Suku Dani, Lembah baliem – Papua
- Latar belakang Kebudayaan
Di
pegunungan tengah Irian Jaya, terletak sebuah lembah besar dengan panjang 72
km dan
lebar 16 - 31 km, dihuni oleh
prajurit dan petani Neolitik. Suku Dani dan suku-suku sub lain seperti Yali
dan Lani dengan budaya mereka yang sangat kompleks dan primitif, yang masih
terlihat seperti "zaman batu".Lembah Baliem terletak di Kabupaten
Wamena, Irian Jaya, yang dikenal sebagai rumah dari suku asli Papua. Suku
Dani adalah Suatu suku yang mendiami satu wilayah di Lembah Baliem yang dikenal
sejak ratusan tahun lalu sebagai petani yang terampil dan juga dahulu terkenal
sudah menggunakan alat alat perkakas bahkan disaat diketemukan oleh para ahli,
warga suku dani telah mengenal penggunaan perkakas-perkakas seperti: kapak
batu, pisau yang terbuat dari tulang binatang dan lain sebagainya. Pada
decade terakhir ini suku yang paling
terisolasi oleh rawa dan pegunungan. Mereka hidup diantara belukar, masih
memelihara serta mengangkat babi sebagai hewan peliharaannya atau bisa
dikatakan hewan buruannya. Mereka masih menggunakan teknologi Neolitik dari
Dunia masa lalu. Ada
sekitar kurang lebih 250.000 suku Dani
yang hidup di pegunungan tengah. Lembah Baliem. Salah satu suku tertua di
dataran papua yang memiliki kepadatan penduduk tertinggi di Provinsi Papua.
Suku
Dani membangun pondok mereka dalam suatu senyawa yang baik, dimana mengekspresikan adaptasi lingkungan dan
karakter Dani. Suhu
dari dataran tinggi yang berkisar antara 26 derajat Celcius pada siang hari dan
12 derajat pada malam hari. Hutan-hutan di mana suku Dani bermukim sangat kaya akan flora
dan fauna yang tak jarang bersifat endemic seperti cenderawasih, mambruk, nuri
bermacam-macam insect dan kupu-kupu yang beraneka ragam warna dan coraknya.Untuk
budaya dari Suku Dani sendiri, meskipun suku Dani penganut Kristen, banyak
diantara upacara-upacara mereka masih bercorak budaya lama yang diturunkan oleh
nenek moyang mereka. Suku Dani percaya terhadap rekwasi. Seluruh upacara
keagamaan diiringi dengan nyanyian, tarian dan persembahan terhadap nenek
moyang. Peperangan dan permusuhan biasanya terjadi karena masalah pelintasan
daerah perbatasan, wanita dan pencurian.
Pada rekwasi ini, para prajurit biasanya akan membuat tanfa
dengan lemak babi, kerang, bulu-bulu, kus-kus, sagu rekat, getah pohon mangga,
dan bunga-bungaan di bagian tubuh mereka. Tangan mereka menenteng
senjata-senjata tradisional khas suku Dani seperti tombak, kapak, parang dan
busur beserta anak panahnya.
Salah satu kebiasaan unik lainnya dari suku Dani sendiri
adalah kebiasaan mereka mendendangkan nyanyian-nyanyian bersifat heroisme dan
atau kisah-kisah sedih untuk menyemangati dan juga perintang waktu ketika
mereka bekerja. Untuk alat musik yang mengiringi senandung atau dendang ini
sendiri adalah biasanya adalah alat musik pikon, yakni satu alat yang
diselipkan diantara lubang hidung dan telinga mereka. Disamping sebagai
pengiring nyanyian, alat ini pun berfungsi ganda sebagai isyarat kepada teman
atau lawan di hutan kala berburu.
