mengenali orang
Using dari daerah mana, dari cara mereka berbicara.
Selain itu,
ternyata kampung-kampung Using tidak ada yang menghadap jalan raya. Umumnya
kampung Using itu merupakan jalan kecil dari sebuah jalan raya beraspal,
kemudian di kawasan itu berjubel pemukiman. Meski berada di pedesaan, namun
kampung-kampung Using terkenal padat. Ini ternyata tidak lepas dari sejarah
masa lalu wong Using yang selalu dilanda ketakutan, pasca kekalahan laskar
Blambangan pada Perang Puputan Bayu. Mereka selalu berkelompok dan selalu
mewaspadai kedatangan orang asing.
Akibat tidak
mau bekerja sama dengan Belanda, praktis Wong Using mengkonsentrasikan hidupnya
di sektor pertanian. Sementara sentra-sentra perekonomian lain di Banyuwangi,
justru banyak ditempati orang di luar Banyuwangi. Sektor perkebunan yang
rata-rata saat itu milik Belanda dan Inggris, banyak dikerjakan orang Madura.
Saat itu, wong Using sangat menolak keras kerja sama dengan Belanda dan pemilik
kebun. Sektor laut, justru banyak dilakukan orang-orang dari Madura, seperti di
Muncar. Sektor pemerintahan bisa ditebak, tidak ada orang-orang Using yang mau
bekerja di sektor ini. Meski diantara mereka ada yang sekolah hingga perguruan tinggi,
namun tidak begitu saja orang-orang Using mengijinkan anaknya menjadi pegawai
negeri. Mereka masih beranggapan, pemerintahan itu adalah penjajah, karena
melanjutkan pemerintahan yang dibentuk Belanda. Sikap menolak bekerjasama
dengan musuh ini, bisa dilihat dari keberadaan Pabrik Gula. Meski Banyuwangi
merupakan wilayah pertanian yang subur, namun Belanda saat itu tidak berhasil
memaksa warga Banyuwangi untuk menanam tebu sebagai pemasok pabrik gula.
Padahal di Jember dan Situbondo, bertengger sejumlah pabrik gula. Nyaris
kehidupan feodal hanya tumbuh di perkebunan, seperti di wilayah Glenmore dan
Kalibaru.
Dari aspek
seni-budaya, orang luar banyak menyatakan. jika budaya dan kesenian Banyuwangi
merupakan perpaduan Jawa-Madura dan Bali. Pernyataan ini memang tidak
terbantahkan, karena letak geografis Banyuwangi yang berdekatan dengan Bali.
Namun ada yang menarik dari catatan Sejarawan asal Belanda TG. Pigeaud dalam
bukunya Runtuhkan Kerajaan Mataram Islam. Dalam buku itu disebutkan. jika
wilayah Kerajaan Blambangan saat itu, menjadi rebutan antara Kerajaan Mataram
di bawah Sultan Agung dengan kerajaan Mengwi di Bali. Dr. Theodoor Gautier
Thomas Pigeaud menyatakan, suatusaat pengaruh Bali sangat kuat dalam segala
aspek kehidupan rakyat Blambangan, maka saat itu pula pengaruh Mataram melemah.
Namun apabila Mataram sudah bisa mengusai kembali sendi-sendi kehidupan di
Blambangan, saat itu juga pengarusnya secara sosial kemasyarakat juga akan
kuat. Dalam proses inilah, lahir kesenian semacam Janger yang mirip dengan
langedrian yang ada di Yogyakarta, dengan cerita diambil dari Serat Damarwulan
yang ditulis Pujangga di Kerajaan Mataram. Atau Kesenian Praburoro yang
mengabil cerita Hikayat Amir Hamzah (Kata orang Using: Amir Ambyah), kesenian
ini juga bisa ditemukan di Sleman DIY. Janger bentuk sampaan seperti Ketoprak,
sedang Praburoro seperti Wayang Orang. Namun mocopat yang berkembang di
Banyuwangi, bukan berasal dari kalangan Keraton, melainkan mocopat pesisiran.
Nama-nama pupuhnya hampir sama, hanya ada penekanan pada pupuh-pupuh tertentu.
Setelah itu,
orang-orang Mataraman atau bisa disebut Jowo Kulon mulai masuk Banyuwangi,
trerutama daerah selatan. Mereka juga membawa kesenian, seperti wayang, Reog
Ponorogo dan kesenian Jawa lainnya. Namun dalam perkembangannya, terjadi
asimilasi. Misalnya, secara teknis seniman Banyuwangi itu mempunyai ciri khas
dalam memukul alat musik, yaitu tekhnik timpalan. Ini terjadi baik cara memukul
gamelan, maupun rebana (terbang).
Namun dalam
kehidupan sosial, kadang orang-orang pendatang ini merasa lebih tinggi
dibanding orang asli Banyuwangi. Mereka memang mengusai sektor-sektor formal.
Misalnya pegawai Negeri di Kabupaten hingga Kecamatan, banyak dijabat orang
pendatang. Mereka yang masih selaran dengan perjuangan Mataram ini, kadang
memandang orang asli Banyuwangi sebelah mata. Padangan orang terbelakang dan
tidak mau diajak maju, kadang sulit dihilangkan. Apalagi pada saat jaman
pergolakan poilitik, kesenian dan senimam Banyuwangi yang yang tergabung dan
digunakan propaganda oleh PKI. Lengkap sudah penderitaan sisa-sisa Laskar
Blambangan ini.
Sebagai pemilik
syah atas warisan leluhurnya,ternyata orang-orang Using sangat sulit
memperjuangkan Bahasa Using sebagai materi ajar di sejumlah sekolah dasar. Ini
tidak heran, karena para pejabat di Pemkab Banyuwangi dan Dinas Pendidikan saat
itu, memang dijabat orang Jowo Kulonan. Mereka masih beragapan sebagai
penjajah, karena menganggap Bahasa using sebagai sub-dealek dari Bahasa Jawa.
Padahal berdasarkan penelitian Profersor Heru Santoso, Using bukan sebagai
dialek-Jawa,tetapi sudah merupakan bahasa sendiri. Tentu kaidah-kaidah
menetukan suatu bahasa disebut bahasa sendiri, bukan sebagai dialek, sudah
dikupas panjang lebar oleh Pakar Linguistik dari Udayana Bali ini.
Bahkan peneliti
dari Balai Bahasa Yogyakarta, Wedawaty menyebutkan, jika bahasa Using dan
Bahasa Jawa itu kedudukannya sama sebagai turunan dari Bahasa Jawa Kuno ayau
Bahasa Kawi. Bahasa Jawa sekarang lebih berkembang, terutama adanya strata atau
tingkatan bahasa sesuai kasta dan umur. Namun bahasa Using terlihat lebih
statis, karena tidak mengenal tingkatan tutur, seperti Bahasa kawi induknya.
Bahkan Budayawan using, Hasan Ali menduga, kota kata Bahasa Bali dalam
Balines-Nederland yang disusun seorang misionaris Belanda adalah kota kata
Bahasa using, karena penyusunlan puluhan tahun tinggal di Blambangan, sebelum
bisa menyebrang ke Bali.
Alahmdullah,
setelah puluhan tahun perjuangan, akhirnya Bahasa Using diajarkan di tingkat SD
dan SMP. Ini tidak lepas dari uapaya keras dari Budayan yang tergabung dalam
Dewan Kesenian Blambangan (DKB) dan Budayawan Hasan Ali yang menyusun Kamu
Using. Berngasur-angsur wong Using juga mulai menunjukkan eksistensi dalam
berbagai aspek kehidupan. Bahkan sempat menempatkan Syamsul Hadi yang orang
Using sebagai Bupati, meski akhirnya terjerat sejumlah kasus korupsi.
Sebelumnya, Bupati Banyuwangi selalu dijabat orang dari luar dan tentara
tentunya. Saat Orde Lama pernah dijabat M Yusuf, itupun sementara setelah
Bupati aslinya terlibat PKI. Saat Orde Baru, ternyata meneruskan Mataram. Bisa
percaya bisa tidak, dua pejabat Bupati banyuwangi berasal dari Mojokerto (dulu
Majapahit), yaitu Djoko Supaat dan T. Pornomo Sidik. Saat Mataram menguasai
Blambangan, juga menggunakan backgorund Majahit dalam cerita Damarwulan untuk
mendiskreditkan Raja Blambangan.