Ini
merupakan rumah adat suku dani di lembah baliem – papua. rumah ini bernama
Rumah Honai. Rumah honai merupakan rumah adat di Papua yang terbuat terbuat
dari kayu. Yang membuat unik adalah atapnya yang berbentuk setengah bola atau
kubah dan terbuat dari jerami atau ilalang. Rumah Honai begitu kecil, sempit,
dan tidak berjendela. dibangun seperti itu untuk menahan Udara dingin dari
pegunungan sekitar Papua, rumah adat ini setinggi 2,5 meter Walaupun hanya setinggi
2,5 meter, rumah Honai terdiri dari dua lantai. Lantai pertama digunakan
sebagai tempat tidur. Di lantai dua, ruangan yang digunakan sebagai tempat
istirahat, makan, dan mengerjakan kerajinan tangan. Disetiap Antar lantai
dihubungkan dengan tangga yang terbuat dari bambu.Rumah Honai biasa ditempati
oleh 5-10 orang. Secara fungsinya, rumah ini terbagi dalam tiga tipe, yaitu
rumah untuk kaum laki-laki yang disebut Honai, rumah untuk perempuan atau Ebei,
dan untuk kandang babi atau Wamai. Semua bentuknya sama, namun fungsinya yang
berbeda.Dalam satu komplek perumahan adat ini, kita dapat menemukan beberapa
Honai. Uniknya, jumlah Ebei yang ada menandakan jumlah istri, karena laki-laki
di daerah ini memiliki istri lebih dari satu, terutama kepala suku. Meskipun
rumah adat Honai merupakan rumah tinggal bagi masyarakat adat suku Dani, akan
tetapi kita tidak akan menemukan alat-alat perabotan atau perlengkapan rumah
tangga seperti kasur, meja ataupun kursi didalamnya. Itu karena masyarakat suku
dani masih menerapkan system tradisional dalam penerapan kehidupannya bahkan
untuk alas tidur saja masyarakat suku dani masih menggunakan rerumputan kering
sebagai alas tidur mereka.
a.
Lokasi
Suku Dani
Letak
Geografis suku Dani
Secara
geografi Kabupaten Jayawijaya terletak antara 30.20 sampai 50.20′ Lintang
Selatan serta 1370.19′ sampai 141 Bujur Timur. Batas-batas Daerah Kabupaten
Jayawijaya adalah sebagai berikut : Sebelah Utara dengan Kabupaten Jayapura dan
Kabupaten Yapen Waropen, Barat dengan Kabupaten Paniai, Selatan dengan
Kabupaten Merauke dan Timur dengan perbatasan negara Papua New Guinea.
Topografi
Kabupaten Jayawijaya terdiri dari gunung-gunung yang tinggi dan lembah-lembah
yang luas. Diantara puncak-puncak gunung yang ada beberapa diantaranya selalu
tertutup salju misalnya Pucak Trikora 4750 m, Puncak Yamin 4595m dan Puncak
Mandala 4760m. Tanah pada umumnya terdiri dari batu kapur/gamping dan granit
terdapat di daerah pegunungan sedangkan di sekeliling lembah merupakan
percampuran antara endapan Lumpur, tanah liat dan lempung.
Klimatologis
suku Dani
Suku
Dani menempati daerah yang beriklim tropis basah karena dipengaruhi oleh letak
ketinggian dari permukaan laut, temperatur udara bervariasi antara
80-200Celcius, suhu rata-rata 17,50 Celcius dengan hari hujan 152,42 hari
pertahun, tingkat kelembaban diatas 80 %, angin berhembus sepanjang tahun
dengan kecepatan rata-rata tertinggi 14 knot dan terendah 2,5 knot.
b.
Demografis
Demografi
-
Suku bangsa Papua (52%), Non Papua/Pendatang (48%) (2002)
*
Papua: Suku Aitinyo, Suku Aefak, Suku Asmat, Suku Agast, Suku Dani, Suku
Ayamaru, Suku Mandacan, Suku Biak, Suku Serui, Suku Mee, Suku Amungme, Suku
Kamoro
*
Non-Papua/Pendatang: Jawa, Makassar, Bugis, Batak, Minahasa, Huli, Tionghoa,
c.
Sejarah
Peradapan
Manusia Papua, Khususnya Suku Dani yang mendiami daerah lembah baliem merupakan
peradapan Suku yang bisa dikatakan masih sangat baru. Suku Dani yang mendiami
daerah Lembah Baliem merupakan salah satu Suku Terbesar yang mendiami Wilayah
Pegunungan Tengah Papua Selain Suku Dani Wilayah Pegunungan Tengah Papua didiami
oleh suku, Ekari, Moni, Damal, Amugme dan beberapa sub suku lainnya.
Suku
Dani yang mendiami wilayah lembah baliem dan sekitarnya diperkirakan merupakan
suku yang berasal dari wilayah Timur Lembah Baliem atau di kenal dengan nama
daerah yali (pada saat ini masuk dalam kabupaten Yalimo dan Kabupaten
Yahokimo). Sehingga berdasarkan cerita rakyat yang sering dibicakan oleh orang
tua2 bahwa nenek moyang suku dani berasal dari orang Yali. Mitos menceritakan
bahwa orang pertama/ manusia pertama suku Dani bernama Pumpa (Pria) dan Nali
nali(Wanita) yang masuk ke Lembah Baliem dari arah timur melalui sebuah Goa.