SITUS-SITUS BUMI BLAMBANGAN
- Makam-Makam Bupati Banyuwangi
Barat pengimaman masjid Baiturrohman terdapat makam-makam bupati Banyuwangi antara lain : Wiroguno II (1782-1818), Suronegoro (1818-1832), Wiryodono Adiningrat (1832-1867), Pringgokusumo (1867-1881), Astro Kusumo (1881-1889), sedangkan Bupati pertama Banyuwangi Mas Alit (1773-1781) gugur dan dimakamkan di Karang Asem Sedayu. Hanya bajunya saja yang dikebumikan di taman pemakaman tersebut.
- Masjid Jami’ Baiturrohman
Tanah wakaf dari masa (Wiroguno I) yang direhap pertama kali pada masa Raden Tumenggung Pringgokusumo. Dulu terdapat kaligrafi bertuliskan Allah Muhammad yang ditulis oleh Mas Muhammad Saleh dengan pengikutnya Mas Saelan. Mulai tahun 2005 sampai sekarang Masjid ini masih dalam tahap renovasi dan akan menjadi salah satu aikon Banyuwangi setelah selesai di renovasi.
- Sumur Sri Tanjung
Ditemukan pada masa Raden Tumenggung Notodiningrat (1912-1920). Terletak di timur Pendopo Kabupaten. Sri tanjung dan Sidopekso merupakan legenda turun-menurun yang merupakan kisah asmara dan kesetiaan yang merupakan cikal bakal Banyuwangi.
Konon jika sewaktu-waktu air sumur berubah bau menjadi wangi maka itu akan menjadi suatu pertanda baik / buruk yang akan menimpa suatu daerah ataupun bangsa ini.
- Musium Blambangan
Berlokasi di Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Banyuwangi. Awalnya didirikan oleh Bupati Banyuwangi Djoko Supaat Selamet yang berkuasa pada tahun (1966-1978) di kompleks pendopo Kabupaten Banyuwangi namun pada tahun 2004 Musium direlokasikan di Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Banyuwangi hingga sekarang.
Koleksi yang dimiliki oleh museum antara lain: Berbagai macam kain batik, contoh rumah adat using Banyuwangi, kain-kain dari masa lampau, replica seni musik angklung, aneka macam senjata perang, alat-alat musik peninggalan Belanda, dan yang paling menarik perhatian pengunjung untuk melihat replica Barong dan penari Gandrong yang menjadi simbol Kota Banyuwangi
- Sonangkaryo
Sonangkaryo adalah umbul-umbul kerajinan Blambangan, menurut Mishadi hasil wawancara dengan Sayu Darmani (Tumenggungan) bahwa ibunya yang bernama Sayu Suwarsih telah lama menyimpan Sonangkaryo tersebut, namun ketika dirasa tidak kuat lagi mengemban amanah tersebut, maka dibuanglah satu kotak pusaka yang berisi umbul-umbul Sonangkaryo, Cemeti, dan Lebah penari musuh.
- Tugu TNI 0032
Taman Makam pahlawan yang terletak di bibir pantai Boom merupakan pertempuran tentara laut NKRI yang dipimpin oleh Letnan Laut Sulaiman melawan AL, AD, dan AU Belanda pada tanggal 21 Juli 1947. Tugu tersebut disahkan oleh Presiden RI yang pertama yaitu Bung Karno.
- Benteng Ultrech (Kodim)
Berada di batas selatan markas Kodim, dulu terdapat rumah nuansa Portugis yang dijadikan sebagai tempat pengintaian Balanda terhadap gerak-gerik orang Blambangan di pendopo pada masa pemerintahan Mas Alit.
- Inggrisan
Dibangun oleh Belanda sekitar tahun 1766-1811, yang luasnya sekitar satu hektar, merupakan markas yang dulunya bernama Singodilaga, kemudian diganti dengan nama Loji (Inggris = Lodge, artinya penginapan / pintu penjagaan) yang disekitarnya dibangun lorong-lorong terhubung dengan Kali Lo (Selatan), dan Boom (Timur) akhirnya diserahkan kepada Inggris setelah Belanda kalah perang (Sumber Java’s Last Frontier, Margono. 2007),selatan berupa perkantoran yang disebut Bire (Sekarang Telkom) dan kantor pos, di daerah tersebut pernah terjadi peristiwa yang hamper mirip dengan peristiwa di hotel Yamato, Surabaya, yaitu orang-orang Blambangan dengan berani merobek bendera belanda yang berwarna merah putih biru menjadi merah putih saja.
Depan Inggrisan terdapat Tegal Loji, selatannya adalah perkampungan Belanda (Kulon dam), timurnya adalah Benteng Ultrech dan tempat penimbunan kayu gelondongan (sekarang Gedung Wanita) sebelah utara dulu sebagai kantor regent dan garasi kuda mayat (sekarang Bank Jatim) dan perumahan Kodim sekarang, dulu adalah markas polisi Jepang / kompetoi lalu jaman Belanda dijadikan perumahan svout.
- Makam Datuk Malik Ibrahim
Salah satu Waliyullah keturunan Arab Saudi yang banyak di kunjungi peziarah dari dalam dan luar Banyuwangi terletak di Desa Lateng Banyuwangi.
- Konco Hoo Tong Bio<
Terletak di Pecinan kecamatan kota Banyuwangi pada waktu terjadi pembantaian orang-orang Cina oleh VOC di Batavia, seorang yang bernama Tan Hu Cin Jin dari dratan Cina yang menaiki perahu bertiang satu.
Perahu tersebut kandas di sekitar pakem dan Tan Hu Cin Jin memutuskan menetap di wilayah Banyuwangi. Untuk mengenang peristiwa tersebut, didirikanlah klenteng Hoo Tong Bio.
Setiap tanggal 1 bulan Ciu Gwee (kalender cina), pada tengah malam sebelum tahun baru diadakan sembahyang bersama. Dalam acara tahun baru Imlek kesenian barong Said an Kong-kong ditampilkan, kemudian ada sebuah acara yang disebut Cap Go Mee dirayakan pada hari ke 15 sesudah tahun baru Imlek, dengan mengarak patung yang Maha Kong Co Tan Hu Cin Jin keliling disekitar kampung pecinan. Hal ini dimaksud kan untuk menolak bala’ dan mengharap berkah kepada Tuhan. Acara ini dimiriahkan dengan tarian barongsai dan berbagai kesenian daerah lainnya. Makanan khas yang disajikan adalah lontong Cap Go Mee.
Tak hanya itu, Hari ulang tahun tempat ibadah Tri Dharma “Hoo tong Bio” yang dibangun pada tahun 1781, ucapan itu bertujuan untuk memperingati kebesaran yang mulia Kong Co Tan Hu Cin Jin dan biasanya doadakan pd tanggal 27 Agustus.
- Watu Dodol
Sebuah batu besar terletak di daerah ketapang yang pernah ditarik oleh kapal Jepang, pernah dijadikan benteng pertahanan Jepang pada masa perang dunia II, dan pada maa setelah kemerdekaan dijadikan tempat pendaratan Belanda antara lain 14 April 1946 yang mendapatkan perlwanan orang Banyuwangi dibawah kepemimpinan Pak Musahra (orang tua dari Lurah Astroyu), 20 Juli 1946 Belanda mendapatkan perlawanan dari Yon Macan Putih yang dipimpin oleh Raden Abdul Rifa’I dan Letnan Ateng Yogasana, 21 Juli 1947, Yon Macan Putih yang berhasil menenggelamkan kapal dan tengker milik Belanda.
Sejak dahulu kala tempat ini dijadikan tempat Upacara Agama Hindu yaitu Jala Dipuja / Melasti / Melayis yang di maksud untuk memohon anugerah dari penguasa laut, pelaksanaannya bertepatan pada saat mentari bergeser ke Utara khatulistiwa sebelum datangnya hari raya Nyepi.
Upacara ini dipimpin oleh seorang pendeta yang memberkati umatnya dengan cara mencipratkan “Tirta Suci” yaitu air suci yang diambil dari sumur pitu (tujuh sumber air). Beberapa sesaji diarak ke laut atau di mata air.