Ada beberapa sumber yang mengatakan
Goa pertama tempat keluarnya manusia pertama ini berasal dari Goa Kali Huam
(Daerah Siepkosy), ada pula yang mengatakan dari Goa di Daerah Pugima dan
sebagian mengatakan bahwa keluarnya Manusia pertama suku dani ini berasal dari
dari Pintu masuk angin di daerah Kurima.
keberadaan pulau papua sendiri baru ditemukan pada tahun 1511 oleh bangsa
portugis dalam perjalananya mencari rempah-rempah. Sedangkan suku Dani sendiri
baru ditemukan pada tahun 1954 oleh Lourentz pada saat melakukan ekspedisi ke
G.Trikora. Sampai dengan saat ini diperkirakan Suku Dani yang mendiami wilayah
lembah baliem merupakan Generasi ke 5 Suku Dani, bila ditarik dari
cerita-cerita peradapan Nenek Moyang Suku Dani. Dengan Perkembangan Teknologi
yang sangat pesat, dimana peradapan Suku Dani yang kala itu masih berada pada
Zaman Batu dihadapkan pada peradapan Kehidupan modern, langsung melewati
beberapa tahapan peradapan tentunya menjadi sebuah ancaman serius bagi Suku
Dani dalam peradapan Suku yang semakin melupakan Budayanya ini.
d.
Modernisasi
Modernisasi
mengandung pengertian pembaharuan yang meliputi seluruh aspek kehidupan,
pergantian cara poduksi, pikiran dan perasaan yang mengarah kepada hal-hal yang
baru: nilai-nilai/norma-norma sosial, pola-pola perilaku, organisasi,
lembaga-lembaga kemasyarakatan, lapisan-lapisan dalam masyarakat, kekuasaan dan
wewenang serta interaksi sosial dan seterusnya untuk suatu kehidupann yang
lebih baik dan lebih layak. Modernisasi
merupakan proses sistematik. Modernisasi melibatkan perubahan pada hampir
segala aspek tingkah laku sosial, termasuk didalamnya industrialisasi,
urbanisasi, sekularisasi, sentralisasi dan sebagainya. Dalam rangka mencapai
status modern, struktur dan nilai-nilai tradisional secara total harus diganti
dengan seperangkat sruktur dan nilai-nilai modern. Untuk hal ini, Huntington ,
menyatakan, bahwa teori modernisasi melihat ‘modern’ dan ‘tradisional’ sebagai
dua konsep yang pada dasarnya bertentangan (asimetris). Karena
itu ahli sejarah dunia Marshall Hodgson lebih cenderung tidak menamakan zaman
mutakhir umat manusia yang dikuasai oleh ilmu pengetahuan dan teknologi ini
sebagai ‘Zaman’ Modern’-karena konotasi perkataan ‘modern’ yang selalu positif-
melainkan ‘Zaman Teknik’ (teknik age) dengan konotasi yang netral, dapat baik
dan dapat pula buruk. Karena kenetralan ‘Zaman Teknik’ itu maka peran etika
amat penting. Bahkan
Roger Garaudy (Muallaf, nama syahadatnya, Muhammad Nuruddin), menyebut zaman
teknik sebagai ‘agama piranti’; Yakni suatu zaman yang didominasi oleh piranti,
teknik atau instrumen, dan sedikit sekali menjawab apa sebenarnya tujuan
intrinsik dari semua itu. Piranti, teknik, dan instrumen menjadi tujuan dalam
dirinya sendiri sehingga menguasai hidup manusia dan menjadi agama baru. Sampai
bulan April 1954, waktu beberapa orang pendeta Nasrani dari Amerika Serikat
dari organasasi penyiaran agama Cristian and Missionary Alliance (disingkat
CAMA) tiba, orang Palim masih hdup terpencil dari dunia luar. Mereka pada waktu
itu masih menggunakan alat batu yang sama bentuknya seperti oleh para ahli
prasejarah diperkirakan berasal dari kala Neolitik, sehingga mereka seakan-akan
masih berada dalam Zaman Batu Neolitik. Para
pendeta itu kemudian beberapa pusat penyiaran agam di bagian selatan Lembah
Balim di daerah konfederasi Asso-Lokobal/Asso-Wetipo (sic). Dengan kehadiran
para pendeta itu sebahagian orang Dani tiba-tiba dihadapkan pada dunia luar
yang diwakili orang-orang bule, yang cara hdupnya dilengkapi peralatan yang
serba modern, dari yang berukuran kecil yang dipakai sehari-hari, sampai
pesawat terbang, yang mereka gunakan sebagai alat transportasi untuk keluar
masuk daerah Lembah Balim. Kontak
dengan dunia luar menjadi lebih merata ketika pemerintah Belanda dalam tahun
1956 mendirikan pos pemerintah di Wamena, yang dilengkapi dengan lapangan
terbang yang dapat didarati pesawat-pesawat sebesar Dakota dan ketika
organisasi penyiaran agama Katolik Minnebriders Fransiskanan membuka pusat
kegiatannya di Wamena dua tahun kemudian.