- Makam-Makam Bupati Banyuwangi
Barat pengimaman masjid Baiturrohman terdapat makam-makam bupati Banyuwangi antara lain : Wiroguno II (1782-1818), Suronegoro (1818-1832), Wiryodono Adiningrat (1832-1867), Pringgokusumo (1867-1881), Astro Kusumo (1881-1889), sedangkan Bupati pertama Banyuwangi Mas Alit (1773-1781) gugur dan dimakamkan di Karang Asem Sedayu. Hanya bajunya saja yang dikebumikan di taman pemakaman tersebut.
- Masjid Jami’ Baiturrohman
Tanah wakaf dari masa (Wiroguno I) yang direhap pertama kali pada masa Raden Tumenggung Pringgokusumo. Dulu terdapat kaligrafi bertuliskan Allah Muhammad yang ditulis oleh Mas Muhammad Saleh dengan pengikutnya Mas Saelan. Mulai tahun 2005 sampai sekarang Masjid ini masih dalam tahap renovasi dan akan menjadi salah satu aikon Banyuwangi setelah selesai di renovasi.
- Sumur Sri Tanjung
Ditemukan pada masa Raden Tumenggung Notodiningrat (1912-1920). Terletak di timur Pendopo Kabupaten. Sri tanjung dan Sidopekso merupakan legenda turun-menurun yang merupakan kisah asmara dan kesetiaan yang merupakan cikal bakal Banyuwangi.
Konon jika sewaktu-waktu air sumur berubah bau menjadi wangi maka itu akan menjadi suatu pertanda baik / buruk yang akan menimpa suatu daerah ataupun bangsa ini.
- Musium Blambangan
Berlokasi di Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Banyuwangi. Awalnya didirikan oleh Bupati Banyuwangi Djoko Supaat Selamet yang berkuasa pada tahun (1966-1978) di kompleks pendopo Kabupaten Banyuwangi namun pada tahun 2004 Musium direlokasikan di Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Banyuwangi hingga sekarang.
Koleksi yang dimiliki oleh museum antara lain: Berbagai macam kain batik, contoh rumah adat using Banyuwangi, kain-kain dari masa lampau, replica seni musik angklung, aneka macam senjata perang, alat-alat musik peninggalan Belanda, dan yang paling menarik perhatian pengunjung untuk melihat replica Barong dan penari Gandrong yang menjadi simbol Kota Banyuwangi
- Sonangkaryo
Sonangkaryo adalah umbul-umbul kerajinan Blambangan, menurut Mishadi hasil wawancara dengan Sayu Darmani (Tumenggungan) bahwa ibunya yang bernama Sayu Suwarsih telah lama menyimpan Sonangkaryo tersebut, namun ketika dirasa tidak kuat lagi mengemban amanah tersebut, maka dibuanglah satu kotak pusaka yang berisi umbul-umbul Sonangkaryo, Cemeti, dan Lebah penari musuh.
- Tugu TNI 0032
Taman Makam pahlawan yang terletak di bibir pantai Boom merupakan pertempuran tentara laut NKRI yang dipimpin oleh Letnan Laut Sulaiman melawan AL, AD, dan AU Belanda pada tanggal 21 Juli 1947. Tugu tersebut disahkan oleh Presiden RI yang pertama yaitu Bung Karno.
- Benteng Ultrech (Kodim)
Berada di batas selatan markas Kodim, dulu terdapat rumah nuansa Portugis yang dijadikan sebagai tempat pengintaian Balanda terhadap gerak-gerik orang Blambangan di pendopo pada masa pemerintahan Mas Alit.
- Inggrisan
Dibangun oleh Belanda sekitar tahun 1766-1811, yang luasnya sekitar satu hektar, merupakan markas yang dulunya bernama Singodilaga, kemudian diganti dengan nama Loji (Inggris = Lodge, artinya penginapan / pintu penjagaan) yang disekitarnya dibangun lorong-lorong terhubung dengan Kali Lo (Selatan), dan Boom (Timur) akhirnya diserahkan kepada Inggris setelah Belanda kalah perang (Sumber Java’s Last Frontier, Margono. 2007),selatan berupa perkantoran yang disebut Bire (Sekarang Telkom) dan kantor pos, di daerah tersebut pernah terjadi peristiwa yang hamper mirip dengan peristiwa di hotel Yamato, Surabaya, yaitu orang-orang Blambangan dengan berani merobek bendera belanda yang berwarna merah putih biru menjadi merah putih saja.
Depan Inggrisan terdapat Tegal Loji, selatannya adalah perkampungan Belanda (Kulon dam), timurnya adalah Benteng Ultrech dan tempat penimbunan kayu gelondongan (sekarang Gedung Wanita) sebelah utara dulu sebagai kantor regent dan garasi kuda mayat (sekarang Bank Jatim) dan perumahan Kodim sekarang, dulu adalah markas polisi Jepang / kompetoi lalu jaman Belanda dijadikan perumahan svout.
- Makam Datuk Malik Ibrahim
Salah satu Waliyullah keturunan Arab Saudi yang banyak di kunjungi peziarah dari dalam dan luar Banyuwangi terletak di Desa Lateng Banyuwangi.
- Konco Hoo Tong Bio<
Terletak di Pecinan kecamatan kota Banyuwangi pada waktu terjadi pembantaian orang-orang Cina oleh VOC di Batavia, seorang yang bernama Tan Hu Cin Jin dari dratan Cina yang menaiki perahu bertiang satu.
Perahu tersebut kandas di sekitar pakem dan Tan Hu Cin Jin memutuskan menetap di wilayah Banyuwangi. Untuk mengenang peristiwa tersebut, didirikanlah klenteng Hoo Tong Bio.
Setiap tanggal 1 bulan Ciu Gwee (kalender cina), pada tengah malam sebelum tahun baru diadakan sembahyang bersama. Dalam acara tahun baru Imlek kesenian barong Said an Kong-kong ditampilkan, kemudian ada sebuah acara yang disebut Cap Go Mee dirayakan pada hari ke 15 sesudah tahun baru Imlek, dengan mengarak patung yang Maha Kong Co Tan Hu Cin Jin keliling disekitar kampung pecinan. Hal ini dimaksud kan untuk menolak bala’ dan mengharap berkah kepada Tuhan. Acara ini dimiriahkan dengan tarian barongsai dan berbagai kesenian daerah lainnya. Makanan khas yang disajikan adalah lontong Cap Go Mee.
Tak hanya itu, Hari ulang tahun tempat ibadah Tri Dharma “Hoo tong Bio” yang dibangun pada tahun 1781, ucapan itu bertujuan untuk memperingati kebesaran yang mulia Kong Co Tan Hu Cin Jin dan biasanya doadakan pd tanggal 27 Agustus.
- Watu Dodol
Sebuah batu besar terletak di daerah ketapang yang pernah ditarik oleh kapal Jepang, pernah dijadikan benteng pertahanan Jepang pada masa perang dunia II, dan pada maa setelah kemerdekaan dijadikan tempat pendaratan Belanda antara lain 14 April 1946 yang mendapatkan perlwanan orang Banyuwangi dibawah kepemimpinan Pak Musahra (orang tua dari Lurah Astroyu), 20 Juli 1946 Belanda mendapatkan perlawanan dari Yon Macan Putih yang dipimpin oleh Raden Abdul Rifa’I dan Letnan Ateng Yogasana, 21 Juli 1947, Yon Macan Putih yang berhasil menenggelamkan kapal dan tengker milik Belanda.
Sejak dahulu kala tempat ini dijadikan tempat Upacara Agama Hindu yaitu Jala Dipuja / Melasti / Melayis yang di maksud untuk memohon anugerah dari penguasa laut, pelaksanaannya bertepatan pada saat mentari bergeser ke Utara khatulistiwa sebelum datangnya hari raya Nyepi.
Upacara ini dipimpin oleh seorang pendeta yang memberkati umatnya dengan cara mencipratkan “Tirta Suci” yaitu air suci yang diambil dari sumur pitu (tujuh sumber air). Beberapa sesaji diarak ke laut atau di mata air.