Kontak
awal suku Dani di Balim terjadi pada tahun 1926, dengan kedatangan expedisi
ilmiah Steerling. Proses modernisasi pada masyarakat Balim seperti dicatat
dalam buku ‘Kebuadayaan Jayawi Jaya’, disunting Astrid Susanto (1994) terjadi
menurut tahapan kurun waktu, sebagai berikut :
1).
Masa kontak expedisi Steerling pada tahun 1926;
2).
Masa kontak budaya pada tahun 1954-1962.
Kontak
modernisasi disini lebih pada budaya material (kapak, pembukaan pos-pos
pemerintah/missi serta pembukaan jalan-jalan raya (zaman pemerintahan kolonial
Belanda).
3).
Masa integrasi pada tahun 1963-1969.
Pada
masa ini Suku Dani terintegrasi kedalam negara RI melalui Penpres 1 tahun 1963
dan pada tanggal 16 September 1969 dengan peristiwa Pepera.
4).
Masa awal pembangunan pada tahun 1970-1974.
Pada
masa ini pembangunan belum banyak tampak, banyak sekolah dibuka, komunikasi
cukup lancar, perumahan dikota Wamena makin bertambah, pos-pos di kecamatan dan
jalan-jalan raya dibangun, rumah sakit dan seterusnya.
5).
Masa Adaptasi pada tahun 1975-1981. Pada masa ini banyak pendekatan pembangunan
dilakukan sebagai adaptasi sosial-budaya, Pemerintah Desa dibentuk menurut UU
Mendagri No. 5 Thn 1974, kursus pelopor pembangunan desa dibuka (KPPD) sebagai
tempat pengkaderan dari wakil tiap desa yang dibentuk. Proses pembangunan
diterima baik dalam bernahasa Indonesia yang baik dan banyak hal mengalami
penyesuaian dan perubahan.
6.).
Masa transisi pada tahun 1982- sampai sekarang
Sebgaimana
pada umumnya daerah Pegunungan Tengah Papua, dalam tahun 1980-1990 awal, Suku
Dani, banyak di jumpai kaum prianya mengenakan busana Koteka dan rumbai bagi
wanitanya. Dikota kini tidak banyak dijumpai, namun daerah-daerah yang masih
terisolasi dan jauh dari pusat pemerintahan banyak terdapat penduduknya yang
masih mengenakan Koteka sebagai lambang ketertinggalan dan keterbelakangan.
Usaha
moderinisasi baru dilakukan oleh oleh aparat militer Indonesia seperti dalam
operasi task force oleh Gubernur Aqub Zaenal pada tahun 1970-an awal. Tapi
dalam pengertian sesungguhnya usaha modernisasi dilakukan oleh Missionaris dan
pemerintah Indonesia.
http://irnawijayanti.wordpress.com/kebudayaan/
http://budayanusantara.blogsome.com/2010/09/29/mengenal-lebih-dekat-suku-dani/
http://www.anneahira.com/budaya-suku-dani.htm
http://alanmn.wordpress.com/2011/05/10/dari-lembah-baliem-mengenal-lebih-dekat-suku-dani/
http://palingindonesia.com/mengenal-suku-dani-di-tanah-papua/
http://www.indonesiabox.com/s/sejarah-suku-dani/page/3/
http://www.facebook.com/note.php?note_id=415931708956
http://travel.detik.com/read/2012/02/10/104327/1839108/1025/honai-rumah-unik-dari-lembah-baliem